23. Arti Kehadiran

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Sial!!!" Rahangnya mengeras, raut penuh kemarahan tergambar jelas pada wajah tampannya. Naruto mengumpat kesal seraya meletakkan tas ransel mahal itu di punggung berototnya. "Dosen sial itu kembali menyuruh menyalin KUHP...." Ocehnya kesal sembari berjalan keluar dari kelasnya.

...

Setengah berlari, ia berjalan cepat menyusuri lorong yang menghubungkan antara satu gedung fakultas dengan gedung fakultas lain. Menuju ruang fakultas Managemen Bisnis, niat utamanya adalah menemui seseorang, seseorang yang selalu menjadi jalan keluar dari masalahnya. Hyuuga Hinata.

...

Senyum sumringah terukir dari bibir merah kecokelatannya, saat kakinya menapak tepat di lantai ubin gedung fakultas managenen bisnis. Dengan sigap ia meraih ponsel dari saku celana jeans mahal miliknya, dengan cepat ia menekan tombol di layar sentuhnya dan mencari sebuah nama, Hime.

"Sial!" Ia mengumpat kasar, bersamaan dengan jemarinya yang terhenti menekan tombol panggilan. 'Bagaimana aku bisa berpikir untuk mencarinya?' Sepertinya Naruto harus kembali mencari seseorang yang mau ia bayar untuk menyalin semua tugasnya.

Memasukkan kembali ponsel mahal itu ke dalam saku celananya, Naruto mengusap kasar wajahnya. Bisa-bisanya ia mengingat Hinata sebagai jalan keluar dari masalahnya. 'Aku dan gadis bodoh itu sudah berakhir...' Ia menyangkal hatinya, tanpa ia sadari otak dan tubuhnya mencari Hinata, Hinata yang telah buang, adalah orang yang paling ia butuhkan dalam hidupnya.

'Kau sudah tidak membutuhkannya lagi, Naruto.' Ucapnya pada dirinya sendiri, ia tersenyum geli bagaimana ia otaknya bisa memikirkan nama Hinata pertama kali saat ia mendapat masalah, dan nama Hime itu, ia masih menyimpan kontak Hinata dengan nama yang begitu indah. Kepalanya menggeleng, pertanda ia tak percaya dengan hal yang ia lakukan, mengingat kembali orang yang memang ingin ia lupakan.

"Naruto-san...!!!" Baru saja tubuhnya berbalik berniat untuk meninggalkan gedung fakultas yang menjadi saksi dustanya, sebuah panggilan yang mendengungkan namanya membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh, dahinya berkerut mendapati seorang gadis bersurai yang tak ia kenal berlari ke arahnya.

"Ah perkenalkan, namaku Tamaki..." Gadis itu membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat ketika telah berada di hadapan Naruto.

Kelopak mata kecokelatannya memicing sinis, 'gadis ini adalah teman gadis sialan itu.' Umpatnya dalam hati saat ingatannya mundur ke belakang. "Hm, ada perlu apa?" Tanyanya acuh sembari membuang muka.

Alis tamaki menukik, ia tak habis pikir bagaimana sahabatnya yang polos dan berhati baik itu bisa mencintai pria angkuh macam Naruto. Ia menarik nafas, jika bukan karena hal penting yang akan ia tanyakan, ia tak sudi berusan dengan Naruto.

"Gomenasai, Naruto-san... Apa Hinata menghabiskan waktu bersamamu selama sepekan ini...."

Rasa penasaran menggelitik batin Naruto, 'Satu pekan yang lalu?' Tanyanya pada dirinya sendiri, ingatannya mundur pada kejadian satu pekan yang lalu, saat keluarga Hyuuga datang ke rumahnya untuk mengemis pertanggung jawaban. "Apa yang terjadi padanya?" Kembali, tanpa sadar, kali ini lidahnya dengan lancang memberikan perhatian pada seseorang yang telah ia dorong dalam lubang kegelapan yang amat dalam.

"Ia mengajukan cuti dua pekan lalu untuk pernikahan kakaknya...."

Tanpa Naruto sadari, safir birunya, otak dan dan telinganya terfokus pada penjelasan panjang lebar yang dijabarkan Tamaki. 'Dua pekan lalu...?' Kini memorinya mundur ke belakang, pada kejadian dimana ia hampir saja memukul perut Hinata yang tengah menampung darah dagingnya, mendengar Hinata mengambil cuti kuliah setelah kejadian itu, entah mengapa dadanya terasa seperti diremas, ada rasa sakit yang tak mampu ia utarakan dan tak ia mengerti.

"Harusnya satu pekan yang lalu, dia sudah kembali kuliah, tapi sampai saat ini tak ada kabar tentangnya, bahkan saat aku menelepon ke rumahnya, ayahnya selalu menerima teleponku, dan berkata bahwa Hinata sudah mati...."

Deg

Rasa ngilu di benaknya semakin menjadi, rasa takut itu, ia tak menginginkannya rasa takut saat mendengar berita tentang kematian orang tuanya kembali menggerogoti batinnya, dan ia tak menyukai itu. Kepalanya berdenyut, ingatannya kembali menerawang, 'Satu pekan yang lalu Sai meneleponku, dan melihat dia keluar dari rumah sambil memeluk tas besar.' Entah perasaan bersalah atau semacamnya, rasa gelisah menyelimuti benaknya, ia mengusap tengkuknya gusar.

"Apa kau tahu dia berada dimana Naruto-san, aku sangat mengkhawatirkannya...." Bulir-bulir air mata pada pelupuk mata Tamaki seolah menularkan rasa iba padanya.

"Kau bisa ke kantin dan bertanya pada kakaknya." Ia berusaha berbicara sedatar mungkin, menutupi rasa khawatir yang sesungguhnya tak ia inginkan.

"Kantin Neji-nii sudah dua pekan tutup."

Kini Naruto mengusap wajahnya kasar, 'sial, perasaan apa ini?' Irisnnya menyalang ke segala arah sembari menepuk dadanya yang terasa sakit, pelupuk matanya terasa perih, seperti ada air yang siap merembes dari sana.

"Naruto-san...?" Tamaki mencoba menyadarkan Naruto dari pikirannya sendiri.

Bersamaan dengan itu, bunyi dering ponsel mengembalikan logika Naruto. Tangannya refleks meraih ponsel dari saku celananya, dan saat safir birunya menangkap nama di layar ponselnya, akal sehatnya kembali.

"Moshi-moshi, Sakura-chan..." Gadis musim semi mengembalikannya pada dunia nyata, dunia nyata membuatnya terperangkap dalam cinta bertepuk sebelah tangan. "Aku akan segera ke rumahmu..."

"Naruto-san... Apa kau bisa membantuku mencari Hinata?" Tamaki kembali berusaha.

"Maaf, itu sudah bukan urusanku lagi, kami sudah berakhir." Ucapnya dingin sembari berbalik arah, ia tengah membohongi hati terkecilnya, rasa bersalah itu perlahan mulai menggerogotinya hari ini.

...

"Hanabi, kau dari mana?"

Tatapan kesal itu menjadi jawaban yang ia berikan atas pertanyaan sang kakak, "dari sekolah, memangnya dari mana lagi." Jawabnya ketus sembari melepaskan asal sepatu sekolahnya.

"Kau sudah mulai berbohong seperti dia." Suara lain menginterupsi ruangan itu, sang ayah keluar dari kamarnya dan bergabung dengan Neji untuk menghakiminya.

Hanabi mencebik kesal seraya membuang wajah.

"Sekolahmu mengirimkan surat panggilan, kau tidak masuk sekolah selama satu pekan!" Neji mencoba membentaknya, namun senyuman remeh dibalas oleh Hanabi, menandakan wibawa sang sulung Hyuuga telah sirnah di matanya.

"Khe..., Kalian memikirkan aku yang bolos sekolah, lalu bagaimana dengan Hinata-nee, sudah satu pekan tak ada kabar tentangnya, dia sedang hamil muda dan hidup terlunta di luar, harusnya itu yang kalian pikirkan!"

"Kemana kau pergi selama satu pekan ini." Hiashi mencoba bersabar menghadapi sikap membangkang Puteri bungsunya ini.

"Aku mencari keberadaan kakakku." Jawabnya dingin sambil berjalan melintas begitu saja di hadapan ayah dan kakaknya.

...

"Moshi-moshi Kiba-nii..." Hanabi berbicara melalui ponselnya dengan sahabat kecil Hinata, sudah satu pekan ini ia dan Kiba berusaha bersama mencari keberadaan Hinata, dari rumah sakit ke rumah sakit, sampai menghubungi semua teman masa kecil Hinata. Namun nihil, Hinata seolah hilang ditelan bumi.

"Belum ada kabar Hanabi, hari ini Tamaki mencoba bertanya pada Naruto." Kiba menghela nafas, ia berada di loby kantor polisi Tokyo bersama Tamaki, tempat terakhir harapannya.

"Dia tak akan peduli apapun..." Hanabi menghela nafas putus asa. Ia sempat mendengar bahwa kekasih kakaknya itu tak berniat untuk bertanggung jawab dari pembicaraan Ayahnya dan Neji.

"Ya... Kau benar... Kau sudah bertanya pada Ino tetanggamu?" Tanya Kiba sambil melambaikan tangan.

Hanabi menghel nafas pendek. "Dia tak tahu apapun... Bahkan seolah acuh." Hanabi merasa kelas bila mengingat bagaimana respon Ini saat Hanabi menceritakan tentang kepergian Hinata.

"Khe... Sudah aku ingatkan untuk berhati-hati agar tidak sampai hamil, itu salahnya sendiri. Malah menolak aborsi, tak salah jika ayahmu mengusirnya, ia mempertahankan aib dalam perutnya."

Hanabi memejamkan matanya, rasanya ia ingin sekali menarik bibir Ino, tapi ia tahu bagaimana status keluarga Ini, dia bisa berakhir di penjara anak di bawah umur dan tidak ada lagi orang yang akan berusaha menemukan Hinata.

...

"Apa sudah nyaman...?" Seorang perawat mendongakkan kepalanya sambil memutar katrol pengatur posisi ranjang pasien.

Posisi sang pasien yang tadinya terbaring perlahan beralih duduk bersandar seiring dengan putaran katrol yang digerakkan sang pesawat.

"Sudah cukup, Haku-san..." Wanita yang tengah hamil muda itu menemukan posisi duduk bersandar yang nyaman, "ah rasanya pinggangku benar-benar pegal jika berbaring terus..." Wajah pucatnya kini berganti rona tipis alami, luka lebam di pipinya akibat terjangan yang menghantamnya beberapa hari lalu kini mulai pudar, dan yang paling membuatnya merasa lebih baik, adalah keadaan janinnya yang kian bertambah kuat.

Haku berdiri dari posisi membungkuknya setelah mengunci katrol ranjang itu. Melemparkan senyum sopan pada pasiennya, mengingat bagaimana keadaan Hinata saat di bawa Toneri ke rumah sakit ini membuatnya tidak percaya Hinata dan bayinya masih bisa bertahan hidup. "Keadaan anda janin anda suda lebih baik, jadi tak apa jika hanya duduk bersandar, tapi anda belum bisa turun dari ranjang..."

"Semua ini berkat Toneri-kun..." Jawabnya lirih.

"Ano Hinata-san... Maaf jika saya lancang bertanya..." Haku duduk di kursi di samping ranjang pasien, satu pekan merawat Hinata, membuatnya dan Hinata semakin akrab.

"Ada apa Haku-san..." Hinata merespon lembut.

"Dokter, Toneri, apa dia adalah ayahnya..." Lirikan iris kelam Haku mengarah pada perut rata Hinata yang tertutupi selimut.

Senyum kecut menjadi jawaban dari Hinata.

"Anda tak perlu malu Hinata-san, di kota besar seperti Tokyo, sudah biasa melakukan pembayaran di muka...." Haku tersenyum sembari menutup mulutnya tanpa beban, ia tak menyadari betapa sakitnya Hinata mendengar pertanyaan itu.

Ia memejamkan matanya menahan tangis, "bukan.... ayahnya sudah tidak menginginkannya...."

Hening~

"Ehem..." Suara batuk tak disengaja memecahkan suasana canggung singkat itu, keberadaan Toneri yang berdiri di belakangnya sontak membuat Haku berdiri, dan membungkuk berpamitan.

"Bagaimana hari ini... Sudah lebih baik?" Toneri duduk di kursi yang tadi di duduki oleh Haku.

Hinata mengangguk pelan.

"Hinata... Aku sudah mendengar pembicaraanmu dengan Haku..." Setelah satu pekan, Toneri merasa inilah waktu yang tepat untuk bertanya pada Hinata.

Hinata tersenyum kecut. Ia mengalihkan pandangannya pada jendela lebar di sisi kirinya. "Kau sudah tahu keadaanmu, dibuang pria yang ku cintai bersama darah dagingnya, dan dibuang oleh keluargaku."

"Hinata, siapa orangnya?"

...

"Sakura-chan....?"

Senyuman miris gadis pujaannya menjadi sambutan, ketika kakinya menapaki kamar sang pujaan hati.

"Naruto, kemarilah...." Sakura mengulurkan tangannya, seolah memberi isyarat pada sahabat masa kecilnya itu menggapai jemarinya.

"Ada apa...?" Naruto menyambut uluran tangan Sakura dan duduk di tepi ranjang.  "Apa ada hal yang membuatmu sedih?" Tangannya yang tak menggenggan tangan Sakura menyelipkan helaian sewarna permen kapas itu pada bagian belakang telinga sang pujaan hati.

"Apa kau masih mencintaiku....?"

Deg.

Jantung Naruto berdegup kencang, perasaan aneh merajai benaknya, biasanya dengan lantang ia akan menjawab tanpa keraguan, tapi kali ini lidahnya terasa keluh.

"Kau tahu jawabannya, Sakura-chan..." Ia memberikan jawaban ambigu, berusaha membohongi hatinya dari gejolak yang teramat aneh.

"Jika aku ingin belajar membuka hatiku untukmu, apa kah masih ada kesempatan untukku?"

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top