28. Jalan Lain
Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Ia menghela nafas gusar, memandang selembar formulir di tangannya. Mendongak pada langit-langit kelasnya, rasa putus asa mulai menghinggapi dirinya.
"Kami-sama..., Kenapa harus sekarang...."
"Hinata..." Tamaki memanggil, dan hal itu sontak membuatnya mengalihkan fokus. "Kau tidak akan melakukannya, bukan?" Tanya si gadis pecinta kucing itu seraya duduk di samping Hinata.
"Apa aku punya pilihan?" Tanyanya lirih, ini adalah hari pertama ia kembali ke bangku perkuliahannya, namun ujian berat sudah berada di hadapannya.
Tamaki diam tertunduk, sekilas ia mencuri pandang pada formulir general check up di tangan Hinata. "Jika pihak kampus mengetahui keadaanmu, kau bisa-"
"Dikeluarkan." Jawab Hinata singkat menyambung pernyataan Tamaki.
Tamaki menggigit bagian bawah bibirnya. Ini adalah hal terberat bagi Hinata, baru saja secercah harapan untuk masa depannya ia gapai, kini ia harus dihadapkan pada kenyataan sulit.
"Bukankah semua mahasiswa tingkat pertama harus mengikuti pemeriksaan ini...? Sepertinya aku harus segera mencari kampus swasta...." Ujar Hinata pesimis seraya tersenyum kecut.
'Mungkin sudah takdirku untuk tidak melanjutkan pendidikan di tempat ini...'
...
"Ada apa Naruto?"
Naruto menghela nafas lega, setelah berkali-kali ia mencoba menghubungi sang nenek, namun tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya panggilannya tersambung.
"Ba-san, bisa lakukan sesuatu untukku?" Tanyanya dengan gegabah, ia mengusap tengkuk belakangnya merasa gusar.
"Katakan."
Naruto tersenyum kecut, nada bicara sang nenek begitu datar, seolah merasa terganggu olehnya. Ia hal ini sudah biasa terjadi, bagi Mito kehadirannya tak lebih dari investasi masa depan, dan sebagai ahli waris.
"Bisa kau membatalkan general check up untuk mahasiswa baru di kampusku?" Ucap Naruto setengah memelas.
"Itu kebijakan akademik Naruto, kau tahu bukan itu peraturan departement pendidikan di Jepang, setiap mahasiswa baru di universitas negeri harus menjalani general check up dua kali. Pertama saat mereka dinyatakan lulus, dan kedua saat di tengah masa perkuliahan." Jawab Mito dengan nada terburu-buru, ia ingin segera mengakhiri telepon dari cucunya yang menurutnya sama sekali tidak penting.
"Kalau begitu, beri pengecualian untuk satu nama." Ucap Naruto lugas.
"Gadis itu." Tebak Mito.
Naruto bungkam menanggapi tebakan sang nenek.
"Khe... Sudah ku duga, kau jatuh cinta padanya, kau tak jauh beda dengan ibumu, lemah."
"Baa-san jangan bawa-bawa Kaa-chan!" Nada bicara Naruto meninggi, ia tak terima sang nenek mengusik nama mendiang sang ibu.
"Kenapa Naruto? Ibumu memang lemah, jatuh cinta pada seorang politikus sok suci dan meninggalkan harta berlimpah yang ku wariskan, kau lihat akibatnya bukan? Kendati telah menjadi seorang menteri, ayahmu masih hidup sederhana, dan tinggal di rumah ke dinasan, bahkan setelah meninggal bersama puteriku, dia hanya bisa meninggalkan satu unit pusat perbelanjaan untuk diwariskan padamu."
Genggaman tangan Naruto mengepal, amarahnya sampai ke ubun-ubun, ia paling benci ketika Mito mengungkit tentang orang tuanya yang menikah tanpa restu sang nenek. Tanpa basa-basi dan sopan santun ia memutuskan panggilan itu. Nafasnya memburu hebat, terasa sesak, air mulai memenuhi pelupuk matanya.
"Naruto-kun tak boleh bersedih, aku akan selalu berada di samping Naruto-kun..."
Ia tersenyum kecut, suara kalimat penghibur dari bibir Hinata mulai menggema di telinganya. Alam bawah sadarnya merindukan Hinata, tanpa ia sadari. "Maaf, aku tak bisa melakukan apapun untukmu..."
...
Hinata menghela nafas cukup dalam ketika ia keluar dari ruang laboratorium fakultas ke dokteran kampusnya. Setelah sampel darahnya diambil, ia telah selesai menjalani rangkaian pemeriksaan kesehatan rutin itu.
"Hyuuga Hinata..." Namanya dipanggil oleh salah satu petugas di counter pengambilan nomor urut. Untuk kampus sebesar dan secanggih Tokyo University, mengadakan general check up dengan jumlah peserta cukup banyak, dan waktu yang singkat bukanlah hal yang mustahil. Apalagi dirinya adalah masuk dengan jalur beasiswa, membuatnya selalu mendapatkan prioritas giliran lebih dahulu.
Hinata menghampiri counter itu dan mengambil secarik kertas dari seorang petugas
"Hasil pemeriksaanmu akan keluar satu Minggu lagi." Petugas itu tersenyum tipis menutup pembicaraan mereka.
...
Satu Minggu kemudian.
"Hinata, berhenti mengelap meja, sebentar lagi pukul delapan pagi..." Tenten berteriak keras dari dapur kantinnya, memperingati Hinata yang masih berkutat dengan kain serbet untuk membersihkan permukaan meja.
"Sedikit lagi Tenten-nee..." Hinata tersenyum puas melihat hasil pekerjaannya, meja terakhir yang ia bersihkan tampak mengkilap. Ia bergegas meletakkan lap yang tadi ia pergunakan, pada laci di samping wastafel tempat para pengunjung biasa mencuci tangan sebelum menyantap makanan, lalu meraih tas selempangnya yang tergantung di sebelah laci. "Tenten-nee, aku pergi...." Ia berteriak dari kejauhan memberi kabar sang kakak ipar.
"Ya..., Hati-hati!!!" Sahut Tenten dari balik tirai dapur.
Satu pekan ini menjadi hari-hari paling membahagiakan bagi Hinata, ia kembali belajar dengan normal dan keadaan di rumahnya kembali dipenuhi dengan canda tawa, dan hal yang paling membahagiakan hatinya adalah, selama satu pekan ini ia tak melihat Naruto berada di sekitarnya, ia dan bayinya aman, itulah yang Hinata pikirkan. Namun kebahagiaan itu tak akan berlangsung lama.
Suara dering ponsel dari dalam tasnya menghentikan langkah kaki Hinata yang kini berdiri di koridor fakultasnya. Alisnya menukik, sebuah nomor tak dikenal tertera disana. "Moshi-moshi...." Ia menjawab telepon itu, karena nomor yang tertera disana bukanlah nomor ponsel, melainkan nomor telepon land line telephone.
...
Kakinya berdiri di hadapan pintu ruangan Rektor Universitas Tokyo, beberapa menit yang lalu ia menerima telepon dari salah satu petugas administrasi dari rektorat yang memintanya menemui pimpinan tertinggi di universitas bergengsi itu.
"Tsunade-sama menunggumu..." Seorang wanita bersurai cokelat karamel dengan name tag Karui, berdiri di sampingnya bersiap membukakan pintu.
Hinata mengangguk sambil tersenyum tipis, dari suara wanita itu, ia tahu bahwa Karui lah yang beberapa saat lalu meneleponnya.
Tok tok tok
Karui mengetuk pintu pelan.
"Masuk." Suara sahutan dari dalam membuat jantung Hinata berdegup kian cepat, sudah satu pekan sejak general check up itu selesai, ia tahu hari ini akan tiba.
Karui membuka lebar pintu kayu bercat cokelat itu, ia mempersilahkan Hinata masuk. "Tsunade-sama, mahasiswi bernama Hyuuga Hinata sudah tiba."
Hinata meneguk ludahnya kasar ketika kepala kuning pucat itu terangkat, Tsunade mengehentikan aktivitasnya dengan tumpukan berkas di hadapannya.
Karui dan Hinata memasuki ruangan besar itu. Hinata membungkuk sekilas memberi hormat.
Tsunade mengangguk sekilas menerima penghormatan Hinata, "Karui, kau bisa keluar sekarang."
...
Pintu besar itu tertutup setelah Karui keluar, menyisakan Hinata dan Tsunade berdua di ruangan itu.
"Duduklah..." Ucap Tsunade pelan, seraya tersenyum tipis.
Hinata tersenyum sopan, lalu maju beberapa langkah, menarik kursi di hadapan Tsunade dan duduk disana.
"Kau Hyuuga Hinata?" Tanyanya dengan penuh wibawa.
Hinata mengangguk sopan.
"Begini Hinata..." Tsunade meraih secarik kertas yang ia letakkan di bawah note book nya, ia membuka kertas itu dan membacanya ulang sekilas, lalu menatap dalam pada mata Hinata, seolah tak percaya dengan apa yang tertera pada kertas itu. "Di tanganku adalah hasil general check up mu."
Hinata tersenyum miris, ia sudah menduga untuk hal ini ia dipanggil kesini.
"Ini mengenai nama baik kampus ini, dan kau adalah mahasiswi penerima beasiswa yang seharusnya menjadi contoh bagi mahasiswa lain. Jadi, aku lebih memilih bertanya langsung padamu, mungkin ada kesalahan dengan hasil test medismu." Tsunade memberikan kertas itu, dan Hinata menerimanya. "Kau dinyatakan tengah hamil."
Tak ada jawaban dari Hinata, hanya senyum pasrah yang tersungging dari bibir mungilnya.
"Katakan sesuatu Hinata. Sebuah sangkalan, atau bela lah dirimu, hari ini dewan jajaran kampus bersama perwakilan perusahaan donatur pemberi beasiswa akan mengadakan rapat untuk membahas dirimu, aku harus memiliki alasan kuat untuk mempertahankanmu, mintalah test ulang di laboratorium lain, atau apapun bentuk protesmu."
Sungguh saat pertama kali membaca hasil test Hinata ia mengira Hinata adalah mahasiswi centil yang suka menarik perhatian lelaki. Ia tak percaya dengan foto yang tertera pada data di sistem informasi mahasiswa. Sebuah foto dapat menipu, maka dari itu ia memutuskan memanggil Hinata, dan setelah melihat langsung Hinata ia benar-benar semakin tak percaya bahwa mahasiswi di hadapannya ini hamil di luar nikah.
Andai Hinata bukan mahasiswi penerima beasiswa, ia berani bersumpah akan menutupi hal ini dari petinggi universitas. Terlebih lagi setelah mendengar asal usul Hinata dari kepala dewan birokrasi bisinis kampus ini, Kurenai, Tsunade semakin tidak percaya dengan kenyataan ini. Hinata adik dari salah satu pengelola kantin yang terkenal jujur dan gigih, dengan latar belakang keluarga seperti itu rasanya tak mungkin Hinata bisa sampai mengandung di usia beliannya.
Hinata tersenyum tipis sambil menggeleng, ia tak akan membantah apapun. "Benar Tsunade-sama saya tengah mengandung." Jawabnya dengan kepala yang ia tundukkan dalam menutupi rasa malunya. Ia tak malu akan keberadaan sang buah hati yang bergelung nyaman di dalam rahimnya, ia malu pada kelakuan murahnya yang terlena pada cinta butanya pada Naruto.
"Kau diperkosa? Asuma Dekan fakultasmu bicara padaku kau tidak kuliah selama dua pekan, itu penyebabnya, bukan?" Tsunade memajukan tubuhnya agar wajahnya lebih dekat dengan Hinata. Ia masih bersikeras mencari alasan untuk pembelaan terhadap Hinata di rapat siang nanti.
Hinata kembali menggeleng, "saya melakukannya tanpa paksaan, bayi ini bukti cinta saya pada ayahnya."
Tsunade menyadarkan tubuhnya pasrah pada kursi kebesarannya. "Jika donatur beasiswa terbesar di universitas ini menolak membiayai kuliahmu lagi, akibat ini, dan kepala bidang kemahasiswaan keberatan atas kehamilanmu, kau tahu akibatnya?"
Hinata mengangguk, menggigit bibirnya untuk menahan isakan. "Saya akan dikeluarkan dari kampus ini." Pada akhirnya Hinata harus benar-benar menerima kenyataan bahwa hidupnya akan hancur berantakan, semua kerja kerasnya selama ini untuk bisa berkuliah di universitas yang bukan impiannya saja, melainkan impian keluarganya, kini sia-sia.
Ia tak akan pernah kembali menjadi cahaya yang membanggakan keluarganya.
...
Cukup lama, setelah Tsunade menyampaikan tujuan dari rapat siang ini, suasana di ruangan luas itu menjadi hening. Para petinggi universitas dan perwakilan dari perusahaan donatur beasiswa masih diam seribu bahasa, mereka duduk saling berhadapan mengelilingi meja persegi, tak ada satupun yang percaya bahwa mahasiswi penerima beasiswa di kampus sebesar ini bisa sampai hamil di luar nikah, kecuali Mito.
"Aku akan menarik semua beasiswa perusahaanku dari universitas ini, jika dia tetap berkuliah disini." Mito, donatur beasiswa terbesar akhirnya buka suara. Ini adalah keputusan terbesar untuknya. Gadis itu telah memutuskan mempertahankan bayinya, ia tak ingin nama cucunya terseret dalam masalah ini jika sampai diketahui bahwa Naruto lah ayah dari bayi yang Hinata kandung.
Mengeluarkan Hinata dari kampus ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan reputasinya. "Dia hanya akan memberi contoh buruk bila masih kuliah di kampus ini." Sambungnya tanpa rasa peduli sedikitpun. "Bukan begitu Yamanaka-san?" Mito melirik pada pria pirang di sampingnya. Ayah Ino itu adalah salah satu pemilik dari perusahaan donatur beasiswa di universitas ini.
Inoichi menghela nafas berat. "Aku kenal baik dengan keluarga Hyuuga, mereka tetanggaku, rasanya tak mungkin Hinata seperti itu, mungkin ada seseorang yang melecehkannya tanpa ia kehendaki."
"Yamanaka-san," Mito kembali buka suara memperkeruh suasana. "Jika dia memang korban pemerkosaan, mungkin Tsunade-san bisa menunjukkan bukti visumnya...." Mito melirik licik pada Tsunade, tentu saja ia tahu Hinata tak memiliki bukti visum itu, cucunya sendirilah yang telah menghamili gadis malang itu.
Tsunade memijat pelipisnya, ia tak punya senjata untuk menyelamatkan Hinata. Gadis baik itu benar-benar harus kehilangan masa depannya.
"Kita tidak bisa memberi kelonggaran pada mahasiswi tidak bermoral seperti itu, Yamanaka-san. Jangan hanya karena kau tetangganya kau membiarkan nama baik perusahaan kita tercoreng karena salah satu penerima beasiswa adalah wanita nakal." Uchiha Fugaku, satu lagi donatur yang mendukung keputusan Mito.
"Masih ada jalan lain selain mengeluarkannya dari kampus ini..." Haruno Kizashi salah satu donatur mencoba memberikan jalan tengah. "Kita pindahkan saja dia dari kelas reguler, di perkuliahan malam, bukankah kelas malam diperuntukkan untuk kelas karyawan, banyak mahasiswa yang sudah memiliki anak kuliah di kelas itu."
"Aku tak akan membiayai, beasiswanya walaupun jika dia masih kuliah di tempat ini." Mito membuang wajahnya kesal, satu orang menentangnya.
"Tak masalah bila anda tak mau memberikan beasiswa lagi untuk Hinata, tapi anda tak bisa menarik beasiswa untuk semua mahasiswa untuk kelas pagi, karena Hinata sudah tidak berada lagi di ranah kelas beasiswa." Inoichi akhirnya buka suara, setelah cukup lama berpikir.
Mito membuang mukanya seraya tersenyum remeh, 'Khe kelas khusus karyawan, semua orang tahu, kelas malam universitas Tokyo memiliki biaya smester yang amat fantastis, aku berani bersumpah keluarga miskin itu tak mampu membayar biaya kuliahnya. Kuliah dikelas regular saja ia mengandal beasiswa, apa lagi di kelas khusus.'
...
Tamaki menggenggam erat tangan Hinata, memberi ketenangan dan semangat pada sahabatnya itu. Mereka berdua bersama Kiba dan Shino saat ini tengah duduk di ruang tunggu rektorat, menunggu hasil keputusan masa depannya di kampus ini.
Hingga ekor matanya menangkap Karui yang melintas di hadapan mereka, sontak Hinata berdiri. "Karui-san...." Hinata menyapa petugas administrasi itu. "Apa Tsunade-sama sudah kembali ke ruangannya?"
"Ah Hinata kau disini rupanya..., Aku baru saja menghubungimu... Tsunade-sama ingin bertemu denganmu, mari aku antar keruangannya."
"Semua akan baik-baik saja Hinata..." Shino menepuk bahu Hinata sebelum sahabatnya itu mengikuti langkah Karui, diiringi dengan senyuman penyemangat dari Kiba, dan Tamaki, Hinata melangkah untuk menuju tempat dimana masa depannya ditentukan.
...
"Maaf Hinata, tapi enam puluh persen dari donatur tak bersedia memberikan beasiswa untukmu lagi, kami hanya bisa menawarkan kelas malam untukmu.... Tapi kau tak perlu khawatir, Yamanaka Group dan Haruno Medic bersedia tetap membiayai kuliah mu hanya saja...."
Hinata tersenyum simpul sambil menatap ubin dimana ia berpijak. Saat ini ia tengah duduk di hadapan Tsunade di ruang rektorat. "Aku tahu, akreditasi kelas malam universitas Tokyo, berbeda dari kelas pagi, kelas malam adalah khusus karyawan, dan itu berarti akreditasinya berada di bawah kelas pagi...." 'Dan itu setara universitas swasta....' Kecewa Hinata dalam hatinya.
Tsunade menghela nafas berat. "Kau benar, bagi mahasiswa jalur beasiswa sepertimu aku mengerti posisimu.... Kau melalui banyak perjuangan untuk bisa kuliah di tempat ini, melalui berbagai test, bila di kelas malam, kau bisa masuk hanya dengan test formalitas...."
"Tak apa..." Hinata mengangkat kepalanya, jujur ia merasa kecewa dengan keputusan yang ia terima, ijazah dari Universitas Tokyo dari kelas pagi akan sangat laris di dunia kerja bagi fresh graduate sepertinya nanti. "Aku harusnya bersyukur Tsunade-sama.... Setidaknya aku masih bisa berkuliah tanpa memberatkan keluargaku..."
Ia tersenyum tipis seraya membungkuk hormat dan berjalan menuju pintu, berpamitan pada Kiba, Tamaki, dan Shino untuk berpamitan. Ia tak akan bisa sering menghabiskan waktu bersama mereka jika telah pindah ke kelas malam nanti.
Namun saat tangannya menyentuh gagang pintu, langkahnya terhenti.
"Hinata," Tsunade menyerukan namanya dan sontak membuat ia menoleh.
"Berusahalah dengan giat, jika di semester ini kau mendapatkan nilai sempurna, aku akan mempertaruhkan reputasi ku, untuk membawamu kembali ke kelas pagi."
...
"Kita tidak usah ke rumah sakit, Naruto...." Sakura menjauhkan ponselnya setelah menyelesaikan pembicaraan dengan sang ayah. "Kita makan siang berdua saja, Papa tidak jadi ikut... Dia masih harus menyelesaikan pekerjaan di rumah sakit yang tertunda karena rapat di kampus kita."
"Rapat di kampus kita?" Beo Naruto, ia mengurungkan niatnya memutar kunci mobilnya, hari ini ia sedang tidak ada kelas di kampus, dan Sakura memintanya menemani sekaligus mengantarkannya untuk makan siang bersama sang ayah.
Sakura mengangguk seraya memasukkan ponsel ke dalam tasnya. "Seorang mahasiswi baru penerima beasiswa diketahui hamil setelah dilakukan general check up, mereka tadi membahas hal itu."
Seketika keringat dingin membahasi tengkuk Naruto, wajahnya memucat. Ia tahu siapa orang yang dibicarakan Sakura. 'Akulah yang menghamili mahasiswi itu, Sakura-chan...'
"Lalu bagaimana nasib mahasiswi itu?" Naruto tak kuasa menutupi rasa kekhawatirannya pada Hinata.
"Enam puluh persen donatur, termasuk nenekmu, menolak memberikannya beasiswa, tapi Papa memberikan solusi, agar dia tetap bisa berkuliah di kampus kita. Dia harus dipindahkan ke kelas malam khusus karyawan agar tak menjadi contoh buruk bagi mahasiswa reguler." Jelas Sakura seraya merapikan surainya di kaca spion depan.
'Hyuuga pasti tak mampu membayar biaya kuliah kelas malam, aku akan membayarnya secara diam-diam...' Batin Naruto kembali lancang berniat, ia mencoba membantu seseorang yang telah ia rusak masa depannya.
"Tapi tentu saja Papa tak berpangku tangan, ia bersama ayahnya Ino sudah memutuskan tetap membiayai mahasiswi itu."
Entah mengapa hati Naruto seperti diremas dari dalam, mendapati dirinya sama sekali tidak berguna untuk Hinata, membuatnya semakin tersiksa. 'Sial! Mengapa perasaan ini datang lagi!'
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top