45. Lihatlah Sekali Saja

Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Kau keterlaluan Aniki." Sasuke duduk di kursi taman menyusul sang kakak yang lebih dahulu duduk disana.

Itachi menghela nafas berat, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada siapapun di taman belakang rumah keluarga Uchiha, kebetulan ayah dan ibu mereka sedang menghadiri acara amal. Tapi ia tetap harus bersiaga bila sewaktu-waktu mereka kembali tiba-tiba.

"Hanya itu pekerjaan teraman yang bisa aku berikan padanya." Itachi memijat pelipisnya, membayangkan Naruto datang ke kantornya dengan wajah penuh harap, tak mungkin ia membiarkannya pulang dengan tangan kosong. "Neneknya mengultimatum semua perusahaan yang berkerja sama dengannya bila mempekerjakan Naruto, kau tahu berapa besar pengaruh Mito-sama."

"Nenek tua itu bahkan lebih kejam dari ayah kita." Sasuke mendecih kesal. "Dia mengeluarkan Naruto dari kampus, mencabut semua fasilitasnya, bahkan sekarang memboikot semua akses Naruto untuk memperoleh pekerjaan.

"Kau masih beruntung Tou-san tidak menarik semua fasilitas dan pendidikanmu. Hanya ini yang bisa kita lakukan untuk Naruto, memberinya posisi layak di dalam kantor bukan hanya akan membahayakan perusahaan kita, tapi juga memancing Mito-sama semakin menindas Naruto dan keluarganya."

...

Naruto mengelap Pelu di keningnya dengan punggung tangannya, ia menyandarkan gagang pel kamar mandi di dinding. Jujur selama ia hidup di dunia baru kali ini ia membersihkan kamar mandi, jangankan kamar mandi sebuah kantor, bahkan untuk kamar mandi di apartement-nya pun ia menggunakan jasa petugas kebersihan yang ia sewa dari pengelola apartement-nya.

Namun sepertinya tak lama lagi ia juga harus membersihkan kamar mandi appartementnya sendiri, mengingat keadaan Hinata yang sedang hamil besar, dan ia harus berhemat untuk biaya persalinan Hinata, ia tak bisa lagi menyewa jasa kebersihan dari pihak pengelola apartement.

"Boleh juga kerjamu..." Hidan masuk ke dalam kamar mandi, memeriksa satu persatu jajaran toilet yang telah disikat oleh Naruto.

Naruto membungkuk hormat pada team leader-nya itu. "Ano.. Hidan-san, boleh aku minta izin mengantar istriku ke kampus sebentar."

Hidan melirik ke arah jam dinding di atas wastafel. Baru pukul enam pagi, "kau sudah merapikan ruang rapat di lantai 20?"

Naruto mengangguk.

Hidan mengangguk menyetujui, jam kerja para staff masih satu jam lagi dimulai, tapi Naruto sudah menyelesaikan tugas utamanya. "Pukul delapan tiga puluh paling lambat kau harus kembali ke sini, para karyawan sudah datang, dan mungkin akan meminta dibelikan sarapan atau minta dibuatkan kopi."

"Arigatou..." Naruto tersenyum girang seraya berlari menuju ruang istirahat para office boy, untuk mengganti seragam office boy nya dengan pakaian kemeja dan jeans yang tadi pagi ia pakai berangkat ke kantor.

...

Hinata berjalan perlahan menuju meja makan dengan satu tangan menyangga pinggangnya dan satu tangan lagi mengusap lembut perut besarnya. Wangi yang begitu menggoda tercium amat tajam di hidungnya, ia membuka penutup makanan di meja makan dan mendapati katsu dengan kuah karee lengkap dengan nasi putih hangat yang mengepul.

Namun selain sarapan yang nengugugah selera, iris rembulan Hinata justru tertuju pada selembar kartu yang bersisian dengan piring keramik tersebut.

Maaf aku hanya bisa menyiapkan ini, semalam kau tak sempat memakannya, jadi aku hangatkan agar kau bisa menikmatinya pagi ini,

suamimu yang mencintaimu.

"Khe...," Hinata membuang wajahnya dan tersenyum muak usai membaca surat yang ia sudah tahu siapa pemiliknya. Meraih piring itu lalu tanpa perasaan ia membuang makanan yang telah susah payah disiapkan oleh suaminya itu ke kotak sampah. "Kau pikir aku dan anak-anakku Sudi memakan, pemberianmu," Hinata mengusap perut besarnya yang tiba-tiba mengencang. "Tenanglah, Aka-chan, kita akan sarapan di kantin Neji Ji-san." Ucapnya seraya mengelus buntalan besar itu dengan gerakan memutar.

...

"Kau sudah siap?"

Hinata memutar matanya bosan ketika mendapati suami pirangnya ada di depan pintu kamar tepat saat ia membuka pintu. Mengabaikan pertanyaan Naruto, Hinata melewati suaminya begitu saja menuju pintu apartement. Namun tak semudah itu, tangan Naruto menarik lengan mulusnya.

"Kau tidak mendengarku Hinata?"

Hinata menoleh dan tersenyum remeh, "untuk apa?"

"Hinata, ku mohon jangan memulai lagi?"

"Memulai apa Namikaze-sama?" Tantang Hinata.

Naruto menarik nafasnya dalam, ia tak punya banyak waktu untuk berdebat dengan Hinata, dalam waktu satu jam ia harus kembali ke Uchiha Corp. "Pergi bersamaku ke kampus."

Tatapan safir biru itu penuh intimidasi, Hinata tak berani melawan, ia hanya mengangguk. Naruto melepaskan genggamannya dari lengan Hinata, lalu berjalan menuju pintu diikuti oleh Hinata.

...

Naruto menginjak remnya ketika berdiri tepat di depan lampu merah, ia mencuri pandang, mendapati Hinata tengah memandang ke arah jalanan dengan tatapan kosong.

Apa yang kau pikirkan Hime...
Aku disisimu sekarang, menolehlah lihat sejenak betapa menderitanya aku sekarang.
Sekarang aku tahu rasanya saat dunia memusuhimu... Dan itu semua karena ku...
Sekali saja, lihat betapa aku berusaha untuk menopang laramu...
Lihat aku Hime... Sekali saja dan kau akan mengerti, semua hukuman telah aku terima...
Tapi aku tak sanggup jika kau yang terus menerus menghukumku...
Sekali saja lihat aku...

Teeeennnnn

Suara klakson dari mobil di belakang mobilnya memecahkan lamunan Naruto, dengan cepat ia menginjak gas melajukan mobilnya.

"Aku tahu hatimu tak disini." Akhirnya Hinata buka suara setelah cukup lama keheningan berada di tengah mereka.

"Hatiku Disni..." Satu tangan Naruto meraih tangan Hinata, menariknya dan meletakkannya di dadanya.

"Khe..." Hinata menarik tangannya, ia membuang muka muak. "Di hati dan pikiranmu hanya ada gadis merah jambu itu, kau tak bisa menutupinya."

"Lihat aku sebentar saja Hinata, dan kau akan tahu siapa pemilik Hatiku saat ini." Naruto mengalihkan pandangannya dari jalanan, ia mencoba menatap Hinata, tapi sebuah kesalahan besar ia lakukan, sebuah mobil arah berlawanan hampir menabrak mereka.

"Awas....!!!!" Hinata berteriak ketakutan, dan Naruto mengambil langkah cepat memutar setir cepat dan menginjak rem mendadak.

Krieettttt

Dug

Tubuh Hinata tersentak ke depan saat Naruto menginjak rem mendadak,  membuat perut besarnya membentur Dash board, akibat rem mendadak yang Naruto lakukan. "Aaaakkkkhhhhh" ia memekik kencang kesakitan. "Kau ingin membunuh kami lagi 'kan... Hiks...?" Hinata meringis kesakitan sambil memeluk perut besarnya yang mengalami nyeri luar biasa.

"Hi... Hime..." Tubuh Naruto bergetar ketakutan saat Hinata menatapnya dengan iris bulannya yang dipenuhi lelehan air mata. Tangannya mencoba menyentuh kandungan Hinata, saat istrinya itu berhasil menyandar kan diri.

Plak, "jangan pernah menyentuhku lagi...." Dengan tertatih Hinata menuruni mobil itu sambil memeluk perut besarnya.

"Hinata....!!!" Naruto turun dari mobil mengejar Hinata, tapi sebuah taxi melintas, Hinata melambaikan tangan lalu dengan cepat masuk ke taxi itu.

Naruto kembali ke dalam mobil sederhananya, memutar kunci mobilnya, dan bergegas mengejar taxi yang ditumpangi oleh Hinata. Mencoba untuk menelepon Hinata itu adalah hal yang sia-sia ia sangat yakin wanita itu tak akan mau menerima telepon darinya.

...

Naruto menghela nafas lega, mendapati taxi itu masuk ke dalam gerbang Tokyo Hospital. Ia memarkirkan asal mobil sederhananya lalu mengejar taxi yang menuju loby rumah sakit itu.

Tepat saat taxi itu berhenti di pintu utama rumah sakit, Naruto membuka pintu taxi itu, mendapati Hinata sedang meringis memeluk perut besarnya. Ia merogoh saku celananya dan menyerahkan beberapa lembar Yen pada supir taxi itu, dan dengan cepat mengangkat tubuh Hinata, wanita hamil itu beberapa kali memberontak saat Naruto mengangkat tubuhnya, namun tak banyak pergerakan yang bisa ia lakukan, Hinata takut terjadi hal buruk pada bayinya jika ia banyak bergerak.

...

Naruto menggendong Hinata di sepanjang koridor, beberapa kali ia mencoba mencuri pandang, namun Hinata mengalihkan iris lylacnya saat beradu beradu dengan safir. Wanita itu seolah benar-benar tak Sudi menatapnya lagi.

Seberapa banyak lagi hukuman yang aku harus terima agar dapat menatap kembali senyummu...

Seberapa banyak lagi yang aku harus lakukan hanya untuk mendapatkan kembali cintamu...

Aku terus mengemis padamu lihatlah aku sekali saja....

Aku ingin menerima cintamu, sayang, sekali saja lihatlah aku...

...

"Air ketubannya sudah cukup tebal, benturannya tidak terlalu membahayakan bayi kalian, hanya saja otot perut Hinata cukup tegang hingga sedikit memar karena benturan yang begitu cepat..." Orochimaru menuliskan resep, sedang Naruto membantu Hinata turun dari ranjang pemeriksaan, ia harus menerima bantuan dari Naruto, tak ada siapapun di sana mau tak mau ia harus mau dibantu oleh sang suami.

Orochimaru tersenyum tipis saat melihat kartu pemeriksaan Hinata yang telah diganti dengan kartu baru dan nama marga baru Hinata tersemat disana. "Selamat atas pernikahan kalian." Ujar sang dokter seraya menyodorkan kertas resep. "Vitamin bulananmu pasti sudah habis, sudah ku buatkan resep barunya."

...

Iris biru Naruto membulat melihat selembar tagihan di tangannya, kertas itu menampakkan harga yang harus ia bayar untuk pemeriksaan dan vitamin Hinata. Ia meneguk ludah kasar, satu kali pemeriksaan Hinata dengan dokter sekelas Orochimaru menghabiskan dua puluh persen dari hasil penjualan motornya pada Yahiko.

Ini bukan menjadi hal besar bila ia masih menerima aliran dana dari keluarga Uzumaki seperti dulu. Tentu ia bisa menggunakan fasilitas berobat gratis yang disediakan pemerintah Jepang untuk semua rakyat, tapi tentu tak akan sebaik pemeriksaan dengan Orochimaru tentunya, mengingat Orochimaru adalah dokter kandungan grade A yang tak perlu terikat kerjasama dengan program kerja pemerintah yang membayarnya murah untuk melayani warga biasa. Sasaran pasien Orochimaru adalah warga kelas menengah atas.

"Selama ini keluarga Hyuuga yang memberikan perawatan terbaik untuk Hinata dan anak-anakku, mereka bukan keluarga kaya. Mereka pasti mengorbankan banyak tabungan merek..." Rasa sesal kembali menyesakkan hatinya, betapa keluarga Hyuuga sangat menyayangi Hinata, dan bertanggung jawab atas darah dagingnya yang ia tolak.

"Namikaze-sama, bagaimana?" Seorang petugas rumah sakit menyadarkan lamunannya.

"Ah iya maaf..." Naruto menyerahkan tagihan itu, lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan kartu debitnya dan menyerahkan pada petugas itu.

...

Naruto menghela nafas lega saat mendapati Neji duduk di ruang tunggu menemani Hinata yang tengah memakan roti disana.

"Bagaimana keadaan mereka?" Neji berdiri saat mendapati Naruto berdiri di sisinya.

"Maaf karena kebodohanku, Hinata dan bayi kami hampir celaka." Naruto menunduk menyesal.

"Katakan saja kau ingin membunuh kami, agar bisa melepaskan beban mu, kenapa tidak kau ceraikan saja aku?!" Ucap Hinata sinis tanpa menatap Naruto.

"Hinata, jaga bicaramu pada suamimu." Neji setengah membentak. "Aku tahu kau tak sengaja." Neji menepuk bahu Naruto. "Kau bilang di telepon tadi kau harus bekerja, biar aku Hinata pulang kerumah keluarga Hyuuga bersamaku, kau bisa menjemputnya saat pulang nanti."

...

"Kau tak usah kuliah dulu hari ini..." Naruto mengusap lembut pucuk kepala Hinata. Namun dengan cepat sang istri menepisnya.

Hinata berlalu dari hadapan Naruto tanpa sepatah katapun, lalu masuk ke dalam mini van Neji. "Nii-san, ayo pulang..." Ujarnya pada Neji yang masih berdiri di luar bersama Naruto.

"Ku harap persediaan kesabaranmu masih banyak." Neji menepuk bahu adik iparnya itu. Lalu masuk ke dalam mini van nya.

...

Naruto memarkirkan mobil sederhananya di area parkir khusus karyawan. Ia bergegas cepat menuju ruang berganti pakaian, sudah lima belas menit ia terlambat dari waktu yang ia janjikan pada Hidan untuk kembali.

"Kau hampir saja terlambat, rapat sebentar lagi dimulai, buatlah kopi bersama yang lain di pantri." Sambut Hidan ketika Naruto baru saja keluar dari ruang ganti dengan seragam office boy nya.

Naruto mengangguk semangat mengikuti Hidan.

...

Siang harinya, Naruto mendapat tugas mengangkut alat tulis kantor yang baru saja dibeli oleh bagian general affair. Cukup banyak, ada sekitar dua puluh kardus ATK yang harus ia angkut menggunakan troli dari lantai satu ke lantai tiga belas, lalu mengangkatnya satu persatu dari troli ke dalam gudang.

"Kau cukup tampan, dan terlihat bersih, bagaimana kau bisa menjadi seorang kacung seperti ini?"

Naruto menoleh sambil mengangkat satu kardus besar, meletakkannya di rak besi di dalam gudang luas kantor itu. Ia tersenyum tipis setelah meletakkan kardus itu, menyusul rekan barunya yang bernama Jugo itu berjalan keluar dari gudang "Aku hanya memiliki ijazah SMA, dan harus menghidupi istri dan calon anakku..."

"Apa!!!!" Pria bertubuh besar dan tinggi itu menghentikan langkahnya karena tidak percaya dengan jawaban Naruto. "Kau masih begitu muda, tapi sudah menikah dan akan memiliki anak?"

Naruto tersenyum sembari menunduk, ia mengusap tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

"Ahhh aku tahu, pernikahan akibat kecelakaan, ya?" Tebaknya saat melihat gelagat canggung Naruto. "kau membuatnya hamil, lalu kalian menikah."

"Benar... Aku menghamilinya sebelum menikah..." Naruto menerawang mengingat bagaimana jahatnya ia saat itu. "Tapi pernikahan kami bukan sebuah kecelakaan, aku mencintainya."

"Kau pasti membutuhkan banyak uang ya...?" Tanya Jugo prihatin.

Naruto tersenyum tipis lalu mengangguk.

"Kau mau ku ajak bekerja sampingan di hari libur?"

...

Hinata masuk lebih dahulu, ketika suaminya membuka pintu kediaman mereka. Ia langsung bergegas masuk ke dalam kamar tanpa mempedulikan sang suami yang baru saja memeras keringatnya demi bisa membayar biaya pemeriksaan kandungannya bulan depan.

Naruto tersenyum kecut, ia membiarkan Hinata untuk mandi dan membersihkan dirinya. Ia pun menuju kamar mandi yang terletak diluar kamar, untuk membersihkan dirinya. Setidaknya malam ini ia tak perlu menyiapkan makan malam, mereka sudah dijamu oleh keluarga Hyuuga beberapa jam yang lalu.

"Apa aku mengganggu....?" Naruto masih terus berusaha ia masuk ke dalam kamar, dan mencoba untuk menarik simpati Hinata.

"Kau tentu tahu jawabannya...." Jawab Hinata acuh.

"Hmmm..." Naruto menarik nafas berat. "Hinata..." Tak mau berhenti berusaha, Naruto tetap masuk ke dalam kamar, ia duduk di sisi ranjang, mendekat pada Hinata yang duduk bersandar pada kepala ranjang. "Apa masih terasa sakit...?" Tangannya menempel pada perut besar Hinata lalu mengusapnya lembut.

"Tak perlu basa-basi, bukankah niatmu untuk melenyapkan mereka... Oh aku lupa, mungkin kau hanya ingin melenyapkan aku, dan mengambil bayi-bayi ini lalu menikah dengan gadis merah jambu itu." Jawab Hinata ketus.

Naruto menarik nafas dalam, Hinata terus menerus memancing emosinya, tapi ia berusaha keras untuk mengendalikannya. "Jangan terlalu sering marah, tak baik untuk  si kembar..." Naruto kembali mengusap kandungan istrinya.

"Khe..." Hinata kembali mengacuhkannya.

"Ngomong-ngomong pekan depan kita pergi untuk USG empat dimensi ya..., Aku ingin melihat seperti apa wajah mereka, mirip diriku atau dirimu..." Tangan Naruto tak lepas dari permukaan perut bulat itu, ia mengusapnya dengan sangat lembut, lalu tendangan lembut dari dalam menyambutnya.

"Cih.. tak perlu repot-repot Namikaze-sama... Kau bisa menariknya keluar untuk melihat wajah mereka, bukankah kau pernah ingin melakukannya?" Tantang Hinata ketus sembari membuang muka, melihat perilaku Naruto yang begitu hangat pada kedua janinnya hanya membuka kembali luka lamanya. Ia tak akan pernah melupakan bagaimana Naruto menyeretnya ke ruang operasi untuk meluruhkan buah hatinya.

"Hinata sebegitu bencikahnya dirimu padaku?"

"Ibu mana yang bisa berlemah lembut pada orang yang berniat membunuh anaknya? Menyerahlah Namikaze-sama, jangan membuang waktu dan tenagamu, semua yang kau lakukan tak ada artinya di mataku."

"Aku tak akan pernah menyerah Hime... Karena aku tahu butuh waktu untuk menyembuhkan luka yang teramat dalam, dan hanya si pemberi luka sendiri sendirilah yang dapat mengobatinya."

...

"Rumah Produksi?" Naruto menatap tak percaya ke tempat macam apa Jugo mengajaknya, ia rela ikut dengan Jugo di jam istirahat makan siang demi mendapatkan pekerjaan sampingan yang bisa dilakukan di hari libur.

Jugo mengangguk yakin, "aku tahu kau punya badan yang sempurna dan wajah yang tampan, tapi aku bukan akan mengorbitkanmu sebagai artis. Kau akan dibayar murah di awal karirmu untuk itu. Kecuali kau membuat skandal dengan artis sekelas Miyabi."

"Lalu pekerjaan apa yang ada di tempat ini, yang bisa membayarku dengan mahal? Jangan bilang kau akan mengajakku menjual diri kepada para wanita paruh baya kesepian?" Naruto memeluk bagian depan tubuhnya ketakutan.

"Otakmu benar-benar sudah tidak waras!!! Kau tahu stuntman? Kau bisa dibayar setara bintang film utama, yah walaupun wajahmu tak terlihat."

Naruto diam sejenak, ia tahu pekerjaan stuntman adalah pemeran pengganti untuk adegan berbahaya yang enggan dilakukan oleh bintang utama. Nyawa yang menjadi taruhannya untuk pekerjaan ini. Namun ia ingat dua hari lalu ia menemukan brosur kelas senam hamil di meja ruang tamunya.

Ia tahu Hinata sangat ingin mengikuti kelas itu, namun biayanya tidaklah murah, Naruto harus bekerja lebih keras lagi, belum lagi biaya kelahiran si kembar yang dipastikan harus lahir secara Caesar, mengingat kasus sungsang salah satu bayi sangat banyak terjadi pada kelahiran kembar. Naruto ingin Hinata mendapatkan yang terbaik di saat ia melahirkan nanti, Naruto tak ingin mempertaruhkan keselamatan istri dan anaknya dengan alasan menghemat biaya. Biarlah keselamatan dirinya yang ia pertaruhkan.

"Aku rasa tak ada salahnya mencoba."

...

"Kau mendapat kabar tentangnya?"
Mito duduk dengan angkuh di ruang kerjanya, ia sedang berbicara pada Nagato di hadapannya.

"Belum Mito Ba-san sepertinya Kakashi juga mengintai segala gerak-gerik kita. Aku tak menemukan apapun saat mengintai apartement Naruto."

"Khe... Anak itu... Kita lihat berapa lama dia bertahan hidup di luaran tanpa fasilitas dan tekanan hidup yang harus dia hadapi."

"Dia pejuang keras seperti Minato."

"Apa dia masih bisa berjuang, jika alasannya bertahan kita renggut paksa?"

"Maksud anda, Mito Ba-san?"

"Ku dengar anakmu mengambil kuliah di jurusan ke dokteran di Jerman." Mito mengalihkan arah pembicaraan yang membuat Nagato semakin bingung.

"Ah Karin, tiga bulan lagi ia akan pulang, untuk melakukan uji coba penelitiannya. Ia akan mengujinya pada sapi ternak betina perah yang kesulitan melahirkan anaknya." Ia menjawab basa-basi agar bibi sekaligus atasannya itu merasa dihargai.

"Bukankah obat temuan puterimu akan digunakan oleh manusia, kenapa tidak diuji pada manusia saja?"

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top