24. Membohongi Diri Sendiri
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Tangannya bergetar ketika benda melantunkan bunyi musik, sebuah panggilan video mencoba masuk dalam jaringan ponselnya. Namun ia justru tampak gelisah. Iris gioknya mengitari seisi ruangan, ia tak bisa menghindar lagi. Sudah satu pekan tunangannya terus mencoba menghubunginya, namun ia abaikan.
Tidak, bukan karena tak cinta lagi. Jujur, cinta Sakura bagi si bungsu Uchiha itu tak pernah sedikitpun berkurang. Bahkan saking begitu besarnya cinta yang ia miliki untuk Sasuke, dirinya bahkan tak ingin menjadi beban bagi pria itu. Terlebih lagi dengan keadaannya yang kini tak mampu berjalan.
Suara dering itu berhenti, Sakura menghela nafasnya lega, 'sampai kapan aku terus begini?' Tanyanya sendiri di dalam hati.
Baru saja ia merasa lega karena panggilan video Sasuke berhenti, kini sebuah nada pendek mendengung pada telinganya. Sebuah pesan masuk diterima oleh ponselnya.
Sakura angkat video callku.
Kelopak mata putihnya memejam erat, ia tak sanggup, ia tak sanggup berbohong lagi pada kekasihnya. "Tapi jika aku jujur.... Aku hanya akan menjadi beban untuk Sasuke-kun...."
Uchiha dengan segala kesempurnaannya membuat Sakura begitu bahagia bisa bersanding dengan cinta pertamanya itu. Terlebih setelah kemelut cinta segitiga yang mereka hadapi bersama Naruto, membuat hubungan mereka penuh dengan perjuangan. Bagaimana ia terus berjuang untuk dapat selalu berada di dekat Sasuke yang terus menolaknya demi menjaga perasaan Naruto.
Dan kini saat hubungan mereka telah terjalin ke jenjang yang lebih serius, justru kenyataan pahit yang harus ia hadapi, kakinya mengalami kelumpuhan yang divonis permanent, kendati hanya sepuluh persen kesempatannya untuk sembuh, ia tak bisa banyak berharap. Hampir dua bulan ia menjalani terapi namun hasilnya nihil.
Kembali, ponselnya berdering. Sasuke tak patah arang untuk berbicara langsung dengannya. Otaknya mulai berputar. Haruskah ku akhiri semua ini...
...
"Kenapa?" Iris gioknya mencoba menyelami safir biru di hadapannya, mencoba mencari jawaban dari pandangan bagai samudera itu.
Senyum tipis terukir dari bibir merah nan kecokelatan Naruto. "Jangan membohongi dirimu sendiri Sakura-chan... Aku tahu bagaimana kau mencintai Sasuke?"
"Khe..." Gadis itu tertawa miris seraya memalingkan pandangannya pada jendela. "Bahkan kau yang selalu berulang kali mengungkapkan cinta padaku, kini menolak ku..." Genggamannya pada tangan sang sahabat terlepas, ia menghapus lelehan air bening yang membasahi pipinya. "Apa lagi Sasuke-kun yang selama ini ku kejar cintanya..."
"Sakura-chan kau bicara apa?" Naruto berusaha menarik dagu Sakura agar dapat melihat wajahnya, namun dengan cepat tangannya di tepis.
"Jangan sentuh aku!" Ujarnya dingin tanpa ada niatan untuk menoleh. "Aku tahu kau pasti menginginkan wanita yang sempurna untuk menjadi pendamping hidupmu. Aku hanya gadis lumpuh, demi kau aku telah merelakan kakiku..."
Batin Naruto tercubit, Sakura benar. Keadaan Sakura seperti karena menyelamatkan nyawanya. "Sakura-chan... Cintaku padamu tak pernah luntur sedikitpun..." Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutnya, namun ada rasa gelisah di benaknya, sesuatu yang mengganjal. "Tapi aku tak bisa mengkhianati Sasuke..." Ucapannya melirih.
"Sasuke-kun akan mengorbankan apapun untuk kebahagiaanku dan dirimu..."
Dahi Naruto berkerut, "Sakura-chan, hatimu tak akan begitu saja berpindah dari Sasuke." Ia merasa heran ada sesuatu yang janggal dengan pernyataan cinta tiba-tiba dari Sakura.
"Kau tahu..." Sakura kembali tersenyum, ia menggamit tangan Naruto, dan menggenggamnya erat. "Cinta bisa datang karena terbiasa..."
Naruto tersenyum kecut mendengar ucapan Sakura, cinta memang hadir karena terbiasa, dulu ia merasakan hal itu saat bersama Sakura semasa sekolah dulu. Dan kini, rasa terbiasa itu telah diciptakan oleh seseorang, seseorang yang telah ia hancurkan hidupnya. Ia mulai terbiasa dengan Hinata, ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam lalu, ia mencari Hinata untuk menyalinkan tugasnya, dan kakinya tanpa sadar berjalan ke gedung fakultas itu.
"Naruto..." Sakura kembali menyuarakan namanya, lamunannya seketika terbuyar. "Apa kau mencintai gadis lain?"
'Mencintai gadis lain?' Hatinya bertanya-tanya. Iris safirnya memandang dalam pada giok di hadapannya, Sakura-chan nya. Sakura-cha nya yang begitu ia puja kini menyatakan cinta padanya, bukankah keadaan ini yang selama ini ia tunggu-tunggu. Kendati setelah Sakura dan Sasuke resmi menjalin kasih, ia sudah merelakan namun hati kecilnya selalu menginginkan Sakura. Entahlah itu perasaan cinta yang begitu dalam atau rasa tak rela ketika seseorang yang dulu selalu memperhatikanmu kini lebih menghabiskan waktu bersama orang lain.
"Aku akan bicara baik-baik pada Sasuke-kun... Dia akan mengerti, rasa bisa pudar, kapanpun karena jarak, bukan?" Ucapnya terdengar santai, namun jauh di dalam lubuk hatinya, sungguh berat baginya untuk menyatakan ini.
'Maafkan aku Naruto, aku memanfaatkanmu agar Sasuke menjauh dariku... Hampir satu pekan aku memikirkan ini, ini adalah akhir yang baik untukku dan Sasuke, sejak kecil ia selalu dibandingkan dengan kakaknya, ia begitu membanggakan ku di hadapan keluarganya, dan aku tak mau kelumpuhan ku menjadi alasannya untuk jatuh di hadapan keluarganya sendiri.... Maafkan aku Naruto... Tapi bukankah selama ini yang kau inginkan.., memilikiku. Kendati hatiku hanya untuk Sasuke-kun.'
Naruto mengangguk setuju, inilah keadaan yang selama ini ia tunggu, saat dimana Sakura sudi melihat semua usahanya. Ia mengeratkan genggamannya pada gadis musim semi cinta pertamanya itu, namun ada rasa gelisah di benaknya.
'Mulai sekarang Naruto-kun tak boleh merasa kesepian lagi.... Aku akan selalu ada untuk Naruto-kun...'
'Aku sangat menyayangi Naruto-kun...'
'Naruto-kun... Aku sangat percaya padamu, melebihi diriku sendiri....'
'Naruto-kun aku bahagia kau akan bertanggung jawab atas bayi kita...'
'Naruto-kun kumohon jangan bunuh bayi kita...
'Kau bukan Naruto-kun yang ku kenal...'
'Jika kau sudah puas menjadikanku sebagai pionmu, dan kau merasa bahagia, kami tak akan memaksa mu... Biarlah anak ini hanya akan menjadi anakku.....'
Hatinya seperti diremas dari dalam, tiba-tiba satu persatu ucapan Hinata berputar di kepalanya. Hari ini semua aliran syarafnha seolah menyambungkan kenangan bersama Hinata, Hinata pion yang ia gunakan untuk membalas dendam atas kelumpuhan cinta pertamanya yang kini telah ia dapatkan.
'Harusnya aku bahagia... Bukankah selama ini, keadaan inilah yang aku inginkan, Sakura-chan membalas cintaku... Namun ada ruang hampa di hati ini, rasa kosong yang ku rasa saat kepergian Tou-chan dan Kaa-chan...'
'Kesepian dan kehampaan yang selama ini kau rasakan, kau pantas mendapatkannya...' Dan kalimat terakhir yang Hinata ucapkan kepadanya kini berputar di kepalanya. Ia meraih pundak Sakura, mendekapnya erat, menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher cinta pertamanya itu, demi menetralkan perasaan gelisah yang merajai benaknya.
...
"Kau diskorsing selama satu pekan."
Hanabi tak bergeming dari pandangannya pada layar ponsel, ia masih terus berusaha menghubungi nomor ponsel Hinata, berharap sang kakak menjawab teleponnya. Bahkan ucapan Neji dari ambang pintu kamarnya ia abaikan.
"Baguslah, aku akan lebih mudah mencari Hinata-nee, tanpa harus membohongi kalian." Jawabnya acuh.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu berkeliaran begitu saja." Kini suara yang ayah mendominasi, akhirnya Hanabi menolehkan kepalanya. "Neji, mulai malam ia pindahkan dia ke kamar Hinata pasang gembok dan jangan ada yang membukakannya pintu kecuali untuk mengantarkan makanan, sita ponselnya sampai dia menyadari kesalahannya."
Mata Hanabi terbelalak, ucapan sang ayah mulai ia cerna, ia akan dikurung di kamar Hinata, karena di rumah ini hanya kamar Hinata dan Hiashi lah yang memiliki kamar mandi di dalam kamar. Bangkit mencoba menyusul sang ayah, namun gagal karena Neji mencengkram lengannya kuat "Tou-sama!!!"
"Hanabi menurut lah!" Neji mengeratkan cengkeramannya pada lengan sang adik.
"Kalian berdua tak punya hati!" Umpatnya kesal, sembari meronta saat tubuhnya diseret Neji menuju kamar Hinata.
...
"Akhirnya kau mau menjawab panggilanku."
Sakura mencoba menahan senyum bahagianya ketika panggilan video dirinya dengan Sasuke tersambung. 'Aku sangat merindukanmu Sasuke-kun... Maaf karena hari ini aku akan menghancurkan hatimu... Tapi semua ini untuk kebaikanmu...'
"Ya begitulah." Sakura memasang ekspresi sedingin mungkin.
"Bagaimana kabarmu?" Tanya Sasuke datar, namun Sakura dapat menemukan perhatian Sasuke di balik nada bicaranya yang datar.
"Tak begitu baik, aku punya kekasih, tapi seperti tak memilikinya." Jawab Sakura ketus.
"Apa maksudmu bicara seperti itu, hm? Sudan bosan padaku?" Tanyanya dengan maksud menggoda Sakura, ia pikir kekasih merah mudanya itu tengah merajuk seperti biasa.
"Aku rasa sebaiknya kita sudahi hubungan ini."
"Jangan bercanda Sakura, pernikahan tahun depan." Sasuke mulai berekspresi, alisnya menukik, Sakura menyadari kekasihnya itu mulai jengah.
"Jika ada orang yang selalu ada untukku, apa aku masih membutuhkan seseorang yang jauh lagi?"
"Sudah ku duga, khe...." Sasuke mengalihkan pandangannya dari kamera ponsel. "Kau dan si Dobe itu, ku pikir selama ini kedekatan kalian murni karena rasa bersalahmu menolak cintanya."
Sakura tersenyum tipis menutupi hatinya yang sedang tercabik. Sebelum keberangkatan Sasuke ke Belanda, memang bungsu Uchiha itu sempat menaruh curiga pada hubungannya dengan Naruto, dan hal ini semakin membantu Sakura untuk menjauh dari Sasuke.
"Kau selalu bersikap dingin dan datar padaku, apa salah jika hatiku berpaling pada seseorang yang lebih memperhatikan ku..." Bibirnya keluh untuk menyampaikan kata-kata kejam itu, namun ia tak punya pilihan lain.
"Khe... Kalian berdua bermain di belakangku selama ini..." Sasuke menarik senyum sakratis dari bibirnya. Ia akui selama berhubungan dengan Sakura ia bukanlah pria romantis, atau pria yang selalu perhatian pada Sakura seperti Naruto, ia pria dingin datar, namun bukan berarti ia tak mencintai Sakura, terbukti dengan keseriusannya melamar dan mengikat Sakura dalam jalinan pertunangan di usia muda.
Dan keberangkatannya menjalani pertukaran mahasiswa bukan semata demi masa depannya seorang. Ia ingin menyelesaikan kuliahnya sesingkat mungkin, untuk dapat segera menikahi Sakura. Ia bisa mengambil gelar master setelah menikah dengan Sakura, dan mengambil jabatannya sebagai kepala divisi legal di perusahaan keluarganya.
"Kau pikir bisa semudah itu mengkhianati dan lepas dari ku, Haruno Sakura?"
Deg
Jantung Sakura berdegup kencang, pria itu memanggil nama lengkapnya, ia dalam emosi tertingginya. "Banyak gadis yang menginkanmu." Kali ini ucapan Sakura melirih, tak seketus tadi.
"Tapi aku hanya menginginkanmu, lihat saat aku pulang, aku akan mengambil apa yang menjadi milikku."
Panggilan video berakhir, bersamaan dengan itu lelehan air mata mengalir deras dari kelopak mata Sakura. 'Sasuke-kun, gomenasai...'
...
"
Naruto-kun.... Kumohon jangan bunuh bayiku... Aku tak akan menyusahkanmu lagi..."
"Hhhhhhh......" Nafasnya memburu, seketika kelopak mata kecokelatannya terbuka, safir birunya terbelalak lebar. Ia bermimpi buruk, bayang-bayang Hinata dan setiap kata-kata yang ia ucapkan kini bahkan merambah ke mimpi Naruto.
Meraih gelas berisi air putih di nakasnya, lirikan mata biru pria itu teralih pada ponselnya.
"Teme? 71 kali panggilan tak terjawab?" Ia memutuskan untuk meminum airnya sebelum membuka pesan bertubi-tubi dari Sasuke yang masuk ke ponselnya.
Khe pengkhianat, tak berani mengangkat panggilanku, khe..
Dobe urusanmu denganku baru dimulai.
Naruto mengusap kasar wajahnya, ia tertidur begitu pulas malam ini. Selain karena perbedaan waktu yang cukup jauh antara Jepang dan Belanda, mimpi buruk Naruto juga menjadi salah satu faktor ia mengabaikan panggilan Sasuke.
Mengabaikan pesan bernada ancaman dari sang sahabat, ia justru beralih ke fitur lain di ponselnya. Membuka menu galeri, senyum tipis justru terukir kala ia menemukan satu jejak digital. Fotonya bersama Hinata masih tersimpan rapi di folder khusus ponselnya, ia bahkan tak mengerti mengapa beberapa waktu lalu ia membuat folder khusus untuk merekam jejak digitalnya bersama gadis itu.
Bukankah gadis itu tak lebih dari pionnya? Ia tersenyum geli, bagaimana ia bisa terbawa arus terlalu jauh saat bersama Hinata, tiba-tiba ingatannya mundur, tadi pagi Sai memberitahu Hinata keluar dari rumahnya dengan memeluk tas besar.
Apa kau baik-baik saja di luar....?
Maafkan aku Hinata... Aku tahu kau tak sepantasnya menerima ini....
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top