13. Permainan Dimulai
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Iris bulannya menatap sendu, saat pintu cokelat itu terbuka, pemandangan apik tersaji di hadapannya. Ruang tamu manis bernuansa merah, dengan dapur minimalis di sisinya, menjadi refleksi pertama yang Hinata tangkap dari apartement mungil nan mewah ini.
"Yokatta, Kakashi Ji-san sudah membereskannya...." Naruto yang berdiri di balik pundak Hinata menyisipkan kartu kunci di celana jeans biru navy-nya, setelah membuka pintu apartement-nya untuk Hinata.
"Apa Naruto-kun sering menginap disini...?" Hinata mendongak menatap safir biru Naruto yang berjarak 10 centi meter dari pandangannya.
Naruto tersenyum tipis, kali ini senyuman tulus, ia tak mampu memungkiri betapa tulusnya perhatian Hinata pada dirinya. "Terkadang..."
Mutiara lavender Hinata menatap kehampaan terpancar jelas dari safir biru itu. Tangan putihnya terulur, memberikan Naruto rasa nyaman, agar pemuda itu berkenan berbagi dengannya.
"Saat rumah itu terasa amat sepi. Aku biasa menghabiskan waktu di tempat ini untuk minum-minum." Entah sadar atau tidak, Naruto baru saja menunjukkan sisi terlemahnya pada Hinata, pada pion balas dendamnya.
"Sekarang tidak lagi..." Sepasang tangan putih Hinata melingkar di pinggang berotot Naruto.
Tubuh kekar pemuda itu tersentuh, gairah dan birahinya tak bangkit, tapi ada rasa lain. Pelukan Hinata membuat hatinya menghangat, rasanya seperti dipeluk oleh Kaa-chan....
"Hinata, sebaiknya kita masuk dulu." Tak ingin terhanyut akan perasaan aneh yang tiba-tiba bergelayut dalam benaknya, Naruto menjauhkan Hinata dari pelukannya. Ia tak ingin rencana yang sudah ia susun rapi ini menjadi mentah.
...
Hinata tak menaruh rasa curiga sama sekali, cinta membutakan logikanya. Naruto langsung membuka pintu kamarnya ketika mereka masuk ke dalam apartement itu. Mutiara lavendernya malah berbinar indah, kamar bernuansa Victoria itu membuat takjub pandangannya
"Kau mandi disini saja, ada beberapa pakaian mendiang Kaa-chan disini..." Dusta Naruto, ia sudah menyiapkan lingerie yang dibeli oleh Kakashi tadi sore.
Akal sehat Hinata sedikit bekerja, entah kenapa suasana seperti ini membuatnya merasa kikuk, ia menoleh pada Naruto yang berdiri di belakangnya. "Naruto-kun akan mandi dimana?" Tanyanya polos dengan matanya yang membulat.
Naruto mengulum senyum, ia tak boleh terlihat begitu bernafsu saat ini. "Aku akan mandi di kamar mandi depan." Ia masuk mendahului Hinata, membuka lemari pakaian besarnya dan mengambil kaos putih dan boxernya. Ia tak akan memakai banyak pakaian, bukankah akan dilepas sebentar lagi. Senyuman iblis itu terukir seiring dengan kakinya yang meninggalkan kamar itu.
...
Tok tok tok
Hinata menghentikan kegiatan menyisir surai panjang sepinggangnya ketika kamar Naruto diketuk, ia buru-buru berjalan menuju pintu membukanya. "Naruto-kun...." Hinata tersenyum kikuk, ia menunduk karena sedikit tidak nyaman Naruto melihatnya dalam balutan pakaikan tidur sexy ini.
"Kau cantik...." Rambut Hinata yang terurai basah, meneteskan air di lingerie berwarna merah itu. "Jangan sembunyikan wajah cantikmu itu...." Tangan Naruto terulur mengangkat dagu lancip Hinata, safir dan mutiara beradu. Sedikit lagi... Sedikit lagi kau akan berakhir Hyuuga....
Tangan kekar itu bergerak lembut menarik dagu lancip milik sang gadis, jarak tak lagi berarti bagi mereka berdua, hidung mereka saling bergesekkan. Dan tak butuh waktu lama kedua bibir berbeda warna itu saling menempel, mengulum satu sama lain berbagi rasa manis.
...
"Hhhhhhh....." Hinata sedikit mendorong tubuh kekar Naruto. yang mengintimidasi tubuhnya hingga tersudut di dinding. Ia terengah bebat, pria itu sunggu piawai melumat bibirnya membuat Hinata kualahan, bagaimanapun ini adalah pengalaman pertama bagi Hinata, sedangkan Naruto, dia adalah pemain profesional.
"Ini pengalaman pertama bagimu...?"
Hinata mengangguk malu, wajahnya tertunduk dengan memerah.
Naruto membuang muka, dan tersenyum remeh tanpa sepengetahuan Hinata. Gadis payah, umpatnya dalam hati.
"Naruto-kun..."
Naruto kembali memasang wajah penyayangnya ketika cicitan halus Hinata menggumamkan namanya.
"Ada apa Hime?" Tanyanya dengan penuh kepura-puraan.
"Aku sangat bahagia, karena ciuman pertamaku adalah Naruto-kun..." Gumamnya malu-malu.
"Hontou...." Kalau begitu aku jugalah orang pertama yang akan merenggut kesucianmu. Tambahnya dalam hati.
Hinata mengangguk dengan malu-malu, dan hal itu membuat isi kepala Naruto mulai berfantasi liar.
"Kalau begitu ayo kita tidur...." Tangan kekar Naruto, merangkul pinggul Hinata dan langsung menuntunnya ke tempat tidur.
"Ano.... Naruto-kun...." Hinata menghentikan langkahnya, dan membuat Naruto melakukan hal yang sama. "Apa kita akan tidur berdua disini?" Tanya Hinata dengan polosnya.
"Hinata..., Kita berdua sudah sama-sama dewasa, bukan...?" Naruto mulai jengah dengan kepolosan Hinata, ia menggenggam sepasang lengan Hinata, dan memutar tubuh Hinata hingga mereka berdua berhadapan. "Di Tokyo hal ini sudah biasa terjadi, sepasang kekasih tidur bersama di satu ranjang."
"Naruto-kun... Tapi..." Raut ketakutan mulai terlihat di wajah Hinata.
"Kau tidak mempercayaiku, seperti Neji?" Melihat gelagat ketakutan Hinata ia mencoba mengembalikan keyakinan Hinata pada dirinya. Aku tidak boleh gegabah, jika aku memaksanya, maka aku tak bisa melakukannya berulang kali, dan kemungkinannya untuk hamil, akan sangat kecil. Selain itu kakak brengseknya bisa mengadukanku ke polisi atas tuduhan pemerkosaan.
Lama Hinata menunduk, ingatannya tentang apa yang dikatakan oleh sang kakak menari-nari di kepalanya.
"Hime..." Hingga suara meneduhkan Naruto kembali membuainya. Ia mendongak, dan menatap safir biru tenang itu. "Sudah ku katakan, bukan kalau kau itu berbeda...."
Hinata tersenyum lembut, wajah Naruto sama sekali tak menggambarkan dusta.
"Aku tak akan berbuat jahat padamu, hanya tidur sambil memelukmu... Aku tak akan melakukan lebih...." Setidaknya belum, Hyuuga. "Kau percaya padaku, bukan?"
Mutiara ungu muda itu menatap dalam pada safir biru, tak ada dusta di tatapan itu, ia percaya sepenuhnya pada kekasih barunya itu. Kepala indigonya mengangguk, dan hal itu otomatis membuat Naruto kembali menuntunya ke tempat tidur.
Tak apa jika malam ini aku tak berhasil, aku akan membuatmu menyerahkan dengan suka rela kehormatanmu, hingga kakak jahanammu itu tak punya bukti untuk memenjarakanku, dan ia akan tercoreng malu memiliki adik sehina dirimu yang memberikan tubuhnya dengan suka rela untukku.
...
Fajar menyingsing, dari celah-celah ventilasi Hinata bisa merasakan cahaya sang Surya yang menerpa wajahnya. Senyuman manis terukir di bibirnya, ia amat bahagia, Naruto menepati janjinya, semalaman mereka tidur sambil memeluk satu sama lain. Ia menatap wajah damai Naruto yang terlelap di sebelahnya, tangannya terangkat, tergelitik untuk membelai rahang tegas si pria. Pasti berat bagi Naruto-kun untuk melawan kesepian ini.
"Hmmmmm..." Suara gumaman halus itu terdengar dari bibir Naruto, bersamaan dengan kelopak mata madunya yang berkedip, tak lama kemudian safir birunya tampak dari persembunyiannya. "Kau sudah bangun, Hime?"
Hinata mengangguk lembut, ia mengecup sayang rahang tegas Naruto, lalu berpindah posisi duduk. "Aku akan membuatkan Naruto-kun sarapan... Apa Naruto-kun ingin disiapkan air hangat...."
Naruto duduk, mengikuti Hinata, ia mengusap wajahnya kasar. "Aku akan mandi air dingin saja, aku akan berolah raga sebentar."
Hinata mengangguk mengerti, dengan tubuh menakjubkan yang Naruto miliki saat ini, ia tahu ada banyak latihan yang harus Naruto lakukan untuk mempertahankan otot-ototnya. Salah satunya dengan olah raga di pagi hari, dan tak mungkin untuk mandi air hangat usai berolah raga.
Setelah Hinata beranjak dari kamarnya Naruto meremas kasar surai pirangnya. "Gadis tolol itu memintaku mandi air hangat setelah apa yang harus aku tahan semalaman, Sial!!!"
Hinata dan segala kepolosannya tak tahu, bahwa semalaman Naruto harus menahan hasratnya yang menggebu, oh ayolah, Naruto adalah pria normal berdarah panas. Melihat Hinata dalam balutan lingerie, dan tak melakukan apapun, adalah sesuatu yang sangat menyiksanya.
...
Hinata menghela nafas pelan, ada rasa sesal ketika ia berdiri di depan kedai kakaknya, mutiara lembutnya memandang Neji yang tengah membersihkan satu persatu meja makan kedainya. Ia baru saja mengkhianati kepercayaan kakaknya, pagi ini ia sampai ke kampus dengan diantar oleh Naruto, tentu saja setelah memastikan pada Kiba yang menginap di rumahnya bahwa sang kakak telah pergi ke kantin cukup lama, ia bahkan meminta Hanabi mengirimkan pakaiannya ke alamat apartement Naruto, agar sang kakak, mempercayai bahwa ia pulang dulu kerumah.
"Bagaimana keadaan kakaknya Kiba....?" Neji menyambut Hinata dengan pertanyaan hangat ketika gadis itu berdiri di hadapannya.
Hinata tersenyum kecut, ia merasa bersalah, Neji percaya seutuhnya padanya, tentu saja, karena kebohongan yang ia atur dengan apik. "Sudah lebih baik, ASInya sudah lancar." Dusta Hinata. "Nii-san, biar aku bantu...." Hinata ingin menebus rasa bersalahnya, ia mencoba mengambil kain lap dari tangan kakaknya.
"Tidak usah...." Neji melarang Hinata. "Kau datang ke kampus untuk belajar, bukan untuk berjualan seperti aku.... Masuklah sebentar lagi pukul delapan, kau bisa terlambat." Neji tersenyum tulus seraya melanjutkan pekerjaannya, melihat Hinata bisa mengemban pendidikan di universitas yang dulu sempat gagal ia masuki, membuat rasa bangga yang teramat sangat dalam hatinya.
Hinata tersenyum tipis, entah kenapa rasa bersalah menggerogoti hatinya. "Aku permisi Nii-san..." Pamitnya sopan.
"Hinata..." Hinata baru saja menapaki kakinya di pintu gedung fakultasnya ketika suara Kiba melengking menyuarakan namanya.
"Kiba-kun... Terimakasih banyak..." Hinata membungkuk sembilan puluh derajat di hadapan Kiba.
"Hinata, kau baik-baik saja bukan?" Tanya Kiba dengan nada khawatir, bagaimana ia bisa bersikap tenang, tadi malam ia baru saja melepaskan sahabat masa kecilnya pada mulut rubah liar.
"Kiba-kun..." Hinata menyentuh pundak Kiba. "Sudah berapa kali ku katakan... Naruto-kun bukanlah orang jahat.... Kami tidak melakukan apapun..."
Kiba menghela nafas lega.
"Hime."
Baru saja Kiba bisa tenang, suara berat Naruto terdengar di telinganya dan itu membuatnya kembali dilanda rasa was-was.
"Naruto-kun... Kenapa disini?" Tanya Hinata lembut seraya mendongak, menatap Naruto dengan penuh perhatian.
"Aku sudah merindukanmu...." Naruto tanpa memikirkan tempat dimana ia berada, dengan lancang mengecup pipi persik Hinata, gadis itu sontak memerah malu.
Kiba membulatkan matanya, baru satu malam resmi sebagai sepasang kekasih Naruto sudah berani mencium pipi Hinata di khalayak umum, jika Neji melihat hal ini, aku pastikan terjadi perang dunia ninja ke lima di tempat ini. Gumam Kiba dalam hati.
"Naruto-kun kembalilah ke kelas..." Walau dengan pipi memerah malu Hinata memberanikan diri menatap Naruto.
"Hari ini mata kuliah teori KUHP, aku malas...." Naruto memutar mata birunya bosan. "Hinata, temani aku ke Shibuya Mega Mall..."
Kiba, membuka mulutnya tak percaya, Naruto mengajak Hinata bolos.
"Tapi aku ada kelas...." Hinata menatap ke arah kelasnya, satu persatu temannya mulai masuk ke dalam kelas.
"Hime... Satu kali bolos tak akan membuatmu nilaimu menjadi buruk...." Naruto merangkul Hinata, ia semakin berani. "Lagi pula, kau ingin nilai apa, dan untuk mata kuliah apa, katakan padaku, aku akan memerintahkan pada kepala akademik." Sombong Naruto.
"Hinata, aku ada kelas, aku pamit dulu." Kiba mulai jengah dengan sikap jumawa Naruto. Ia meninggalkan dua orang pasangan baru itu.
"Hime..." Naruto menyadarkan Hinata yang menatap kepergian Kiba, "kita pergi sekarang....?"
"Naruto-kun..." Seketika gambaran wajah Neji yang tengah membersihkan meja terbayang di pikirannya, memikirkan banyak hal yang telah dikorbankan oleh kakaknya membuatnya berniat menolak permintaan Naruto. Tujuan utamanya berada di universitas ini adalah untuk mengemban ilmu untuk mengembangkan usaha keluarganya.
"Aku tahu... Kau mahasiswa baik..." Naruto kembali menjual wajah sedihnya untuk menjebak Hinata. "Hmm baiklah, aku harus sendiri lagi...."
Naruto melepaskan rangkulannya pada pinggang Hinata, dan ia mulai berjalan lesu dan menjauh. Namun Hinata yang penuh dengan rasa iba itu tentu saja tak Setega itu.
Satu kali mangkir kuliah bukan masalah.... Batin Hinata mulai membangkang, menghabiskan waktu bersama Naruto jauh lebih menarik hatinya. "Naruto-kun...."
Naruto yang sudah berbalik menghentikan langkahnya, ia kembali menghadap pada Hinata dan mengulurkan tangannya.
...
"Sudah sore... Aku harus segera pulang, Neji-nii bisa mencariku..."
Hinata mengelus sayang surai cepak Naruto, pria itu terbaring lemah di ranjangnya, ia sedang demam. Seharian ini Hinata sudah mangkir dari kelasnya demi merawat Naruto, dan dalam dua Minggu semenjak mengikrarkan diri sebagai kekasih Naruto, bisa dihitung dengan jari kehadirannya di kelas.
Naruto menarik tangan Hinata ketika gadis itu mulai menjauh dari ranjang. "Menginaplah disini... Aku sedang membutuhkanmu....."
Hinata kembali terduduk di tepian ranjang, Naruto memeluknya hangat. Pria itu menenggelamkan kepala kuningnya pada ceruk leher Hinata, menghirup sebanyak mungkin aroma lavender yang menguar dari tubuh sintal itu.
"Naruto-kun...." Hinata mulai merasa risih, tangan Naruto mulai menjamah tubuhnya, menyingkap sedikit kemeja yang ia kenakan dari bagian pinggul.
"Hinata... Ini sudah dua pekan kita berpacaran...." Suara serak itu berbisik di telinga putihnya.
"Naruto-kun apa harus seperti itu...." Hinata berbisik pelan, ini bukan pertama kalinya Naruto meminta kontak fisik yang lebih padanya.
"CK..." Naruto berdecak kesal, ia melepaskan pelukannya dari Hinata. "Kau tak percaya padaku, kau pikir aku seperti yang Neji katakan. Kalian sama saja." Naruto membuang muka. Ini jurus terampuh yang Naruto gunakan satu pekan terakhir ini, Hinata akan melakukan apapun agar dia tidak marah, dan cara ini ia pergunakan untu menjebak Hinata agar dengan suka rela memberikan yang ia inginkan."
"Naruto-kun, bukan begitu...."
"Kita ini sudah dewasa Hinata, bukan remaja tanggung yang hanya berpegangan tangan dan berciuman, kau tahu, itu. Ini Tokyo."
"Tapi....."
"Dengar Hinata, jika kau tidak mempercai tanggung jawabku, untuk apa lagi hubungan ini dilanjutkan. Percuma memiliki kekasih, bila masih harus mencari jalang di luaran."
Deg
Jantung Hinata berdegup kencang, ini pertama kalinya Naruto mengancam akan mengakhiri hubungan mereka.
"Naruto-kun...., Kenapa bicara seperti itu....?"
"Lalu aku harus bicara apa lagi, hah!"
Hinata kembali tersentak, pria itu membentaknya.
"Mengulang-ulang ucapan manis dan puisi-puisi. Kau pikir aku ini pemuda ingusan, aku ini pria normal Hinata! Pulanglah dan tanyakan pada teman-temanmu yang sudah memiliki kekasih, katakan bagaimana membosankannya dirimu!"
Hinata mulai terisak, ia meraih tasnya dan berlari ke pintu. Sementara Naruto tersenyum penuh arti. Kau tak mungkin memilih melepaskanmu, kau tergila-gila padaku Hime... Apapun akan kau lakukan untuk tetap menjadi kekasihku, itu kan impianmu sejak dulu.
...
"Tadaima...."
"Okaerinasai...." Suara sang ayah menjawab salamnya, rasa hangat kembali memenuhi dadanya, setelah rasa sesak setelah mendengar ucapan Naruto.
"Kau sudah selesai berdiskusi bersama Tamaki....?" Suara Neji menyusul, keluarganya sudah berkumpul di ruang serbaguna rumah sederhana itu.
Jalan Hinata untuk bersama Naruto tanpa sepengetahuan keluarganya kian berjalan mulus, ia semakin piawai berdusta dengan berbagai alasan yang diarahkan oleh Naruto.
Hinata tersenyum kecut. Keluarganya begitu mempercayainya saat ini, tapi ia berdusta kian dalam.
"Kau mandi air hangat dulu.... Tou-sama sudah siapkan..." Hiashi tersenyum tulus pada Puteri kesayangannya.
Hinata tersenyum seraya mengangguk, rasa bersalah kian menghantuinya.
...
Naruto-kun bagaimana keadaanmu???
Hinata mendesah pelan, pesan yang ia kirimkan dibaca oleh Naruto, tapi sama sekali tak dibalas. Naruto selalu melakukan hal ini setiap ia menginginkan hubungan intim dengan Hinata, ia akan kembali hangat pada Hinata keesokan harinya, lalu kembali memintanya dan saat Hinata menolak, ia akan kembali diabaikan.
Ia mulai goyah pada pendiriannya, mempertahankan kesucian hingga hari pemurnian pernikahan, sepertinya begitu sulit di kota besar seperti Tokyo, apa lagi di era milenial seperti saat ini.
Tak ingin digerogoti dengan kebimbangannya, Hinata menekan tombol kontak di ponselnya, ia memutuskan menelepon Ino. Tetangganya itu sudah lama menjalin hubungan dengan kekasihnya, ia hanya ingin memastikan seperti apa kontak fisik antara Ino dan Sai. Apa mereka juga mementingkan hubungan intim, seperti yang sering Naruto koar-koarkan, atau mereka menjalani hubungan seperti yang selama ini Hinata bayangkan.
Ciuman manis yang penuh kasih sayang dan menghabiskan waktu berbincang satu sama lain untuk saling mengenal. Hinata yang naif
"Nee-sama, kau sudah tidur?" Suara Hanabi dari balik pintu geser membuat Hinata tersadar dari pemikirannya.
"Uhummm..." Jawabnya sengaja bergumam, ia harus berpura-pura sudah tidur dan memastikan semua keluarganya sudah tidur, barulah ia akan bertanya pada Ino.
...
"Moshi...Moshi... Ino-chan... Maaf mengganggu malam-malam...."
"Hei kenapa seperti orang asing saja....? Katakan Hinata apa yang bisa aku bantu?" Suara riang Ino menyapa gendang telinga Hinata.
"Ino-chan.... Bagaimana hubunganmu dengan Sai-san....?" Hinata berbasa-basi sebelum ke tujuan utamanya.
"Hinata, kau ada masalah dengan Naruto?" Hinata tak perlu berbasa-basi, Ino sudah paham hal seperti ini, dan juga kepolosan Hinata yang tak pandai menyembunyikan masalahnya. "Katakan padaku... Apa yang bisa aku bantu...."
"Ino-chan.... Ano....." Hinata mulai gugup, ia bingung bagaimana caranya untuk memulai bertanya pada Ino.
"Katakan saja Hinata...." Ino menanggapi lembut.
"Apa kau, dan Sai-san sudah....." Ucapan Hinata terpotong ia mengigit bibirnya, rasanya tidak pantas baginya untuk menanyakan hal pribadi seperti itu pada Ino.
Dari ujung telepon Ino tersenyum tipis. "Lebih dari sekedar berciuman di bibir, hubunganku denga Sai-kun sudah sangat jauh...." Ino tahu arah pembicaraan Hinata, gadis itu baru kali ini menjalin kasih, dan pasti ada banyak pertanyaan yang bermain di otak polosnya. "Naruto menginginkan 'itu'?"
Hinata diam seribu bahasa dan hal itu sudah cukup menjadi jawaban bagi Ino. "Hinata... Ini Tokyo, dan hal seperti itu bukan hal yang tabuh lagi untuk dilakukan sepasang kekasih, alat kontrasepsi di jual secara bebas di minimarket-minimarket. Tapi...." Ino mendeja perkataannya.
Tanpa ia sadari Hinata terkejut mendengar jawaban Ino. Ternyata memiliki kekasih tak semanis ia bayangkan, fakta tentang kebutuhan biologis manusia yang harus disalurkan terkadang tak mampu terbendung hingga janji suci pernikahan terucap. Pepatah pria yang benar-benar mencintaimu tak akan menyentuhmu dan akan menjagamu hingga dia menikahimu, sepertinya hanya ada di dorama yang sering ia tonton.
"Hinata... Kau masih mendengarku....?"
"Ah... Iya..." Suara Ino di ujung telepon menyadarkannya.
"Sebenarnya dalam setiap hubungan itu memiliki pemahaman berbeda-beda tentang ini.... Aku dan Sai, keluarga kami sudah saling mengenal dan kami sudah diikat. Aku tahu jika suatu saat aku dan Sai tidak berjodoh, aku lah yang akan menanggung kerugian yang sangat besar, tapi mau bagaimana lagi.... Aku juga sangat menginginkannya, lagi pula kami selalu memakai pengaman selama ini.... Apapun yang akan terjadi dengan kemungkinan terburuk aku sudah menerima konsekuensinya."
Hinata tak percaya Ino dengan tenang membeberkan masalah pribadinya, dan yang lebih membuatnya terkejut adalah bagaimana Ino dan Sai selama ini menjalin hubungan.
"Tapi Hinata, tak semua pasangan seperti aku dan Sai-kun... Sakura dan Sasuke misalnya... Mereka tak mengedepankan sex sebagai prioritas hubungan mereka.... Kau tahu bagaimana mereka berdua mengejar impian mereka..."
Hinata tersadar, Ino-chan benar, Neji-nii dan Tenten-nee adalah salah satunya, mereka fokus menabung untuk masa depan mereka dan biaya pernikahan. Sebelumnya Hinata sudah pernah mencari informasi bagaimana kakaknya menjalin hubungan, melalui Tenten. Jangankan untuk membahas hal mesum, mereka bahkan jarang memiliki waktu berkualitas bersama, yang ada di pikiran mereka hanyalah bagaimana mereka bisa mengumpulkan uang untuk menikah.
Dan tentu saja Tenten tak menaruh rasa curiga, Dimata keluarganya Hinata sudah tak lagi berhubungan dengan Naruto setelah kejadian inagurasi itu.
"Tapi Hinata.... Ku rasa Naruto adalah salah satu dari banyak pria yang memprioritaskan sex dalam hubungan...."
Ucapan Ino membuat batin Hinata ciut. Ino benar, hanya satu pekan Naruto berlaku manis dengannya tanpa embel-embel nafsu. Selebihnya, Naruto selalu berusaha untuk mengajak melakukan hal lebih.
"Hinata, aku tahu seperti apa dirimu, kau adalah gadis yang mementingkan hubungan jiwa dan komunikasi satu sama lain. Jika prinsipmu dan Naruto sudah berbeda... Mungkin hubungan kalian sudah tidak sehat lagi."
Hinata semakin tersentak. Tidak. Bagi Hinata mengakhiri hubungannya dengan Naruto adalah hal yang tak mungkin ia lakukan, bersanding dengan Naruto adalah impiannya sejak lama, ia tak mungkin mengakhiri hubungan dengan Naruto yang baru seumur jagung. Baginya hubungannya dengan Naruto harus berakhir ke jenjang pernikahan.
...
Naruto baru saja terjaga dari tidurnya, kepalanya sedikit sakit karena beberapa analisa kasus tugasnya yang harus ia selesaikan, juga karena misi balas dendam nya belum juga membuahkan hasil. Hampir dua pekan ia dan Hinata menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, namun tak ada kemajuan berarti, gaya berpacaran mereka seperti remaja ingusan yang baru mengenal cinta. Itu sangat membosankan, terlebih lagi benih cinta Naruto yang sempat akan tumbuh pada Hinata sudah sirnah semenjak kejadian yang menyebabkan lumpuhnya Sakura.
Tangan karamelnya meraih ponsel di nakasnya, ia membuka aplikasi pesannya, dan menemukan hampir dua ratus pesan Hinata yang belum ia baca. Sama sekali tak berniat membacanya, Naruto langsung menghapus pesan dari Hinata. Ia mendecih bosan, ia sudah memutuskan beberapa hari ini untuk menjaga jarak dengan Hinata. Ia ingin membuat gadis itu semakin tersiksa tanpanya, Naruto tahu betul sedalam apa cinta Hinata padanya.
Selain itu Naruto ingin memiliki waktu berkualitas bersama Sakura, sudah dua pekan ini Naruto menghabiskan waktunya bersama Hinata tanpa membuahkan hasil, dan hal itu membuatnya tak bisa berlama-lama bersama cinta pertamanya itu.
Pucuk dicinta ulampun tiba, setelah menghapus semua pesan yang semalam dikirim, Naruto menemukan pesan Sakura dua jam lalu atau sekitar pukul tiga pagi.
Naruto aku sudah tidak tahan lagi.
Safir biru Naruto terbelalak, satu kalimat yang dikirimkan oleh Sakura mampu membuatnya terperanjat, ia tak buang waktu, menyambar jaket kulitnya, walau masih mengenakan celana training. Ia langsung mengambil cepat kunci mobilnya.
Sakura-chan bertahanlah.
...
Naruto menatap sendu pergelangan putih tangan Sakura yang dibalut perban.
"Dia mencoba untuk bunuh diri."
Penuturan Mebuki membuat batin Naruto mencelos, tinjunya mengepal kuat. Dendamnya pada Neji kian berkobar dan niatnya untuk menghancurkan masa depan Hinata kian bulat.
...
"Naruto, ponselmu terus saja berbunyi.... Angkatlah, mungkin itu penting." Sakura melirik ke arah meja tamu di ruang rawatnya, ponsel hitam Naruto tergeletak disana sementara sang pemilik sama sekali tak mengindahkannya.
"Itu dari agen asuransi yang selalu menggangguku.... Ayo buka mulutmu Sakura-chan... Kau harus menghabiskan makananmu...." Dusta Naruto, ia kembali melanjutkan fokusnya, dengan sangat lembut Naruto menyuapkan bubur ke mulut gadis musim itu, mengabai Hinata yang terus menelepon dan mengiriminya pesan.
Naruto dengan sengaja memberikan nada dering khusus untuk panggilan dan pesan Hinata, dengan begitu ia tak perlu repot-repot memeriksa ponselnya. Sudah satu pekan dengan sengaja ia tak menemui Hinata di kampus juga mengabaikan gadis itu. Ini bagian dari siasatnya, ia sengaja menggantung begitu saja hubungannya dengan Hinata, dengan begitu Hinata yang sangat mencintai dan tergantung padanya, akan merasa tersiksa dan semakin tak bisa lepas darinya.
...
Tangan sewarna madunya membelai helaian sewarna permen kapas itu, Naruto tersenyum lembut saat melihat Sakura terlelap, esok cinta pertamanya itu akan menjalani rawat jalan di rumah, dan ia harus selalu berada di sampingnya. Rasanya lega jika kau dirawat di rumah, Sakura-chan... Aku akan dengan leluasa menemanimu...
Nada dering khusus itu kembali berbunyi, merusak kebahagiaannya melihat Sakura yang tengah tertidur lelap, Naruto mulai jengah dengan pesan-pesan dan telepon Hinata yang menurutnya adalah gangguan. Sudah waktunya melanjutkan permainan.
Naruto meraih ponselnya, kini saatnya ia akan mengeluarkan senjata pamungkasnya, setelah membuat Hinata jatuh cinta padanya dan membuat gadis itu tak bisa hidupnya, waktunya untuk memberi ancaman kecil, agar kau dengan senang hati memintaku merusak hidupmu.
Tanpa membaca pesan-pesan yang berhari-hari Hinata kirimkan padanya, Naruto langsung menekan cepat keypad-nya. Mengetik satu kalimat yang mampu meruntuhkan impian indah Hinata.
Aku rasa sudah saatnya kita mengakhiri hubungan ini.
Tanpa pikir panjang Naruto langsung mengirimkan pesan itu.
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top