39. Buka Hatimu
Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
"Siapapun tolong bayiku....!!!" Suara pilu setengah menangis itu menggema, Hinata benar-benar ketakutan melihat telapak tangannya yang dibasahi darah bersamaan dengan bagian bawah dress hamilnya yang dibasahi oleh cairan merah segar.
Bogem mentah itu urung dilayangkan, Naruto menolehkan kepala kuningnya ke belakang, Hinata jatuh setengah terduduk, dan hampir terlentang akibat sentakannya. Iris birunya seketika membulat ketika darah segar mengalir dari pangkal paha wanita hamil itu.
"Hinata....!!!" Ia bangkit dan berusaha mendekat pada wanita yang sedang mengandung benihnya itu.
Sementara itu, Hinata hanya mampu mengatupkan matanya erat, tangannya mengusap kasar permukaan perutnya yang membesar itu, guna mengurangi rasa nyeri dan keram yang menyerang bersamaan. Namun gagal, sakit itu semakin menyiksanya, tubuhnya kian lemas, hampir saja kepalanya ia geletakkan di lantai, karena tak kuasa menahan rasa sakit. 'Tidak Kami-sama... Jangan biarkan hal buruk terjadi pada bayiku.....' Pintanya dalam hati.
Namun sebuah sanggahan empuk ia peroleh dari permukaan kulit Naruto, pria itu mempergunakan telapak tangannya untuk menopang kepala Hinata. Dengan perlahan ia mendudukkan Hinata, mimindahkan tangannya yang tadi berada di kepala Hinata ke punggung wanita hamil itu, menyanggah keseimbangan wanita itu, sementara tangannya yang lain ia selipkan pada lipatan bawah dengkul Hinata.
Hinata merasakan tubuhnya melayang, Naruto menggendong Hinata ala pengantin di hadapan seluruh mahasiswa kampus. Bisik-bisik mulai terdengar memperbincangkan mereka. Namun Naruto menutup telinganya, baginya yang terpenting saat ini adalah keselamatan pewaris terakhirnya yang bersemayam dalam rahim Hinata, dan Hinata sendirilah.
Di sisi lain, tak ingin berpangku tangan, Toneri akhirnya bangkit dalam keadaan babak belur akibat pukulan Naruto. Ia mengejar Naruto yang berlari menuju parkiran mobil.
...
"Pakai mobilku saja!" Toneri menyamakan langkah dengan Naruto sambil terengah.
"Bukan urusanmu!" Pandangan Naruto lurus ke depan, ia mempercepat langkahnya agar bisa dengan cepat di area parkir.
"Mustangmu tak memiliki tempat duduk yang nyaman di belakang, sekali ini saja, dengarkan aku. Pakai mobilku, dan aku yang akan mengemudi, kau menjaga Hinata di belakang."
Naruto menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang wajah Hinata yang pucat pasi, juga darah yang mengalir deras dari lubang rahim wanita hamil itu. Mau tidak mau, Naruto akhirnya mengangguk menerima tawaran Toneri.
...
Brankar itu didorong cepat, raut ketakutan tak dapat sirnah sedetikpun dari wajah Naruto, tangannya bergetar sambil mendorong brankar menuju ruang gawat darurat.
"Maaf tuan, anda tidak bisa masuk." Suara perawat menginterupsinya. Langkahnya terhenti sementara brankar yang membawa Hinata terus di dorong, dan masuk ke dalam ruang gawat darurat. Tanpa seizin Naruto ruangan itu ditutup, dan membuat darahnya semakin mendidih
"Aku ayah dari bayi yang dikandungnya!" Naruto berteriak di hadapan perawat itu.
"Maaf tuan, tapi pasien dalam keadaan kritis, tidak ada yang diperbolehkan masuk selain dokter." Ucap sang perawat ketakutan.
"Maaf, apa dokter Orochimaru ada?" Toneri menyela, perhatian perawat itu akhirnya berpaling pada Toneri.
"Dokter Orochimaru sedang melakukan operasi Caesar, kami akan melakukan penanganan pertama." Jawab perawat itu.
"Biarkan aku masuk, aku c.o asistant Dr. Orochimaru." Toneri menunjukkan name tag nya, dan dengan mudah di hadapan Naruto ia masuk ke dalam ruangan gawat darurat bersama si perawat.
Bugh!!!
"SIALAN!!!!" Naruto meninju dinding rumah sakit, wajahnya memerah dengan air mata di sudut mata birunya. Hatinya terasa tercabik, untuk kesekian kalinya ia menyakiti Hinata dan bayi mereka, dan yang lebih menyakitkan lagi, ia tak bisa berada di samping Hinata untuk menebus kesalahannya. Bahkan Toneri dengan terang-terangan kini mengambil posisinya untuk mendampingi Hinata dengan bertameng profesinya sebagai dokter.
Naruto menempelkan keningnya pada dinding rumah sakit, ia terisak pelan, bahunya bergetar hebat. Rasa bersalah itu kembali menggerogoti benaknya. "Hime... Maafkan aku..."
...
"Bagaimana keadaannya dan bayi kami?!"
Toneri tersenyum tipis ketika ia baru saja keluar dari ruangan gawat darurat dan ditodong oleh pertanyaan Naruto. "Belum puas kau menyakiti mereka, hm?" Ia balik bertanya dengan nada menyindir.
"Sial!" Naruto menarik kerah kemeja bergaris biru Toneri. "Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku!"
Toneri tersenyum kecut, lukanya baru saja diobati saat berada di ruang ICU tadi, ia tak mau menambahnya lagi. "Pendarahan di lapisan terluar rahim, seperti yang terjadi saat ia dirampok di stasiun."
Tangan Naruto merosot dari kemeja Toneri. Ucapan Toneri menohok batinnya mengingatkan betapa pecundangnya ia.
"Bayinya baik-baik saja. Ia butuh bed rest. Ini sudah kedua kalinya kandungan Hinata berada dalam bahaya, satu kali lagi ia terjatuh, tak ada yang bisa menjamin keselamatan ibu dan bayinya." Toneri merapikan kerah kemejanya dan melenggang pergi meninggalkan Naruto.
Tak lama kemudian pintu ruang ICU terbuka, bersamaan dengan brankar yang dibaringi oleh Hinata di keluar. Dengan cepat Naruto ikut mendorong brankar tersebut.
"Anda keluarganya?" Tanya salah satu perawat yang mendorong brankar.
Naruto mengangguk, matanya hanya terfokus pada wajah cantik Hinata yang memucat dalam lelapnya pengaruh obat bius. "Aku suaminya." Karangnya.
"Anda bisa memilih kamar di ruang administrasi." Sahut perawat itu.
"Super president suite." Jawab Naruto tanpa ragu, semua yang terbaik akan ia berikan untuk Hinata.
...
Naruto mengecup lembut kening Hinata yang tertutupi poni rata, ia tersenyum lembut. Batinnya menghangat, berada di dekat Hinata seperti ini selalu membuatnya nyaman, betapa bodohnya dirinya yang dulu mengabaikan cinta tulus dan kasih sayang yang Hinata persembahkan hanya untuknya.
Mendudukkan dirinya di kursi besi di sisi ranjang, Naruto lalu menggamit tangan Hinata yang tertancap selang infus, mengecupnya sekilas, lalu ia sedikit menunduk dan mengecup perut buncit Hinata. Gerakan halus ia dapatkan sebagai sambutan dari darah dagingnya di dalam rahim, tangannya lalu mengusap lembut buntalan perut di balik selimut itu, "terimakasih, sudah baik-baik saja... Tou-chan disini bersama kalian..."
Sementara itu dari balik jendela besar Toneri tersenyum tipis melihat interaksi intim yang Naruto ciptakan bersama Hinata. "Untuk malam ini akan ku biarkan kau menikmati kebersamaan bersamanya, kita lihat besok, apa Hinata sudi melihatmu setelah apa yang kau lakukan padanya."
...
"Seharusnya kau tak melarang kami untuk datang ke rumah sakit semalam." Neji menggurutu saat Toneri baru saja tiba di kediaman Hyuuga.
"Maafkan aku, Neji. Aku takut akan terjadi keributan. Hinata masih belum sadarkan diri semalam, lagi pula aku yakin Naruto akan menjaganya dengan baik."
Neji tersenyum remeh mendengar pujian dari Toneri untuk Naruto. Sementara Toneri tersenyum di dalam hati, sejujurnya ia memuji Naruto di hadapan Neji, dengan tujuan memancing Neji agar semakin tak menyukai Naruto.
"Kemana dia selama ini, kenapa baru sekarang peduli pada Hinata?"
Toneri tersenyum puas ia berhasil memupuk amarah di benak Neji. Tak lama pintu geser itupun terbuka bersamaan dengan Hiashi yang dipapah oleh Tenten.
"Kita pergi sekarang, aku khawatir dengan Hinata." Dan ucapan dari Hiashi menjadi pemercepat Toneri dan Neji untuk berangkat.
...
Kelopak mata putih itu berkedut pelan, lengkap dengan gerakan kecil jari tengah yang beradu dengan punggung tangan sewarna madu itu. Merasakan sentuhan kecil di punggung tangannya, kelopak mata kecokelatan itupun berkedut.
Kepala kuningnya terangkat, dengan safir birunya yang menatap lekat pada wajah putih itu. Tangannya dengan lancang menggapai pipi pualam itu dan membelainya pelan.
"Emhhh..." Lenguhan lolos dari bibir Hinata, menimbulkan senyuman geli di bibir Naruto, Hinata yang begitu polos saat terlelap membuat rindunya semakin meraja. Ia sedikit berdiri lalu menunduk, berusaha mengecup hidung Hinata. Namun safir beradu dengan mutiara, Naruto diam terpaku, niatnya urung dilaksanakan, Hinata memperoleh kesadarannya.
...
Hinata membuka kelopak mata putihnya, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati orang yang paling tak ingin ia lihat berada begitu dekat dengannya. Tatapan dingin yang ia pancarkan kendati ia baru saja memperoleh kesadarannya, membuat pemilik safir biru di hadapannya menjauh.
Pria itu kembali duduk di kursi di samping ranjang dengan raut wajah kikuk. Namun Hinata tak peduli tentang itu, bau obat yang begitu menusuk serta pemandangan yang tak lazim ditangkap oleh indera penglihatannya membuat memory nya berkerja mundur. Ingatannya kembali pada kejadian kemarin sore, Naruto dan Toneri berkelahi dan ia yang mencoba melerai malah tersentak oleh sikut Naruto hingga jatuh kebelakang dan mengalami pendarahan.
"Hinata!" Naruto berteriak gelagapan, ia dengan sigap menahan tubuh Hinata yang berniat bangkit dari ranjang. "Kau harus bed rest. Jangan terlalu banyak bergerak, itu bisa membahayakan bayi kita."
"Bayiku, hanya bayiku." Ia mengkoreksi pengakuan Naruto atas anak dalam rahimnya.
Naruto tersenyum kecut, lagi batinnya terasa dicubit saat Hinata hanya menyebut bayi dalam kandungannya hanya sebagai anaknya seorang. Bukankah dia memang pernah menolak anak itu sebagai darah dagingnya.
Hinata mengurungkan niatnya untuk bangkit dari tempat tidur, ia mengatur nafas, perutnya terasa sedikit keram, dan ucapan Naruto tentang keadaannya tadi membuatnya semakin khawatir dengan keadaan bayinya. Untuk mengurangi rasa stressnya ia mengedarkan pandangan pada seisi ruangan kamar rawat inap yang lebih menyerupai kamar hotel ini. Lampu-lampu kristal yang tergantung di langit-langit, dan desain kamar yang tidak seperti kamar rumah sakit, membuatnya berspekulasi bahwa kelas kamar ini jauh lebih tinggi dari kamar VVIP yang pernah disediakan Toneri untuknya beberapa bulan lalu.
"Aku mau pindah kamar."
Naruto yang berniat menuangkan air mineral di gelas untuk Hinata, terkejut, alisnya menukik, "apa yang salah dengan kamarnya?" Ia kembali menuangkan air dan berjalan mendekat pada Hinata, menyodorkan gelas itu, namun Hinata membuang muka.
Naruto kembali tersenyum kecut, ia meletakkan gelas itu di meja di dekat ranjang. Lalu duduk di kursi di samping ranjang dan menggenggam tangan Hinata lembut. "Memang apa yang salah dengan kamar ini, Hime..."
Tak ada sedikitpun niat Hinata untuk memandang balik tatapan penuh harap Naruto, pandangannya masih lurus ke depan seolah di ruangan itu tak ada siapapun. "Kami tidak mampu membayar kamar ini." Jawab Hinata dingin dengan nada bicara datar. Ia menarik tangannya dari genggaman Naruto, seolah tak Sudi walau hanya seujung kuku bagian dari tubuhnya disentuh oleh Naruto.
Naruto kembali tersenyum miris, "kau tak perlu memikirkan soal pembayaran."
"Itu masalahnya. Aku dan anak-anakku tak mau menerima sepeser uang pun darimu."
Jleb
Batin Naruto tertohok hebat akibat ucapan Hinata. "Tidak bisakah sekali saja kau menerima niat baikku, Hime...?" Ucapnya lirih, iris birunya masih mencuri secuil tatapan dari mutiara ungu Hinata, namun wanita yang pernah ia buang itu benar-benar enggan menatapnya seolah ia kotoran yang menjijikkan.
Senyuman remeh terukir di bibir Hinata. "Aku terlalu sering menerima niat baikmu, sampai aku keliru, bahwa ada rencana busuk di setiap niatmu..."
Naruto menundukkan kepala kuningnya, ucapan Hinata menyindir perbuatannya yang membawa Hinata ke rumah sakit saat wanita itu memberitahukan kehamilannya. Hinata dulu begitu mempercayainya, ia begitu yakin bahwa Naruto membawanya ke rumah sakit untuk memeriksakan bayi mereka, tapi apa yang ia lakukan ia telah memaksa Hinata masuk ke dalam ruang operasi untuk menjalani kuretase.
Suasana hening di ruangan itu terpecah saat pintu terbuka, keluarga Hyuuga datang bersama Toneri. Naruto menoleh, raut kekecewaan tampak jelas di wajahnya, kebersamaannya dengan Hinata akan kembali berjarak.
"Tou-sama..." Hinata berujar lirih, dan Hiashi langsung menghampiri lalu memeluk puterinya.
"Tenten sedang mengambil kursi roda, kita akan pindah ke kamar lain, Toneri sudah mengurus semuanya."
Ucapan angkuh Neji membuat Naruto jengah, ia berdiri dari kursinya. "Hinata tak akan kemanapun, dia tetap disini!"
Toneri tersenyum penuh kemenangan melihat adu mulut Naruto dan Neji. Posisinya semakin terlihat sebagai pahlawan di mata keluarga Hyuuga.
"Hinata bukan urusanmu." Jawab Neji dingin, tak lama Tenten datang bersama Hanabi dengan mendorong kursi roda kosong.
Neji menghampiri Hinata dan menggendongnya untuk memindahkan wanita hamil itu ke kursi roda, namun Naruto menahan pundak Neji, dan langkah Neji terhenti. "Sudah ku katakan, Hinata tak akan kemanapun."
"Kau tak punya hak apapun." Jawab Neji datar.
"Aku ayah dari bayi yang dikandungnya." Tukas Naruto lancang tanpa tahu malu.
Hinata memalingkan wajah, ia menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Neji. Ia muak mendengar Naruto yang mengulang-ulang pengakuan atas bayinya.
"Hinata dan bayinya masih dalam perwalian kami." Jawab Neji tenang, "kau sendiri yang menolaknya, bukan?"
Kalimat dari Neji mampu membuat Naruto tertunduk diam.
"Kami sudah memohon kepadamu malam itu untuk mengambil hak mu, kau sendirilah yang menolaknya."
Tak satu katapun keluar dari mulut Naruto sebagai jawaban, ia bungkam seribu bahasa. Bagaimana ia lupa dengan kecongkakannya malam itu, ia meminta Neji berlutut untuk memohon agar ia mau menikahi Hinata, bahkan wajah mengiba Hiashi pun ia sepelekan malam itu.
"Jangan pernah ganggu hidup Hinata lagi." Neji melenggang pergi melewati Naruto, langkahnya terhenti sejenak saat di ambang pintu. "Sebaiknya kau urus saja cinta pertamamu itu."
...
Hinata mengedarkan pandangannya pada kamar yang ia tempati sekarang. Fasilitas yang sama seperti dengan kamar yang Naruto pilihkan tadi, hanya saja desainnya jauh lebih sederhana.
"Maaf aku hanya bisa menyediakan kamar ini untukmu, tak semewah yang Naruto pilihkan memang..." Ujar Toneri seraya memasukkan beberapa helai pakaian dari tas berisi pakaian bersih Hinata yang dibawa oleh Hanabi, ia memang sengaja merendah untuk disanjung oleh Neji.
"Bicara apa kau ini, Toneri... Kamar VVIP ini sudah sangat luar biasa, lagi pula kami tidak Sudi menerima sepeserpun dari bajingan itu." Sahut Neji seraya merapikan selimut Hinata, ia baru saja membaringkan adik kesayangannya itu di ranjang pasien.
Toneri tersenyum penuh kemenangan mendengar makian Neji untuk Naruto, rencananya berhasil. Penilaian Naruto di mata keluarga Hyuuga semakin hancur, sementara citra dirinya semakin terangkat.
"Bisa kalian berhenti menyebut namanya..." Hinata berbaring menyamping membelakangi Toneri dan Neji yang selalu membahas Naruto, ia menghadap pada Hiashi yang menyambutnya dengan belaian pada poni ratanya.
"Hinata, ini tak bisa dibiarkan." Neji sama sekali tidak mengindahkan permintaan Hinata, pembahasan tentang Naruto vs Toneri kembali ia lanjutkan. "Berapa kali dia mencoba mencelakakan kau bayimu."
"Kali ini nak Naruto melakukannya dengan tidak sengaja." Potong Hiashi, jika boleh jujur ia tidak tega melihat beberapa kali puteranya memojokkan Naruto, terlepas dari penolakannya tempo hari, sebagai seorang ayah Hiashi mengerti rasanya bagaimana dijauhkan dari anak kandungnya sendiri.
"Tou-sama masih membela si Keparat, itu? Apa Ayah lupa bagaimana dia mempermalukan kita tempo hari?" Neji tak percaya sang ayah masih menaruh rasa iba pada Naruto, setelah semua hal buruk yang ia lakukan pada keluarga mereka.
"Naruto masih muda, wajar dia labil malam itu, mungkin naluri sebagai seorang ayahnya sudah mulai ia rasakan. Aku mengerti tidak mungkin baginya untuk bersama Hinata kembali, tapi setidaknya izinkan dia untuk melihat dan menyentuh anak-anaknya."
"Tidak." Nasihat Hiashi sontak ditolak langsung oleh Hinata. "Anak ini hanya anakku seorang." Hinata masih mengingat jelas bagaimana Naruto membawanya ke rumah sakit dan memaksanya untuk melakukan kuretase, lalu kejadian di lorong kampus dimana Naruto hampir meninju perutnya untuk menjaga perasaan Sakura.
"Hinata, biar bagaimanapun juga tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Naruto adalah ayah biologis dari anak-anakmu..." Hiashi membelai surai kelam puterinya, berharap Hinata mau melembutkan hatinya untuk Naruto, walau kecil kemungkinan mereka untuk bersama.
"Tapi kita bisa merubah hak asuh atas bayi-bayi Hinata, bila Hinata menikah." Hinata menolehkan kepalanya ke arah Neji yang kembali buka suara. "Posisi Hinata sebagai ibu biologis dan ibu sah dari anak-anaknya akan semakin diperkuat bila suami Hinata kelak bersedia mencantumkan namanya di akte kelahiran bayi-bayi ini."
Dahi Hinata berkerut. Ia mulai memikirkan ucapan Neji.
Toneri tersenyum tipis, inilah kesempatannya untuk meyakinkan Hinata. Ia berlutut di hadapan Hiashi. "Aku bersumpah, akan membagi nama klanku untuk anak-anak di dalam kandungan Hinata, mencantumkan nama ku sebagai ayah yang sah di mata hukum dan negara bagi mereka."
Hinata diam sejenak, ia tertegun dengan kesungguhan Toneri. Baginya perasaannya sendiri sekarang tidaklah penting lagi, hanya status anak-anaknya lah yang ia pikirkan. "Akan aku pikirkan." Jawab Hinata singkat.
...
"Kemana yang lain..." Suara khas bangun tidur Hinata memenuhi telinga Tenten. Menantu keluarga Hyuuga itu beranjak dari sofa yang ia duduki dan menghampiri sang adik ipar.
"Mereka sudah kembali ke rumah, nanti malam Neji akan menjagamu, sekarang kau bersama ku dulu, ya..." Ucap Tenten lembut seraya merapikan posisi selimut yang menutupi kaki Hinata.
"Tenten-nee..."
"Hmmm?" Sahut Tenten seraya mendongakkan kepala, ia telah selesai merapikan selimut Hinata.
"Apa pendapatmu tentang pernikahan...?"
Tenten tersenyum simpul, ia tahu pertanyaan Hinata ini muncul dari pernyataan Toneri tadi pagi.
"Pernikahan, ya..." Tenten mengambil posisi duduk di sisi Hinata, ini akan menjadi pembicaraan yang mendalam.
"Bagi kita seorang wanita inti dari sebuah pernikahan adalah rasa hormat, Hinata. Ketika kau sudah tidak bisa lagi menghormati suamimu, dan bagi seorang pria pernikahan adalah tanggung jawab. Bila rasa menghormati dan tanggung jawab tak ada lagi di dalam sebuah hubungan, maka pernikahan tersebut tidak bisa disebut pernikahan, tapi sebuah kompromi. Terkadang rasa cinta saja tak cukup untuk membangun rumah tangga. Kau tak mungkin menghabiskan waktu seumur hidup pada pria yang sudah kehilangan wibawanya di matamu, dan seorang pria tak pernah bisa menghabiskan waktu seumur hidupnya bersama wanita yang enggan ia berikan tanggung jawabnya."
Hinata tersenyum simpul, Neji benar ia tak boleh egois. Kali ini ia akan menggunakan logikanya untuk menentukan masa depannya. Hatinya terlalu sering membohongi dan membawanya pada penyesalan.
'Bagiku hati ini sudah mati rasa, aku sudah tak membutuhkan mencintai dan dicintai lagi, yang terpenting sekarang adalah anak-anakku. Tentang bagaimana kelak mereka akan menghadapi dunia kelak.'
...
"Kau sudah meminum obatmu....?"
Hinata mengangguk, menjawab pertanyaan Neji yang baru saja tiba di kamar rawatnya.
Neji tersenyum lega, lalu duduk di tepian ranjang, malam ini ia menawarkan diri untuk menjaga Hinata. Ia khawatir jika Naruto akan semakin nekat untuk menjenguk Hinata.
"Neji-nii..."
Neji mengalihkan pandangannya dari ponselnya, ia baru saja membalas pesan dari Tenten yang menanyakan apa dia sudah sampai. "Hmmm?"
"Beri aku keyakinan..."
Neji tersenyum tipis mendengar permintaan Hinata, ia tahu apa yang Hinata maksudkan. "Kau bisa memilih untuk tidak menikah Hinata, dan menjadi orang tua tunggal. Tapi, apa masyarakat bisa menerima begitu saja kehadiran anak-anakmu... Tanpa adanya nama ayah di akte kelahiran anak-anakmu, mereka akan kesulitan mengenyam pendidikan... Apa lagi bagi anak perempuanmu, pria akan ber-stigma negatif padanya... Hinata, tak semua pria yang mau menerima wanita yang tengah mengandung di luar pernikahan, apalagi anak yang dikandung wanita tersebut bukanlah darah dagingnya, bahkan ayah kandungnya sendiripun menolak terang-terangan..."
Hinata menghela nafas dalam mendengar nasihat dari Neji. Ia tahu banyak hal yang sudah ia tentang dari kakaknya, dan berakhir dengan penyesalan bagi dirinya sendiri.
"Pria seperti Toneri tak bisa kau temukan dua kali Hinata, dia sudah banyak menolongmu, saat kau dirampok di stasiun..." Neji menunduk, ia ingat betul kejadian itu akibat dari terusirnya Hinata dari rumah. "Bahkan kami mengabaikanmu, hanya dia yang menolongmu Hinata, kau mungkin tidak bisa lagi mencintai pria Hinata, tapi ini bukan hanya tentangmu, ini tentang anak-anakmu yang membutuhkan sosok seorang ayah. Kecuali bila kau mau menerima Naruto-"
"Aku bersedia Neji-nii...." Hinata menjawab lirih memotong ucapan Neji.
Neji tersenyum tipis, ia berhasil meyakinkan Hinata.
"Aku bersedia menikah dengan Toneri...."
Tanpa mereka sadari, sejak awal pembicaraan mereka pintu ruang rawat itu telah terbuka, seorang pria berdiri di sana, dengan bucket mawar besar di tangan kanannya dan paper bag berisi susu hamil di tangan kirinya. Pria bersurai pirang itu mendengar dengan jelas keputusan wanita itu, jantungnya serasa dihujam oleh sembilu tajam, pada akhirnya inilah kenyataan yang ia terima, perjuangannya berakhir dan dia keluar sebagai pecundang.
'Aku pantas mendapatkan ini... Hime...'
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top