27. Lembaran Baru

Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Pagi ini setelah dua hari Hiashi dirawat di rumah sakit, mereka akan kembali ke istana dimana mereka selalu bercengkrama. Pemandangan apik tersaji amat sempurna. Hiashi seolah enggan melepaskan rangkulannya dengan sang Puteri kesayangan ketika berjalan di koridor rumah sakit menuju lobi.

Tak jauh berbeda dengan Hanabi, di sisi lain Hinata si bungsu itu menggelanyutkan lengannya pada lengan Hinata, seolah takut kembali kehilangan kakaknya.

Tiba di loby langkah ke tiganya terhenti, mendapati Tenten tengah berdiri di depan counter rawat jalan. Wanita keturunan Cina itu lalu beranjak dari counter pendaftaran, menghampiri keluarga barunya. "Aku sudah mendaftarkannya, praktek dokternya sebentar lagi..."

Dahi Hinata menukik ketika sang kakak ipar bicara pada sang ayah. 'Siapa yang Tenten-nee daftarkan...?' Ia kira Tenten mengikuti Neji keluar lebih dahulu dari ruang rawat sang ayah adalah untuk membantu suaminya membawa barang-barang Hiashi selama menginap di rumah sakit.

"Bagaimana?" Neji tiba dari halaman parkir setelah memasukkan semua barang-barang.

"Sebentar lagi dokternya praktek, kita tak perlu pulang ke rumah dulu...." Jawab Tenten, yang diiringi oleh senyuman dari Hiashi dan Hanabi.

Hinata menoleh bergantian ke kanan kiri pada ayah dan adik yang berada dalam rangkulannya. Sepertinya hanya ia yang tak mengerti apapun disini.

"Ayo... Nee-sama dan Tou-sama tidak boleh lama-lama berdiri...." Hanabi sedikit menarik Hinata, dan keluarga Hyuuga pun pergi ke suatu bagian di rumah sakit ini yang Hinata sendiripun tak mengetahuinya.

...

"Maternity Poly?" Hinata membaca ulang tulisan yang terpampang di pintu kaca di hadapannya. Pikiran buruknya berkecamuk, ia ingat bagaimana Naruto membawanya untuk mengugurkan janinnya. Rasa trauma itu menghantui benaknya, ia menggeleng kuat, sontak melepaskan rangkulannya pada Hiashi dan Hanabi.

"Hinata!" Neji menarik lengan Hinata yang mencoba melarikan diri.

"Ku mohon jangan bunuh bayiku..." Hinata mengiba, menangkupkan tangannya di hadapan sang kakak.

"Anak bodoh...." Hinata merasa sebuah pelukan melingkari tubuhnya. Hiashi memeluknya dari belakang. "Kau kira kami akan melenyapkan keluarga sendiri...."

Hinata menoleh, menatap sendu pada sang ayah. Ia tak mengerti maksud dan tujuan sang ayah.

"Kita datang kesini untuk melihat aka-chan*," Tenten mendekat pada Hinata dan mengelus perut ratanya sekilas.

Bulir-bulir air mata haru menghiasi pelupuk mata Hinata, ia menatap satu persatu anggota keluarganya. "Terimakasih..." Ucapnya haru, dan langsung dibalas dengan lingkaran pelukan keluarganya.

"Jangan pernah menganggap kami orang lain lagi Hinata, bayimu adalah bagian dari kita...." Bisik Hiashi pelan.

"Kita akan menghadapi dunia bersama...." Isakan halus itu kian terdengar saat Neji membisikkan hal yang amat menyentuh baginya.

"Kami selalu ada untukmu, Nee-sama...." Sambung Hanabi.

"Jangan pernah menganggap kami orang lain....." Dan penutup dari Tenten membuat pelukan keluarga itu semakin mengerat.

Ikatan keluarga memang tak pernah bisa diputuskan, sejauh apapun kau berlari, keluarga adalah tempat ternyaman untukmu kembali. Tak akan pernah ada penolakan disana. Seburukpun kondisimu, keluarga tak akan pernah membuangmu, mereka berada di barisan terdepan untuk melindungimu.

Hinata mendapatkan kembali posisinya sebagai cahaya di keluarga Hyuuga. Sinarnya semakin terang karena pantulan kasih sayang keluarganya, mereka tak akan pernah terpisahkan kendati petaka besar akan segera menguji mereka.

...

"Keadaan janinnya baik-baik saja, sudah menginjak enam Minggu..." Orochimaru menyelesaikan kegiatannya pada alat pendeteksi di permukaan perut Hinata.

Hanabi langsung membantu sang kakak duduk sembari membenarkan bagian perut pakaian Hinata yang terbuka.

Orochimaru kembali duduk di kursinya, di hadapannya sudah duduk Neji dan Hiashi, sementara Hanabi dan Tenten membantu Hinata turun dari ranjang. Dokter kandungan itu tersenyum saat melihat Hinata masuk ke dalam ruangan prakteknya dengan didampingi keluarganya lengkap.

"Tak ada masalah serius pada ibu dan bayinya..." Orochimaru melirik pada Hinata, dan Hinata membalas dengan kedipan mata, mengisyaratkan si dokter untuk merahasiakan riwayat medisnya. Ia sudah berulang kali datang ke tempat ini, saat Naruto berencana menggugurkan kandungannya, saat Naruto menekan perutnya di lorong sepi, bahkan saat ia menjadi korban kejahatan, Orochimaru lah dokter kandungan yang menanganinya.

Ia tak ingin keluarganya mengetahui apapun hal berat yang ia bayinya telah alami, apalagi yang disebabkan oleh Naruto. Hinata tak ingin ada masalah baru menyangkut Naruto lagi. Pria itu tak pernah ia izinkan lagi memasuki kehidupannya.

"Aku akan membuat resep vitamin, tapi yang paling Hinata butuhkan adalah dukungan moril dari kalian..." Sambung si dokter sembari menulis di atas kertas.

Hiashi, Neji, Hanabi dan Tenten mengangguk dengan semangat, bukan hanya dukungan moril, mereka akan melakukan apapun untuk melindungi dan membahagiakan Hinata.

...

"Sakura-chan, kau tunggu disini sebentar, aku akan menebus resepmu..." Naruto mendorong kursi roda Sakura ke samping kursi tunggu di apotik Tokyo Hospital. Hari ini dokter yang menangani perawatan Sakura sedang tidak praktek di Haruno Hospital, sedangkan Sakura tadi pagi mengeluh dengkulnya terasa sakit.

Dan seperti biasa, seolah telah bergantung dengan Naruto, ia meminta Naruto untuk menemaninya memeriksakan kakinya di Tokyo Hospital, karena sang dokter tengah praktek disana.

Langkah kakinya terhenti, safir birunya menangkap pemandangan yang menyentil hatinya. Hinata masuk dari pintu apotik dengan dirangkul sang Ayah dan adik. "Yokatta," Tanpa sadar kalimat syukur itu meluncur dari bibir merah kecokelatannya. Melihat Hinata baik-baik saja entah mengapa ada perasaan yang menghangat disana. "Apa bayinya masih bertahan...?" Lucu, pertanyaan lancang itu terlontar begitu saja dari mulut kejam Naruto yang dulu menginginkan kematian darah dagingnya.

"Haruno Sakura..." Naruto tersadar, dari microphone apotik rumah sakit terdengar dengan jelas nama Sakura didengungkan, resep atas nama cinta pertamanya itu telah selesai diracik dan ia harus bergegas mengambilnya di counter.

...

"Haruno Sakura..."

Hinata memejamkan matanya rapat, memegang dada sebelah kirinya, saat nama gadis musim itu menggema di micorphone apotik rumah sakit. Ia bukannya bodoh, ia tahu Sakura berada di rumah sakit ini, iris mutiaranya bahkan sempat menangkap pemandangan dimana Naruto dengan setianya mendorong kursi roda Sakura.

Sebuah rangkulan kuat ia rasakan pada bahunya, Neji yang duduk di sampingnya menguatkannya. "Jangan pernah memikirkan hal itu lagi, ada kami...." Ia tahu hati Hinata pasti merasa sakit mendengar nama itu, apalagi ia tahu bahwa Naruto pasti bersama dengan gadis merah jambu itu, kendati ia tak melihat secara langsung seperti Hinata.

Hinata beruntung hanya ada Neji disini, Tenten bersama Hiashi sedang menemui dokter spesialis jantung untuk meminta resep, sedangkan Hanabi sedang mengantri di counter apotik untuk menebus resepnya. Tangan putihnya menyeka sekilas air matanya, kendati ia mengaku bisa hidup tanpa Naruto, tapi melihat ayah dari anaknya begitu indah memperlakukan wanita lain membuat hatinya terasa sakit. Bukankah, ia dan anak dalam kandungannya jauh lebih berhak atas perhatian Naruto.

...

Pintu gerbang rumah sederhana itu terbuka, Neji lalu kembali menghampiri mini vannya, lalu membuka pintu depan dimana Hinata duduk. Bagai tuan puteri, Neji membukakan pintu untuk Hinata, disusul oleh Hiashi yang menyambut tangannya, dan Hanabi yang merangkulnya di sisi lain. Tenten dengan senang hati membawa tas jinjingnya, perlakuan luar biasa keluarganya membuat Hinata seolah tak menginginkan apapun.

"Okaerinasai Hime..." Hiashi mengecup sekilas kening sang puteri yang ditutupi oleh poni rata.

Hinata kembali pada keluarganya, membuka lembaran baru bersama keluarganya, orang-orang yang tak akan pernah mengkhianatinya. Ia akan berjuang walau tanpa mataharinya lagi, tak pernah ia pikirkan sebelumnya bahwa cinta yang ia jaga bertahun-tahun untuk Naruto harus berakhir seperti ini.

Menatap sendu rumah sederhana di hadapannya, ia mengelus pelan perut ratanya. Setidaknya ada sesuatu yang berharga yang tak Naruto renggut darinya. Buah hati mereka.

...

"Kau sudah siap.....?" Hiashi mengecup sekilas pucuk kepala Hinata yang menghampirinya yang tengah menikmati sarapan. Hari ini semua akan berjalan seperti biasa, Neji dan Tenten akan kembali membuka kantin mereka, Hinata dan Hanabi akan kembali melanjutkan pendidikannya.

Hinata mengangguk yakin, ia lalu duduk di sisi sang ayah lalu menyendokkan satu sendok sup ayam pada mangkuk yang telah disiapkan Tenten.

"Jangan lupa bawa vitaminmu dan jangan kelelahan..." Tenten duduk di hadapan Hinata meletakkan satu buah telur dadar di dalam mangkuk Hinata.

Hinata mengangguk sembari tersenyum, ia sangat bahagia semua keluarganya menerima keadaannya. "Kau tidak berangkat bersama Neji-nii?" Pandangan Hinata mengikut langkah Tenten menuju dapur.

"Kalian pergi saja lebih dahulu, aku dan Hanabi akan pergi bersama dengan sepeda, kantin di Sekolah Hanabi juga perlu dipantau, kami merekrut pegawai baru, karena pegawai yang lama sudah mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik." Jawab Tenten dari balik pintu dapur.

"Hinata..." Neji duduk di hadapan Hinata di tempat yang baru saja diduduki oleh Tenten, wajahnya nampak sangat khawatir, dengan keputusan Hinata untuk kembali ke kampus itu, bagaimanapun Naruto berada di sana, ia tak ingin luka hati sang adik semakin menyeruak. "Kau yakin?"

Hinata mengangguk yakin menjawab pertanyaan sang kakak. "Hidupku harus tetap berlanjut Nii-san..." Ia tersenyum tanpa beban, menutupi rasa takut yang menjalar di hatinya. Ia takut Naruto akan menyakiti bayinya lagi, ia takut melihat kedekatan Naruto bersama Sakura, bahkan takut melihat senyum lepas tanpa beban Naruto setelah apa yang pria itu lakukan pada hidupnya.

"Aku akan meminta Kiba dan Shino untuk menjagamu..."

"Tidak perlu Nii-san..." Ia tak ingin merepotkan siapapun lagi.

"Hinata-nee...," Hanabi buka suara setelah menyelesaikan sarapannya. "Aku percaya kau sangat kuat, jangan biarkan apapun yang bisa menyakitimu masuk ke dalam hatimu..."

...

Gerbang Tokyo Universty menjulang tinggi di hadapannya, mini van Neji berhenti tepat di depannya, sementara Neji sedang melapor pada pos penjagaan terkait izin parkirnya yang sudah kadarluasa. Senyum kecut menyungging dari bibir peachnya, ia ingat alasan utamanya untuk bisa masuk di universitas ini, bagaimana ia mencintai Naruto hingga menentang keluarganya, kini pria itu membuangnya, dan bahkan menghabiskan waktu bersama dengan gadis musimnya, pada akhirnya keluarganyalah yang kembali membuka pintu maaf untuknya merangkul, bahkan bersedia menerima benih yang pria itu titipkan pada rahimnya.

Hinata tesentak dari lamunannya, saat Neji kembali memasuki mini van itu. "Bagaimana Neji-nii" Tanyanya saat sang kakak sudah duduk di kursi kemudi.

"Semua sudah beres... kita sudah bisa berjualan lagi..." Neji menepuk pelan pucuk kepala sang adik. Ia menghela nafas, "baiklah, hari ini kita akan memulai lembaran baru...."

Iris mutiara Hinata kembali tertuju pada banguan luas di hadapannya, ia mengubah alasannya untuk memasuki tempat ini, bukan untuk menjadi obat kesepian bagi seseorang yang telah membuangnya. Di tempat ini ia akan memberikan ke banggaan pada keluarganya, keluarganya yang selalu ada untuknya.

...

"Hinata!!!!" Lengkingan kencang memekakkan telinga Hinata ketika ia baru menapakkan kakinya di koridor utama Tokyo University, Kiba, Shino dan Tamaki berdiri disana. Bahkan Kiba membawa rangkaian bunga besar di tangannya.

Neji yang berdiri di samping Hinata untuk mengantarkannya merangkul erat bahu sang adik. "Kau lihat, satu orang yang membuangmu... ada banyak cinta yang berdatangan untumu....."

Hinata berjalan pelan mendekat pada Shino, Kiba dan Tamaki, ia terisak pelan, rasa haru menyelimuti batinnya. Sahabat-sahabatnya, sahabat-sahabatnya yang telah ia manfaatkan untuk membohongi keluarganya demi Naruto, hari ini mereka menjadi orang pertama yang menyambutnya di kampus ini. Kiba maju ke depan lebih dahulu, lalu menyodorkan satu rangkaian bunga besar.

"Hiks...." Hinata tak mampu membendung rasa harunya, ia menerima rangkaian bunga itu. Ia menoleh pada Tamaki yang berdiri di samping Kiba, gadis itu merentangkan tangannya meminta Hinata memeluknya. Isakan Hinata kian kencang, dan Tamaki menariknya kedalam pelukan, "gadis bodoh...." Tamaki mengelus punggung Hinata yang terisak. "Kenapa tak bicara apapun pada kami.....?" Tamaki, Shino, dan Kiba telah mengetahui semuanya, Hanabi meminta bantuan mereka ketika mencari Hinata, dan hal itu membuat mereka bertiga mengorek informasi dari Hanabi atas kepergian Hinata.

"Kami akan selalu menjaga dan membantumu...." Shino menepuk bahu Hinata pelan.

Hinata melerai pelukannya dari Tamaki, memandangi satu persatu sahabatnya yang selalu ada untuknya. Ia tak pernah sendirian, ada banyak orang-orang yang begitu menyayanginya.

...

Berbanding terbalik dengan Hinata yang dapat melihat dengan jelas orang-orang yang tetap berdiri di sampingnya ketika ia berada di kondisi terendahnya, Naruto justru kehilangan satu persatu orang yang ia percaya, dimulai dari sahabat masa kecilnya yang ia anggap seperti saudar, Uchiha Sasuke. Ia tersenyum kecut ketika safir birunya disuguhkan pemandangan apik pagi ini, ketika ia melewati koridor utama kampusnya hatinya tercubit kecil, Hinata kembali ke kampus, dan bukan bagian dari mereka yang menyambut Hinata.

"Mulai saat ini Naruto-kun tak boleh merasakan kesendirian lagi...."

Ucapan Hinata terputar kembali di memorinya, ia berbalik memunggungi Hinata yang mendapat penyambutan dari sahabatnya.

'Aku kembali sendirian, Hinata....'

...

"Oi....." Naruto tersentak saat punggungnya ditepuk oleh Sai. Ia menoleh sembari tersenyum kecut. Ia baru saja menyelesaikan kelasnya pagi ini dan berniat menuju gedung akademis untuk menyerahkan formulir akhir cuti Sakura.

"Kau nampak murung seharian, apa karena gadis itu sudah kembali dari kampus?" Mulut tanpa filter Sai membuat telinganya panas, ia berpaling lalu mendecih kesal. "Bukan urusanmu." Jawabnya ketus.

"Apa kampus ini tahu dia sedang hamil?"

Iris biru Naruto membulat sempurna, ia menatap Sai dengan pandangan seolah ingin membunuh. "Jangan pernah mencampuri hal yang bukan menjadi urusanmu."

"Kau nampak sensitif sekali, apa karena bawaan bayi dalam kandungan- hmmmppp..."

Belum sempat Sai melanjutkan kalimatnya, Naruto membekap mulut tanpa saringan itu.

"Hhhhhhhhh..." Sai terengah setelah bekapan Naruto terlepas darinya, ia mengangkat tangan menyerah, Naruto terlalu sensitif untuk diajak bercanda, jika memang ia hanya menganggap Hinata seperti mainannya yang lain, tak seharusnya ia semarah ini ketika menyinggung Hinata.

"Kau nampak sangat serius..."

"Bukan urusanmu," Naruto mengubah posisi tas ranselnya ke depan untuk mengambil kelengkapan berkas Sakura disana.

"Kau mengkhawatirkannya, aku melihat dari matamu..." Sai tahu Hinata memiliki arti berbeda bagi Naruto, namun pria itu seolah tengah menutupinya. Pemuda pirang itu hanya melemparkan tatapan tajam padanya. "Aku hanya ingin memberi tahu padamu, semua mahasiswa tingkat pertama hari ini akan menjalani general chek up yang diadakan kampus. Kau tahu, cepat atau lambat kehamilan gadis itu akan tersebar, dia adalah mahasiswa beasiswa, kemungkinannya untuk dikeluarkan dari kampus sangat besar mengingat keadaannya yang hamil tanpa suami."

Tepat bersamaan dengan berlalunya Sai, Naruto menampakkan wajah ketakutan yang amat luar biasa, bila Hinata diketahui sedang mengandung, dan menyeret namanya, reputasinya di kampus ini bisa hancur. Namun bukan itu alasan utama kegelisahannya, ia takut, ia takut Hinata akan dikeluarkan dari kampus ini. Lucu, bukankah kau tak perlu mengkhawatirkan hal ini, bukankah dia sudah tidak berarti apapun untukmu.

つづく

Tsudzuku

*Aka-chan= bayi*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top