40. Pupus

Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Hei jagoan....!!!"

Naruto tersenyum kecut ketika membuka pintu apartement-nya, Kakashi duduk di sofa menyambutnya dengan senyuman lebar. Namun hal itu semakin memperburuk suasana hatinya.

"Bagaimana?" Pria paruh baya beruban itu berdiri mendekat padanya lalu merangkulnya.

"Aku gagal paman...," suara itu terdengar lirih, membuat Kakashi melepaskan rangkulannya, lalu mengerutkan dahinya seraya beradu pandang dengan sang pemilik safir biru. "Semudah itu kau putus asa hmmm...?" Kakashi meninggalkan Naruto sejenak untuk menutup pintu apartement, ia menarik anak asuhnya itu duduk di sofa. "Kau tak pernah menyerah untuk mendapatkan apapun yang kau inginkan, sekalipun itu bukan milikmu."

Naruto tersenyum tipis lalu menunduk, ia paham maksud Kakashi, tentang perjuangannya mengejar Sakura kendati gadis itu telah memilih sahabatnya. "Haruskah aku kembali mengejar yang bukan milikku?"

Kakashi bungkam, ucapan Naruto menjadi tanda tanya besar baginya.

"Hinata telah menerima Toneri." Suara baritone itu bergetar. Raut wajahnya dipenuhi kesedihan.

Kakashi tersenyum tipis, ia menepuk pelan bahu tegap Naruto. Anak asuhnya itu berada di titik terendahnya kembali, sama seperti saat kematian orang tuanya dulu. Ia benar-benar mencintai Hinata, Kakashi menangkap dari safir biru yang meredup itu, bahkan saat menceritakan bagaimana Sasuke dan Sakura menjadi sepasang kekasih, ia bahkan tak serapuh itu. "Ini pelajaran untukmu Naruto."

Suara Kakashi menggema di telinganya dan membuat kepala pirang cepak itu terangkat. Safirnya menatap sendu pada onix hitam Kakashi.

"Bahkan setelah dendammu terbalas, hanya kekosongan yang menjadi buahnya."

Naruto tersenyum kecut, ia kembali menunduk. "Balasan terbaik untuk bajingan sepertiku."

...

"Kau merasa lebih baik?" Tenten tersenyum lembut seraya mengusap perut bulat Hinata.

Pemilik surai indigo sebatas pinggang itu tersenyum lembut, hampir satu pekan ia dirawat, dan keadaannya sudah lebih membaik sekarang. "Terimakasih Tenten-nee..."

"Hari ini kita akan kembali ke rumah..." Tenten beranjak dari samping ranjang Hinata menuju lemari geser di dekat ranjang, ia mulai mengemasi pakaian adik iparnya itu.

"Neji-nii sudah siap?" Hinata mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan memastikan keberadaan kakak sulungnya itu.

"Neji sedang berada di kantin, mengurus beberapa persiapan perpanjangan kontrak di kampus, hari ini yang akan menjemput kita-"

"Ohayou gozaimasu..." Belum selesai Tenten mengucapkan kalimatnya, pintu kamar rawat itu terbuka, bersamaan dengan berdirinya Toneri di ambang pintu.

Hinata tersenyum kecut, seperti yang terjadi beberapa hari ini. Neji tengah gencar-gencarnya mendekatkan Toneri pada dirinya, setelah ia menyampaikan keputusannya untuk menerima Toneri. Ya, mulai sekarang Hinata sedang berusaha terbiasa dengan kehadiran Toneri di dalam hidupnya, tak lama lagi pria itu akan menjadi suaminya.

"Ah..., Aku baru saja ingin memberi tahu Hinata, kau yang akan menjemput kami..." Tenten menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

Toneri tersenyum bahagia seraya melangkah masuk, ia membawa satu bucket lili kecil, lalu menyerahkannya pada Hinata.

"Terimakasih..." Hinata berujar sopan menerima rangkaian bunga itu, bersamaan dengan Toneri yang duduk di hadapannya, ia sedang duduk di tepian ranjang, sementara Toneri duduk di kursi besi di sisi ranjang, jarak yang begitu dekat diantara mereka membuat Hinata merasa risih.

"Bagaimana keadaan mereka?"

Hinata tersentak tidak suka, tangan lancang Toneri tiba-tiba mengelus perut buncitnya. Bukan hanya dia, bahkan bayi di dalam kandungannya sontak menggeliat kuat dan membuat permukaan perutnya mengencang. "Ssshhhh..."

Desisan kesakitan Hinata, sontak membuat Toneri menjauhkan tangannya dari perut Hinata. "Ada apa?"

"Mereka bergerak sangat kasar..." Ucap Hinata lirih sambil mengelus perut besarnya, bayinya seolah melakukan penolakan atas sentuhan Toneri. Tak lama setelah elusan yang ia edarkan gerakan bayinya melembut. Hinata tersenyum simpul, ia tahu tak sembarangan orang dapat menyentuh bayinya.

"Kau ingin acara yang seperti apa?"

Hinata sontak mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan Toneri. "Bukankah masih punya banyak waktu?" Tanya Hinata pelan, ia tak mengerti ada rasa yang mengganjal di dalam hatinya, dirinya seolah enggan menerima Toneri sebagai suaminya tapi ia pun tak sudi jika posisi itu diisi oleh Naruto.

"Semakin cepat semakin baik..." Toneri mengusap lembut sekilas pucuk kepala Hinata, iris rembulan Hinata dapat melihat ketulusan di mata biru muda itu, tapi entah mengapa hatinya masih enggan terbuka untuk Toneri.

"Setidaknya tunggulah sampai mereka lahir...." Hinata menunduk memeluk lembut perut buncitnya.

Tangan Toneri merengkuh dagu lancip Hinata, memintanya mendongak pelan. Iris biru muda itu bertemu dengan mutiara lembut keunguan milik Hinata. "Aku ingin memilkimu segera..."

Cup

Hinata terperanjat bukan main, Toneri mencuri kecupan pada keningnya yang tertutupi poni rata. "Tak cukupkah bukti yang ku berikan padamu...?"

Hinata diam terpaku, ucapan Tenten kembali melayang di memory nya, 'pernikahan bukan hanya soal cinta' ia tersenyum kecut, mungkin sudah saatnya ia membuka lembaran baru. Tanpa Naruto. "Bagaimana orang tua mu...?" Hinata tersenyum tipis mengimbangi sikap lembut Toneri.

Toneri tersenyum sekilas, menggapai telapak tangan Hinata, mengangkatnya lalu mengecupnya lembut. "Mereka menyukaimu sejak dulu... Tak akan pernah berubah..."

"Tapi keadaanku..." Hinata kembali menunduk, menatap kandungannya, ia sadar diri. Toneri bukanlah ayah dari bayinya, dan dia bersedia bertanggung jawab atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan, apa keluarga Ootsutsuki akan menerimanya begitu saja.

"Tak akan pernah ada yang berubah tentang perasaanku padamu..."

Hinata tersenyum tipis, ingatannya melayang, mengingat bagaimana Naruto begitu mendamba, dan mencintai Sakura. Tak jauh beda dengan apa yang terjadi pada Toneri, batin Hinata tercubit, kenyataan menyadarkannya, 'Bukankah lebih baik dicintai dari pada mencintai, aku mengerti rasanya mencintai, hanya ada rasa sakit... Setidaknya dengan dicintai, aku tak perlu merasakan sakitnya diabaikan...'

Senyum kecut itu terukir, ketika dari balik celah kecil pintu yang tak tertutup rapat, safir birunya merekam tiap kejadian terjadi antara wanita yang telah ia hancurkan masa depannya itu. Tanpa sadar setetes air mata merembes dari kelopak mata sewarna madu itu, bayang-bayang penolakan atas bayi di dalam kandungan Hinata menari bebas di ingatannya. Ia berbalik, melebarkan senyuman kecutnya, "kau pantas mendapatkan ini Naruto."

"Maaf...."

Suara lirih itu mengalihkan Naruto dari kesedihannya, ia menoleh ke asal suara di sisi kirinya. Sakura, gadis bersurai permen kapas itu berada di koridor rumah sakit.

"Sakura-chan...." Naruto terperanjat, melihat wanita yang dulu ia nisbatkan sebagai satu-satunya yang ia cintai, berada di tempat ini.

"Aku bersama supir..." Sakura menjawab lirih, dengan senyuman tipis, "harusnya sejak dulu aku meminta ini pada Papa, agar ketika Sasuke-kun tak berada di sisiku, aku tak merepotkan mu...."

Naruto tersenyum tipis, melihat raut penuh sedih yang terpancar dari giok hijau miliki Sakura, membuatnya refleks menapaki kakinya pada gadis yang duduk di kursi roda demi menyelamatkan dirinya.

"Kau tak salah apapun..." Ia mengambil posisi berlutut di hadapan kursi roda, menggenggam tangan putih gadis itu guna menahan tangis yang hampir tumpah dari iris gioknya.

"Kakashi Ji-san sudah memberi tahu semuanya, Hinata akan menikah dengan Toneri, hiks...." Isakan halus mulai keluar dari bibir Sakura.

"Sssstttt....." Naruto refleks ia menarik tangan Sakura, merangkul bahu kecil gadis musim semi itu, lalu memeluknya. Hanya pelukan peduli seorang sahabat. "Ini bukan salahmu....," Tangan sewarna madunya mengelus lembut bahu bergetar Sakura.

"Aku selalu dilindungi, menjadi beban untukmu, ini menyebalkan....." Ia memukul-mukul kecil dada bidang Naruto, berusaha melerai pelukan, namun Naruto makin erat memeluknya, Sakura bisa menyakiti dirinya sendiri bila merasa bersalah.

"Sssssttttt, dengarkan aku... Kau tak salah apapun Sakura-chan.... Akulah yang salah, begitu brengsek dan pengecut....." Naruto mengeratkan pelukannya, ia tak menyadari bahwa sepasang mutiara lylac tengah menatap dalam pelukannya bersama sahabat musim seninya itu.

...

"Tak ada yang berubah di antara mereka."

Hinata tersenyum kecut mendengar penuturan Toneri, ia menoleh pada pria bersurai perak di sampingnya itu, mengalihkan pandangannya dari adegan berpelukan di hadapannya. "Cinta pertama sulit dilupakan, bukan?"

Toneri mengangguk, ia mengambil kesempatan untuk memparah kesalah pahaman antara Naruto dan Hinata. "Seperti perasaanku padamu..."

Hinata kembali tersenyum remeh, seperti Naruto yang selalu mencintai Sakura, tak jauh berbeda dengan perasaan Toneri yang sampai saat ini masih terjaga untuknya. Lalu bagaimana dengan perasaannya pada Naruto, bukankah Naruto cinta pertamanya.

"Hinata, barang-barangmu sudah siap." Suara Tenten menyadarkan Hinata dari lamunannya, dan Naruto masih memeluk erat gadis musim seminya. Hinata membuang pandangannya, berbalik mengambil arah yang berbeda. 'Bukankah aku sudah mengambil keputusan untuk tidak menoleh lagi....' Ia mengelus lembut perut bulatnya, 'kita akan baik-baik saja tanpa dia, ne, Aka-chan....?'

...

"Tamaki!!!" Gadis bersurai cokelat itu menoleh ketika namanya dipanggil, alisnya menukik saat pandangannya menangkap asal suara, seseorang yang ia rasa tak akan mungkin mengetahui namanya.

"Namikaze-sama..." Kendati ia sangat benci pada pria yang telah merusak masa depan sahabatnya ini, namun ia masih ingin berkuliah dengan beasiswa di Tokyo University, Tamaki masih membungkuk sopan di hadapan pria pirang ini.

"Hinata tidak kelihatan beberapa hari ini?"

Dahi Tamaki berkerut, mendengar pertanyaan Naruto membuatnya seketika ingin muntah. Pria itu selama ini tak pernah mempedulikan Hinata dan bayinya, dan hari ini tiba-tiba ia menanyakan keberadaan Hinata.

"Hinata mengambil cuti kuliah." Jawab Tamaki datar.

Sejak hari dimana Hinata dilarikan ke rumah sakit akibat pertengkarannya dengan Toneri, selama itulah ia tak tak mendapati wanita itu di kampus. 'Apa keadaan Hinata tak membaik?'

Tamaki tersenyum remeh melihat raut wajah gusar Naruto, ia baru ingat beberapa hari lalu Hinata meneleponnya dan mengabarinya bahwa ia menerima lamaran Toneri. "Mungkin Hinata sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Toneri." Ucap Tamaki sengaja. Ia begitu puas melihat senyuman putus asa terukir di bibir merah nan kecokelatan milik Naruto.

...

"Mau apa kau?"

Ucapan ketus menjadi salam penyambutannya ketika pintu geser itu terbuka. Kepala kuningnya tertunduk seraya tersenyum tipis, cukup nekat memang, sore itu ia menyambangi kediaman Hyuuga, untuk bertemu dengan Hinata, ia sadar bahwa penolakan akan ia terima kali ini, tapi biarlah ia mencoba untuk yang terakhir kalinya, atau setidaknya ia Hinata harus mengetahui bahwa kini ia benar-benar mencintainya.

"Boleh aku bertemu Hinata?" Suaranya terdengar mengiba, tapi senyum sinis Neji menjadi jawabannya.

"Kau tahu jawabannya, jikapun aku mengizinkan kau masuk. Belum tentu dia mau menemuimu."

Naruto mengangkat kepalanya,"setidaknya beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku."

"Biarkan dia masuk Neji." Suara Hiashi menyela, pria paruh baya bertongkat itu berjalan ke arah pintu. "Biarkan dia menemui Hinata."

"Tapi Hinata akan menikah dengan Toneri-"

"Biarkan dia Neji." Suara Hiashi seolah tak terbantahkan. Ia menarik nafasnya berat. "Setidaknya Naruto pernah benar-benar menginginkan Hinata, sebelum kau menjadi penyebab kelumpuhan gadis itu."

Ucapan bijak Hiashi mampu menohok ego Neji, pria bersurai panjang itu mundur beberapa langkah memberikan jalan untuk Naruto.

...

"Hinata...."

Kepala indigo itu terangkat, Hinata sedang berkutat dengan ponsel pintarnya, Toneri mengirimkannya beberapa refrensi kuil yang akan menjadi tempat pemurnian pernikahan mereka. "Ya..., Tou-sama..." Jawab Hinata sopan.

"Ada yang menemuimu, di rouka samping..."

Alis Hinata menukik mendengar penuturan sang ayah. "Siapa...?" Tanyanya lembut.

"Temuilah dulu...."

...

Srakkk

Kepala kuningnya tertoleh bersamaan dengan pintu geser yang terbuka, ia buru-buru bangkit dari duduknya, saat sesosok wanita hamil berdiri di ambang pintu geser itu.

Hinata memalingkan wajahnya ketika mutiara lavendernya tak sengaja beradu dengan safir biru itu.  "Aku tak mau bicara." Hinata b
Membalikkan badannya, namun tiba-tiba... "Ssshhhh..." Ia mendesis kesakitan, cukup kencang, akibat pergerakan janin di dalam kandungannya yang tiba-tiba kasar. Si kembar sepertinya ingin lebih lama bersama ayah mereka.

"Apa yang sakit....?" Naruto refleks mendekat, menempelkan telapak tangannya ke atas permukaan perut bulat itu, dan mengelusnya lembut dengan gerakan memutar.

Hinata menarik nafas teratur, seketika bayi kembar di dalam kandungan bergerak lembut. Ia tersenyum lembut, sekeras apapun ia menyangkal, kenyataan bahwa ikatan darah terjalin kuat antara Naruto dan si kembar tak dapat ia rubah.

"Cepat, katakan yang ingin kau katakan, lalu pergilah." Ucap Hinata ketus, menimbulkan senyum kecut di bibir Naruto, Hinata berbicara kasar padanya, dan itu sedikit melukai benaknya, namun luka itu tak akan sebanding dengan luka yang ia torehkan pada Hinata.

"Duduk dulu, biar ku bantu...." Naruto dengan lembut memapah Hinata, lalu membantunya duduk di tepian rouka, dengan perut sebesar itu, Hinata sangat sulit untuk duduk tanpa kursi, tanpa sadar Naruto mengerti hal itu, nalurinya sebagai seorang ayah mulai bekerja.

...

"Apa kabar?" Ia memecah sunyi di antara mereka berdua, hampir lima belas menit mereka tak saling bicara.

"Seperti yang kau lihat." Ucapan ketus kembali mengalir dari bibir mungil Hinata.

"Kau banyak berubah..." Simpul Naruto, ia mencuri pandang pada wajah cantik Hinata, namun wanita hamil itu hanya memandang lurus ke depan, seolah keberadaan Naruto di sampingnya hanya angin lalu.

"Kau yang mengajarkan aku untuk berubah." Balas Hinata kembali ketus.

Naruto tersenyum tipis, ia menunduk, tak salah jika Hinata begitu membencinya, begitu banyak luka dan penghinaan yang ia tujukan pada Hinata. Ia juga seharusnya cukup tahu diri untuk meminta kesempatan pada Hinata.

"Jadi.... Kau akan menikah ya...?" Tanya Naruto basa-basi.

"Kau sudah tahu, untuk apa bertanya." Kembali ucapan ketus itu melukai batin Naruto.

"Apa aku boleh datang di hari pernikahanmu....?"

"Tak ada yang melarangmu," tak sedetik pun Hinata berniat menatap mata lawan bicaranya, tatapannya masih setia tertuju ke depan.

"Hinata... Maaf..."

"Untuk kesalahan yang mana? Aku bahkan tak bisa mengingat, saking banyaknya." Masih dengan nada dingin dan tatapan tertuju ke depan, Hinata menjawab ucapan maaf tulus dari Naruto.

"Kau pandai bersilat lidah sekarang, ya?" Naruto menghela nafas berat, sejauh ini perilaku Hinata berubah akibat kejahatannya.

"Kau yang mengajariku...."

"Hime..." Bibir Naruto tak kuasa lagi, ia begitu rindu memanggil Hinata dengan panggilan kesayangan yang selalu ia sematkan dulu.

Hinata tersenyum remeh. "Kau hanya menginginkan mereka," Hinata mengelus lembut perut buncitnya. "Setelah semua yang terjadi padamu."

"Aku mencintaimu Hinata...."

Hinata menoleh, ekspresinya begitu dingin ketika mutiara lavendernya beradu dengan safir biru Naruto. "Cinta pertama sangat sulit untuk dilupakan, jangan menipu dirimu sendiri."

"Aku adalah cinta pertamamu." Ucap Naruto percaya diri. Mendapati Hinata bersedia menatapnya keberaniannya memuncak, namun tak lama. Hinata memutus terlebih dahulu kontak mata mereka.

"Dan aku adalah cinta pertama Toneri. Bukankah menyenangkan dicintai oleh cinta pertama. Aku ingin merasakan yang Sakura rasakan."

Naruto tersenyum tipis. "Kau bahagia dengan keputusanmu?"

"Sangat." Dusta Hinata, sejujurnya ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya yang tak dapat ia ungkapkan.

"Kalau begitu, aku akan berbahagia atas kebahagiaanmu, bukankah cinta seharusnya seperti itu. Puncak tertinggi dari mencintai, adalah berbahagia melihat yang ia cintai berbahagia, walau tak bersamanya. Aku mencintaimu Hinata, aku hanya ingin kau mengetahuinya.... Maaf terlambat menyadarinya.... Tapi aku mencintaimu, dan melihat kebahagiaanmu tanpa diriku, adalah bukti bahwa aku benar-benar mencintaimu...."

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top