15. Janji Diatas Ingkar

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Tou-sama tanyakan pada anak kesayangan Tou-sama, ini!" Telunjuk Neji menunjuk lurus pada Hinata yang menangis tertunduk sambil memegangi pipinya yang kebas akibat tamparan Neji.

Hiashi yang tadinya berada di ambang pintu kamar, kini keluar dan menghampiri Hinata yang punggungnya tengah dielus oleh Hanabi. "Kenapa kau membuat kakakmu marah, nak?" Tanya Hiashi lembut seraya mengelus pelan pipi putrinya yang memerah.

"Tou-sama, apa salah bila Hinata jatuh cinta...." Hinata mendongak, mata bulannya yang keunguan itu berkaca-kaca menatap sang ayah.

"Dia berciuman di depan umum di kantin ku, Ayah, diam-diam selama ini dia menjalin hubungan dengan si brengsek itu!" Neji kembali membentak, namun Hiashi yang berkepala dingin mengangkat telapak tangannya, meminta Neji untuk berhenti berteriak.

"Kau mencintainya nak?" Hiashi bertanya lembut, ia harus mengambil jalan tengah. Hinata tidak bisa dikekang, dia akan semakin berontak.

"Ayah, si brengsek itu sudah mempermalukan ku dan membuatku masuk penjara, dan dia!" Neji kembali menunjuk Hinata, "dengan tanpa dosanya selama ini membohongi kita dan hari ini malah memamerkan kemesraan dengan si brengsek itu!"

"Neji-nii, dia tidak se berengsek itu!!" Hinata mendebat Neji, membuat Hiashi harus kembali turun tangan menghentikan pertengkaran kedua anaknya.

"Neji! Biarkan aku bicara!"

Neji tutup mulut ketika sang ayah menaikkan nada bicaranya, ia bisa saja tetap mendebat Hinata, namun rasa hormatnya pada sang ayah membuatnya bungkam.

"Nak, apa kalian saling mencintai...?" Hiashi kembali bertanya baik-baik pada putri kesayangannya ini.

"Iya ayah, kami saling mencintai, Naruto-kun sangat mencintaiku, dan ia sangat serius padaku...." Hinata maju lebih dekat meyakinkan sang ayah.

Neji membuang muka kesal, ayahnya menarik nafas bijak, dan itu berarti akan ada keputusan yang menguntungkan untuk Naruto. Sebenarnya motif Neji tak lagi murni, semenjak ia dijebloskan ke penjara oleh Naruto, niat awalnya menjauhkan Naruto dari Hinata untuk melindungi Hinata, kini berubah menjadi rasa sakit hati karena Naruto telah memenjarakannya.

"Baiklah, jika dia memang benar-benar serius, kalian tak perlu lagi berhubungan sembunyi-sembunyi, ajak dia kesini untuk bicara baik-baik pada Ayah."

"Tou-sama!!" Neji tak terima Hiashi memberikan kesempatan pada Naruto.

"Neji, jika dia benar-benar mencintai Hinata, kita tak boleh menutup kesempatan untuk mereka...."

"Jika dia tidak datang hari ini, maka itu membuktikan bahwa dia benar-benar pria brengsek, seperti selama ini yang ku katakan." Ancam Neji sambil menunjuk wajah Hinata.

Hinata tersenyum penuh keyakinan. "Naruto-kun sangat mencintaiku, dan dia akan membuktikan keseriusannya pada kalian, Ayah dan Neji-nii tunggu di rumah...." Hinata antusias, ia masuk ke kamarnya untuk mengambil tas selempangnya. "Aku akan ajak Naruto-kun ke rumah kita untuk bicara baik-baik pada Ayah dan Neji-nii...." Dengan semangat Hinata berjalan keluar dari rumah, 'Naruto-kun selangkah lagi hubungan kita akan berjalan normal...'

Ia melangkah dengan penuh harap keluar dari rumah, tanpa ia tahu bahwa harapan itu tak akan pernah terwujud, takdir yang begitu manis tak menghinggapi hubungannya dengan sang kekasih. Hinata berada di ambang penyesalannya.

...

Nafasnya menghela pelan, ketika kaki berlapis sepatu datar khas balerina miliknya menapak pada lantai kayu marmer abu-abu itu. Pandangannya tak mendapati siapapun di ruangan itu. Apartement Naruto, saksi bisu dimana kegadisannya ia serahkan itu, begitu sepi. Naruto-kun tidak sedang disini...

Hinata memijat keningnya, kepalanya terasa pening, beberapa hari ini ia merasa tubuhnya benar-benar nyeri, seperti akan demam, namun suhu tubuhnya tidak panas. Ia mendudukkan dirinya di sofa merah di ruangan itu, Aku harus mengajak Naruto-kun ke rumah malam ini juga.... Batinnya bergumam pelan, ia lalu bangkit tak mungkin menunggu terlalu lama disini, ia memutuskan untuk mencari dan menjemput Naruto.

Aku akan ke Uzumaki Mansion...

Hinata nekat mendatangi rumah utama Naruto, ia tak pernah tahu bahwa penghinaan pertama akan ia dapat disana.

...

Ia turun dari taxi tepat di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Uzumaki Mansion, ini kedua kalinya Hinata datang ke tempat ini. Sebelumnya ia pernah menyambangi tempat ini untuk meminta Naruto mencabut tuntutan atas kakaknya.

Berbeda saat pertama kali Hinata datang ke tempat ini, dimana pemandangan sepi dan dingin ia dapati. Malam itu Uzumaki Mansion tampak ramai, beberapa lampu taman menyala terang, 'Sepertinya sedang ada pesta...' Gumam Hinata ragu, namun mengingat ucapan kakak dan ayahnya tadi sore, inilah satu-satunya kesempatan untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa Naruto benar-benar mencintainya, dan mereka menjalin hubungan yang serius.

...

"Maaf nona, anda mencari siapa?"

Hinata yang nampak bingung ketika masuk di pekarangan kediaman Uzumaki itu, nampak tersentak, kala seorang maid pria menyapanya. Ia tersenyum kikuk, berada di tengah pesta dimana ia tak diundang dan memakai pakaian yang jauh dari kata pantas, membuatnya merasa rendah diri.

"Ano... Saya ingin bertemu dengan Naruto-kun...."

Jauh dari pintu rumah utama kediaman Uzumaki, sepasang Ruby tengah mengintai kehadirannya di pesta para pengusaha ternama ini. Dahi keriput Uzumaki Mito, sedikit berkerut. Pandangannya merasa risih mendapati seorang gadis kumal hadir di tengah pestanya.

Dress floral selutut yang dipadukan denga cardigan choco pink yang Hinata kenakan seolah begitu hina di mata Mito. Belum lagi surai Hinata yang digelung asal dengan poni dan anak rambutnya yang nampak kusut membuat Mito tak sabar untuk mengusir gadis yang ia anggap sampah itu. Ia berjalan anggun mendekat pada Hinata yang nampak tengah berselisih dengan maid-nya itu.

...

"Nona sudah ku katakan, Naruto-sama sedang tidak ada di rumah, jika kau mau menunggu silahkan menunggu di trotoar itu." Maid itu menunjuk trotoar di bibir jalan di depan kediaman Uzumaki.

"Siapa kau?"

Suara tegas itu membuat Hinata tertoleh, dan maid itu membungkuk sembilan puluh derajat. Mito kini berdiri di antara mereka berdua.

Iris bulan Hinata tanpa sadar dengan lancang meneliti Mito dari ujung kaki sampai ujung kepala. 'Apa ini nenek Naruto-kun...?'

"Mito-sama, dia mencari Naruto-sama." Sang maid menjawab lebih dahulu, ia takut mendapat murka sang majikan ketika membiarkan orang sembarangan masuk dalam pesta bergengsi ini.

'Salah satu jalangnya Naruto...' Mito menatap remeh pada Hinata, ia bukannya tak tahu dengan tingkah bejat cucunya selama ini, namun ia seolah tutup mata dan telinga dan menganggap perilaku Naruto itu adalah kenakalan masa muda yang wajar sebelum kelak ia akan menikahkan Naruto dengan Puteri relasi bisnisnya.

"Hyuuga Hinata, desu..." Hinata membungkuk sembilan puluh derajat memperkenalkan dirinya, namun Mito membuang muka. Dahinya mengernyit saat mendengar kata Hyuuga keluar dari mulut Hinata.

"Hyuuga? Apa hubunganmu dengan Hyuuga Neji?" Mendengar nama Hyuuga ingatannya langsung tersambung dengan nama yang pemilik kantin yang pernah Naruto minta untuk ditutup, seseorang yang memukuli cucu kesayangannya sampai babak belur.

"Dia adalah kakakku...." Jawab Hinata polos.

"Kau adik dari orang memukuli cucuku?!"

Ucapan Mito membuat batin Hinata mencelos, Mito telah membuka kejadian lama yang membuatnya dan Naruto harus mengalami hal-hal sulit dalam hubungan mereka. Hinata mengangguk pelan menjawab pertanyaan Mito.

"Ternyata kau penyebabnya, khe..." Mito berkacak pinggang, nyali Hinata mulai menciut, nenek itu dengan terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan pada dirinya. "Mau apa kau menemui Naruto?!" Tanyanya ketus.

"Ada hal penting yang harus saya bicarakan..." Hinata tertunduk seraya meremas kedua tangannya, tatapan intimidasi dan ucapan ketus Mito membuatnya merasa rendah diri.

"Khe..." Mito kembali mendengus remeh dan menatap rendah pada Hinata. "Hal penting apa yang kau miliki dengan Naruto?" Tanyanya dingin.

"Ini masalah pribadi, Nyonya." Hinata kian dalam menunduk, tatapan polosnya tak sanggup beradu dengan tatapan intimidasi Mito.

Mito kembali tersenyum remeh. "Aku mengerti, banyak gadis sepertimu yang datang kemari sambil menangis, tapi tolong simpan hubungan kalian di luar rumah ini, khususnya dirimu." Jemari telunjuk Mito menunjuk tepat ke wajah Hinata. "Jangan melangkah masuk lagi ke rumah ini lagi. Kami tidak ingin berurusan dengan pengurus kantin, itu di bawah status kami. Kalau mau bertemu Naruto, lakukan di tempat lain, jangan disini. Sekarang keluar!"

Hinata mengangguk patuh, air mata bening mulai menetes di pelupuk matanya, ucapan Mito begitu menujam hatinya. Sampai-sampai tubuhnya bergetar ketakutan.

"Aku katakan keluar!" Satu bentakan Mito membuat pandangan para hadirin pesta itu langsung tertuju pada Hinata, gadis itu berlari ketakutan, setelah tersentak dengan hentakkan Mito.

...

Di tengah dinginnya malam, Hinata memutuskan berdiri di troar di depan gerbang rumah Naruto, tangannya menggosok lengannya untuk mengurangi udara dingin yang menyusup ke sendinya. Tatapan polosnya menyusuri tiap kendaraan yang lalu lalang, berharap sang pujaan hati datang. Ia tak bisa pulang tanpa Naruto bersamanya, ia tak punya nyali bertemu dengan ayah dan kakaknya, bila ia pulang tanpa Naruto, maka Neji akan mendapat pembenaran atas argumennya. Naruto adalah pria brengsek dan dirinya hanya dipermainkan.

Naruto-kun, kau dimana?

...

Sementara Hinata berdiri sendirian di pinggir jalan di tengah udara malam yang dingin menantinya. Di kediaman keluarga Haruno, Naruto justru nampak tertawa lepas bercanda di ruang keluarga yang hangat bersama sang pujaan hatinya.

"Bagaimana, kau pasti lebih senang berada di rumah, bukan, Sakura-chan...?" Naruto mencubit gemas hidung calon dokter itu hingga ia sedikit berjerit terkejut.

"Naruto, hentikan..." Sakura menjulurkan lidahnya kesal dan hal itu semakin membuatnya gemas, ia usak lembut pucuk kepala merah muda itu. "Naruto..."

"Hmmm?" Naruto menghentikan kegiatannya memijat kaki Sakura yang berselonjor di sofa, ia menatap hangat pada cinta pertamanya itu.

"Bulan depan... Aku ingin kembali ke kampus..."

Naruto tersenyum, ia tahu ini pilihan berat bagi Sakura, kerja prakteknya di rumah sakit terpaksa tertunda akibat insiden yang merenggut kebebasannya berjalan. Mau tidak mau ia harus kembali menjalani perkuliahan normal menyelesaikan smester ini.

"Ini baru Sakura-chan ku..." Naruto kembali mengusap surai merah muda itu. "Ino dan Sai pasti sudah menantikan kehadiramu..."

"Tapi..." Sakura berujar lirih seraya menatap kakinya. "Aku akan menjadi beban untuk kalian...."

Naruto menggeleng cepat, ia berpindah posisi dari duduk di sisi sofa, menjadi bersimpuh di hadapan Sakura. "Kau tidak pernah menjadi beban untukku Sakura-chan.... Kau adalah dunia ku... Aku akan menjadi kaki untukmu, mengantarkan kemanapun tempat yang kau inginkan..."

"Baka..." Sakura tertawa sambil menyeka air mata haru yang merembes dari emaraldnya. "Sampai kapan kau akan berharap padaku seperti ini..."

"Sampai aku tidak bisa berharap lagi...." Jawab Naruto dengan lembut, tangannya mengusap lembut tangan Sakura.

"Lalu Hinata...?" Ah.. Sakura bukan gadis bodoh, ia tentu ingat sebelum kejadian naas itu, Naruto sedang pergi berkencan dengan Hinata.

"Dia tak pernah berarti apapun bagiku...."

...

Malam kian larut, pintu pagar kediaman Uzumaki telah kembali tertutup rapat, pesta itu telah selesai, namun tidak dengan penantian Hinata. Gadis polos itu masih berdiri di trotoar depan pagar, menanti pujaan hatinya, harapannya tak pernah pudar, ia tetap bertekad menunggu Naruto.

Hinata tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya, ketika netranya menangkap mobil sport Naruto berhenti di depan gerbang Uzumaki Mansion. Ia berlari cepat menghampiri kaca depan mobil milik Naruto itu dan mengetuknya pelan.

Naruto yang sedang menunggu maid yang membuka pagar, sedikit tersentak saat kaca mobilnya diketuk, ia mendapati Hinata di balik kaca riben itu, dan membukanya. "Hinata, kenapa ke sini malam-malam begini?" Tanya Naruto bingung, Hinata beruntung karena Naruto dipanggil neneknya untuk pulang kerumah utama malam ini. Tadinya ia berniat untuk pulang ke apartement-nya.

"Naruto-kun... Aku ingin bicara...." Pinta Hinata lembut.

Dahi Naruto berkerut, sejak tadi sore ponselnya bergetar, beberapa kali panggilan Hinata ia abaikan, ia tak ingin diganggu saat sedang bersama Sakura. "Ah maaf Hime, ponselnku dalam mode senyap, sedang mempelajari simulasi kasus di pengadilan tinggi." Dustanya. Ia turun dari mobil mewahnya. "Katakan, ada apa...?" Ia menghampiri Hinata, mengabaikan pintu gerbang mansion megahnya yang terbuka.

"Naruto-kun, ikutlah bersamaku, ke rumah kami..." Tangan Hinata menggenggam tangan Tan Naruto, wajahnya memelas penuh harap agar Naruto mengikuti permintaannya.

Naruto mendesah nafas kasar, hari sudah larut, kendati ia telah merenggut kegadisan Hinata, tapi entah kenapa Naruto tak tega melihat Hinata berkeliaran malam hari seperti ini sendirian. "Ayo masuk ke mobil, aku akan sekalian mengantarmu..." Naruto merangkul bahu Hinata dan membawa gadis polos itu ke dalam mobil.

...

"Silahkan masuk, nak..."

Pintu geser itu terbuka, senyuman hangat Hiashi menyambut kedatangannya, berbanding terbalik dengan wajah sinis Neji yang menatap tajam Naruto.

Naruto membungkuk sembilan puluh derajat, dan masuk ke dalam rumah sederhana begaya tradisional itu. Ia sedikit risih dengan udara pengap rumah kecil itu, terlihat dari ekspresi tidak nyamannya ketika masuk ke dalam rumah itu.

"Silahkan duduk..." Hiashi duduk bersila di hadapan Naruto, di sisinya ada Neji dengan tatapan introgasinya, dan di sisi Naruto ada Hinata yang menggenggam erat tangannya. Senyum manis selalu tersungging di bibir mungil gadis polos itu, penuh damba pada pemuda di sisinya, namun berbanding terbalik, Naruto hanya tersenyum seadanya.

"Jadi, nak..." Hiashi membuka pembicaraan, "kau dan Hinata sudah menjalin hubungan sebagai kekasih..." Hiashi menuangkan ocha pada Naruto, dan diterima oleh pemuda itu.

"Ya bisa dikatakan seperti itu." Naruto tersenyum tipis, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. 'Sudah waktunya permainan selanjutnya.'

"Kalian berdua saling mencintai...?" Pertanyaan berikutnya terlontar dari mulut Hiashi.

Hinata memerah malu mendengar pertanyaan sang ayah.

"Aku sangat mencintai Hinata..." Naruto menoleh pada Hinata dan tersenyum pada gadis polos itu, wajah Hinata semakin memerah mendapat perlakuan seperti itu.

"Baiklah.... Nak Naruto, aku tak melarang hubungan kalian, kalian sudah sama-sama dewasa... Hanya saja, sebaiknya kau bicarakan dulu dengan orang tuamu..." Hiashi kembali berbicara sopan, ia ingin Hinata dihargai dan mendapatkan cinta yang benar-benar serius. Hinata adalah putri kesayangannya.

"Ayah... Naruto-kun sudah tidak memiliki orang tua lagi...." Hinata menggenggam erat tangan Naruto, ia takut bila ucapan sang ayah membuka luka lama Naruto.

"Tak apa Hinata, tapi aku masih bingung dengan ucapan ayahmu, apa yang harus aku bicarakan dengan keluargaku?" Naruto jelas-jelas mengerti dengan arah pembicaraan ini, tapi ia berpura-pura tak tahu apapun. Atau lebih tepatnya tidak peduli.

"Kau!" Neji menggeram kesal, ia berdiri dan menarik kerah kemeja Naruto.

"Neji!" Bentakan Hiashi membuat Neji mengurungkan niatnya menghajar Naruto.

"Jadi nak, kau tentu tahu kemana arah hubungan kalian...?" Hiashi kembali mencoba bicara baik-baik pada Naruto.

Naruto tersenyum miring. 'Ya aku tahu kemana arah hubungan ini, kehancuranmu, Neji.' Naruto kembali menggeleng, hal ini membuat Hiashi sedikit kesal, juga raut khawatir di wajah Hinata.

Hiashi menarik nafas, di bawah meja rendah itu ia menggenggam tangan puteranya agar tidak naik pitam. Naruto sudah benar-benar keterlaluan kali ini. "Dengar nak, kami tidak ingin terburu-buru, tapi arah hubungan kalian ini, tentu bertujuan untuk menikah bukan, setidaknya setelah lulus nanti kalian bisa bertunangan dulu."

Naruto tersenyum miring, inilah waktunya. "Menikah, pertunangan?" Naruto bertanya seolah-olah tak mengerti apapun. "Khe... Anda terlalu naif Hyuuga-san... Aku tentu tidak bisa menikahi Hinata..."

"Naruto-kun..." Bagai disambar petir, Hinata terkejut bukan kepalang saat mendengar ucapan Naruto.

"Apa maksudmu?" Sudah habis kesabaran Hiashi, ia meninggikan nada bicaranya pada Naruto.

Naruto bangkit dari duduknya ia berdiri, diikuti oleh Neji, Hiashi dan Hinata. "Maksudku, kami memang sepasang kekasih dan kami saling mencintai. Tapi bukan berarti aku akan menikah dengannya... Khe..." Ucap Naruto pongah. Kendali kini berada di tangannya, ia sudah merenggut harga diri Hinata dan kini waktunya Neji melihat betapa perpengaruhnya ia.

"Naruto-kun..." Hinata mencoba menggapai tangan Naruto, tapi pemuda itu menepisnya, ia tak mengerti apa yang dikatakan pemuda itu, kemana impian yang selalu Naruto janjikan pada Hinata, tentang masa depan berdua dan keluarga bahagia, ia menangis seraya menutup mulutnya, semua yang paling berharga dalam dirinya telah ia serahkan pada Naruto, tapi hari ini, pemuda itu seolah berkata bahwa hubungan mereka sama sekali tak berarti.

"Kau!!!" Neji naik pitam, ia sudah siap menghajar tapi lagi-lagi Hiashi mencegahnya.

"Jika kau mencintainya, lalu mengapa kau tak mau menikahinya?" Tanya Hiashi dengan nada bicara yang tak lagi ramah.

"Hyuuga-san... Kau tentu tahu, aku bukan berasal dari keluarga sembarangan, wanita dengan status sosial seperti Hinata tak akan pernah diterima oleh keluarga kami... Apa dia pantas bersanding denganku?"

Hiashi menahan nafas, dadanya mulai terasa sesak, Naruto menghina keluarganya. Dengan ucapan halus namun menyakitkan.

"Keparat kau!!!" Neji hampir menghajar Naruto, namun kembali Hiashi menghalangi.

"Neji, kau masih dalam jaminan polisi." Neji mengatur nafasnya, ia menahan emosinya, tak ingin kembali mendekam di penjara.

"Dan alasan kedua..." Naruto tersenyum miring, ini waktunya mengakhiri permainan ini. "Sebenarnya aku sama sekali tak pernah mencintai Hinata, di dalam hatiku hanya ada satu nama, Haruno Sakura, dan gadis sepertimu," tangan Naruto dengan jahatnya menunjuk wajah Hinata. "Sampai kapan pun tak akan pernah bisa menggantikan posisinya."

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top