11. Pernyataan Cinta

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata


"Kau yakin masih ingin datang ke malam inagurasi mahasiswa baru...?" Sai membuka kaleng minuman soda nya lalu duduk di samping Naruto, di kedai milik Chouji. Sejak kejadian tempo hari dimana Naruto dipukuli babak belur, ia sudah enggan menginjakkan kaki di kedai Neji, setidaknya belum, nanti jika dia sudah benar-benar bisa benar-benar mencium Hinata di depan mata Neji.

Naruto mengangguk singkat, ia meraih rokok dan korek dari tas ranselnya, melipkan gulungan tembakau itu di bibirnya, lalu menyalakan pemantiknya. "Aku punya rencana besar malam ini."

"Kau mau menyatakan cintamu pada Hinata?"

"Begitulah." Jawab Naruto datar.

Dahi Sai berkerut, tak ada rona bahagia, atau senyuman tipis dari raut Naruto, berbeda dengan beberapa hari lalu saat Hinata masih menjalani test masuk universitas ini.

"Kau tampak tak bahagia?" Akhirnya Sai, menanyakan pertanyaan yang selama ini tertahan di tenggorokannya. Sudah satu Minggu Sakura tak terlihat di kampus bersamaan dengan kekasihnya yang pergi mengikuti program pertukaran mahasiswa di Belanda.

"Biasa saja." Jawab Naruto kembali datar.

"Apa ini ada hubungannya dengan Sakura sedang sibuk kerja praktek." Mereka semua tahu bagaimana Sasuke dan Sakura melakukan semua hal lebih dahulu dibandingkan mahasiswa lain, mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pendidikan agar dapat segera menikah, dan mendengar Sakura yang memulai kerja prakteknya lebih dahulu dari yang lain, bukan lah asing.

Sebuah alasan yang Sakura pesankan pada Naruto, jika teman-teman mereka menanyakan keberadaannya. Sakura mengambil cuti kuliah selama satu smester, ia tak tahu akan melanjutkan kuliahnya kembali di Tokyo University atau tidak. Yang jelas, Sakura belum siap jika semua temannya mengetahui kelumpuhannya.

Tapi yang membuat Sai bingung adalah, hubungan Naruto yang kian dekat dengan Hinata, namun saat mereka berdua tak bersama, tak ada lagi Naruto yang beberapa hari lalu tampak antusias membicarakan gadis berponi rata itu.

"Sai, dimana Ino?" Naruto menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari tahu keberadaan kekasih sahabatnya ini. "Biasanya dia selalu menempel padamu?"

Sai tersenyum tipis, menganggap Naruto sedang mengalihkan pembicaraan. "Ino, mungkin sebentar lagi akan datang, dia tidak ada kelas pagi."

"Kalian membicarakanku?" Pucuk dicinta ulam pun tiba, Ino duduk datang dan langsung mengambil tempat duduk di samping Sai.

Senyuman penuh kebusukan terlengkung di bibirnya, rencananya besok malam akan berjalan mulus. Ia merogoh saku celana jeans-nya dan mengeluarkan ponsel dengan logo apel di belakangnya.

"Hime..., Bisa kau kedai Akimichi, sekarang."

Hime? Dahi Sai berkerut mendengar panggilan tuan Puteri yang Naruto tujukan untuk seseorang di ujung telepon itu. Jika memang gadis itu adalah Hinata kenapa nada bicara dan mimik wajahnya berbeda.

Analisa Sai memang tajam, Naruto menyampaikan kata-kata yang manis dari bibirnya, namun raut wajah bosan dan tampak tak tertarik itu benar-benar kentara di wajahnya.

...

Hinata merasa bersyukur, karena Naruto mengajak bertemu di kedai Akimichi yang terletak di kantin timur kampus. Ia tidak tahu bagaimana menolak permintaan pemuda itu, jika saja Naruto memintanya bertemu di kompleks kantin barat, sekalipun bukan di kedai Neji, jika masih berada di satu kompleks kantin yang sama, Hinata benar-benar takut jika insiden kemarin akan kembali terulang.

"Hinata...."

Dahi Sai mengerut menganalisa, wajah Naruto yang sejak tadi nampak tak berekspresi bahkan cenderung dingin tiba-tiba menampilkan semangat. Tangannya terangkat keatas seraya melambai, memberitahukan keberadaannya pada sang gadis yang berdiri kebingungan.

Melihat lambaian tangan Naruto, Hinata tersenyum lembut, ia berjalan mendekat ke arah Naruto, kearah kehancurannya. "Minna... Maaf lama menunggu...." Hinata membungkuk sopan.

"Tak perlu sungkan seperti itu Hinata... Duduk disini..." Ino menepuk kursi kosong di sebelahnya mempersilahkan Hinata duduk disana.

"Tidak Ino," kini giliran Naruto yang menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Hinata akan duduk disini."

Hinata mengangguk patuh, seolah tiap ucap Naruto adalah titah yang harus ia patuhi. Naruto menarik kursi di sampingnya agar memudahkan Hinata untuk duduk.

"Jadi Ino, kau tetangga Hinata, bukan?" Naruto memulai basa-basinya, sementara Sai mendengus geli.

"Langsung saja Naruto, katakan kau ingin Ino-chan meminta izin pada Neji agar dia bisa pergi denganmu." Mulut Sai tanpa filter berbunyi, dan berhasil membuat Naruto mendengus remeh.

"Hontou...." Ino kaget tak percaya. "Jadi kalian akan berkencan lagi, Naruto kau takut dipukul lagi oleh kakaknya?" Tanya Ino sambil menunjuk wajah Hinata. Ia dan Sai tahu asal muasal memar biru yang bersarang di wajah Naruto beberapa hari lalu, Naruto sediri yang menceritakannya. Tapi tentang Sakura, Naruto merahasiakannya sesuai permintaan Sakura.

"Kenapa harus takut, jika aku berniat baik..." Dusta Naruto, ia menggenggam tangan Hinata, mengangkatnya dan meletakkan di atas dada bidangnya, tak ada senyum ketulusan disana, hanya ada senyuman yang menggambarkan keberhasilannya di depan mata.

Besok di malam inagurasi aku akan menyatakan cinta padamu, kau menerimaku, dan aku akan mengajakmu merayakannya dengan meminum sampanye yang sudah ku bubuhi obat perangsang, dan Hime, selamat datang di nerakamu....

Tanpa tahu isi hati Naruto sebenarnya, Hinata tersenyum polos seraya melepaskan genggaman Naruto, ia merasa canggung bila harus begitu di hadapan Ino dan Sai. "Maaf merepotkan Ino-chan...." Hinata kembali menundukkan kepalanya sebelum Naruto menyampaikan permintaannya pada Ino.

"Malam ini aku akan mengajak Hinata memilih gaun di butik milik mendiang Kaa-chan di Akihabara street-"

"Kau memintaku, untuk bicara pada Neji agar dia bisa pulang terlambat..." Goda Ino tanpa memberikan kesempatan Naruto menyelesaikan ucapannya.

"Masih ada lagi." Sambung Naruto dengan tersenyum tipis lalu menatap Hinata, semburat kemerahan muncul di pipi pualam itu, hanya cukup di pandangan oleh Naruto saja sudah mampu membuat jantungnya berdegup kencang.

"Kau melunjak, Gaki," umpat Sai seraya membuang muka.

"Kau harus meyakinkan Neji agar dia tidak datang menunggui Hinata ke malam inagurasi."

"Tidak ada yang gratis Naruto, untuk itu...." Ino tertawa sakratis, kapan lagi ia punya kesempatan untuk mencicipi uang Naruto.

"Khe...." Naruto kembali tertawa singkat. "Kau boleh memilih apapun di butik ibuku, setelah kami selesai."

Ino tertawa renyah, rencananya berhasil.

"Hime..." Tiba-tiba suara Naruto kembali menginterupsi, walau bukan mereka yang terpanggil, tapi kini onix dan Aquamarine miliki Ino dan Sai tertuju pada Naruto. Pria itu mengeluarkan satu buah buku tebal dan buku tipis.

Tak melihat ada hal yang menarik, Ino dan Sai kembali melanjutkan gombalan murahan mereka.

"Tolong salinkan ya..."

Fokus Sai kembali terusik dari obrolannya bersama Ino, ia melirik ke sisi kirinya. Ia dapat melihat Naruto menyerahkan kitab undang-undang hukum pidana dan buku tulis pada Hinata.

Sai ingat, Naruto pernah bercerita padanya tentang, Ibki, salah satu dosen paling menyebalkan bagi Naruto. Dosen tersebut menggunakan metode belajar yang amat kolot, ia akan meminta mahasiswa menyalin beberapa lembar pasal di kitab undang-undang hukum pidana dengan alasan dengan menyalin maka akan mudah untuk menghapalnya, dan Naruto sangat muak dengan hal itu.

Biasanya Naruto akan membayar seseorang untuk menyakinkannya, tapi beberapa hari ini Naruto tampaknya tak perlu membayar juru salin baru.

Dengan senang Hinata menerima Kitab Undang Undang itu bersama buku tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas berwarna abu-abu usang miliknya.

"Halaman Empat Ratus Dua Puluh Tiga sampai Empat Ratus Tujuh puluh satu." Ucap Naruto dengan entengnya.

"Naruto, kau gila!" Umpat Ino dengan mata melotot, Naruto menyuruh Hinata menyalin hampir lima puluh halaman dan gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

"Kau berisik sekali Ino, Hinata saja tidak keberatan, apa kau merasa repot, Hime?" Naruto menoleh kepada Hinata, dan gadis itu hanya tersenyum. "Tiga hari lagi selesai 'kan?"

Hinata mengangguk bahagia, sementara Ino menelan ludahnya kasar.

"Hinata, kenapa kau mau saja mengerjakan tugas si bodoh ini?" Mulut tanpa filter Sai kembali berbunyi.

"Naruto-kun sedang tidak enak badan, dan dia mengeluh banyak tugas, aku menawarkan diri untuk membantunya...." Jelas Hinata lembut, lengkap dengan senyuman di bibirnya. Mutiara lavendernya melirik sekilas mencoba mencuri perhatian pada Naruto, pemuda itu menyadarinya dan mengelus puncak kepala Hinata lembut.

Beralih dari kepala Hinata, tangannya lalu meraih sebuah kaleng dari tasnya. Kaleng bir.

Mutiara lavender Hinata yang tadinya sibuk menatap pada layar ponselnya, membelalak, sempurna. Tangan lembutnya dengan sigap menahan gerakan tangan Naruto yang siap membuka kaleng bir itu. Ia menggeleng pelan, mengisyaratkan bahwa dia tak akan membiarkan Naruto kembali meminum, minuman perusak itu.

Naruto tersenyum tipis, tanpa ia sadari hatinya menghangat. Menuruti apa yang Hinata perintahkan dari isyaratnya, Naruto melempar kaleng bir itu hingga masuk ke dalam tong sampah.

"Cih dasar bajingan yang beruntung." Umpat Sai seraya membuang muka.

...

"Jadi malam ini kau akan pulang terlambat?" Neji bertanya dengan nada selidik pada sang adik yang duduk di hadapannya. Bersama Ino, mereka bertiga kini berada di kedai Neji.

Hinata mengangguk antusias. Neji lalu melirik ke arah Ino untuk memastikan.

"Kau bisa percaya padaku Neji-san..." Ino meyakinkan.

"Kau yakin tidak ada bajingan itu disana...?" Neji tidak bodoh, ia tahu hubungan Naruto dengan kekasih Ino itu sangat akrab.

"Neji ini kegiatan para gadis, lagi pula melihat kau hampir menghajar Sai saat itu, membuat ku takut untuk macam-macam padamu..." Bujuk Ino.

Neji menghela nafas sesaat, sulit baginya untuk mengabulkan permintaan Hinata, apa lagi membiarkan Hinata pergi tanpanya di atas jam enam sore. Tapi hatinya melembut, Hinata mematuhinya beberapa hari ini, lagi pula ia sudah ada janji untuk mencicipi menu resepsi mereka. "Baiklah kau boleh pergi..." Senyum tulus mengukir di bibir Neji.

"Nii-san... Hontou ni Arigatou......" Hinata bangkit dari kursinya dan berhamburan ke pelukan Neji.

Ino tersenyum kecut ia merasa bersalah telah turut andil dalam membohongi Neji.

"Neji-nii aku harus mengikuti pelatihan penggunaan web site resmi kampus..." Hinata melerai pelukannya, ia berjalan menjauhi sang kakak lalu menghampiri Ino.

"Hinata..." Baru satu langkah ia berjalan, namanya diserukan oleh Neji. "Kemari..." Sambungnya ketika kepala indigo sang adik mendekat.

Hinata berjalan mendekat ke arah kakaknya yang sedang merogoh sesuatu dari saku celananya, sebuah dompet lipat. Pemuda itu mengambil lima lembar pecahan sepuluh ribu Yen. "Ambillah, dan beli sesuatu yang kau suka..."

Neji tahu Hinata memiliki tabungan dari uang saku beasiswa yang ia terima di sekolahnya dulu, juga dari uang saku bulanan yang ia berikan. Hinata bukan gadis boros yang gila fashion, adiknya itu sangat cermat dalam membelanjakan uangnya. Tapi tak masalahkan jika Neji ingin membahagiakan Hinata hari ini.

Tangan Hinata bergetar menerima uang dari Neji. Hinata berani bertaruh lima ribu Yen di tangannya ini adalah pendapatan Neji hari ini dari kantinnya. Ia tak tega menerimanya, ia akan pergi dengan Naruto, dan pria itu tak akan membiarkan dirinya mengeluarkan uang sepeserpun. "Neji-nii, tidak perlu..." Hinata berniat mengembalikan uang itu, ia tak sanggup bila harus menerima lelehan hasil keringat Neji itu.

Neji mendorong pelan tangan Hinata yang menyerahkan kembali uang pemberiannya. "Ambilah dan beli yang kau sukai..."

...

"Ambillah yang kau suka..." Naruto membuka lebar pintu butik itu, tanpa Hinata sadari ia mendecih remeh saat mutiara lavender Hinata menatap dengan takjub butik peninggalan ibunya yang kini di kelola oleh sang nenek.

Kepala indigo Hinata mendongak, mutiara lavendernya menatap dalam pada safir Naruto. Matanya berkaca-kaca terharu akan kebaikan Naruto. "Naruto-kun, bagaimana bisa kau sebaik ini pada ku...?"

Naruto tersenyum hangat, senyuman hangat yang palsu, kedua tangannya menggenggam erat lengan Hinata. Karena kau pionku Hinata. "Sudah berapa kali ku katakan, kau berbeda....."

"Naruto-kun.... Boleh aku bertanya...?" Hinata menundukkan pandangannya, sudah lama ia ingin menanyakan pertanyaan ini, namun ia takut terlalu lancang.

"Akan ku jawab sebisa ku..." Jawabnya sambil menarik dagu Hinata, wajah tersipu malu Hinata menggetarkan relung hatinya. Masih tega kah ia menghancurkan masa depan gadis ini. Namun bayang-bayang Sakura yang menangis di tengah kesendiriannya, membuat decihan kecil tersirat di benak Naruto.

"Naruto-kun selalu mengatakan aku berbeda.... Apa itu berarti, aku berbeda dengan Sakura-chan...?" Suara Hinata mengalun halus di telinga Naruto, nampak sekali bahwa gadis itu berhati-hati menanyakannya.

Ya, kau berbeda dengan Sakura-chan, dia sangat berarti dalam hidupku, sahabatku, dan cinta pertamaku, sedangkan kau adalah pionku, alatku untuk meruntuhkan kesombongan kakak kurang ajarmu itu.

Naruto masih terdiam, terpaku dalam kata hatinya, sementara Hinata tersenyum kecut, ia tahu apa yang Naruto akan jawab, dan sebelum itu terjadi, Hinata memutuskan menjaga hatinya. Ia beranjak untuk melihat-lihat pakaian di butik itu. Namun langkahnya terhenti, pergelangan tangannya ditarik halus, ia menarik nafas lega, Naruto menarik tangannya.

"Dengar Hinata, kau memiliki posisi yang berbeda di hatiku." Pria itu menarik tubuhnya dan menyandarkan punggungnya pada bahu tegap milik Naruto. Telinganya dapat merasakan hembusan nafas lembut milik Naruto. "Sakura adalah sahabat kecilku, dan dia bagian dari masa laluku, dia punya posisi yang penting di hatiku, sementara dirimu...," Naruto kian mendekatkan bibirnya bahkan hampir mencium daun telinga Hinata. "Kau adalah masa depanku."

Untuk kesekian kali, pipi pualam itu meronakan warna merah semu, Naruto mendengus geli. Bualannya berhasil, teruslah termakan dengan kebohonganku, Hime...

"Ehem..."

Hinata mendorong pelan tubuh Naruto saat mendengar suara batuk tak disengaja itu. Seorang pramuniaga berpakaian rapi ala maid Eropa berdiri di hadapan mereka.

"Ah Anko-san...." Naruto menggaruk kepalanya kikuk, pramuniaga senior yang telah lama ia kenal.

"Jadi gadis ini...." Anko menunjuk Hinata dengan gerakan dagunya.

"Bisa kau Carikan dia pakaian yang pantas untuk semi formal....?"

"Tentu saja Naruto," Anko tersenyum jahil menggoda. "Ya... Ya, aku tahu... Mari ikut aku...."

...

"Naruto-kun, apa pantas...."

Naruto menghentikan chat-nya dengan Sakura, saat suara lembut Hinata menggema di telinganya. Kepalanya mendongak mengalihkan fokusnya dari ponsel pintar itu. Ia meneguk ludah kasar, ini pertama kalinya ia melihat Hinata dalam balutan busana sedikit sexy.

"Bagaimana seleraku?" Tanya Anko memastikan bahwa pilihan pakaiannya adalah yang terbaik.

"Fuh..." Naruto menarik nafasnya kasar, penampilan Hinata begitu menggoda, ia menjilat bibirnya sekilas. Dengan berpakaian seperti itu kau benar-benar tak sabar ingin ku mangsa, Hime. "Sempurna...."

...

"Wah Nee-sama akhirnya kau menepati janjimu...." Hanabi melihat berbinar kotak hitam kemasan BB cushion merek Chanel yang dijanjikan kakaknya dan kini benar-benar ada di tangannya.

"Apa kau menyukainya, Hanabi....?" Gadis remaja tanggung itu mengangguk senang, tentu saja ia menyukainya, memiliki make-up dengan merek ternama itu sangat membanggakan bagi remaja seusia Hanabi.

Hinata tersenyum bahagia, melihat adiknya. Bukan hanya untuk Hanabi, Naruto juga bahkan membelikan make-up dan skin care mahal untuk dirinya sendiri. Hinata menghela nafas lelah, ia terduduk di ruang serba guna rumahnya dengan tas belanja yang berhamburan di hadapannya, sepatu, tas, bahkan pakaian tidur bermerek ada di dalam tas itu dan semua itu dibelikan oleh Naruto.

Hinata sempat menolak dan tidak bersedia berbelanja dengan uang Naruto, ia bersikeras untuk membayar sendiri hadiah untuk Hanabi, tapi Naruto malah marah dan berkata ia akan menjauhi Hinata bila Hinata tak mau dibayari olehnya, bukan hanya itu Naruto bahkan menyuruh salah seorang Sales promotion girl untuk memulihkan make-up, skin care, tas dan sepatu untuk Hinata. Tak lupa satu stel piyama pilihan Naruto, dia berkata baju tidur itu adalah hadiah untuk Hinata karena sudah mau membantunya mengerjakan tugasnya.

Ia bingung sendiri dengan belanjaannya hari ini, seumur hidupnya Hinata belum pernah menghabiskan uang sebanyak ini, dan itu membuatnya sedikit merasa bersalah menghamburkan uang seperti ini. Maklum Hinata berasal dari keluarga yang serba kekurangan.

"Kau habis berbelanja, Hinata....?"

Suara Hiashi membuyarkan lamunan Hinata tentang kejadian beberapa jam lalu dimana ia dipaksa menghambur-hamburkan uang oleh Naruto. "Neji-nii memberiku uang dan uang saku beasiswaku sudah cair." Dusta Hinata, uang dari Neji masih tersimpan rapi, dan uang saku beasiswanya baru akan cair setelah tiga bulan perkuliahan.

"Ah... aku juga punya sesuatu untuk Tou-sama," Hinata meraih salah satu paper bag. Ia mengeluarkan sebuah kotak, berisi alat pemijat otomatis yang bila diletakkan di kaki, maka akan menimbulkan getaran sensasi seperti dipijat. "Tou-sama duduk dulu di kursi...." Hinata berdiri dan menuntun sang ayah duduk di kursi kayu, lalu ia berjongkok, membuka kotak alat itu, lalu memasangnya di kaki sang ayah setelah menekan tombol power-nya.

"Ah ini sangat nyaman Hinata...." Hiashi memejamkan mata menikmati pijatan alat itu. "Jika seperti ini aku tak akan meminta Hanabi memijat kakiku lagi.

Hinata kembali tersenyum bahagia kehadiran Naruto dalam kehidupan keluarga mereka seperti suatu berkah, ia kembali mengingat bagaimana Naruto memaksanya untuk memasukkan alat itu ke dalam keranjang belanjanya.

...

"Kenapa sedikit sekali?"

"Ini sudah berlebihan Naruto-kun... Ayo kita pulang, Neji-nii bisa mengamuk jika aku pulang sebelum ia pulang dari kencannya...."

"Baik... Baik... Hime-sama..." Naruto merangkul bahu Hinata mengajak gadis itu ke kasir. Tapi saat ia melirik kearah Hinata, tampak mata ungu gadis itu terfokus pada sesuatu. Ia bergerak menuju rak display dimana benda itu terpajang, mengambilnya dan memasukkan ke dalam keranjang belanja mereka.

"Eh..."

"Itu untuk ayahmu, bukan untukmu..."

...

"Kau berbelanja banyak Hinata, dari mana uang sebanyak ini?"

Suara Neji menginterupsi lamunan Hinata dan membuatnya tersadar.

"Kau memberinya uang, Neji, dan uang saku beasiswa Hinata sudah cair."

Hinata mengangguk membenarkan pembelaan sang ayah.

Sebaliknya dahi Neji berkerut tak percaya, ia bukan orang bodoh, semua barang-barang yang Hinata beli adalah kualitas dunia, dan uang yang ia berikan tak akan cukup. Uang saku, khe... Entahlah apa aku harus percaya. Aku akan menyelidikinya nanti. "Kau pulang dengan siapa?" Introgasi Neji berlanjut.

"Dengan Ino-chan, naik taxi." Dusta Hinata, ia bahkan diantar di depan pagar oleh mobil merah Naruto.

Dahi Neji kembali berkerut, entahlah, aku merasa Hinata tak jujur padaku beberapa jam lalu dia bahkan menelepon untuk memastikan posisiku. Neji mengangguk seolah-olah dia percaya dengan ucapan Hinata, tubuhnya merasa lelah sekali malam ini, ia baru saja memastikan persiapan pernikahannya yang akan berlangsung dua bulan lagi. Akan aku selidiki nanti.

Hinata menggigit bibirnya saat Neji menghilang di balik pintu menuju dapur, ia kembali berdusta. Atas perintah Naruto beberapa jam lalu saat mereka keluar dari distrik Shibuya, Naruto menyuruhnya untuk menelepon Neji dan memastikan keberadaannya dimana, agar ia bisa leluasa mengantar Hinata. Ah... Hinata menjadi pembual besar sekarang, Naruto telah menodai kepolosan pikirannya sebelum menodai keperawanannya.

...

Naruto berjalan menyusuri lorong rumah sakit, dengan sekantong buah stroberi di tangannya, buah kesukaan Sakura. Pikirannya melayang jauh pada beberapa jam yang lalu, ia baru saja menghabiskan harinya bersama Hinata, dari pagi sampai malam seperti ini. Tanpa sadar senyum geli tersungging di bibirnya, mengingat tingkah polos Hinata saat masuk ke dalam butik mendiang sang ibu. Lalu perhatiannya yang begitu besar, Naruto merasa ada sisi kosong di hatinya yang terisi, rasa dingin itu perlahan terasa menghangat.

Naruto kembali berpikir, apa pantas ia menerima semua itu....

Tanpa Naruto sadari ia kini sudah berdiri tepat di pintu kamar rawat Sakura. Memikirkan Hinata membuat sebagian akal sehatnya melayang entah kemana, bagaimana ia tak sadar bahwa sudah berdiri pada tujuannya. Sakura-nya.

...

"Sakura-chan!!!" Naruto terpekik kencang, ia meletakkan asal kantong berisi buah stroberi itu, saat safir birunya menangkap pemandangan menyakitkan.

Sakura duduk terkulai di lantai, sambil menangis, Naruto berani bertaruh bahwa gadis itu baru saja terjatuh dari ranjang. Ia setengah berlari dan langsung menggendong gadis itu dengan bridal style.

"Bagaimana kau bisa terjatuh seperti ini....?" Naruto dengan perlahan membaringkan tubuh Sakura di ranjang pasien, sangat lembut, seolah Sakura adalah boneka porselen yang mudah hancur.

"Hiks... Hiks..." Sakura tak menjawab, hanya Isak tangis yang ia suarakan seraya menutupi wajah cantiknya. "Tadi Sasuke-kun video call...."

Naruto melirik pada ponsel Sakura yang terjatuh di lantai, ia memungutnya, sebuah panggilan video tak terjawab tertera disana.

"Aku selalu menerima video call Sasuke di sana...." Sakura menampakkan wajahnya dan menunjuk pojok dimana terdapat sofa. "Aku selalu mengatakan pada Sasuke-kun aku sedang piket membantu dokter jaga, jika aku berada di tempat tidur, dengan latar selang infus dan kepala ranjang ini, ia akan tahu aku dirawat.... Hiks.... Sasuke-kun menelpon tak seperti waktu biasanya, dan Mama sedang berada di apotek. Aku tak mau mengabaikan panggilan Sasuke-kun...."

"Jadi kau memaksakan diri untuk ke sofa, hmm?" Tangan sewarna madu Naruto menghapus jejak di pipi mulus Sakura.

"Hiks.... Hiks...." Tangis Sakura pecah, dan Naruto tak kuasa untuk membawa gadis musim semi itu ke dalam pelukannya. "Kau mau video call ulang?"

Sakura masih menangis dalam pelukan Naruto, ia menggeleng pelan. "Aku lelah, aku mau tidur saja."

Batin Naruto terasa pedih saat mendengar isakan Sakura, di elus lembutnya surai sewarna permen kapas itu, memberikan ketenangan pada cinta pertamanya. "Tidurlah Sakura-chan, aku akan menjagamu...."

"Jangan pernah tinggalkan aku Naruto, jangan pernah...." Pinta Sakura di tengah tangisnya.

Naruto tersenyum tipis sambil terus membelai lembut surai merah muda itu. "Tak akan pernah. Kau tak perlu terus memintanya Sakura-chan, kau sudah tahu jawabannya...."

Kau pantas Hinata, kau pantas menerimanya. Air mata mu akan membayar air mata Sakura-chan yang disebabkan kebodohan kakakmu.

...

"Hinata... Kau tak apa ya ku tinggal...?"

Hinata mengangguk mengiringi kepergian gadis bersurai kuning itu menuju kepelukan kekasihnya. Mutiara lavendernya menatap canggung auditorium kampusnya malam itu. Hampir rata-rata ruangan megah bergaya victorian itu dipenuhi oleh mahasiswa baru yang merayakan selesainya masa orientasi mereka, beberapa lagi adalah para dosen dan sebagian mahasiswa populer yang sengaja datang untuk memberikan sambutan formil pada mahasiswa baru, yang resmi menjadi bagian dari Tokyo University.

Ngomong-ngomong tentang mahasiswa lama yang populer, dimana keberadaan Naruto, kepala indigo Hinata menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan pria itu. Harusnya ia lah yang menemani Hinata di pesta ini. Hinata bahkan tak berniat datang ke pesta inagurasi ini jika tidak Naruto paksa.

"Eh....!!!" Hinata terkesiap, saat merasakan ada yang memeluk pinggangnya dari belakang, namun ia merasa lega saat kepalanya menoleh dan mendapati siapa pria itu. "Naruto-kun...." Sapannya lembut.

Naruto membalikkan tubuh Hinata hingga mereka saling berhadapan, meneliti dari ujung kepala sampai kaki, Hinata tampil begitu memesona seperti kemarin saat mencoba pakaian itu di butik mendiang ibunya. Sedikit sapuhan make-up tipis membuat penampilannya bertambah sempurna. Namun mata Naruto menatap tidak puas. Lengan Hinata di tutupi oleh bolero warna hitam.

"Benda ini mengganggu saja." Naruto melepas paksa bolero yang menutupi gaun sexy Hinata dan gadis itu hanya diam saja. Naruto lalu berjalan sedikit jauh meletakkan bolero itu di bawah meja yang menyajikan minuman.

"Kenapa kau tutupi gaun indah itu dengan luaran murah itu." Jelas raut wajah Naruto menampakkan ketidak sukaan. Sebenarnya warna bolero itu senada dengan rok hitam Hinata, tak ada yang aneh dengan penampilan Hinata. Hanya saja, Naruto sangat ingin melihat lekuk tubuh Hinata yang indah itu, yang akan ia nikmati malam ini.

"Gomenasai Naruto-kun, aku takut Neji-nii tidak akan memberi izin jika aku memakai gaun seperti itu." Hinata menunduk penuh sesal. Ia tak ingin membuat Naruto kecewa.

Naruto menahan nafas dan menghitung satu sampai sepuluh. Ia menahan amarah, malam ini puncak rencananya akan terjadi, ia tak boleh menampakkan rasa jijiknya pada Hinata yang terlalu kentara. "Alasan diterima...." Naruto membungkuk di hadapan Hinata lalu mengulurkan tangannya. "Sudikah, berdansa denganku, Hime-sama...?"

Hinata mengangguk pelan seraya tersipu malu. Jika tidak ada kata tidak dalam kamus Naruto untuk Sakura. Maka di kamus Hinatapun tak ada kata tidak untuk Naruto.

...

Musik klasik itu berhenti mengalun, bersamaan dengan itu gerakan dansa para pasangan di lantai dansa itu pun terhenti, berganti dengan suara microfone yang sedang di test oleh pembawa acara.

"Baiklah, sebelum acara formal dimulai, kita berikan dulu kesempatan untuk pangeran kampus kita untuk menyumbangkan sebuah lagu untuk orang yang sangat berarti untuknya.

Riuh tepuk tangan bergema, dan Hinata larut di dalamnya, hingga sebuah tepukan membuatnya menoleh. "Kiba-kun, Shino-kun..." Kedua sahabat itu baru bisa menghampiri Hinata, sejak acara dimulai, Hinata telah dimonopoli oleh Naruto.

"Hinata, dimana Naruto?" Pertanyaan Shino sontak membuat Hinata menoleh pada sisi lain tubuhnya, harusnya Naruto berdiri di sampingnya namun ia tak menemukan keberadaan pria itu.

"Kita sambut Namikaze Naruto."

Tanda tanya Hinata akan keberadaan Naruto terjawab, tanpa ia sadari pria itu kini telah berada di atas panggung, di depan sebuah piano.

...

Naruto memang memiliki sejuta pesona di kampus ini, apa lagi setelah keberangkatan Uchiha Sasuke ke negara pusat ilmu hukum, Belanda, menobatkannya sekarang menjadi satu-satunya pria dengan sejuta pesona di kampus ini.

Tuxedo hitam yang membungkus tubuh atletisnya malam ini tak dapat dipungkiri menambah wibawa dan kharisma Naruto, di tambah lagi saat ini dia duduk di hadapan piano, di atas panggung. Hampir seluruh gadis di auditorium itu berteriak histeris saat lampu sorot panggung menyorotnya.

Hinata merasa bangga sempat berdansa dengan Naruto, ia akui Naruto sangat tampan malam ini, walau setiap hari di mata Hinata pria itu selalu nampak tampan.

"Ehem..." Naruto sengaja menguji microfone di hadapannya, dan dengan suara batuk disengaja itu saja, auditorium kini kembali di penuhi oleh teriakan gadis. "Lagu ini aku persembahkan untuk gadis yang begitu istimewa di hatiku..."

Suara teriakan histeris para gadis itu kembali menggema. Sementara Hinata, ia menunduk dengan wajah merona. Kami-sama bolehkah aku percaya diri bahwa gadis yang Naruto-kun maksud adalah aku....

Bukan tanpa alasan Hinata berangan-angan seperti itu, kedekatannya dengan Naruto selama ini membuatnya melambungkan harapan terlalu tinggi. Ia ingin menjadi kekasih Naruto, berdiri di sampingnya selalu tanpa ada rasa rendah diri karena status hubungan mereka.

"Hyuuga Hinata..... Ini adalah jawaban dari pernyataanmu waktu itu...."

Riuh teriakan para gadis kembali menggema, namun tidak bagi Hinata, gadis itu menahan tangis harunya, ia menutup mulutnya dengan tangannya agar isakan itu tak terdengar.

Suara dentingan piano mengalun lembut, Hinata hafal nada pembuka itu, All Of Me dari Jhon Legend. Isak Hinata kian jadi, dari jauh mutiara lavendernya beradu dengan safir biru Naruto di atas panggung.

Impiannya terwujud, Naruto membalas cintanya, impiannya setelah setelah bertahun-tahun malam ini menjadi kenyataan, Naruto menyatakan cintanya dengan begitu romantis pada Hinata.

Pemuda itu menyanyikan lagu All of Me milik Jhon Legend yang di covernya dalam bahasa Jepang, membuat lirik itu semakin menyentuh hati Hinata.

Karena sepenuh diriku
Mencintai sepenuh dirimu
Kucinta lengkungan dan semua tepimu
S

emua ketakempurnaanmu yang sempurna


...

Naruto mengakhiri gerakan jemarinya pada tuts-tuts piano itu, ia menutup matanya, saking menghayati lagu tersebut. Walaupun secara lisan ia persembahkan lagu itu untuk Hinata, namun di lubuk hatinya yang terdalam, membayangkan Sakura saat melantunkan simfony itu tadi.

Suara teriakan para gadis bersamaan dengan riuh tepuk tangan bergema, Naruto berdiri di depan panggung, safir birunya meneliti tiap orang yang berada di bawah panggung, seingatnya Hinata berdiri di tepat di depan panggung bersama dua sahabatnya, namun ia tak menemukan buruannya itu. Hanya Kiba dan Shino yang terisisa, padahal tadi ia sempat melihat dua orang pria aneh itu bersama Hinata.

Buruannya lepas, Naruto tak terima itu, buru-buru ia turun dari panggung dan berlari menembus kerumunan manusia, menghampiri Kiba dan Shino.

"Dimana Hinata?!"

Sungguh malang nasib Kiba, ia tak terlibat apapun atas hilangnya Hinata, tapi kini Naruto malah mencengkram kerah kemeja putihnya di hadapan banyak gadis. Kiba merasa harga dirinya sebagai pria sejati runtuh.

"Neji membawanya pulang." Suara Shino yang menginterupsi menyelamatkan Kiba. Naruto melepaskan cengkeramannya pada kerah pakaian Kiba, dan berlalu.

...

"Kusso!!!" Naruto mengamuk di parkiran, baru saja ia menendang ban mobil mahalnya sebagai pelampiasan amarahnya. Nafasnya terengah hebat, rencananya gagal, mangsanya lepas.

"Kali ini kau selamat, Hinata. Tapi lihat dalam satu Minggu ini! Agghhhh!!!"

...

Flash back:

"Neji-kau mau kemana?"

Suara sang ayah membuat Neji menghentikan sejenak kegiatannya mengenakan jaketnya. "Menyusul ke kampus Hinata." Jawab Neji seraya melanjutkan kegiatannya mengenakan jaket.

"Bukankah dia pergi bersama Ino, kau tidak percaya padanya?"

"Tou-sama, aku hanya memberi Hinata uang lima ribu Yen, dan dia bisa membeli barang sebanyak dan semahal itu. Aku juga sudah bertanya ke pihak akademik, uang saku mahasiswa penerima beasiswa baru akan cair setelah tiga bulan perkuliahan." Jelas Neji setelah selesai mengenakan jaketnya, ia meraih kunci mini van nya di meja, dan bergegas menuju pintu, namun sebelum ia benar-benar keluar, Neji menoleh pada sang ayah.

"Tou-sama bajingan itu sedang menyogok kita dengan hartanya untuk mendapatkan Hinata."

...

Mutiara lavender Neji menyusuri kerumunan orang di dalam auditorium itu, mencari keberadaan Hinata.

"Hyuuga Hinata, lagu ini adalah jawaban dari pernyataanmu waktu itu..."

Telinga Neji memanas, ia tahu suara siapa yang bergema dari atas panggung itu, suara orang yang membuatnya harus merasakan dinginnya lantai penjara, seseorang yang mempermainkan harga dirinya. Namikaze Naruto, dan orang itu berani menyebut nama adiknya di depan khalayak ramai. Tinju Neji terkepal, ia mempercepat gerakannya menyusuri kerumunan itu.

Greb

Tepat saat dentingan piano itu terhenti, ia berhasil menangkap pergelangan tangan adiknya. "Hinata pulang!"

つづく
Tsudzuku

Jumlah uang yang Neji berikan pada Hinata: ¥ 5.000 = Rp. 800.000

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top