36. Memilikimu Lagi

Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Kakinya terhenti di depan pintu gedung akademik, dahinya berkerut melihat barikade barisan berjejer di hadapannya. Senyum tulus terukir di bibir mungilnya, berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, saat mereka membentangkan spanduk penolakan terhadap kehadirannya di kampus ini. Hari ini Hinata mendapatkan sebuah ucapan selamat datang, sebuah spanduk bertuliskan We love you Hime terpampang di hadapannya. Tak ada lagi kata-kata kasar atau cemoohan yang ia dapat.

Ino, yang beberapa hari lalu menjadi orang paling gencar menentangnya, hari ini berdiri di barisan terdepan. Ia berjalan mendekat pada Hinata, "Hinata, maafkan aku..." Kepala pirang pucatnya menunduk malu akan perbuatan jahatnya, ia sadar bahwa tak seharusnya Hinata menjadi pelampiasan dendamnya dan Naruto atas kelumpuhan Sakura. Sakura tetap baik-baik saja kendati kakinya lumpuh, ia masih memiliki Sasuke yang mencintainya. Sementara Hinata, ia harus menanggung beban dari kehamilannya tanpa suami, seorang diri.

Hinata mengangguk, ia menggenggam tangan Ino, ia memaafkan Ino, setidaknya berkat Ino yang mempermalukannya, ia menjadi mengerti siapa sesungguhnya sahabatnya. Ia memaafkan Ino, tapi untuk kembali dekat menjalin persahabatan dengan gadis pirang itu, Hinata perlu berpikir seumur hidupnya.

Ino merangkul Hinata untuk masuk ke area kampus, disambut oleh mahasiswa lain yang kini dapat menerimanya. Ia kembali ke mendapatkan beasiswa di kampus ini dengan terhormat, tak ada lagi hinaan dan cercaan.

Sementara itu dari kejauhan, Naruto tampak tersenyum tipis, ia menatap bangga pada ibu dari anaknya itu. Hinata pada akhirnya  mendapatkan kembali kebahagiaan, hidup Hinata nyaris kembali sempurna. 'Hime izinkan aku melengkapi kebahagiaanmu...'

...

Semua telah berbalik, para mahasiswa yang sebelumnya membenci dan menghujat Hinata, kini memperlakukannya sangat istimewa. Seperti pagi ini, antrian di loket pengambilan kartu rencana studi yang telah ditandatangi oleh rektorat cukup panjang, Hinata berdiri di urutan paling belakang, namun seketika seorang mahasiswa yang berdiri di depannya tiba-tiba mundur dan berpindah posisi berdiri di belakangnya, ia memberikan Hinata kesempatan untuk maju.

Pun sama halnya dengan orang yang kini berada di depan Hinata, pemuda itu menoleh dan mendapati Hinata berada di belakangnya, langsung mundur dan mempersilahkan Hinata untuk maju. Hal itu terus berulang hingga Hinata berada tepat di hadapan loket tanpa ia harus mengantri.

Kehidupan Hinata mulai membaik, Hinata tersenyum tipis saat petugas loket sedang mencari kartu hasil studinya, sambil menunggu ia menundukkan pandangannya pada perut besarnya, lalu mengusapnya lembut, "semua sudah menerima kita, Aka-chan..." Hinata terkekeh pelan mendapat jawaban dari buah hatinya berupa tendangan lembut, perutnya terasa dielus dari dalam. Namun tiba-tiba ia tersenyum kecut, ada satu hal yang tak dapat ia ubah. Ia berbisik dalam hati. 'Kecuali ayah kalian....' Hinata tak dapat merubah kenyataan bahwa kedua bayinya akan lahir tanpa mengenal sosok seorang ayah.

"Ehem..."

Lamunan Hinata buyar saat suara batuk disengaja terdengar tepat di telinganya, ia menoleh dan mendapati seorang yang berjasa baginya dan anak-anaknya. "Toneri-kun... Ogenki desuka, me?" Hinata tak percaya, Toneri berdiri di sampingnya, ia mendapat kabar dari Neji bahwa hari ini Toneri akan tiba di Tokyo, ia tak mengira Toneri akan langsung ke Tokyo University dan mendatangi dirinya.

"Seperti yang kau lihat," Toneri merentangkan tangannya, "aku baik-baik saja, hanya saja..." Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Hinata. "Aku masih kesepian..."

Hinata tersenyum tipis, Toneri tak berubah pria itu masih berusaha untuk mendapatkan hatinya, walau kini ia sudah tak suci lagi, bahkan tengah hamil dari pria yang tak bertanggung jawab.

"Permisi." Suara petugas loket itu menjadi penyelamat Hinata, ia bergegas menoleh dan mengambil kartu rencana studinya, jujur saja ia tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Toneri tadi.

"Kita ke kantin Neji-nii, saja. Kau harus bertemu dengannya." Hinata menarik tangan Toneri menuju pintu samping ruang akademik menuju kantin miliknya. Ia tak menyadari ada sepasang safir biru yang memandang tak suka pada interaksinya dengan Toneri.

...

Langkah kaki jenjangnya berjalan pelan hampir tak terdengar, Naruto mengikuti sepasang manusia yang berjalan di depannya. Ia sudah mengintai sejak Toneri dan Hinata masuk ke kantin Neji, mengamati dari jauh sampai Hinata dan Toneri keluar dari kantin, dan berjalan di koridor menuju perpustakaan.

Naruto harus mengisi buku tamu digital ketika Hinata dan Toneri terlebih dahulu masuk ke dalam perpustakaan, sambil memasukkan data dirinya, safir birunya tetap mengekori langkah Toneri dan Hinata. Senyum penuh kemenangan terukir di bibirnya, Hinata dan Toneri berpencar di deretan rak buku yang berbeda. Mengambil langkah seribu ia bergerak cepat mengikuti Hinata, ini adalah kesempatannya untuk berbicara berdua dengan Hinata.

...

BRUKK

Hinata berdecak kesal ketika buku yang hendak ia bawa jatuh, karena di tangannya sudah banyak bawaan. Dengan perut besar seperti ini sulit baginya untuk membungkuk mengambil sesuatu yang jatuh ke bawah. Ia memegang pinggangnya yang terasa sangat pegal, dan perlahan berusaha mengambil buku itu dengan posisi sedikit berlutut.

Namun sebuah tarikan halus dari belakang di lengannya membuat ia kembali berdiri, sang penarik membungkuk lalu meraih buku itu. Dan saat buku itu disodorkan padanya barulah ia melihat jelas pria yang mengambilkan buku untuknya. Ia menghela nafas kasar, tangannya enggan bergerak menerima buku yang disodorkan oleh pria yang tak lain adalah Naruto.

"Hinata, kau sudah menemukan bukunya...?" Suara Toneri menjadi penyelamat baginya, ia tak ingin terlibat pembicaraan ataupun kontak fisik lagi dengan Naruto.

Hinata berbalik menghadap Toneri. "Aku sudah tidak membutuhkan buku itu lagi Toneri-kun..." Hinata menarik lengan Toneri dan berlalu meninggalkan Naruto sendiri dengan buku di tangannya yang masih ia sodorkan entah pada siapa.

"Khe..." Naruto mendecih kesal, lalu meletakkan buku itu kembali di raknya, ia merogoh saku celana jeans-nya kasar, lalu mengeluarkan ponsel dari sana. "Kakashi, Ji-san. Tolong cari semua informasi tentang orang bernama Toneri."

...

"Terimakasih, sudah mau menemaniku melihat-lihat kampus..." Toneri tersenyum tulus ketika mereka tiba di gedung fakultas Hinata, kelas Hinata akan segera dimulai, dan itu berarti pertemuan mereka untuk hari ini akan berakhir. Toneri sedikit kecewa tentang hal itu.

"Aku hanya mengajakmu ke kantin dan ke perpustakaan, jangan berlebihan Toneri-kun..." Hinata tertawa renyah, dan Toneri sangat senang melihatnya, pandangan mata biru mudanya menatap lekat wajah cantik Hinata yang semakin bersinar di tengah kehamilannya.

"Itu wajar..., Mengingat keadaanmu, kau tak boleh kelelahan..." Bata biru lembut Toneri tertuju pada perut buncit Hinata. "Bagaimana keadaannya, tampak lebih besar dari usianya..." Tangan Toneri refleks mengusap perut Hinata.

Hal itu membuat Hinata tersenyum kaku, ia merasa risih bila ada pria selain Neji dan Hiashi yang menyentuh bahkan mengelus kandungannya. Tak berbeda dengan Naruto, dari kejauhan pria pirang itu telah mengepalkan tinjunya, "berani-beraninya dia menyentuh anak-anakku!" Umpatnya kesal.

Hinata tersenyum kaku, "janinku kembar..." Ucapnya sopan seraya menjauhkan tangan Toneri dari perutnya, dan hal itu membuat Naruto yang menguntit dari kejauhan tersenyum bangga. Ia merasa senang saat Hinata tak sembarangan merasa nyaman dengan orang yang memegang perutnya.

"Wah... Sungguh menakjubkan..." Toneri tak dapat menyembunyikan ekspresi takjubnya, ia kembali mengangkat tangan dan berusaha lagi untuk memegang perut Hinata.

Tapi wanita itu tak membiarkannya, ia mundur beberapa langkah, menghindar. "Ano... Toneri-kun, kelasku akan segera dimulai, aku mohon pamit dulu..." Hinata buru-buru berbalik dan berjalan cepat menuju kelasnya. Kendati Toneri sangat membantunya menghindar dari Naruto, tapi entah kenapa sampai saat ini perasaan tak nyaman bila berdua saja dengan pria itu belum dapat ia hilangkan.

Naruto tersenyum penuh kemenangan, ia berbalik dengan rasa lega, sampai saat ini ia masihlah menjadi pemenang. Hanya dia yang bisa menyentuh Hinata lebih dari pria manapun, bahkan membuat wanita itu mengandung benihnya. "Tak semudah itu, aku merelakanmu, Hime..."

...

Kakashi meletakkan amplop cokelat di meja atas meja kaca ruang tamu apartement Naruto. "Namanya cukup unik." Ia mendudukkan diri di sofa rendah itu menyusul Naruto yang sudah duduk disana sejak dua jam yang lalu.

"Aku tidak peduli dengan nama uniknya, katakan siapa dia." Naruto menarik amplop itu dan membukanya.

"Hanya satu Toneri di Jepang, Ootsutsuki Toneri, putera satu-satunya Ootsutsuki Hanura. Ootsutsuki adalah klan tertua di Jepang, domisili utama mereka di Kyoto, dan klan Hyuuga merupakan garis keturunan cabang dari Ootsutsuki. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Jerman, saat ini keberadaannya di Tokyo untuk melanjutkan pendidikan spesialisasinya sebagai dokter kandungan."

Dahi Naruto mengernyit, ketika mendengar penjelasan Kakashi, ditambah dengan isi amplop yang ia buka, sebuah foto berukuran kartu pos yang menampakkan keluarga Hyuuga bersama keluarga Ootsutsuki yang Kakashi sebutkan tadi. Toneri dan Hinata berdiri berdampingan di foto itu, dari penampilan Hinata yang ia ingat, ia yakin foto ini diambil ketika Hinata masih bersekolah di Tokyo Senior High School. "Hinata keturunan bangsawan?" Senyum Naruto terukir tipis, menambah kebanggaannya pada wanita yang kini mulai ia cintai.

"Bukan langsung dari Kaisar, gadis keturunan Hinata adalah bangsawan kelas menengah." Tambah Kakashi.

Naruto tersenyum miris, ia ingat bagaimana perjuangan Hinata saat sekolah dulu untuk mencari nafkah, dan kini ia tambah mempersulit keadaan keluarga itu dengan menghamili Hinata. Jika Hinata berasal dari keluarga bangsawan atas, mungkin gaya hidupnya tak jauh berbeda dengan Ino dan Sakura yang bergelimang harta.

"Keluarga Hamura sangat dekat dengan Hyuuga, kemungkinan rencana perjodohan sangat besar." Ucapan tambahan dari Kakashi mengukir senyum sinis dari Naruto.

"Di dalam tubuh Hinata bersemayam benihku, tak akan semudah itu aku membiarkan Ootsutsuki itu merebutnya."

...

Pagi ini Mustang orangenya telah di bahu jalan tepat di seberang rumah sederhana keluarga Hyuuga, sebuah awal yang tepat bagi Naruto untuk memulai lagi lembaran baru kehidupannya. Ia tahu Hinata pasti akan diantar jemput oleh Neji setiap hari. Ia tak berharap untuk bisa mengantarkan Hinata ke kampus hari ini, maksud hatinya pagi ini hanyalah untuk msmastikan Hinata sampai di kampus dengan aman, bisa di katakan ia tengah menguntit Hinata sekarang dan berniat mengikuti mini van Neji.

Senyum manisnya mengembang saat orang yang ia tunggu dari kejauhan nampak keluar dari pintu geser itu. Hinata tengah duduk di rouka memasang flat shoes-nya dibantu oleh Hanabi. Senyum simpul tersungging di bibirnya, Hinata benar-benar memancarkan aura keibuan yang menenangkan hingga ia tak ingin sekalipun berkedip dan tak dapat menangkap pancaran wajah cantik Hinata.

...

"Hinata... Kau yakin akan naik bus dengan kondisi seperti ini..." Hiashi baru saja keluar dari pintu geser, dan menyusul Hinata duduk di rouka.

"Tak apa Tou-sama... Aku akan berhati-hati..." Hinata berdiri perlahan dibantu oleh Hanabi. "Hanabi apa yang kau tunggu, berangkatlah, kau bisa terlambat masuk ke sekolah nanti..." Ujar Hinata yang masih mendapati sang adik masih berdiri di sisinya.

"Nee-sama yakin tak mau pergi bersamaku ke halte bus..." Hanabi kembali memastikan keputusan sang kakak hari ini.

"Hanabi, aku ini hamil, bukan sedang sakit..." Ujarnya meyakinkan.

"Baiklah aku pamit..." Hanabi membungkuk sekilas memberi salam lalu pergi.

"Hinata, maaf karena jadwal pemeriksaan Tou-sama, kau harus pergi sendiri ke kampus..." Hiashi menatap sendu puterinya yang tengah hamil itu, rasanya ia tak tega membiarkan anak kesayangannya itu harus pergi dengan bus dengan keadaan seperti itu.

"Tou-sama, sudah berapa kali Hinata katakan..." Hinata menggenggam tangan keriput Hiashi dan membantu sang ayah berdiri dari rouka. "Aku ini hamil, bukannya sakit. Tou-sama yang lebih membutuhkan mobil dibanding aku.... Aku bisa pergi sendiri ke kampus, Tenten-nee juga sedang mengantarkan pesanan catering, aku tak mau menjadi beban kalian...."

Hiashi tersenyum bangga, ia menarik tengkuk Hinata dan mengecup poni rata puterinya itu.

"Apa Tou-sama sudah siap?" Neji keluar dari rumah dengan kunci mobil di tangannya. "Hinata sebaiknya kau tidak usah kuliah dulu, aku khawatir bila kau harus naik bus."

"Neji-nii, sudah ku katakan aku harus mempresentasikan makalahku... Ku mohon jangan perlakukan aku seolah aku tak bisa melakukan apapun karena kehamilanku..."

Neji menghela nafas pasrah, Hinata berubah menjadi keras kepala bila menyangkut keinginannya. "Kalau begitu aku akan meminta Toneri menjemputmu..." Neji mengeluarkan ponselnya.

"Neji-nii!!!" Hinata setengah berteriak dan berhasil membuat Neji mengurungkan niatnya untuk menelepon Toneri. "Ku mohon jangan..."

Neji menggedikkan bahunya lalu kembali memasukkan ponsel ke saku celana bahannya. "Hinata, kau tentu tahu alasan Toneri melanjutkan spesialisasinya di Tokyo?"

Hinata diam seribu bahasa, ia mengigit bibir bawahnya, ia bukan remaja ingusan lagi, dari cara Toneri memperlakukannya ia tentu sadar pria itu menaruh hati padanya. "Aku hanya ingin fokus pada bayi dan kuliahku Nii-san..."

"Neji, Tou-sama rasa kita harus pergi sekarang." Hiashi memotong pembicaraan, ia sadar Hinata tak nyaman dengan topik pembicaraan ini. "Nomor urut kita bisa terlewat nanti."

...

Dahi cokelat Naruto berkerut, ia baru saja hendak memutar kunci Mustangnya ketika mini van milik Neji telah keluar dari pekarangan kediaman keluarga Hyuuga, namun niatnya ia urungkan ketika target yang ia ingat justru baru saja melangkah keluar dari pekarangan. Hinata nampak tengah mengunci pagar pekarangan rumahnya, ketika Naruto hampir saja mengikuti mini van milik Neji. Beruntung Naruto masih sempat melihat Hinata.

"Fuhhhh..." Naruto menghembuskan nafasnya kasar, mengatur udara yang masuk ke paru-parunya. Ia harus turun dan menawarkan tumpangan pada Hinata, ini adalah awal yang baik untuk memulai semuanya.

Ia buka mobil mewah itu, dengan pintu yang mengarah ke atas, menapaki sepatu mahalnya pada aspal, membiarkan mobil itu masih terbuka, lalu mengumpulkan segenap nyalinya menghampiri wanita hamil itu. "Ehem..." Ia terbatuk sengaja, untuk memulai pembicaraan.

Kepala indigo itu terangkat, Hinata baru saja memasukkan kunci pagar ke tasnya. Alisnya langsung menukik pertanda risih ketika pria pirang itu berada di hadapannya. Tak ada jawaban dari Hinata, wanita hamil itu malah menganggap keberadaan Naruto seolah angin lalu, ia tetap melangkahkan kaki menuju halte bus.

"Sial..." Naruto mengumpat pelan seraya mengusap kasar wajahnya, ia setengah berlari mengejar Hinata. "Kusso!!" Ia kembali mengumpat, mobilnya ia tinggalkan dalam keadaan terbuka, dengan cepat sambil mengejar Hinata ia menekan tombol pada kunci mobilnya, dan seketika pintu mobil mahal itupun tertutup.

...

"Him-, agh.... Maksudku, Hinata." Naruto mempercepat langkahnya menyamakan dengan langkah cepat Hinata, ia berjalan beriringan dengan Hinata yang seolah acuh pada kehadirannya.

"Hinata, dengarkan aku, pelankan jalanmu, itu berbaga untuk bayi kit-," langkah Hinata terhenti ia menoleh menatap Naruto seolah akan menguliti pria itu.

Naruto mengusap tengkuknya kasar, ia sadar Hinata tak menyukai ia menyebut kata 'bayi kita' ia mengerti itu, mengingat kalimat terakhir Hinata di rumahnya malam itu, bahwa bayi itu hanya akan menjadi miliknya. "Maksudku, hati-hati dengan langkahmu, kau bisa membahayakan kandunganmu."

Hinata kembali menatap ke depan, mengabaikan kehadiran Naruto di sampingnya. Namun ia mendengarkan nasihat Naruto, ia menelankan langkahnya, ia melakukan ini semata-mata untuk kebaikan bayi-bayinya, bukan karena menuruti ucapan Naruto.

"Hinata, jika kau tak keberatan, kita bisa pergi bersama ke kampus..." Tawar Naruto seraya tetap menyamakan langkah kaki Hinata, ia bahkan menunjuk ke arah Mustang orangnya, namun pandangan Hinata tetap ke depan, sama sekali tak menganggap kehadirannya.

Naruto tersenyum maklum, hari ini ia melihat sisi lain Hinata. Hinata yang lembut dan penuh kasih yang ia anggap tak akan pernah bisa marah. Hari ini menunjukkan bagaimana rasa kemarahannya, hanya cukup diam, dan itu bisa membuat Naruto mati pelan-pelan. Ia harus berusaha agar Hinata mau kembali bicara padanya.

...

Sepanjang perjalanan menuju halte, Naruto memperhatikan dengan seksama langkah Hinata, mengikuti wanita hamil itu, dan memastikan bahwa tak ada kerikil atau lubang yang menghalangi Hinata. Sebuah kekonyolan yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya, ia seperti sedang mengemis perhatian Hinata, seperti para jalangnya yang terdahulu yang setiap hari mengemis perhatinnya.

Tiba di halte, Naruto mengarahkan tangannya mempersilahkan Hinata duduk di bangku besi halte yang masih kosong. Namun lagi-lagi, pandangan mata Hinata enggan meliriknya, wanita itu tetap berdiri di bagian depan halte yang menghadap ke jalan dengan tatapan yang hanya tertuju ke depan.

Bus yang di tunggu pun datang, pintu geser digital bus tersebut otomatis terbuka, dan seorang petugas turun dari bus, lalu menyodorkan tangannya untuk membantu Hinata naik ke bus. Hinata dengan senyum sopannya mengulurkan tangan menerima bantuan sang petugas, namun...

Plak

Hinata mendengar suara tamparan kasar, Naruto menepis kasar telapak tangan petugas itu hingga si petugas kesakitan dan meniup telapak tangannya. Tanpa dosa Naruto malah menggeser posisi berdiri petugas itu, ia mengulurkan tangannya untuk memberikan Hinata bantuan.

Namun jangan harap Hinata akan begitu saja mengulurkan tangannya, ia malah berjalan ke arah si petugas. "Tuan, apa telapak tangan anda masih terasa sakit, bisakah anda membantu saya naik ke bus...."

Naruto membulatkan matanya tak percaya, ia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu Hinata. Namun Hinata malah meminta bantuan pada petugas itu lagi.

Petugas itu menggeser posisi Naruto dengan menggesekkan bahunya kasar pada bahu Naruto, ia kembali mengulurkan tangannya dan membantu Hinata masuk. Lalu si petugas itu masuk ke bus dan membiarkan Naruto yang tak sudah lama tidak naik bus itu, naik sendiri tanpa bantuan.

...

"Permisi, tolong jangan berdesakkan beri dia jalan, dia sedang hamil..." Bak seorang body guard, Naruto berdiri di sisi Hinata dan merentangkan tangannya, memberi jarak pada kerumunan penumpang bus yang berdiri agar memberi ruang pada Hinata.

Hinata menghela nafas kesal, ia menggenggam erat tiang besi di sudut bis sambil berdiri untuk mengurangi rasa kesalnya melihat sikap norak Naruto.

Sementara itu fokus pandangan Naruto sekarang adalah pada seorang siswa yang duduk di sebelah tempat Hinata berdiri, siswa laki-laki itu nampak tak peduli di sekitarnya, ia tengah sibuk dengan musik yang ia dengarkan lewat ear phone yang menutupi telinganya. "Khe... Bisa-bisanya dia duduk santai, padahal di sebelahnya ada wanita hamil yang tak dapat tempat duduk."

Naruto menepuk bahu pelajar itu, dan berhasil membuat siswa itu mengangkat kepalanya. Tanpa dosa siswa gentut itu menatap Naruto yang sedang menepuk telinganya, memberi isyarat pada siswa itu untuk membuka ear phone-nya. Bukannya malah membuka ear phone-nya, siswa itu kembali menunduk dan memejamkan matanya.

Naruto mulai jengah, tanpa permisi ia membuka paksa ear phone siswa itu, hingga siswa itu kembali mendongak dan menatap tak suka pada Naruto.

"Kau lihat?! Disebelahmu ini ada wanita hamil yang berdiri, dan kau tidur sambil mendengarkan musik dengan santainya, lelaki macam apa kau ini, hah?!" Naruto berteriak dan sukses membuat dirinya, Hinata dan siswa itu menjadi pusat perhatian di dalam bis ini.

Hinata menunduk malu dengan tingkah Naruto, sementara siswa itu langsung berdiri, dan mempersilahkan Hinata duduk. Hinata duduk, menerima tawaran siswa itu. "Terimakasih..." Ucapnya sopan pada siswa itu yang dijawab anggukkan oleh siswa itu.

Naruto tersenyum simpul sambil menatap wajah Hinata. Ia sedikit menunduk, dan berniat menggoda Hinata. "Harusnya kau berterima kasih padaku." Seketika senyum simpul Naruto berganti dengan senyuman kecut, rona merah di pipi Hinata tak muncul ketika ia membisikkan kalimat nakal, tatapan malu yang biasa ia dapati ketika menggoda Hinata, kini berganti dengan tatapan acuh seolah mereka tak pernah mengenal sebelumnya.

...

Pintu geser elektrik bus itu terbuka tepat di depan halte yang berada di dekat gerbang Tokyo University, selama di perjalanan tak ada satu katapun yang terucap baik dari bibir Naruto maupun Hinata. Naruto kembali berdiri di belakang Hinata, memastikan wanita hamil itu berjalan tanpa hambatan hingga keluar dari bus.

Tepat di saat keduanya keluar dari bus, satu unit sedan hitam tiba-tiba berhenti di hadapan mereka. Toneri turun dari pintu kemudi dan langsung menghampiri Hinata. "Hinata, mau ikut dengan ku masuk ke kampus..." Tawar Toneri sopan

Area parkir Tokyo University yang cukup luas tentu akan membuat Hinata yang tengah hamil itu kelelahan, perjalanan dari pintu gerbang menuju gedung fakultas Hinata bisa dikatakan sangat jauh. Bahkan Hinata ketika kuliah malam, selalu menumpang motor salah satu temannya untuk diantarkan ke gerbang agar Neji tak perlu masuk untuk menjemputnya.

Naruto tersenyum remeh, ia mengira bahwa Hinata akan menolak tawaran Toneri, mengingat beberapa waktu lalu tawarannya juga ditolak oleh Hinata. Namun sepertinya ia harus kembali menelan pil pahit.

"Apa boleh?" Pertanyaan Hinata yang nampaknya tertarik dengan ajakan Toneri sontak membuat mata biru Naruto terbelalak.

"Hah?!" Mulutnya terbuka tak percaya, saat Hinata benar-benar berjalan mengikuti Toneri masuk ke dalam sedannya meninggalkan Naruto yang telah menjaganya sejak tadi sendirian di depan gerbang.

Naruto meraih ponsel saku celana jeans-nya dengan kesal, lalu menekan menghubungi nomor ponselnya andalannya saat dalam keadaan sulit. "Kakashi Ji-san, suruh seseorang mengambil mobilku di gang Miyamoto, disitrik Chidoya. Sekarang."

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top