22. Mutiara Yang Terbuang

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata


Kelopak mata sewarna bunga lili itu mengerjap pelan, perlahan mutiara keunguan di baliknya mulai mengumpulkan cahaya. Kesadaran mulai memenuhi syarafnya ketika cahaya putih dari lampu memenuhi indera penglihatannya.

Lampu kristal yang mewah menjadi objek pertama yang ia tangkap, mengumpulkan kembali sepenuhnya kesadarannya, Hinata mengalihkan pandangannya pelan, kepalanya masih amat terasa pening. Satu botol infus dengan selang yang tertancap di punggung tangannya membuat ia tersentak.

Ingatannya mundur kebelakang, ia terkapar di depan stasiun setelah uang tabungannya di rampas. Dengan panik pandangannya mengitari ruangan dimana ia terbaring, lemari cokelat rendah dan lemari pendingin menjadi objek selanjutnya yang ia tangkap.

'Aku berada di rumah sakit...' Batinnya bergumam, tersenyum kecut mengingat kejadian yang ia alami sebelumnya, membuatnya semakin yakin tempat dimana ia berada. Dahinya berkerut, dari penglihatannya ia sudah dapat memastikan bahwa ruangan ini adalah kamar VVIP di rumah sakit yang sangat mahal. 'Bagaimana aku mampu membayar kamar ini...'

Tangannya terangkat dari sisi tubuhnya, menggapai bagian tubuhnya yang paling ia khawatirkan. Tangan putih itu menyentuh perlahan perut rata yang terlapisi selimut rumah sakit berwarna tosqa itu, 'maafkan Kaa-chan, nak...' Batinnya berujar lirih penuh sesal, mengingat bagaimana posisi ia terjatuhnya membuatnya takut untuk berharap untuk keselamatan nyawa kecil yang bersemayam dalam rahimnya.

Ia menahan tangis, menengadahkan pandangannya pada langit-langit putih kamar itu. "Mungkin sekarang kau sudah bahagia berada di sisi Kami-sama, nak. Maafkan Kaa-chan yang tak bisa menjagamu...."

Cklek

Suara pintu kamar itu terbuka, Hinata sontak duduk ketika dari jauh pandangannya menangkap sosok dengan jas putih. Sontak membuat Hinata mendudukkan dirinya.

"Berbaringlah, itu bisa membahayakan bayimu...." Ujar pria berjas putih itu dari kejauhan.

Hinata mengerutkan dahinya kebingungan, di satu sisi ia merasakan kata-kata bayi yang diucapkan oleh pria berjas putih itu. Namun di sisi lain, rasa penasaran merajai benaknya. 'Suara itu, terdengar akrab...' Batinnya bertanya, seraya kembali merebahkan tubuhnya.

"Toneri-kun..." Bibirnya bergumam tak percaya saat sosok dokter itu semakin mendekat padanya.

Pria bersurai keperakan itu melemparkan senyum hangat seraya berjalan mendekat ke arahnya, ia diikuti oleh seorang wanita berpakaian putih yang bisa dipastikan adalah perawat.

"Lama tidak berjumpa Hinata..." Pria yang dipanggil Toneri itu berdiri di sisi tubuhnya. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya lembut.

Hinata tersenyum kecut. Ia mengenal Toneri, sepupu jauhnya dari klan berbeda namun masih memiliki garis keturunan yang sama. Ia mengenal Toneri sejak kecil, saat masih bocah ingusan mereka sering bertemu saat Toneri pulang ke Tokyo, namun cinta pertama Hinata pada Naruto membutakannya dari perhatian Toneri yang selama ini ditujukan padanya.

"Seperti yang kau ketahui..." Hinata menjawab lirih, Toneri seorang dokter, ia tentu tahu keadaan Hinata sekarang yang berbadan dua.

Toneri menghela nafas pelan, "Suster tolong....." Ia melirik pada perawat di belakangnya, sang perawat mengerti dengan isyarat yang diberikan sang dokter, lalu maju memutari ranjang pasien, berdiri di sisi lain Hinata, perawat itu melepaskan kancing piama rumah sakit Hinata, di bagian bawah hingga bagian perut rata wanita hamil itu terlihat jelas.

"Maaf..." Perawat dengan name tag Haku itu mengoleskan gel pada perut rata Hinata yang ia peroleh dari nakas sisi ranjang, Hinata menoleh, di salah satu sisinya terdapat nakas yang di letakkan alat USG di atasnya.

"Kita akan periksa keadaan janinmu, dia cukup kuat. Dengan benturan cukup kuat, suatu keajaiban janin di usia semuda itu masih bisa bertahan." Toneri tersenyum tipis, ia memberi isyarat pada sang perawat untuk menggerakkan alat pendeteksi yang tersambung di layar pada permukaan perut Hinata. Ia memang sengaja membiarkan perawat menggunakan alat itu di atas perut Hinata, ia tak mau Hinata merasa risih bila ia menyentuh tubuh wanita hamil itu. Bagaimanapun Toneri sangat menghargai privasi Hinata.

Hinata tersenyum lega, dari sudut matanya menetes satu titik air mata. 'Hontou nii Arigatou Kami-sama ... Kau masih mempercayaiku untuk merawatnya...'

"Sudah menginjak 5 Minggu?" Toneri memastikan kembali usia kandungan Hinata, mata biru lembutnya terfokus pada layar alat USG, ia tak berniat mencuri pandang pada wajah cantik Hinata, sekalipun ia menaruh hati pada wanita itu.

"Benar..." Jawab Hinata lirih, iris bulannya memandang haru pada monitor yang menggambarkan buah hatinya, walau baru berukuran satu butir beras.

"Dia anak yang kuat... Semangat hidupnya sangat tinggi...." Toneri berujar lirih, kali ini ia berani mencuri pandang pada Hinata. "Hinata kandunganmu sangat rentan, kau harus bed rest selama dua pekan ke depan.... Jika kau bergerak berlebihan sedikit saja.... Kau bisa pendarahan kembali."

Hinata mengangguk, ia mengerti kondisinya saat ini, buah hatinya selamat saja ia sudah sangat bersyukur.

Sementara itu, Haku yang telah menyelesaikan tugasnya menutup kembali kancing piyama Hinata, dan merapikan alat pendeteksi itu. Ia membungkuk sopan pada Toneri, "Dokter saya undur diri...."

...

Ekor mata biru muda mengikuti gerakan sang perawat keluar dari pintu bercat kayu, memastikan Haku telah benar-benar meninggalkan ruang rawat inap itu, Toneri menarik kursi besi berlapis jok kulit yang terletak di dekat pintu ke samping Hinata, ia duduk di sisi wanita yang nampak lemah itu. "Aku tak akan bertanya tentang kehamilanmu..." Toneri menarik nafas dalam, sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak menyinggung masalah pribadi Hinata.

Hinata mengerjapkan kelopak matanya, menarik nafas dalam. Ia tak tahu harus diletakkan dimana lagi wajahnya. Senyuman kecut mengukir dari bibir peach-nya. "Aku belum menikah." Ia memberi penjelasan pada Toneri tanpa diminta, ia sadar cepat atau lambat Toneri akan mengetahui ini, 'Mungkin dia sudah menebak sejak awal.'

"Aku menemukanmu tergeletak di stasiun." Toneri menarik nafas kasar, masih jelas tercetak dalam ingatannya bagaimana Hinata terkapar di depan stasiun dengan betis berlumuran darah. "Awalnya aku tak menyangka..." Ia menjeda ucapannya berusaha untuk mengatur kalimatnya agar tak menyakiti Hinata. "Kau tengah mengandung..., Apalagi kau sekarang tengah kuliah di Tokyo University...."

Senyuman miris kembali terukir di bibir merah muda Hinata, dari raut wajah Toneri, memang seolah ia tak percaya tentang kehamilan Hinata.

"Tapi dokter Orochimaru yang kebetulan berjaga tadi pagi, memberitahu, bahwa kau salah satu pasiennya.... Hinata, apa seseorang telah berbuat jahat padamu...?" Bagi Toneri yang telah mengenal Hinata sejak kecil, tentu ia berpikir bahwa Hinata adalah korban pemerkosaan, mengingat bagaimana gadis itu berprilaku dan bagaimana ia dibesarkan sulit membayangkan bahwa Hinata terjebak dalam pergaulan bebas.

"Dia bukan hasil dari kejahatan atau kesalahan..." Tangan Hinata terangkat, mengelus lembut perut ratanya, dimana sang buah hati bergelung nyaman disana. "Dia adalah buah cinta...." 'Walau hanya aku sendiri yang mencintai ayahnya....' Tambahnya lirih dalam hati.

Dahi dokter muda berkerut, 'rasanya sangat tidak mungkin Hinata dengan suka rela dihamili oleh seorang pria.'

"Ah... Bagaimana dengan kabarmu, ku dengar dari Neji-nii, smester depan kau baru akan mengambil spesialis di Tokyo...?" Hinata mengubah topik pembicaraan.

Toneri memijat hidungnya pelan, ia sadar, bahwa Hinata sudah tidak nyaman dengan pembahasannya, wanita itu sengaja mengubah topik pembicaraan. "Aku ke Tokyo untuk memastikan rumah sakit, dimana aku akan menjadi co. Assistant, sebenarnya sudah satu bulan terakhir aku kembali dari Jerman, tapi Okaa-sama memintaku menghabiskan waktu di Kyoto sebelum berangkat ke Tokyo." Ia mencoba mencairkan suasana karena mendapati raut ke canggungan pada wajah cantik Hinata.

Hening menyelimuti suasana diantara keduanya. Seolah kehabisan bahan pembicaraan, membuat mereka bungkam satu sama lain.

"Emmm... Hinata..." Akhirnya Toneri buka suara setelah kesunyian sejenak meliputi mereka. "Kau berada di stasiun tadi pagi, dan mengalami tindak kejahatan pencurian.... Kau tentu tahu bagaimana individualisme masyarakat kita dalam mengejar waktu, jika terlambat sedikit saja aku tiba dari Kyoto..."

"Arigatou Toneri-kun...." Jika saja Hinata bisa bangkit dari posisi berbaringnya, ia akan dengan suka rela membungkuk di hadapan Toneri, bagaimanapun pria itu yang telah menyelamatkan baginya.

"Ini bukan soal terimakasih Hinata... Apa yang lakukan di stasiun sepagi ini, sendirian, dan Hiashi Ji-san-"

"Kumohon, jangan beri tahu Tou-sama...." Hinata hampir saja duduk, namun Toneri menahan bahunya pelan, membantu ia kembali berbaring.

"Kau kabur dari rumah?" Toneri tahu ini salah, ia terlalu jauh mencampuri urusan keluarga Hinata.

Kepala indigo itu menggeleng lemah. "Aku diusir..." Ujarnya lirih.

Toneri menarik nafas semakin dalam. Ia tak perlu bertanya tentang alasannya, kendati Hiashi dikenal sebagai seorang ayah penyabar dan sangat menyayangi Hinata, namun dengan kesalahan yang cukup fatal yang Hinata lakukan, sudah cukup untuk menjadi alasannya. Apa lagi dengan sifat keras dan kaku Neji, Toneri sangat hafal betul dengan pola pikir sulung Hyuuga yang satu itu.

"Kau istirahat saja di rumah sakit, kau wajib bed rest selama dua pekan, dan masalah penjahat itu, polisi sedang menanganinya. Akan aku usahakan apa yang mereka ambil darimu akan dikembalikan..."

Iris bulan itu berkaca-kaca, ia tak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Toneri. "Ano... Toneri-kun... Boleh aku meminta sesuatu..."

"Katakanlah, jangan seperti orang lain...." Toneri tersenyum tipis, Hinata tak pernah kehilangan pesona di matanya.

"Bisa tolong kau urus kepindahan kamar rawat ku di kelas dua... Aku takut tak mampu membayarnya..."

"Sayang sekali aku tak bisa membantu jika tentang itu..."

Jawaban Toneri membuat hati Hinata tercubit. 'Aku tentu harus tahu diri... 'Bagaimanapun aku bukan siapa-siapanya Toneri-kun...'

"Hmmmpppptttt...." Toneri menahan tawa melihat raut kekecewaan di wajah Hinata. Gadis itu masih terlihat begitu polos, ia bahkan masih belum percaya jika Hinata hamil di luar nikah bukan hasil dari pemerkosaan. "Aku sudah melunasi kamar VVip ini untuk dua pekan ke depan..."

"Demo-"

"Tak ada penolakan Hinata, sejak dulu kau selalu menolak pemberianku, tapi tidak untuk kali ini..."

Hinata tersenyum tipis, sejak dulu ia tahu Toneri menaruh hati padanya. Hal inilah yang membuatnya enggan memiliki hutang budi pada pria ini. Hinata tak ingin memberi harapan pada Toneri, hatinya dulu hanya tertuju pada Naruto. Namun kini... Demi bayinya, mau tidak mau ia harus menerima bantuan Toneri. 'Aku akan bekerja dan menabung untuk mengganti biaya pengobatan di tempat ini.....'

"Hinata... Sepertinya aku harus menyelesaikan urusanku di rumah sakit ini...." Toneri melirik pada jam tangan Rolex yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Aku akan kembali nanti malam...., Tetap istirahat dan jangan memikirkan hal yang berat."

...

"Tou-sama..." Neji menepuk pelan bahu bergetar sang ayah, hampir dua belas jam setelah kepergian Hinata dari rumah mereka, Hiashi masih duduk termangu di hadapan meja pendek ruang serba guna itu.

Tak bergeming, pandangan Hiashi hanya tertuju lurus ke depan, bayang-bayang bagaimana tangannya menampar pipi Puteri kesayangannya kini tengah berkeliaran di otaknya. Ia menyesal, ia menyesal mengusir Hinata, namun ego dan harga dirinya tengah menguasainya.

"Tou-sama belum makan apapun sejak tadi pagi...." Tenten keluar dari pintu dapur, di tangannya ada semangkuk sup, ia tengah mempersiapkan makan malam. Sejak sarapan yang tak terselesaikan tadi pagi, hingga mencapai petang hari ini tak ada sesuap makanan pun yang dimakan oleh Hiashi. "Tou-sama harus makan obat...." Tenten meletakkan sup jamur shitake itu di atas meja, lalu menyusul sang suami duduk di sisi Hiashi.

Hiashi kembali menggeleng, tatapan matanya masih kosong ke depan.

"Tadaima...." Sunyi terpecah, suara ceria Hanabi memenuhi ruangan yang dilingkupi suana mencekal itu.

Melepaskan sepatunya, iris bulan Hanabi mengedar ke segala arah, ayahnya yang nampak seperti orang hilang akal, dan kedua kakak dan kakak iparnya yang tampak murung. Ia menarik nafas, ingatannya kembali pada kejadian kemarin malam, kakak perempuannya kebanggan rumah ini, dinyatakan hamil, dengan posisi belum menikah, dan sang kekasih enggan bertanggung jawab.

"Okaerinasai.... Hanabi, gantilah pakaianmu, makan malam sudah siap...." Tenten berujar lembut seraya melirik ke arah kamar Hanabi, memberi isyarat pada gadis belia itu untuk segera memasuki kamarnya.

Gadis bersurai cokelat itu mengangguk, mengikuti perintah sang kakak ipar, ia menuju pintu kamarnya. Namun sekilas ia menoleh, suasana rumahnya sore itu benar-benar mencekam. Hingga teguran Neji membuatnya tersadar.

"Hanabi..." Tegur Neji yang langsung dijawab anggukkan dan gadis itu masuk ke dalam kamarnya.

...

Iris bulannya mengedar ke segala arah, satu persatu wajah anggota keluarganya ia perhatikan. Hanabi, bungsu Hyuuga itu merasa keganjilan telah terjadi pada makan malam keluarganya kali ini.

"Dimana Hinata-nee?" Ia meletakkan sumpitnya lalu bertanya pada siapapun di ruangan itu.

"Hanabi, selesaikan makan malammu." Bukan jawaban yang ia terima, sebuah perintah keluar dari mulut sang ayah.

"Dimana Nee-sama?" Ia mengulang lagi pertanyaannya, tanpa rasa takut pada sang ayah.

"Hanabi selesaikan makan malammu...." Kali ini Neji yang angkat bicara, namun tak membuat Hanabi serta menurut. Ia bangkit, dan langsung menuju kamar Hinata.

Neji memijat keningnya, sebentar lagi ke kekacauan akan kembali terjadi di rumahnya. 'Naruto benar-benar membalaskan dendamnya hingga ke akar keluargaku.'

...

Srak

Pintu geser kamar Hinata terbuka lebar, iris ungu bungsu Hyuuga itu mengedar ke segala arah mencari keberadaan sang kakak. "Nee-sama!!!" Tak ada sahutan, ia melangkah masuk lebih dalam dan sontak membuka lemari geser yang menyimpan pakaian Hinata.

Srakkkkk

Irisnya terbelalak, sebagian isi lemari itu sudah raib. "Neji-nii!!!!" Ia berteriak kesetanan sembari berlari keluar dari kamar Hinata.

...

"Dimana Nee-sama!!!" Nada suaranya begitu tinggi, hingga membuat Neji dan Tenten refleks berdiri. Sementara Hiashi masih nampak duduk dengan tenang usai menenggak segelas air putih hangat.

"Jaga bicaramu!" Neji angkat bicara seraya mendekat pada sang adik.

"Aku tanya dimana Nee-sama!!" Hanabi berkali lipat lebih keras kepala dari Hinata, ia jarang meminta sesuatu, tapi bila ia berkeinginan, maka harus dipenuhi saat itu juga.

"Dia sudah mati."

"Tou-sama!!!" Tenten, Neji dan Hanabi serentak menyangkal pernyataan sang ayah.

"Kenapa? Apa aku salah?" Tanya Hiashi tanpa rasa bersalah, ia berdiri dari duduk bersilanya.

"Tou-sama mengusirnya...?" Suara Hanabi melirih, dari ucapan acuh sang ayah sudah bisa menjadi isyarat bahwa sang kakak dikeluarkan paksa dari rumah ini.

Hanabi tak habis pikir, ia tahu bagaimana sang Ayah menyayangi kakak perempuannya itu. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa Hiashi akan mengusir Hinata, ia sempat berpikir bahwa sang kakak kabur dari rumah, tapi membayangkan Hinata terusir, apa lagi oleh Hiashi, membuat akal sehatnya tak bisa berfungsi dengan baik.

Hiashi membalik badannya ke arah kamarnya, membelakangi Hanabi, Neji dan Tenten. "Anak yang sudah melemparkan kotoran di wajah orang tuannya tak pantas berada di rumah ini lagi." Pria baya itu memejamkan matanya, ada rasa menusuk di batinnya ketika mengucapkan kata-kata kejam itu. Ia melangkah masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh.

"Tou-sama!!!" Hanabi berteriak berusaha menyusul sang ayah, namun tangan Neji menggenggam lengannya kuat. "Lepaskan!" Sorot mata penuh kebencian terpancar jelas dari iris ungu muda Hanabi, "kau penyebab semua ini."

Tangan Neji yang mencengkram lengan Hanabi mendadak bergetar. Ucapan dingin namun pelan dari Hanabi menohok hatinya. 'Hanabi benar, akulah penyebab semua ini.' Seolah tak memiliki daya lagi, cengkraman Neji melemah dan perlahan lepas dari tangan Hanabi.

"Jangan panggil aku Hanabi, kalau aku tidak bisa membawa Hinata-nee pulang!" Ancaman Hanabi kembali membuat Neji diam terpaku. "Jangan kau pikir aku tak tahu apa yang terjadi, penyebab pacar Hinata menghamilinya adalah kau!!!" Bulir-bulir air mata memenuhi pelupuk Hanabi, ia berteriak dan hampir menangis. Menghapus kasar air matanya dengan lengan, ia berbalik masuk ke dalam kamarnya.

"Aku akan bicara padanya...." Tepukan di bahunya membuat Neji tersadar dari kebungkamanya. Ia menatap lirih pada sang istri. Seolah mengisyaratkan kata tolong.

...

"Kau menghabiskan makan malammu?" Kepala kuning itu menyembul dari balik pintu kayu, membuat seulas senyum terukir di bibir sang gadis musim semi.

"Kau belum pulang?" Pertanyaan Sakura seolah menjadi isyarat untuk Naruto masuk ke dalam kamar rawat itu.

"Aku sudah berjanji untuk menemanimu selama terapi... Bagaimana, apa kemajuan....?" Ia duduk di tepian ranjang lalu menyentuh sekilas kaki lumpuh yang tertutupi selimut itu.

"Aku sudah divonis lumpuh seumur hidup, terapi ini hanya ke sia-siakan..." Jawabnya dengan nada putus asa, kepala merah mudanya menunduk seraya tersenyum getir. "Tak ada harapan untuk hubunganku dengan Sasuke-kun... Keluarga Uchiha terus memaksa untuk bertemu denganku, sudah satu bulan lebih mereka tak bertemu denganku, aku takut... "

Naruto menghela nafas, ia bangkit lalu berdiri tepat di sisi bahu Sakura, menarik gadis musim semi itu ke dalam dekapannya. "Jika mereka benar-benar menyanyimu mereka akan menerimamu...."

"Aku takut.... Uchiha dan segala kesempurnaannya....."

"Ssstttt......" Naruto menggenggam sepasang lengan Sakura, menjauhkan tubuh gadis itu dari dekapannya agar ia bisa memandang giok jernih cinta pertamanya. "Dengar aku Sakura-chan...."

Sakura mendongak, bulir-bulir air mata memenuhi kelopak putihnya. Dengan sangat lembut Naruto menghapusnya, pria itu seolah lupa bahwa di luar sana ada seorang wanita yang begitu mencintainya dan tengah mengandung benihnya namun air matanya telah ia abaikan.

"Kau bukan seperti Sakura-chan yang ku kenal, Ayahmu mengatakan masih ada kemungkinan sepuluh persen."

"Tapi itu sangat kecil, hiks..." Ia kembali terisak dengan kepala tertunduk.

"Sekecil apapun harapan itu, Sakura-chan ku selalu bersemangat dan mampu mencapainya...., Lagi pula..." Ucapannya terjeda membuat giok dan safir itu beradu. "Jika Uchiha itu menjadi penghalang kau dan Teme, juga bila ia tak menerimamu, kau tak perlu khawatir, aku akan selalu ada untukmu...."

Sebuah kenyataan yang menggelikan, seorang pria tengah bersedia menanggung tanggung jawab yang harus diemban orang lain. Bukankah Sasuke yang bertanggung jawab mempertahankan Sakura dari keluarganya. Ia seolah lupa bahwa di luar sana seorang gadis bersama darahnya sangat membutuhkan tanggung jawabnya agar ia tak terbuang dari keluarnya sendiri.

...

"Kau sudah meminum obatmu?"

Tangan putih itu meletakkan gelas bening di tangannya di atas nakas. Ia tersenyum sopan saat suara orang yang telah berjasa besar bagi kehidupan bayinya, memenuhi ruang rawat VVIP itu. Ia mengangguk menjawab pertanyaan pria itu. "Toneri-kun belum pulang?" Tanyanya sopan.

Kaki jenjang calon dokter spesialis kandungan itu beranjak melangkah lebih dalam menuju ranjang pasien. "Dr. Orochimaru, sedang ada operasi Caesar, jadi beliau belum sempat memeriksamu, aku hanya ingin memastikan kau meminum obatmu dengan benar....." Ia kini berdiri tepat di sisi Hinata.

Hinata kembali tersenyum sopan, ia tahu semua ini hanya alasan Toneri untuk kembali menemuinya. "Hum... Ano.... Toneri-kun, boleh aku bertanya dimana tasku...." Hinata mengedarkan pandangannya pada seisi kamar itu.

"Perawat sudah menyimpannya di lemari itu." Toneri menunjuk pada salah satu sudut ruangan, di sana terdapat lemari besi berukuran sedang. "Dan ini," Toneri merogoh sesuatu dari saku celana bahannya, mengeluarkan satu tumpuk lembaran Yen. "Polisi sudah menemukan penjahatnya dan ini uangmu." Bohong Toneri.

Penjahat yang merampas uang Hinata memang telah ditangkap, namun uang Hinata masih tersita di kantor polisi sebagai barang bukti. Toneri menggunakan uang pribadinya untuk memberi ketenangan pada gadis malang itu. Ia tak ingin Hinata stress dan berdampak buruk pada kesehatan dan janinnya.

"Yokatta...." Hinata menerima uang itu dan menyimpannya di bawah bantal.

Senyum lega terukir di bibir Toneri, saat melihat raut keceriaan kembali menghiasi wajah Hinata. "Aku rasa ini sudah malam, kau harus banyak istirahat, dan ingat, jangan turun dari ranjang. Kau bisa menekan tombol itu..." Toneri menunjuk pada bel di sisi kepala ranjang Hinata, "jika membutuhkan perawat, mereka akan membawa closet porble jika kau ingin ke toilet.

Hinata tersenyum kecil, ia mengangguk seraya mengelus perut ratanya. 'Andai Tou-chanmu, memperlakukan kita seperti ini, nak....'

つづ

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top