20. Serpihan Mutiara Retak

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Iris bulannya enggan terpejam, menatap langit-langit kamar rawat kelas duanya, kepala Hinata dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. 'Kemana Neji-nii dan Tou-sama, apa yang mereka lakukan....?' Ia mengalihkan pandangannya, menatap iba pada Tenten dan Hanabi yang tidur beralaskan karpet karet tipis.

Terlebih pada Tenten, gadis keturunan China itu baru saja menjadi pengantin tadi pagi. Seharusnya malam ini ia menghabiskan malam pertamanya bersama sang kakak di hotel berbintang 5 yang telah dipesan oleh Neji khusus untuk malam pertama mereka dan kedua orang tuanya.

Getaran ponsel yang tergeletak di atas meja nakas di sisi ranjang pasien membuat wanita dengan surai indigo itu mengalihkan pandangannya. Tangannya terulur meraih benda panjang itu. 'Kakashi-san mengirim pesan...?' Dahinya berkerut saat membaca nama yang tertera di ponsel.

Hinata, ayah dan kakakmu ada di kediaman Uzumaki, apa kau mengetahuinya.

Bola mata ungu pucatnya memutar ke segala arah, membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu pada ayah dan kakaknya. Perlahan, kakinya menapak pada lantai, meraih sandal jepit rumah sakit yang tergeletak disana, Hinata berjalan mengendap keluar dari ruangan perawatannya.

...

"Baiklah, aku akan menikahi Hinata. Aku akan memberikan nama marga yang ayahku wariskan pada anak yang dikandungnya. Tapi dengan satu syarat."

Sontak kepala Neji terangkat saat ucapan pongah itu terlontar dari mulut Naruto. "Apa maksudmu?"

"Satu hari setelah pernikahan, aku akan menceraikan Hinata." Tanpa dosa kalimat itu lolos dari bibir merah kecokelatan Naruto.

"Kau sudah gila, Hah?!" Neji bangkit, tinjunya terkepal kuat, tangannya yang lain menarik kaos oblong yang dikenakan oleh Naruto.

"Neji-nii hentikan!!!" Suara itu melengking kencang menggema di ruang tamu mewah itu. Hinata berdiri di ambang pintu, dengan piyama rumah sakit yang masih melekat pada tubuhnya. Surai ungu gelapnya terurai berantakan menandakan betapa kacau dirinya.

"Hinata, kenapa kau disini, nak..." Hiashi berjalan tergopoh menghampiri sang putri.

"Tou-sama... Ayo kita pulang...." Hinata menarik tangan sang ayah. Namun pria baya itu menggeleng. Ia menarik Hinata masuk lebih dalam ke ruang tamu itu, berharap semua masalah akan selesai hari itu.

"Nak Naruto, lihat...." Hiashi menarik Hinata mendekat pada Naruto. Hinata berusaha menjauh tapi Hiashi kembali membawanya mendekat pada Naruto.

Sementara pria yang bertanggung jawab atas kejadian ini nampak tersenyum remeh, tatapan remeh dari safir biru itu seolah memeras hatinya. "Tou-sama sudah cukup..."

"Tidak Hinata, tidak...., Nak Naruto, lihat Hinata, kalian sudah mengenal sejak masa sekolah, bukan? Kau selalu membantunya, dan dia selalu percaya dan menceritakan hal baik tentangmu...."

Seulas senyuman miring terukir di bibir merah kecokelatannya. "Masa lalu sudah lewat, Hiashi-san. Namun, bukankah aku sudah berniat baik pada Hinata, tapi dia...," Telunjuk Naruto tertuju pada Neji. "Dia sendiri yang membuat adiknya menjadi pion balas dendamku."

"Naruto!!! Aku bisa melaporkanmu ke polisi, dengan tuduhan pemerkosaan!!!!" Neji mencoba mengancam sambil menunjuk wajah Naruto, namun pria itu masih nampak tenang.

"Polisi? Khe.... Kau mau melaporkanku ke polisi?" Naruto menunjuk hidungnya sendiri. "Tanyakan pada adikmu, bagaimana dia dengan suka rela menyodorkan tubuhnya padaku...."

Hinata tersentak saat telunjuk Naruto mengarah padanya, ia tersenyum dingin sambil melepaskan genggaman tangan Hiashi yang merosot dari lengannya. Pria baya itu nampak putus harapan, sementara Neji mengusap wajahnya kasar, rasa sesalnya semakin membuncah.

"Kau bukan lagi Naruto-kun yang ku kenal..." Suara lirih Hinata menusuk telinganya, seberkas rasa ngilu ia rasakan di ulu hatinya, terasa sakit melihat Hinata bicara begitu dingin padanya. Ia tak bisa mengartikan perasaan ini.

"Tapi tak apa...." Bibir mungil peach-nya tersenyum getir. "Jika kau sudah puas menjadikanku sebagai pionmu, dan kau merasa bahagia, kami tak akan memaksa mu... Biarlah anak ini hanya akan menjadi anakku....."

Dahinya berkerut remeh lengkap dengan senyuman penuh merendahkan. Ia berjalan mendekat, lalu berbisik pada telinga mungil itu, dengan satu tangan yang menempel pada perut rata berisi benihnya itu. "Aku tak akan pernah menginginkan anak ini."

"Nak, jangan bicara seperti itu...." Hiashi masih mencoba membujuk Naruto. Namun pria itu kembali tersenyum remeh.

"Ayah ayo kita pulang, Hinata sudah tak menginginkannya." Neji menarik lengan Hiashi.

"Naruto, kau tidak bisa lepas begitu saja dari tanggung jawabmu...." Hiashi masih berusaha membujuk kendati Naruto telah membelakanginya.

"Bukankah aku sudah menawarkan pertanggungjawabanku, pernikahan satu hari, atau kalian bisa mengugurkan janinnya, semua biaya akan aku tanggung."

Hiashi diam tersentak, "nak pernikahan bukan hal main-main, itu adalah sebuah ikatan sakral, dan menggugurkan janin tak berdosa itu, sama saja dengan membunuh...." Ia masih mencoba meyakinkan pemuda itu, namun Naruto masih tak bergeming.

"Tou-sama, Hinata mohon ayo kita pulang....." Hinata semakin terisak, ia menutup mulutnya tak terima sang ayah diinjak harga dirinya.

"Kau sudah puas membalas dendammu?" Neji maju, berdiri di depan sang ayah, menghentikan permohonan yang terus dilayangkan oleh Hiashi. Hatinya tercabik melihat satu-satunya orang tua yang ia miliki dihina dan dipermalukan.

Naruto diam tak bergeming, ia hanya tersenyum miring. 'Jika mau jujur, aku tak puas.' Umpat batinnya.

"Tou-sama, sudah cukup." Neji merangkul bahu sang ayah. Berbalik meninggalkan rumah itu.

Namun tidak dengan Hinata, ia mengambil langkah sebaliknya, berjalan mendekat pada pemuda yang telah menghancurkan masa depannya. Tanpa rasa takut ia melangkah hingga berada tepat di hadapan Naruto. "Kau tahu, Naruto? Kesepian dan kehampaan yang kau rasakan selama ini, kau sangat pantas mendapatkannya."

Naruto memalingkan wajahnya, memutus kontak mata dengan Hinata. Entah kenapa matanya memanas, dadanya terasa sesak saat Hinata kembali mengungkit kehampaan yang selama ini menggerogoti benaknya.

Bersamaan dengan akhir kalimatnya, Hinata berbalik, menyusul sang ayah keluar dari pintu megah itu. 'Jangan pernah menoleh ke belakang lagi Hinata....' Sambil berjalanh ia lingkarkan tangannya pada perut berisi janin itu. 'Kita akan baik-baik saja, nak....'

...

"Hinata, kau...?" Tenten terjaga dari tidurnya, ia duduk sembari mengucek matanya saat mendapati adik iparnya berdiri di hadapannya bersama sang suami dan mertua.

"Apa Mama dan Papa sudah kembali ke hotel?" Bukan menjawab pertanyaan sang istri, Neji malah balik bertanya tentang keberadaan mertuanya.

Tenten bangkit seraya mengangguk, disusul oleh Hanabi.

"Kita pulang kerumah." Suara Neji terdengar dingin, iris cokelat Tenten meneliti pada adik ipar, suami dan mertuanya, ada sesuatu yang disembunyikan, ia dapat menangkap dengan jelas itu.

...

Tak ada banyak kata, ketika keluarga Hyuuga tiba di kediaman mereka, suasana nampak begitu mencekam, hanya lirikan mata Neji yang tertuju pada Hanabi, menandakan gadis belia itu harus masuk ke dalam kamarnya.

Sang sulung Hyuuga mengambil alih suasana malam itu, "Tou-sama masuk saja ke kamar. Beristirahatlah, Tenten tolong antar Tou-sama ke kamarnya."

Menantu baru Hyuuga itu mengangguk, ia memapah sang ayah nampak linglung.

Iris bulan Hinata mengekori langkah sang kakak ipar bersama sang ayah, rasa khawatir membuncah dalam dirinya. Ia kembali tertunduk, "Neji-nii..." Cicitnya lirih penuh rasa bersalah, "Gomene..."

"Kau lihat akibatnya?" Suara Neji terdengar bergetar, membuat lidah Hinata keluh. Tak sepatah katapun lolos dari bibir mungilnya, kecuali isakan sesal.

"Tangismu tak akan menyelesaikan apapun. Masuklah ke kamarmu, besok pagi kita akan bicara."

Hinata terisak penuh sesal, setelah Neji masuk ke dalam kamarnya, dengan bahunya yang bergetar karena tangis, ia meletakkan telapak tangannya pada perut yang masih rata itu, membelainya lembut, memberi ketenangan pada sang buah hati setelah hari berat yang mereka alami. 'Semua akan baik-baik saja Nak... Kaa-chan bersamamu....'

...

"Maaf..."

Satu kata menjadi sambutan Tenten yang baru saja masuk ke dalam kamar usai ia mandi dan mengganti pakaiannya. Mata karamelnya menatap sedih pada iris perak pria yang baru saja menjabat sebagai suaminya itu.

Tenten menggeleng pelan, ia duduk bersimpuh menyusul sang suami yang sudah lebih dahulu mandi, dan kini duduk di atas futton. "Minta maaf untuk apa....?" Pertanyaan yang tak perlu dijawab sesungguhnya, namun Tenten ingin sang suami terbuka padanya, diraihnya tangan berurat sang suami yang telah berkerja keras demi dirinya dan keluarga Hyuuga.

"Semuanya tak seperti yang direncakan, dan malam ini..." Nampak rasa bersalah terdengar dari nada bicaranya. Tenten tak pernah melihat Neji serapuh ini.

"Kita sudah menjadi keluarga, bukan....?" Genggaman tangan itu kian menguat. "Apa yang terjadi pada Hinata, aku juga harus ikut andil dalam membantunya, kita adalah keluarga...."

Neji tersenyum mendengar kalimat pelipur dari sang istri. Ia menumpu tangan Tenten dan menggenggamnya erat juga.

"Jadi, apa yang akan dilakukan selanjutnya?" Tenten mengganti kalimat tanya yang halus, mengganti kalimat, 'bagaimana nasib Hinata selanjutnya?'

"Tak ada pilihan lain selain aborsi."

"Neji..." Tenten tersentak mendengar keputusan Neji.

"Janinnya belum berusia empat, belum terlambat selagi masih belum bernyawa." Ucap Neji berat sambil menatap langit-langit.

"Bagaimana bila kita yang merawatnya....?" Tenten sungguh tak tega mendengarnya, bagaimanapun ia seorang wanita, dan membayangkan Hinata harus membuang janinnya... Tak bisa masuk dalam akal sehatnya.

"Orang tuamu akan memisahkan kita."

Tenten kembali menunduk, Neji benar, suaminya itu sudah dengan susah payah mengubah pandangan sebelah mata mereka tentang keluarga Hyuuga, dan kehamilan Hinata hanya akan mementahkan lagi hubungan mereka. "Tou-sama setuju?" Tanyanya memastikan.

"Aku akan meyakinkan Tou-sama fajar nanti...." Neji tak punya pilihan inilah satu-satunya jalan menyelamatkan kehormatan keluarga Hyuuga.

"Lalu Hinata?"

"Dia tak punya pilihan, selain menyetujuinya, jika dia masih ingin menjadi bagian dari keluarga ini."

...

Srakkkk

Pintu geser itu terbuka, sesuai perkiraan Neji, ayahnya duduk di rouka samping sembari bermeditasi. Ia duduk di sisi sang ayah yang duduk bersila sambil memejamkan mata dengan kedua tangannya yang saling menangkup.

Tak menunggu waktu beberapa lama, kelopak mata putih keriput itu terbuka, dan menampakkan mutiara ungu yang menggambarkan kekecewaan yang amat mendalam.

"Neji, Tou-sama sudah mengambil keputusan." Suara Hiashi begitu tenang, ada kepasrahan terdengar disana.

Neji menarik nafas dalam. "Aku memikirkan tentang mengakhiri kehamilan Hinata." Sang sulung membuka mulutnya, dan Hiashi memejamkan matanya penuh rasa sesal.

"Keputusan Tou-sama pun begitu, kehamilan Hinata harus diakhiri."

...

"Hinata...." Suara lembut seorang wanita menggema di telinga mungilnya, angannya melambung, ingatan bagaimana sang ibu membangunkannya di pagi hari kini menyeruak di alam bawah sadarnya.

Kelopak mata putihnya mengerjap, dan saat mutiara ungunya nampak dengan sempurna ia tersenyum, sang kakak ipar berada di hadapannya. Ia mencoba mendudukkan diri dibantu oleh Tenten.

"Sarapan sudah siap..." ucap menantu Hyuuga itu dengan lembut, "kau mandi saja dulu, kakak dan ayah sudah menunggu di meja makan...."

...

Suasana dingin nan mencekam terasa jelas di ruang makan itu, sesekali suara sendok marmer beradu dengan mangkok berisi bubur sesekali terdengar memberi irama dalam suasana tegang itu.

"Aku sudah selesai...." Hanabi dengan pakaian seragamnya berdiri, pertanda ia sudah selesai dengan sarapannya.

Hiashi mengangguk, secara tak langsung mengizinkan si bungsu untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya Hanabi masih libur hari ini, karena acara pernikahan Neji, namun akibat permasalahan semalam, ia memilih berangkat sekolah dari pada harus mendengar berita mengejutkan lagi.

Usai kepergian Hanabi, satu persatu anggota keluarga itu menyelesaikan sarapannya. Tenten berdiri, ia berniat membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci. Melihat sang kakak ipar berdiri, Hinata berniat membantu dan berdiri, ia tak tahan dengan suasana yang begitu dingin ini.

"Hinata gantilah pakaianmu." Suara Neji akhirnya memecah keheningan.

"Memangnya, kita akan pergi kemana Neji-nii...?"

"Kerumah sakit, mengakhiri kehamilanmu."

Mutiara lavender Hinata membola, jika saja Neji yang berkata demikian ia dengan lantang langsung menolak. Tapi kali ini perintah itu datang dari sang ayah. Hiashi, ayah yang begitu menyayanginya memintanya untuk melenyapkan anaknya sendiri.

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top