19. Penolakan
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Srakkk
Wajah Neji merah padam, ia menyobek foto hasil USG itu menjadi dua, berdiri dari kursinya, Neji menarik jas putih Kabuto dengan penuh amarah.
"APA MAKSUDMU HAH???!!!!"
"A..... adik anda hamil, sa....satu bulan." Jawab Kabuto dengan raut ketakutan.
"Neji!!!! Kendalikan dirimu!" Hiashi berdiri, menarik bahu puteranya, untuk menghentikan kebrutalan itu.
"Hhhhhh...." Neji terengah mengatur nafasnya, ia melepaskan Kabuto, bukan karena tenaga Hiashi yang melebihinya, tapi ia takut terjadi sesuatu hal buruk pada sang ayah.
"Maaf dokter, mungkin anda salah...." Hiashi menuntun Neji duduk, pria paruh baya itu nampak ragu dengan informasi yang baru saja diberikan oleh dokter, "kami tahu betul bagaimana Hinata, dia tak mungkin...."
Kabuto duduk di kursi kerjanya sambil membenarkan jas putihnya. "Ada banyak gadis baik seperti putri anda yang menjadi korban pergaulan." Kabuto mengatur nada bicaranya agar tetap terdengar tenang. "Saya hanya menyampaikan informasi medis lebih dari itu, sebaiknya semua diselesaikan secara kekeluargaan."
...
Kelopak mata putihnya mengerjap pelan, sinar putih menerpa indra penglihatannya ketika mutiara lavender itu terbuka sempurna. Bau obat yang menyengat hidungnya, membuat ia tersenyum kecut ketika telah memperoleh kesadarannya secara sempurna. 'Aku di rumah sakit....'
Hinata menolehkan kepalanya ke sisi kanan, ada Tenten, wanita yang beberapa jam lalu resmi menjadi kakak iparnya.
"Hinata, kau sudah sadar?" Wanita bersurai cokelat itu menyudahi kegiatan melepaskan pernak-pernik pernikahan di kepalanya, ia menggelung asal rambut sebahunya sembari berjalan ke arah ranjang pasien. Hinata menempati ruang perawatan kelas dua, dimana terdapat dua pasien di dalam satu kamar yang di pisahkan oleh tirai biru.
Wanita itu mencoba duduk, lalu dengan sigap sang kakak ipar membantunya. "Kau pingsan saat di kuil..." Ucap Tenten lirih seraya meraih gelas bening berisi air mineral di nakas samping meja pasien lalu memberikannya pada Hinata. "Neji dan Tou-sama sedang menemui dokter untuk membahas soal kesehatanmu.
"Uhukkk.." Ia tersedak kala tengah menenggak beberapa teguk air mineral yang disodorkan sang kakak ipar.
"Pelan-pelan Hinata..." Tenten mengelus punggung Hinata pelan.
Hinata menatap Tenten dengan tatapan yang sulit diartikan, batinnya berkecamuk, memikirkan nasib dirinya dan bayinya setelah Neji dan ayahnya tahu tentang berita kehamilannya. 'Apa Tou-sama dan Neji-nii sudah tahu kehamilanku...'
...
Nafas Neji memburu hebat, dari balik tirai biru dimana sang adik tengah beristirahat, ia mencoba sekuat tenaga menahan emosinya.
"Neji," tepukan di bahunya membuat pria bersurai panjang ini menoleh. Tatapan memohon dari Hiashi, ia tak sanggup melihatnya. Wajah tua renta dengan guratan keriput itu begitu terpukul. Ia patut bersyukur pada sang pencipta bahwa ayahnya tak mengalami serangan jantung saat mendengar kehamilan anak kesayangannya.
Neji menunduk, ia tersenyum kecut, tak ada kandidat nama lain. Ia tahu jelas bahwa Naruto lah yang telah menanamkan benih di dalam rahim adiknya. 'Ini caramu membalas dendam padaku Naruto....' Sesal memenuhi relung hatinya, 'jika saja aku memberi kesempatan padanya untuk mengenal Hinata dengan baik-baik...'
Semuanya sudah terlambat Neji, kini Hinata yang harus menanggung akibat dari amarah butamu.
Neji mendongak, menarik nafas dalam dengan berat. Kini masa depan Hinata sudah porak poranda, masa depan cahaya di keluarganya kini telah redup.
"Neji, belum terlambat untuk menyematkan masa depan Hinata, setelah bicara dengan Hinata, kita akan pergi ke kediaman Uzumaki. Meminta pemuda itu untuk bertanggung jawab."
...
Srakkkk
Hinata terkesiap saat tirai biru pembatas itu terbuka, Neji dan ayahnya berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia menunduk ketakutan, ia tahu ayah dan kakaknya pasti sudah tahu tentang kehamilannya.
Neji mendekat, hingga ia dan Hinata saling berhadapan. "Katakan...."
Suara Neji menusuk pelan, namun amat menunjukkan amarah yang tengah pria itu kendalikan. Tenten berdiri di belakang suaminya dan menyentuh pundak Neji, mencoba menenangkan sang suami.
"Apa dia ayahnya?" Arah pandangan Neji tertuju pada perut rata Hinata.
Hinata menunduk dalam, pada akhirnya, cepat atau lambat semua akan teebongkar, dan ia tahu betul siapa yang kakaknya sebut dengan dia.
"Apa aku sehina itu, hingga kalian mengira ada banyak orang yang ku biarkan menyentuhku..." Ucapnya lirih dengan tangan yang memilih ujung selimut, mengurangi rasa takutnya.
Tenten dan Hanabi sontak terperanjat, ketika jawaban itu keluar dari bibir Hinata. Ingatan Hanabi pun kembali pada kejadian beberapa pekan lalu, ia menemukan test pack di kamar mandi. Kecurigaannya terbukti, kakak perempuannya itu hamil di luar nikah.
Neji mendongak, ia mengusap wajahnya kasar. "Kau beristirahatlah disini." Neji keluar dari dari ruangan itu.
"Tou-sama..." Hinata berujar lirih saat sang ayah hendak menyusul sang kakak. Ia menangkap raut kekecewaan yang amat mendalam dari wajah keriput Hiashi. Hinata, kebanggaannya, cahaya dalam keluarganya, kini baru saja mencoreng arang hitam di wajahnya.
"Hinata, sebaiknya kau beristirahat...." Tenten menghalangi Hinata untuk turun dari tempat tidur.
"Mereka akan pergi kemana, Tenten-nee....?"
"Neji pasti sedang menenangkan diri, dan Tou-sama sedang menenangkannya." Dengan terpaksa Tenten harus asal bicara. Ia tak tahu apa yang direncana Neji. Menghajar Naruto mungkin.
...
"Tou-sama yakin?"
Mini van itu terpakir di depan pintu gerbang mewah menjulang tinggi. Setelah perdebatan alot, akhirnya mereka sepakat untuk datang ke sini. Kediaman keluarga Uzumaki, untuk meminta pertanggung jawaban Naruto.
Kakashi, tangan kanan ayah Naruto yang malam itu belum pulang, dengan sangat sopan mempersilahkan Hiashi dan Neji duduk. Pria dengan sejak perak itu nampak bingung dengan kehadiran dua orang pria yang amat berpengaruh pada mantan kekasih Naruto itu.
"Naruto memang sedang menginap disini." Kakashi menyusul duduk di sofa berhadapan dengan Neji dan Hiashi. "Tapi sepertinya dia sedang tidur."
"Biarkan saja paman."
Neji dan Hiashi langsung berdiri saat suara Naruto menggema di ruang tamu megah itu, senyum penuh harap langsung terpatri di wajah kedua pria Hyuuga ini.
Kakashi undur diri seraya membungkuk, dan Naruto mengangguk sebagai persetujuan.
"Jadi, ada maksud apa, keluarga Hyuuga yang menjunjung tinggi moral, datang ke rumah pria brengsek seperti aku...." Naruto berjalan mendekat ke arah Neji dan Hiashi, safir birunya mengamati pakaian yang belum diganti oleh Neji dan Hiashi sejak pagi. "Tampaknya kalian baru saja merayakan perhelatan besar, seperti, ah.... Pernikahan...." Naruto menggamit tangan Neji untu bersalaman. "Selamat Neji..."
Neji tersenyum ala kadarnya, mengingat keadaan Hinata hasratnya untuk menghajar Naruto sudah menggebu-gebu. Ia menarik nafasnya, satu kali ia karena amarahnya masa depan Hinata telah dirusak, ia tak akan mengulanginya lagi. Ia tersenyum tipis.
"Nak Naruto, sebenarnya kedatangan kami ke sini-"
"Biar aku saja Tou-sama.." Neji tidak tega melihat sang ayah harus mengiba pada Naruto.
"Naruto, Hinata hamil.."
Senyum penuh kemenangan terpatri di bibir merah kecokelatan milik Naruto. Neji mengatakan kalimat itu sambil menunduk, ia pastikan sulung Hyuuga itu benar-benar membuang semua arogannya. 'Khe kemana aroganmu saat menyebutku brengsek? Bahkan adikmu dengan kejalangannya menyerahkan tubuhnya dengan suka rela untukku.'
"Lalu? Bila dia hamil apa hubungannya denganku?" Tanya Naruto tanpa dosa.
Kepala Neji terangkat, telinganya terasa panas, wajahnya memerah akibat amarah yang ia tahan. Namun kembali remasan di bahunya oleh sang ayah menyadarkan posisi mereka. Mereka membutuhkan tanggung jawab Naruto untuk masa depan Hinata.
"Naruto, kau adalah kekasih Hinata..." Sebisa mungkin Neji bicara lembut pada pria pirang di hadapannya ini, egonya, gengsinya semuanya ia buang demi masa depan sang adik.
"Tidak lagi, setelah malam dimana kalian mengundangku." Naruto memasukkan satu tangannya di saku celana training-nya.
"Nak... Hinata dia sangat mencintaimu.... Hanya kau, aku sangat yakin kau adalah ayah dari bayi yang di kandungnya...." Hiashi berjalan tertatih mendekat pada Naruto, meraih lengan pemuda itu untuk merangkulnya, namun ditepis dengan kasar oleh Naruto.
"Khe... Tapi aku sama sekali tidak mencintainya," ia mengarahkan pandangannya pada Neji. "Bagaimana Neji? Bagaimana rasanya melihat orang yang paling kau sayangi rusak masa depannya?"
Tinju Neji sudah terkepal, kapanpun ia sudah siap menghajar Naruto.
"Apa yang Sakura-chan rasakan sekarang tak beda jauh dari adikmu, ia lumpuh permanent."
Neji kembali tersentak, ia tersadar akibat emosinya masa depan seorang gadis telah porak-poranda, dan sekarang Hinata harus menanggung karmanya. Ia berjalan mendekat pada Naruto, menangkupkan kedua telapak tangannya di hadapan pria pirang cepak itu. "Naruto, aku mohon maafkan aku, jangan limpahkan hukuman atas kesalahanku pada Hinata, ia tak bersalah sama sekali."
"Lalu apa Sakura-chan bersalah?" Naruto kebalik kata-kata Neji. "Kau tidak bisa menjawabnya.... Khe...., Seharusnya kau minta maaf pada Sakura-chan, bukan padaku..." Naruto tersenyum penuh kemenangan, ia sedikit merasa beruntung Hinata tak mengugurkan janinnya, setidaknya inilah puncak balas dendamnya. Melihat kehancuran Neji. 'Ini baru permulaan Neji.'
"Kau tidak bisa menjawabnya Neji?" Naruto kembali mencecar Neji, ia berada di atas awan sekarang.
"Nak dengarlah ...." Hiashi kembali mendekat pada Naruto, "lupakan dendam kalian, dan mulailah lembaran baru, Hinata dia sangat mencintaimu, dan kini ia sedang mengandung buah cinta kalian."
"Cucuku tidak akan menikah dengan gadis murahan dan hina seperti dia!" Suara seorang wanita menggema di tengah ruang tamu mewah itu. Mito dengan angkuhnya berjalan menuruni satu persatu anak tangga bergaya Victorian itu.
"Nenek, berhenti ikut campur urusanku...." Nampak ketidaksukaan Naruto melihat kehadiran sang nenek ditengah kegiatannya menghancurkan harga diri Neji.
"Uzumaki-sama, Hinata adalah gadis baik-baik...." Hiashi berjalan tertatih mendekat pada wanita bersurai merah pudar itu. "Dia hanya menyerahkannya pada orang yang amat ia cintai, cucumu..."
"Jika dia gadis baik-baik, dia tidak akan dengan mudah tidur dengan pria tanpa ikatan pernikahan."
"Hentikan nenek!' Naruto berteriak murka, ia seolah tak terima ada orang lain yang menghina Hinata. 'Hanya aku yang boleh menghina wanita itu.'
"Kalian ingin aku menikahi Hinata?"
Tiba-tiba pertanyaan Naruto menjadi angin segar bagi Hiashi dan Neji.
Sementara Naruto, ia kembali menyeringai licik melihat wajah penuh harap Hiashi dan Neji. 'Mereka seperti anjing yang mengharapkan makanan bekas.'
"Neji, berlutut, dan memohon padaku, agar aku mau menikahi adikmu."
Bola mata ungu muda Neji membulat, ia tidak terima. Sejak tadi ia sudah menerima penghinaan dari Naruto, dan kini pria itu semakin melunjak. "Tou-sama, ayo kita pulang." Neji menarik tangan ayahnya, namun seolah terpaku disana, kaki Hiashi enggan bergerak.
"Jika kau tak mau berlutut, akulah yang akan berlutut memintanya menikahi Hinata."
Naruto tersenyum remeh, drama keluarga ini membuatnya muak, ia tak butuh Hiashi yang berlutut di hadapannya. Yang ia inginkan adalah menginjak harga diri Neji. "Kalau begitu lupakan tentang pernikahan...." Ia membelakangi Neji dan Hiashi, bersiap kembali masuk ke peraduannya. 'Biar para sequrity yang akan mengurus mereka.'
Mito tersenyum lega, ia kembali naik ke anak tangga setelah memastikan bahwa gadis yang ia anggap murahan itu tak akan menjadi cucu menantunya.
"Neji, Tou-sama mohon, ini semua demi Hinata...."
Suara lirih itu, bayang-bayang masa depan Hinata yang harus hamil tanpa suami, membuat Neji benar-benar membuang egonya.
Bruk
Naruto tersenyum penuh kemenangan, ia menoleh bersamaan dengan lutut Neji yang beradu dengan lantai marmer mewah keluarganya.
Neji membuang rasa malu dan egonya, ia bersimpuh di hadapan Naruto sambil menangkup kedua tangannya memohon. "Naruto, aku mohon padamu untuk melupakan dendam kita. Aku mohon, tolong nikahi adikku....."
"Apa? Aku tidak mendengarnya... Bisa kau mengulanginya?" Naruto berada di puncak kemenangannya. Inilah yang selama ini ia tunggu melihat kehancuran ego Neji, dan raut tak berdaya sulung Hyuuga ini.
"Naruto...." Neji menunduk, harga dirinya tercabik-cabik. "Aku mohon, nikahi Hinata.
"Baiklah, aku akan menikahi Hinata. Aku akan memberikan nama marga yang ayahku wariskan pada anak yang dikandungnya. Tapi dengan satu syarat."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top