12. Katakan Kau Mencintaiku
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Srak...
Trang...
Suara pagar besi yang terbuka kasar itu, membuat Hiashi dan putri bungsunya berhamburan keluar dari rumah tradisional khas Jepang itu. Turun dari rouka, pria berusia hampir lima puluh lima tahun itu berjalan tertatih menghampiri pagar besi yang terbuka lebar itu, dengan dituntun oleh sang anak bungsu.
"Neji!" Hiashi membentak kasar putera sulungnya itu ketika mendapati Neji menarik paksa anak kesayangannya turun dari mini Van, milik keluarga mereka.
"Akhh..." Hinata meringis kecil, Neji menyentak tangan Hinata yang ia genggam, hingga gadis itu hampir limbung ke depan jika tidak dengan cepat Hiashi menangkapnya.
"Neji, apa-apaan ini?!" Hiashi tampak tidak senang Puteri kesayangannya diperlakukan kasar seperti itu.
"Tanyakan pada Puteri kesayangan ayah itu!" Suara Neji meninggi, ia berkacak pinggang dengan nafasnya memburu menggambarkan betapa membuncahnya emosinya saat ini.
"Nak," panggil Hiashi lembut seraya mengelus surai kelam Hinata yang selalu mengingatkannya pada sang istri. "Katakan apa yang kau lakukan disana?"
"Hiks... hiks...."
Hinata tak bisa berkata apapun, ia hanya terisak kecil tak mampu menyampaikan kebohongan pada sang saya.
"Si brengsek itu menyatakan cinta padanya!" Belum sempat Hinata menjawab, teriakan Neji mendahului bibir Hinata yang bergetar.
"Kau sering menghabiskan waktu bersamanya?" Tak mau tersulut emosi, Hiashi bertanya lembut pada sang Puteri, sejak kecil ia membesarkan Hinata dan Hanabi dengan penuh kasih sayang. Ketiadaan ibu mereka membuat Hiashi tak ingin kedua anak perempuannya itu merasa seolah tak pernah mendapatkan kelembutan seorang ibu.
"Tentu saja Ayah! Bagaimana si brengsek itu bisa berani bicara sembarangan di depan umum jika dia tak memberi kesempatan?!"
"Neji! Berikan kesempatan Hinata bicara." Hiashi menghentikan Neji yang memonopoli pembicaraan. "Katakan, nak. Apa yang ingin kau sampaikan....?"
"Heh..." Neji membuang muka kesamping seraya mendengus kesal. "Kau terlalu memanjakannya, ayah. Hinata, kau tahu siapa dia? Seluruh Tokyo University tahu, si bajingan itu!"
"Berhenti memanggilnya bajingan, Nii-san....!!"
Hiashi, Neji dan Hanabi tersentak, ini untuk pertama kalinya Hinata membentak ayah dan kakaknya.
"Kau sudah berani, hah!" Tangan Neji melayang, dan hampir menampar Hinata.
Tapi tangan Hiashi bergerak lebih cepat, ia menahan tangan Neji dengan kekuatan yang lebih dari pemuda bersurai cokelat itu.
Neji mengalah, ia tahu tenaga dalam sang ayah lebih besar dari dirinya, mengingat ayahnya adalah mantan pelatih di Dojo karate.
"Hiks... Hiks..." Hinata kembali terisak pelan, Hiashi mengelus surai kelamnya, memberi sang Puteri kesayangan kesempatan untuk berbicara. "Orang yang kalian sebut bajingan itu, dia adalah orang yang membeli semua kue dango jualan kita, saat pertama kali aku berjualan di sekolahku dulu, dia bahkan memberikan uang sangat banyak agar aku bisa membayar iuran kantin supaya aku bisa menitipkan dagangan kita disana dan aku tak perlu menjahahkannya lagi...."
Neji tersenyum remeh, ia sama sekali tak menganggap apa yang dilakukan Naruto di masa lalu adalah kebaikan yang penting. Tapi tidak bagi Hinata, hatinya langsung tersentuh dengan kejadian itu.
"Orang yang Nii-san sebut bajingan itu, adalah orang yang bersedia membayar jaminan kebebasanmu, mencabut tuntutannya setelah kau membuatnya babak belur..."
"Itu kesalahannya sendiri, karena aku sudah memperingatkannya untuk menjauhimu." Neji tak mau kalah, di otaknya sudah patri jelas bahwa Naruto adalah seorang bajingan.
Hiashi mengangkat tangannya. Memberi isyarat untuk Neji tak lagi berbicara. Hinata masuk dalam mode keras kepalanya, ini hal yang jarang terjadi, dan bila hal ini terjadi menyikapinya dengan keras akan membuatnya semakin berontak.
"Hime, mau mendengarkan Tou-sama, nak...?" Hiashi menjauhkan tubuh sang Puteri dari pelukannya. Ia menggenggam sepasang lengan sang Puteri agar kedua mata mereka saling bertatapan.
"Tou-sama, jangan memintaku menjauhi Naruto-kun...." Hinata memelas dengan matanya yang berkaca-kaca. "Dia tak seburuk yang Neji-nii bicarakan..."
"Tapi dia tak sepadan dengan kita nak..."
Tanpa kekerasan dan suara tinggi, satu kalimat Hiashi, sudah mampu membuat kepala Hinata tertunduk.
"Dengar... Ayah tahu kau menganggapnya lebih dari teman baik, dia memberi perhatian dan berbuat baik pada kita, bahkan menyatakan dia mencintaimu, tapi apakah kau bisa menjamin hubungan kalian memiliki masa depan?"
Hinata kembali diam seribu bahasa, tak sanggup mengelak dari pertanyaan sang ayah.
"Kita tak sederajat dengan mereka... Dan cinta bisa dengan mudah pupus tanpa tekad. Jika kau meyakini Naruto adalah pria baik, apakah kau yakin, dia bisa memperjuangkanmu di hadapan keluarganya kelak?"
Hinata dak bergeming, sementara Neji tersenyum penuh kemenangan. Hinata tak mungkin menolak jika sang ayah yang berbicara.
"Hinata..." Hiashi meraih dagu Puteri kesayangannya agar kedua mutiara mereka saling beradu. "Kau menyayangi Tou-sama, bukan?"
Hinata mengangguk menjawab pertanyaan sang ayah.
"Dia tak sepadan denganmu nak, tak ada yang tahu masa depan hubungan kalian... Bukankah, kau berjanji akan fokus untuk belajar disana... Atau kau berniat mencari suami?"
Hinata kembali tertunduk mendengar penuturan sang ayah. Lalu kepalanya mendongak dan kini tatapan mutiara ungunya yang tadi memancarkan permohonan, berubah menjadi tatapan dingin.
"Baiklah..." Bahkan kini suaranya terdengar datar, tangannya menghapus kasar air matanya. "Jika itu semua yang kalian inginkan, maka aku akan mengabulkannya." Ia melepaskan diri dari dekapan sang ayah dan berjalan melewati begitu saja Hiashi dan Hanabi, lalu masuk ke dalam rumah.
Melihat sikap dingin kakaknya, Hanabi berjalan mendekat pada sang Ayah. "Tou-sama... Apa Hinata-nee baik-baik saja."
Hiashi hanya tersenyum menjawab pertanyaan Puteri sulungnya.
"Dia akan baik-baik saja Hanabi." Neji yang menjawab dengan perasaan lega. Hinata tak pernah menolak permintaan Hiashi.
...
Safir birunya berbinar bahagia saat mendapati yang ia nanti sejak satu jam lalu kini hadir di hadapan matanya. Naruto sudah sejak pukul enam pagi berdiri di pintu gedung fakultas management, bukan tanpa alasan, kehadirannya disini, sejak kembali dari pesta inagurasi tadi malam, Hinata tak menjawab telepon atau membalas pesannya.
Hinata menghela nafas, wajahnya nampak murung saat mendapati si pirang cepak itu sudah berdiri di pintu gedung fakultasnya. Ini hari pertamanya menempuh pendidikan di universitas bergengsi di negeri matahari terbit ini.
"Hinata!" Suara teriakan nyaring itu terdengar, bahkan Hinata belum masih beberapa meter dari pintu itu, tak mau membuang waktu Naruto berlari menghampiri targetnya.
Hinata menunduk seolah tak melihat Naruto, ia lanjutkan langkahnya.
"Hinata.... Tunggu...." Naruto menyamakan langkah dengan Hinata yang berjalan cepat, namun Hinata berpura-pura tak mendengarnya.
"Hinata, kau tak mengangkat telepon dan membalas pesanku..." Hinata makin tidak tega suara Naruto terdengar memelas, akting yang sangat bagus.
Ia terus mengabaikan Naruto yang menyebut namanya, dan memintanya untuk berhenti. Ia terus berjalan mengabaikan Naruto, namun langkahnya terhenti saat ia merasa pergelangan tangannya tertahan. Naruto menghalaunya.
"Jawab aku Hinata, kau tak bisa mengabaikan aku seperti ini." Naruto setengah memaksa, ia menunduk mengikuti pandangan Hinata agar mata mereka saling beradu.
Hinata menggerak-gerakkan pergelangan tangannya yang digenggam oleh Naruto, ia berusa melepaskan diri, namun genggaman Naruto begitu kuat. 'Ku mohon Naruto-kun, lepaskan aku... Kita tak bisa berhubungan lebih jauh lagi ..'
"Kau tidak lihat bajingan?! Dia tidak menginginkanmu lagi." Suara Neji menginterupsi, membuat Hinata dan Naruto sontak menoleh. "Lepaskan dia, bajingan!" Neji berjalan menghampiri Naruto dan Hinata.
Tak mempercayai ucapan Neji, safir biru Naruto berusaha mencuri pandang pada mutiara Hinata, ia mencoba mencari jawaban dari gadis itu.
Pelan-pelan Hinata mendongak, tatapan sendunya beradu dengan tatapan penuh tuntut milik Naruto. "Lepaskan aku Naruto-san..."
"San? Khe...." Naruto mendengus geli, dalam satu malam Hinata langsung bisa mengganti suffix untuk namanya dengan begitu asing.
"Kau lihat itu, dia tak menginginkanmu lagi," Neji melepaskan tangan Naruto yang masih melingkar di pergelangan tangan Hinata, ia tersenyum penuh kemenangan. Tangannya merangkul bahu Hinata, dan mengajak sang adik untuk masuk ke dalam gedung fakultasnya.
Hinata menoleh sambil berjalan, ia mencuri pandang, matanya berkaca-kaca saat ia menatap Naruto menatapnya dengan penuh kekecewaan, kepala kuning itu lalu tertunduk lesu, disertai senyuman penuh kepahitan.
Pemuda itu memutar langkahnya gontai penuh rasa kekecewaan, menyisakan rasa bersalah yang amat dalam bagi Hinata. Dan tak perlu menunggu lama beberapa langkah setelah memutar arah, senyum getir berubah menjadi senyum penuh kelicikan. 'Kau pikir aku bisa dengan mudah melepaskan adik kecilmu itu, Neji? Tidak semudah itu, tidak semudah itu melepaskan Hinata dari kehancurannya.'
...
"Hinata..."
Suara setengah berbisik diiringi sikutan pelan di lengannya dari Tamaki teman sekelasnya yang duduk di sebelahnya membuat Hinata mengalihkan fokusnya dari layar proyektor di depan kelasnya. Ia menoleh, mengedipkan matanya memberi isyarat pada Tamaki.
Tamaki melirikkan matanya pada jendela besar disisi kanan kelasnya, dan Hinata mengikuti arah pandang matanya. Ia menghela nafas pelan ketika mengikuti arah lirikan Tamaki.
Naruto pria pirang mahasiswa jurusan hukum pidana itu berdiri di balik jendela kaca itu dan melambaikan tangannya. Senyumnya seolah tulus mengharapkan gadis itu mau menemui dan bicara padanya, tak ada satupun yang tahu rencana busuk yang Naruto simpan di balik senyumnya yang terlihat tulus itu.
Hinata tak menggubris kehadiran Naruto, kendati hatinya iba melihat bagaimana perjuangan Naruto untuk dirinya. Namun ia sudah terlanjur berjanji pada ayahnya. Ia menunduk, menganggap bahwa tak melihat apapun. Ia menunduk mengalihkan pandangan pada buku catatannya, mengatur derup laju jantungnya yang berdegup kencang, pria itu terlihat begitu membutuhkannya namun ia harus mengabaikannya. Sungguh hati Hinata merasa sangat berat melakukan hal ini pada Naruto.
"Kenapa kau mengabaikannya, sudah satu Minggu menjelang jam istirahat dia berdiri disana seperti orang gila, dulu kalian sangat akrab, bukan?" Bisik Tamaki seraya mendekatkan wajahnya pada Hinata, agar mereka tak terlalu terlihat mengobrol di tengah penjelasan dosen di depan kelas.
"Tamaki aku sedang fokus mendengarkan penjelasan Hanare Sensei...." Bisik Hinata pelan seraya mengembalikan fokusnya pada layar proyektor di depan kelas.
...
Aku telah belajar bagaimana caranya tersenyum setelah bertemu denganmu
Aku memahami bagaimana berhenti di perjalananku
Aku lupa tentang seluruh dunia
Sejak aku mengenalmu
Mutiara ungunya berkaca-kaca, ia menengadahkan pandangannya pada langit-langit perpustakaan untuk menahan tangisnya, untuk kesekian kalinya, Hinata menerima pesan di ponselnya, hampir setiap hari Naruto mengiriminya pesan, sekalipun Hinata tak pernah membalasnya, pemuda itu tak pernah absen mengiriminya pesan.
"Kau baru membaca pesanku?" Suara itu, suara yang amat sangat Hinata kenali, suara Namikaze Naruto, satu namaa yang dalam satu bulan ini telah memenuhi ruang hatinya.
Seolah tak menyadari keberadaan Naruto yang berdiri di belakangnya, Hinata memilih langkah seribu untuk menghindari pemuda itu, namun gagal saat kakinya hendak beranjak, Naruto menarik tangannya. Dalam satu tarikan, bahunya beradu dengan dada bidang Naruto, pemuda itu memeluknya dari belakang, tangan Tan miliknya melingkar erat di pinggang ramping Hinata.
"Kenapa kau menjauhiku, Hime? Kau tahu ini sangat menyiksaku..." Bisikan lembut itu mengalun di telinga Hinata.
Ia berada begitu dekat dengan Naruto, pemuda yang begitu ia kagumi sejak dahulu, cintanya terbalas, tapi mereka tak bisa saling memiliki. Bukan hanya Naruto, sungguh rasa ini juga sangat menyiksa Hinata.
"Naruto-san... Tolong lepaskan aku..." Hinata mencicit pelan, Kungkungan Naruto begitu kuat, berapa kali ia mencoba berontak Naruto akan lebih kuat memeluknya.
"Ehem...." Suara batuk disengaja, membuat Naruto sontak melepaskan Kungkungan dari tubuh mungil Hinata, pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia salah tingkah. Terumi Mei petugas penjaga perpustakaan memergoki tingkahnya. "Kalian tentu tahu, ini perpustakaan, bukan tempat berbuat mesum." Ujar wanita bersurai coral itu sinis.
"Permisi..." Hinata mengambil langkah seribu, meninggalkan Naruto yang harus menghasi Mei sendirian, wajah gadis itu memerah malu seraya berlari, Aku adalah mahasiswi penerima beasiswa tak seharusnya aku tertangkap basah sedang melakukan perbuatan tidak pantas.... Sesal Hinata dalam hati seraya berjalan cepat menuju pintu perpustakaan.
Mei tersenyum remeh melihat Hinata meninggalkan Naruto, ia pun berlalu kembali ke meja kerjanya di dekat pintu perpustakaan.
Brakkkk
"Kussooo!!!"
Kepala para mahasiswa yang tengah sibuk membaca di tempat itu sontak tertoleh ke asal suara, Naruto mengumpat seraya membanting kursi besi yang berada di sekitarnya. Sedikit lagi, sedikit lagi gadis kampungan itu masuk kedalam perangkap ku, tapi gara-gara wanita sialan itu!!!' Dengan amarah yang meliputi dirinya Naruto meninggalkan perpustakaan. Berjalan cepat menuju parkiran untuk mencari cara lain membuat Hinata masuk kembali dalam pelukannya.
...
"Hinata!!!"
Kepala indigonya tertoleh ketika ia baru saja keluar dari kelasnya, seseorang melengkingkan begitu keras namanya. Iris mutiaranya terfokus pada asal suara. Ino gadis bersurai pirang dengan pony tail style itu berlari tergesah ke arahnya.
"Ino-chan... Ada apa...?" Tanya Hinata lembut seraya menyentuh bahu Ino.
"Hinata... Naruto.... Hhhhhhh...." Ino terengah karena berlari dengan kecepatan yang cukup kencang, ia akan meminta bayaran besar pada Naruto nanti, karena memintanya menyampaikan langsung dan secepatnya berita ini pada Hinata.
"Ada apa dengan Naruto-kun...?" Jelas tatapan Hinata yang memancarkan kecemasan menggambarkan betapa khawatirnya ia dengan pria itu.
"Temui Naruto, Hinata. Kumohon...."
"Ino-chan...." Hinata mendesah lelah. "Aku tidak bisa.... Aku sudah berjanji pada Ayahku...."
"Sekalipun jika nyawanya terancam, kau masih tak mau bertemu dengannya...?"
Hinata tersentak mendengar pertanyaan Ino. "Apa maksudmu...?"
"Hinata, Naruto menantang Yahiko, salah satu mahasiswa brandal, di kampus ini."
Dahi Hinata berkerut, ia tahu seniornya yang satu itu, Yahiko, mahasiswa brandal yang lolos dari drop out karena ayahnya orang berpengaruh dalam parlement Jepang.
"Naruto menantang Yahiko untuk melintasi atap Mori Building, mereka akan melakukan balap liar di parkiran gedung itu malam ini."
Iris mutiara Hinata membulat sempurna, Mori Building, area parkir bertingkat gedung kembar tertinggi di kota Tokyo itu memang kerap kali dijadikan sirkuit balap motor sport liar, dan yang lebih mengerikan lagi, beberapa orang juga sering beradu kecepatan tinggi untuk menyeberang diantar kedua puncak gedung itu dengan menggunakan motor sport.
"Naruto-kun akan menyebrang puncak Mori Building?" Hinata kembali memastikan, ia tak pernah tahu selama ini bahwa Naruto sering terlibat dalam balap liar itu.
Ino mengangguk, "tidak sembarangan orang bisa mengadakan balap liar disana, kau tahu siapa Naruto, bukan? Dia dan keluarganya punya kendali besar di Tokyo. Tak sulit baginya untuk menantang Yahiko. Ia mempertaruhkan Lexus RC miliknya, tentu saja Yahiko menyetujuinya, ia adalah rival balap liar terkuat Naruto."
Raut wajah ketakutan yang teramat sangat itu terpancar dari wajah polos sang tengah Hyuuga, ia sama sekali tak tahu bahwa selama ini Naruto terlibat dalam dunia balap liar.
"Hinata kau harus menghentikannya, hanya kau dan Sakura yang mampu menghalangi ide gila Naruto ini, ah... Senandainya Sakura ada disini..."
Tak buang waktu, mengabaikan kelas berikutnya yang akan segera dimulai, Hinata berlari meninggalkan gedung fakultasnya mencari pria pirang yang selalu berhasil mengacaukan tekad bulatnya.
...
Bibir merah kecokelatan itu tersenyum miring penuh kemenangan, dari kejauhan, iris birunya sudah menangkap sesosok gadis mungil mengenakan dress kemeja selutut yang berlari mendekat pada pintu masuk gedung fakultas hukum Tokyo University.
Kau datang Hime, kau tak bisa memungkiri betapa hatiku tergila-gila padaku, khe... Naruto mendecih sekilas, ia memang meminta Ino untuk menyampaikan rencana gilanya pada Hinata. Ia memang tak pernah kehilangan siasat untuk membuat Hinata menyerahkan hati dan tubuhnya padanya. Sedikit berpaling dari sosok Hinata yang kian dekat dengannya, Naruto membenarkan posisi ranselnya dan berjalan berbalik membelakangi pintu masuk fakultas, bersikap membelakangi Hinata.
"Naruto-kun..."
Langkahnya terhenti, cicitan lembut Hinata menggema di gendang telinganya. Hinata kembali masuk kedalam perangkapnya. Senyum licik penuh kemenangan kian terukir jelas di bibir merah kecokelatan sang pangeran kampus, namun dalam sekejap senyum itu mendatar dan wajah penuh kelicikan itu berubah sendu, Naruto kembali memasang topeng kepalsuan penuh dambanya pada Hinata.
"Kau datang." Naruto menoleh sekilas safir biru yang tadinya penuh dengan pancaran kemenangan kini berganti tatapan sendu, tatapan sendu palsu. "Ku pikir kau sudah tak peduli padaku."
"Naruto-kun... Mengertilah...." Langkah demi langkah Hinata mendekat pada Naruto, mendekat pada kehancurannya.
"Aku tak mengerti apapun Hime, yang aku tahu sejak aku terbiasa dengan kehadiranmu, setiap detik terasa seperti bertahun-tahun tanpa kehadiranmu." Suaranya terdengar bergetar, Naruto sengaja memaraukan suaranya, tahu Hinata adalah gadis yang sangat perasa, dan membuat gadis itu merasa bersalah adalah senjata yang paling ampuh.
Kebimbangan kian larut dalam benak Hinata, air mata mengalir dari pelupuk matanya. 'Aku sudah berjanji pada Tou-sama.... Tapi aku tak bisa melihat Naruto sehancur ini..'
Kau salah Hinata, Naruto lah yang akan menghancurkan mu.
Naruto sengaja tersenyum kecut, menambah rasa bersalah dalam benak Hinata terasa semakin menyesak. "Katakan kau mencintaiku, Hime..." Sepasang kaki jenjang itu kian mendekat pada tubuh mungil Hinata, kaki gadis itu bergetar, wajah pria itu benar-benar mengiba padanya. Ia tak bisa, ia tak bisa melihat wajah Naruto yang selalu penuh kharisma dan senyuman hangat itu kini mengemis cinta padanya.
Hinata tak pernah tahu bahwa kelak wajah penuh iba itu akan berganti dengan senyuman penuh kemenangan saat tubuh sintalnya jatuh dalam dekapan pemilik raut wajah iba itu. Sepasang bibir ranum Hinata menjadi pelampiasan rasa ragu yang merajai hatinya, Hinata mengigit bibirnya saat tubuh Naruto mendekat padanya.
"Ada apa, Hime? Kau tak bisa mengatakan kau mencintaiku?"
Deru nafas hangat beraroma mint itu berhembus di wajah Hinata, pesona Naruto, wajah penuh iba keputus asaannya membuat Hinata tak kuasa menolak permintaan Naruto.
"Jadilah kekasihku, Hinata," sepasang tangan kekar Naruto bahkan kini melingkar di pinggangnya. Pria itu memutus jarak diantara mereka, menarik ke dalam dekapannya, Naruto membuat Hinata tak berkutik. Pria itu merangkul pinggangnya.
Hinata tertunduk, tiba-tiba bayangan senyuman hangat ayahnya terlintas dalam otaknya. "Gomenasai, Naruto-kun...."
Raut kekecewaan yang amat besar terpatri dari wajah tampan berbingkai rahang tegas itu, diiringi senyuman kecut, satu tangan beruratnya lepas dari pinggang sintal Hinata.
Hinata dapat merasakan rangkulan itu terlepas bersamaan dengan senyuman penuh kecewa itu, ya senyuman penuh kekecewaan palsu yang berhasil diukir Naruto di bibirnya. Kaki pria itu mundur beberapa langkah. "Kalau begitu datang lah ke Mori Building, kau masih punya kesempatan. Atau mungkin kau ingin melihatku jatuh dari ketinggian puluhan ribu kaki?"
"Naruto-kun, ku mohon pikirkan kembali...." Sepasang tangan Hinata menggenggam lengan kekar Naruto yang berlapis jaket sport itu.
"Untuk apa lagi aku hidup, orang tua ku sudah tiada, aku hidup dalam kesepian, dan nenekku sibuk dengan urusannya sendiri. Orang yang aku harapkan untuk memberi warna dalam hidupku pun enggan untuk berada di sisiku lagi." Naruto kembali menjual kisah sedih kematian orang tuanya untuk meluluhkan hati lembut Hinata.
Gadis itu diam terpaku, ia terisak pelan, dan bersamaan dengan itu senyuman licik kembali terpatri di bibir merah nan kecokelatan milik Naruto. Gadis bodoh.
"Malam ini pukul sembilan, kau bisa memilih ingin melihatku dengan sengaja mengalah di hadapan Yahiko lalu jatuh bersama motorku dari puncak gedung, atau kau menerima cintaku, dan bersedia menjadi kekasihku."
Hinata bahkan belum sempat mendongakkan kepalanya, ketika Naruto meninggalkannya sendirian dengan pilihan yang amat sulit.
...
Sepasang kaki jenjang mungil itu terus berjalan mondar mandir dari satu arah ke arah yang lain, menapak tatami hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu telinga.
"Nee-sama, kau nampak gelisah." Hanabi mengalihkan pandangannya dari buku pelajaran yang ia baca, dan memperhatikan sang kakak yang sedari tadi nampak tidak tenang.
Tak menanggapi ucapan sang adik, Hinata malah menatap layar ponselnya, 'sudah pukul 08:35, aku harus datang kesana... Tapi bagaimana caranya, Neji-nii pasti akan banyak bertanya... Dan pergi dengan Ino... Tidak, Neji-nii sudah tidak percaya lagi aku pergi dengan Ino... Ah Kiba-kun.... Neji-nii pasti dengan mudah percaya padanya.
Dan pada akhirnya Hinata menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya, jati dirinya yang menyimpan cinta begitu besar pada Naruto. Jari-jemari lentiknya menari di atas tuts layar ponsel. Ia mengetik sebuah pesan untuk Kiba.
...
"Kau tidak membohongiku, bocah?" Tatapan sinis Neji beradu pandang dengan iris kecokelatan Kiba, lelaki pecinta anjing itu buru-buru menundukkan pandangannya, ia tak mau terlihat berbohong di hadapan Neji.
"Nii-san aku harus mengajak Hinata pergi sekarang, ini sangat penting, ibuku mendadak pergi ke Hokaido setelah mendapat kabar kematian pamanku, sekarang Hana-nee yang baru melahirkan tidak bisa mengeluarkan ASI-nya, suaminya sedang bertugas di pengeboran minyak lepas pantai pasifik, tidak mungkin aku yang memijat.... Errrrr...." Kiba sedikit canggung saat akan mengucapkan kata payudara. Ia tak habis pikir bagaimana Hinata sekarang bisa mengarang kebohongan gila seperti ini, dari mana gadis sepolos Hinata belajar merancang kebohongan seperti ini.
Demi apapun asi kakak perempuan Kiba mengalir sangat deras, bahkan ia harus menyimpannya di botol khusus. Dan Hinata, sahabat masa kecilnya itu memintanya berbohong bahwa ibunya pergi ke Hokaido dan asi kakak perempuannya tidak keluar.
"Neji-nii... Kau tahu sendiri, bukan? Kami tidak memiliki keluarga besar di Tokyo. Jika bukan Hinata siapa lagi teman Perempuanku yang bisa aku minta pertolongannya..."
Neji menghela nafas berat dan menoleh ke arah Hinata yang duduk di sampingnya di hadapan meja rendah. "Kau boleh pergi bersama Kiba, tapi jangan kembali larut malam. Tou-sama sedang kurang sehat."
"Arigatou Nii-san...." Hinata meraih jaket yang ia letakkan di atas meja, dan bergegas berdiri menuju pintu keluar. "Aku akan kembali bila urusannya sudah selesai."
"Hinata." Belum sempat Hinata menggapai pintu geser, suara sang kakak menyerukan namanya.
"Aku percaya padamu." Ujar Neji sadar.
Hinata menghela nafas, jelas ia menangkap tatapan penuh kepercayaan Neji pada dirinya, kakaknya itu tak akan mengikuti dirinya. Hinata sudah kembali memperoleh kepercayaan Neji sejak beberapa hari ini ia selalu menunjukkan sikapnya yang berusaha menghindar dari Naruto.
Gomenasai Nii-san.... Naruto-kun sangat membutuhkanku....
Hinata tak menyadari bahwa hari ini pintu kehancuran masa depannya telah ia buka lebar sendiri.
Cinta butanya pada Naruto sudah menjauhkannya dari keluarganya, ia sudah terjebak terlalu jauh dalam perangkap cinta yang diatur oleh Naruto.
...
"Naru.... Naru... Naru.."
"Pein... Pein....pein!!!"
Suara lengkingan dan pekikan itu memenuhi lantai dasar area parkir Motor Building. Mutiara lavender menyusuri satu persatu para pemuda pemudi yang berada di area itu, hampir semuanya adalah mahasiswa dari Universitas Tokyo. Ya, sebagian dari mereka pernah Hinata lihat di kampus, sebagian lain juga mungkin mahasiswa kampusnya yang belum pernah ia temui.
"Hinata..."
Gadis bersurai ungu gelap itu terkesiap saat pundaknya disentuh, ia menoleh dan mendapati Kiba berdiri di belakangnya. Pemuda itu baru saja memarkirkan vesva tuanya di salah satu sudut area parkir ini.
"Kau yakin akan menemukan Naruto?" Tanya Kiba ragu, ada begitu banyak kerumunan orang disini namun ia tak menemukan pemuda pirang itu.
Hinata mengangguk, ia mengedarkan pandangannya, dan mendapati Ino, tetangganya yang berambut terang itu. "Kiba-kun kau tunggu disini sebentar..."
"Hinata, tunggu...." Kiba kalah gesit, ia harus mengurungkan niatnya membuntuti Hinata karena gadis itu sudah masuk dalam kerumunan.
...
"Ino-chan," Hinata menghampiri Ino dengan menepuk bahunya dari belakangh, dan gadis pirang itu langsung menoleh.
"Hinata akhirnya kau datang...." Ino langsung menggamit tangan Hinata dan menuntun gadis polos itu berdiri di sampingnya. "Itu Naruto..." Ino tak perlu bertanya tentang tujuan Hinata datang ke tempat ini, ia langsung menunjukkan yang pasti Hinata cari.
Mengikuti arah telunjuk Ino, Hinata langsung masuk lagi memecah kerumunan, menghampiri Naruto yang sudang bersiap menunggang kuda besi bermerek Icon Sheene miliknya.
...
Dari balik kaca riben helm sportnya, senyum penuh kemenangan terpatri jelas di wajah tegas Naruto. Safir birunya menangkap siluet sintal tubuh mungil Hinata yang berisi di bagian atas, berbalut kaos pink bermerek lokal Jepang yang di padu dengan celana training dan di lapisi sweater berwarna mocca, Naruto berani bertaruh gadis itu kembali berbohong untuk menemuinya. Ia sudah berhasil mengajarkan Hinata yang polos menjadi seorang pembohong.
Ia arahkan pandangannya lurus ke depan, seolah-olah tengah mengabaikan Hinata, tangannya yang berlapis sarung tangan otomotif itu siap mulai memutar gas. Dengungan suara motor mahal itu bersahutan dengan MV Agusta milik Yahiko yang berjajar di sebelahnya.
"Naruto-kun... Kumohon jangan.... Ini berbahaya...." Suara Hinata mengalun lembut di telinganya, ia sudah memakai helm yang cukup kendap suara, ia tahu gadis itu berteriak kencang agar ia mendengar suaranya.
Ia menoleh, menghentikan putaran pada gas motor, dan menekan salah satu tombol di bagian pelipis helm. Kaca riben penutup mata dan bagian penutup mulutnya otomatis terbuka. "Katakan kau mencintaiku Hinata."
Satu kalimat manis keluar dari bibir berbisa Naruto. Hati gadis manis itu kian dilingkupi rasa bersalah air mata bening keluar dari pelupuk putihnya. Aku mencintaimu Naruto-kun... Sangat... Tapi aku tak bisa mengatakannya....
Hinata diam seribu bahasa, hal itu membuat Naruto kembali mengeluarkan senjatanya, senyuman kecut penuh kekecewaan yang membuat hati lembut Hinata bagai dihujam belati saat melihatnya.
"Kau tidak mau...?" Tanyanya dengan nada dingin.
"Naruto-kun..." Hinata tak bisa berucap apapun, selain menggumamkan nama pria tercintanya. Ia liputi kebimbangan, bila ia menjadi kekasih Naruto, hubungan itu pasti akan sulit, mengingat latar belakang keluarganya dan betapa bencinya Neji pada Naruto.
"Kalau begitu, bersiaplah melihat kematian ku, Hime...." Naruto kembali menekan tombol di helmnya menutup kaca riben pelindung mata dan pelindung mulutnya. Tangan kanannya kembali memutar gas lebih kencang, lebih kencang dari sebelumnya dan diikuti oleh motor sport milik Yahiko di sebelahnya.
Seseorang sedikit mendorong Hinata, hingga gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang, orang tersebut lalu mengayunkan bendera, pertanda persaingan dimulai. Dalam sekejap mata motor Naruto dan Yahiko melajut cepat bak kilat.
Hinata mulai gelagapan, ia berniat untuk mengejar Naruto namun tak mungkin, puncak gedung ini ada di lantai 177 dan ia tak mungkin berlari untuk mencapainya. Mutiara lavendernya beredar ke segala arah, mencari siapapun yang ia kenal, ia mendapati Kiba, namun pemuda itu tak dapat menolongnya saat ini. Motor butut Kiba tak mungkin mengejar Motor Sport Naruto.
Sedikit rasa lega mendera hati Hinata, mata bulatnya menangkap sosok Sai, pria berkulit pucat itu. Hinata ingat Sai memiliki Mobil dan Motor Sport yang bisa mengejar motor Naruto.
...
"Sai-kun...."
Suara Hinata mengusik fokus Sai yang hampir mengecup bibir Ino. Gadis pirang kekasihnya itu sontak mendorong pelan dada bidang pria pucat itu.
"Ah Hinata...." Ujar Sai kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Hinata dimana Naruto?" Tanya Ino sambil mengedarkan pandangannya. "Jangan katakan kau tak bisa membujuknya."
Hinata menggigit bibirnya untuk mengurangi kecemasannya. "Sai-kun tolong aku.... Tolong bawa aku menyusul Naruto-kun...."
Sai dan Ino saling berpandangan, bagaimana bisa kebetulan ini. Ujar Sai dalam hati. Naruto memintaku membawa motor vyrus, yang kalibernya jauh lebih besar dari motor yang ia kendarai sekarang. Apa agar aku bisa mengantarkan Hinata menyusulnya.
Naruto merencanakan semua ini dengan matang, ia menyiapkan kemungkinan kedua jika Hinata masih tak menerima cintanya sebelum ia melajukan motornya. Ia meminta Sai membawa motor miliknya dengan kecepatan lebih tinggi dari motor yang ia kendarai. Ia yakin jika Hinata pasti akan menerima cintanya malam ini.
...
Pucak gedung Mori Building Naruto telah melewati garis finish, ia telah keluar sebagai pemenang seharusnya, namun satu tantangan lagi yang harus ia selesaikan, menyeberang ke gedung kedua Mori Building. Tangannya memutar gas dengan kencang mengeluarkan deru yang amat bising, Yahiko dan motornya masih tertinggal jauh di belakang. Ia menoleh, sebenarnya semua ini hanya karangannya belaka, Naruto sudah memberikan sejumlah uang pada Yahiko agar mau menerima tantangannya dan meminta pemuda itu untuk mengalah.
Tujuan Naruto sebenarnya bukanlah untuk memenangkan tantangan ini, tapi menjebak Hinata ke dalam permainannya..
Deru gas motor mahal itu semakin kencang, Naruto menoleh, dan mendapati Hinata turun terburu-buru dari motor yang di kendarai oleh Sai. Gadis itu berlari menghampiri Naruto. Dari balik kaca helmnya seringai mengerikan terukir di bibir merah kecokelatan pemuda ini. Satu langkah lagi... Satu langkah lagi keegoisan dan keangkuhanmu akan runtuh Neji.
"Naruto-kun!!!" Hinata berlari kencang ia kian dekat dengan Naruto.
Dengan perhitungan matang Naruto mulai memainkan gas motornya lebih kuat, ia menpermainkan rasa khawatir Hinata atas dirinya membuat gadis itu berlari kencang. Ketika Hinata kian mendekat ia melajukan motor sportnya, bersiap menyeberang puncak gedung dengan ketinggian belasan ribu kaki itu. Jika perkiraannya meleset di dasar gedung sudah ada orang-orang suruhannya yang bersiaga dengan terpal pelindung jika ia terjatuh. Ia tak perlu khawatir akan keselamatannya.
Ckittttttt
Suara rem motor Naruto terdengar kencang membuat telingan terasa pedih. Naruto berhasil menarik kuat rem tangannya, motor mahal itu berhenti tiba-tiba dengan cepat kendati baru saja melaju dengan kecepatan fantastis. Perkiraannya tepat, Hinata berdiri di hadapan motornya dengan tangan direntangkan siap menghalaunya. Gadis bodoh itu benar-benar mencintaiku.
"AKU MENCINTAIMU NARUTO-KUNNNNNNN!!!!" Teriakan Hinata bergema kencang di puncak gedung, beberapa penonton yang menyusul ke puncak gedung berteriak histeris, Ino dan Kiba menjadi saksi jawaban cinta Hinata.
Naruto mendengar jelas teriakan Hinata dari balik helmnya. Batinnya menyeringai penuh kemenangan, langkah awal pembalasan dendamnya berhasil. Ia melepas helmnya dan turun dari motor mahal itu. Membuang sembarang helm mahal itu, lalu berlari ke arah Hinata, seolah ia begitu bahagia dengan jawaban cinta gadis itu.
Tak mau diam saja, Hinata juga berlari menghampiri Naruto. Ia rindu, sangat rindu dengan pemuda itu, berminggu-minggu ia menghindar dari Naruto dan menjauhinya membuat Hinata harus menahan rindu yang amat mendalam pada cinta pertamanya itu.
Jarak tak lagi berarti diantara mereka, Naruto dan Hinata berdiri berhadapan dengan tatapan yang begitu dalam. Mutiara lavender Hinata memancarkan rasa rindu dan cinta yang amat tulus berhadapan dengan safir biru yang menampakkan siasat dan kelicikan di balik tatapan penuh cinta palsunya.
Naruto mulai menjalankan rencananya, dalam satu tarikan ia membawa Hinata kedalam dekapannya, menyembunyikan wajah tampannya pada ceruk leher putih Hinata. "Katakan sekali lagi, Hime...." Suaranya dibuat bergetar, seolah ia terharu dengan moment ini, mengimbangi isakan halus Hinata yang tengah membelai bagian belakang kepala pirangnya.
"Aku mencintaimu... Naruto-kun.... Sangat mencintaimu......"
Kalau begitu buktikan cintamu Hyuuga, buktikan dengan tubuhmu....
...
"Iya Neji-nii, aku tak bisa pulang ini aku akan menginap di rumah Kiba, aku harus membantunya, ASI kakaknya belum juga keluar, ini sudah malam..... Akan sangat berbahaya bila aku pulang malam ini...." Bibir Hinata dengan lancar menyampaikan kebohongan, ia sedikit menoleh ke arah Naruto yang berdiri di sampingnya pria itu memintanya menginap di apartement pribadinya, hari sudah larut ia tak mengizinkan Hinata pulang bersama Kiba, dan Hinata tak mungkin membiarkan Naruto mengantarnya, tidak ia tak ingin tragedi penganiayaan tempo hari diulangi oleh Neji.
Dan kesempatan ini Naruto pergunakan untuk mencapai puncak rencananya, yang dimulai dengan membuat Hinata menginap di kediaman pribadinya. Dengan alasan jarak apartementnya yang lebih dekat dari Mori Building.
"Khe.... Kau pikir aku bisa mempercayai Bocah itu begitu saja." Hinata sengaja mengaktifkan mode panggilan speaker agar Kiba dan Naruto bisa mendengar percakapannya bersama Neji.
Hinata memasang wajah kecewa, sudah ia duga Neji selalu punya alasan untuk mengekangnya.
"Hinata, kau boleh menginap di rumah bocah anjing itu, tapi dengan satu syarat, suruh dia menginap di rumah kita malam ini. Aku tidak akan memberikannya kesempatan tidur satu atap denganmu."
Hinata menghela nafas lega. Neji memberi kepercayaan penuh padanya dan Kiba.
'Kau bodoh Neji, bukan Kiba yang akan menghabiskan malam panas dengan adik kecilmu, tapi aku. Kau melindunginya dari terkaman anjing dan mengantarkannya dengan suka rela dalam perangkap rubah, khe.' Batin Naruto bersorak bahagia, sementar Kiba menemuk jidatnya sendiri, ia harus menginap di kediaman Hyuuga karena melindungi ide gila Naruto dan Hinata.
"Baiklah Neji-nii, Kiba-kun akan menginap di rumah kita malam ini, kau tidak keberatan, bukan Kiba-kun...?" Hinata terbuai dalam cinta palsu Naruto, ia begitu polos dan percaya bahwa Naruto tak akan melakukan hal buruk padanya, dengan piawai ia kembali berdusta pada keluarganya, bahkan memanfaatkan bantuan sahabat masa kecilnya.
"Tentu saja Neji-nii, aku akan menginap di kediaman Hyuuga malam ini, terimakasih sudah mengizinkan Hinata menginap di rumah kami....." Dengan berat hati Kiba berbohong pada Neji, sejujurnya ia sangat takut dengan keputusannya ini, mengingat reputasi buruk Naruto, ia seperti sedang membiarkan kelinci polos peliharaannya tidur di atap rumah yang dipenuhi rubah liar berkeliaran.
"Arigatou Kiba-kun..." Hinata membungkuk sembilan puluh derajat, setelah mengakhiri panggilan dengan sang kakak.
"Hinata, kau yakin akan menginap di apartement-nya." Kiba menunjuk Naruto dengan dagunya, dan membuat pria pirang itu tersadar dan menatap tajam Kiba denga safir birunya.
"Kau tidak percaya padaku?" Suara Naruto penuh penekanan, ia berpindah posisi, menarik Hinata ke belakang bahunya hingga ia kini berhadapan dengan Kiba. "Kau pikir aku akan merusak hinata.?"
Safir biru itu begitu menusuk, Kiba merasa Naruto bisa saja menghabisinya saat ini juga, pun langsung menggeleng, mengingkari prasangkanya sendiri. Jika ia diperkenankan jujur, sama sekali ia tak percaya pada Naruto.
"Kalau begitu, apa yang kau tunggu, pulang dan bawa motor bututmu." Ucap Naruto ketus mengusir Kiba.
"Naruto-kun... Kenapa begitu kasar dengan Kiba-kun....?" Hinata tahu Naruto tidak nyaman dengan keberadaan Kiba, tapi tak seharusnya kekasih barunya bersikap kasar pada sahabat kecilnya itu, Kiba berjasa besar dalam hubungan mereka yang baru seumur jagung ini.
Naruto memalingkan wajahnya, menarik Hinata untuk menjauh dari Kiba, ia tak tahan berlama-lama harus bersikap ramah pada sahabat kecil Hinata yang menurutnya tak selevel dengannya. "Ayo Hinata. Hari semakin larut kau bisa sakit."
Hinata tersenyum lembut, ia tahu kendati Naruto sering bersikap kasar pada teman-temannya tapi ia selalu berlaku lembut pada Hinata. Pelan-pelan aku akan merubah perangai Naruto-kun...
"Kiba-kun.... Terimakasih untuk malam ini ya...."
Naruto memutar matanya bosan, ia memutuskan untuk menghampiri Sai sembari menunggu Hinata berpamitan pada Kiba.
"Kau mau membawa Hinata ke apartementmu?" Sai hendak menyerahkan kunci motor Naruto, tapi pemuda itu mengangkat telapak tangannya.
"Bawa saja, nanti orang-orangku akan mengambilnya ke rumahmu. Kau benar, Hinata akan menginap di apartementku malam ini." Bangganya.
Ino yang berdiri di sisi Sai membulatkan Aquamarine miliknya. "Neji memberi izin."
"Mana mungkin..." Sai memotong sebelum Naruto menjawab. "Pasti dengan sedikit kebohongan."
Naruto mendengus geli, Sai benar.
"Naruto," Ino kini berbicara dengan nada serius, "kau tidak akan memperlakukannya seperti mereka 'kan?" Raut wajah penuh khawatir Ino membuat Naruto geli.
"Tentu saja Ino aku tak akan memperlakukan Hinata seperti gadis murahan itu." Tapi lebih buruk dari pada mereka. "Aku serius dengan Hinata." Ya aku benar-benar serius dengan gadis bodoh itu, serius menghancurkan hidupnya.
Ino menghela nafas lega, bagaimana pun ia juga ambil andil dalam bersatunya cinta Naruto dan Hinata. Bila Hinata sampai tersakiti akibat ulah Naruto, ia tentu akan menanggung rasa bersalah yang amat mendalam.
"Naruto-kun ayo...." Hinata muncul dari balik punggung Naruto, rona merah tipis bergurat di pipi pualamnya, ia benar-benar malu di hadapan Ino dan Sai, mengingat kejadian dimana ia mengutarakan cinta pada Naruto.
"Sudah malam, udara malam tak bagus untuk kesehatan Hinata, kami pulang dulu....." Naruto menunggu Kakashi yang sedang berjalan ke arah mereka untuk menyerahkan kunci Lamborgini dan menerima kunci motor sport yang akan dibawanya pulang.
Naruto merangkul pinggang Hinata, dan menuntunnya ke mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Kakashi.
"Hinata...."
Hinata menoleh sekilas ketika suara Kiba kembali terdengar memanggil namanya, sahabat kecilnya itu nampak sangat mengkhawatirkannya.
"Hinata, jaga dirimu baik-baik."
Hanya kalimat itu yang bisa Kiba ucapkan sebagai perlindungan yang bisa ia berikan. Hinata gadis polos itu begitu percaya pada rubah liar yang akan menerkam dirinya.
Kiba menghela nafas berat setelah Lamborgini Naruto melaju. Berbeda saat mengantarkan Hinata berkencan dengan Naruto, kali ini perasaannya Sungguh tidak enak, sorot mata Naruto benar-benar berbeda seperti beberapa Minggu lalu ketika ia menemani Hinata bertemu dengan Naruto di persimpangan jalan.
Saat itu tatapan mata Naruto begitu tulus. Tapi hari ini Kiba merasa sorot mata biru itu tak sejujur dulu lagu, ada sesuatu yang disembunyikan pria pirang itu. "Kami-sama, lindungilah Hinata...."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top