04. Pertemuan

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Tadaima..."

'Tadaima.... Tadaima'

Senyum kecut terpatri dari bibir merah kecokelatan milik pemuda pirang ini, salamnya tak berbalas, hanya bergema, membuktikan betapa luasnya ruang tamu dimana kakinya berpijak saat ini. Salamnya hanya menggema tak ada sahutan, rasa sepi itu kembali menyusup dalam relung jiwanya, kakinya yang berlapis sepatu sport mahal itu mulai menapak pada lantai marmer berwarna putih tulang itu.

Pandangan safir birunya menyusuri ruang tamu megah bernuansa Eropa itu, begitu mewah, namun tak ada kehangatan keluarga disana. 'Sungguh berbanding terbalik dengan rumah dinas yang kami tempati dulu....' Batin Naruto berujar lirih, ingatan kehangatan keluarganya di bawah atap rumah dinas pemerintah yang ia tempati dulu bersama kedua orang tuanya menari indah dalam otaknya.

"Tadaima Naruto, bagaimana harimu di Sekolah hari ini, Nak..." Tangan lembut Kushina menepuk lembut kepala jabriknya.

Air mata bening mengalir dari safir birunya, tangan sewarna madunya terangkat menyentuh surai cepak milik dirinya sendiri, setuhan sang ibu di puncak kepalanya masih dapat ia rasakan.

"Hei Jagoan.... Kau membawa medali emas lagi.." Tangan Minato mengusak sayang suari jabrik sewarna miliknya, memberikan apresiasi kepada putera kebanggannya ini.

Tangan Naruto berpindah pada dadanya, ada rasa sakit disana, namun tidak berdarah. Sesak, ketika kenangan keindahan keluarga bersama orang tuanya kembali menyusup di syaraf otaknya.

"Tou-chan, Kaa-chan aku merindukan kalian...."

Naruto berjalan gontai meninggalkan ruang tamu itu, menuju dapur, tepatnya mini bar yang menyimpan anggur fermentasi warisan sang kakeknya yang berusia ratusan tahun.

Tangannya meraih Cabernet Sauvignon wine berusia ratusan tahun dengan harga jutaan Yen itu, menuangkannya ke gelas kaca, namun ia berpikir lagi sebelum menenggak minuman beralkohol itu, nasihat Sakura tadi pagi membuatnya mengurungkan niatnya untuk menenggak minuman itu. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja bar, menekan beberapa tombol untuk menemukan nama kontak yang paling berarti di hatinya.

"Moshi-moshi Sakura-chan..." Panggilan itu terhubung dan suara ceria bergema di telinganya membuat senyuman terukir di bibir merah kecokelatan miliknya. "Bisa kita bertemu?"

'Gomenasai Naruto, tapi aku sekarang sedang pergi makan malam bersama keluarga besar Uchiha, besok kita bicara lagi, ya...'

"Baiklah Sakura-chan, bukan masalah. Selamat bersenang-senang, ya...."

Senyuman itu luntur, sudah ia duga sudah tak semudah dulu untuk berbicara dengan Sakura, dan bila Sakura saja sudah sulit untuk berbicara dengannya jangan harap Sasuke juga punya waktu untuknya. Ia beralih ke nama lain, Sai orang selanjutnya yang ia panggil, namun ia kembali menelan kekecewaan, Sai tak mengangkat panggilannya.

"Baiklah, dengan sangat terpaksa aku akan bersama kalian lagi malam ini, khe...." Naruto menenggak winenya, lalu meraih ponselnya yang lain, ponsel khusus untuk menghubungi wanita-wanita yang dengan senang hati bersedia menghabiskan malam bersamanya.

Ia menutup mata dan memilih acak kontak yang ada ponselnya. "Baiklah kita lihat siapa diantara kalian yang beruntung malam ini."

Jemari Naruto berhenti bergerak di layar ponselnya, satu nama terpilih, wanita favorit Naruto terpilih.

"Moshi-moshi Shion, malam ini, Tokyo Hilton kamar 435, sekarang juga."

...

"Kau mau kemana Hinata?" Mutiara Neji meneliti penampilan adiknya pagi itu, dress selutut tanpa lengan berwarna dusty pink, dan cardigan warna lavender lembut, membalut tubuh putih Hinata, tak lupa make up tipis dengan lipstick ombre di bibirnya, membuat Neji merasa curiga dengan adiknya tersebut.

Hinata menghela nafas kesal, ia baru saja keluar dari kamar, tapi intrograsi kakaknya sudah dimulai.

"Dia mau pergi kursus Neji, Hinata sudah izin padaku." Hinata berterimakasih pada Ayahnya yang membantunya pagi itu, Hinata memang sudah izin pada ayahnya sejak hari kemarin.

"Bukankah jadwal kursusmu sore?" Mata Neji memicing, ia menaruh curiga pada adiknya.

Hinata menarik nafas, mengaturnya tenang, ia tak boleh nampak gugup ketika berbohong, itulah yang Ino ajarkan padanya. "Ada kelas tambahan hari ini, materi tentang test minat dan bakat." Dusta Hinata, dia sudah menyelesaikan pembahasan materi itu beberapa hari yang lalu.

"Biar ku antar."

Hinata membatu, Neji akan mengantarnya dan berarti rencananya gagal.

"Neji-nii kau lupa, kau harus mengambil raportku hari ini."

Langit seolah merestui Hinata hari ini, Hanabi tanpa dimintapun ikut membantunya.

Neji melirik pada ayahnya.

"Kau lupa hari ini jadwal pemeriksaan rutin jantungku, aku akan pergi bersama Tenten, kau bisa pergi dengan sepeda ke sekolah Hanabi." Hiashi sedikit mengedipkan mata pada puterinya. Ia sedang membantu Hinata, tapi dia memang tidak berbohong hari ini memang jadwal pengobatannya.

...

Bangunan berasitektur Eropa itu, menjulang tinggi hingga ke langit, membuat Hinata enggan mengedipkan kelopak matanya. Ia tak percaya akhirnya ia bisa berdiri disini, di kampus impiannya.

"Kau yakin akan lulus test nanti?"

Suara Ino mengusik tatapan kagum Hinata bagunan University Of Tokyo yang terpampang di hadapannya. "Entahlah aku merasa akrab dengan tempat ini, dan biasanya kalau sudah begitu, maka aku akan menghabiskan waktu cukup lama di tempat tersebut..." Hinata memeluk tubuhnya sendiri ia masih memandang kagum bangunan berusia ratusan tahun di hadapannya ini.

"Kau akan mengambil jurusan apa Hinata..."

"Food and Beverage Management...." Mutiara lavender Hinata menatap kilat penuh semangat pada jam dinding yang terpajang di puncak gedung Tokyo University.

"Aku tahu...." Jawab Ino seraya menepuk pundak Hinata. "Kau ingin mengembangkan bisnis keluargamu, bukan?"

Hinata mengangguk yakin. "Aku ingin usaha kami memiliki manajemen yang bagus dan kelak, kami bisa memiliki restoran sendiri..."

...

"Hinata kau tunggu sebentar disini sambil berjalan-jalan, aku harus menghampiri kekasihku sebentar..." Ino berpamitan meninggalkan Hinata sendirian di kursi taman utama Tokyo University.

Hinata melambaikan tangan pada Ino yang berjalan menjauhinya. Tak lama setelah kepergian Ino, Hinata mulai mengamati sekitar taman itu, cuaca hari itu sedang bagus. Angin musim semi bertiup pelan membawa surai kelamnya seolah menari, Hinata berdiri merentangkan tangannya menikmati sinar mata hari pagi yang menerpa tubuh putihnya.

Tanpa ia sadari sepasang iris sendiri lautan menatap kagum pada pahatan indah tubuhnya yang bercahaya memantulkan sinar matahari.

Siapa gadis itu.

...

Hinata tak mau membuang waktunya, Hinata tak ingin diam terpaku di taman ini menunggu Ino, ia memutuskan untuk masuk ke dalam salah satu gedung di universitas ini. Satu persatu kakinya melangkah meyusuri lorong demi lorong yang menghubungkan setiap gedung dengan gedungnya. Tak ada satu pun tempat yang menarik Hinata setidaknya belum, karena sepanjang yang ia temukan hanya gedung-gedung kelas yang merupakan ruang perkuliahan, hingga sebuah gedung menarik atensinya. Gedung Club Seni Tari.

Kaki mungil nan jenjang itu menelusuri gedung berasitektur Eropa Klasik itu, bola mata ungu mudanya membulat sempurna saat menemukan sebuah ruangan, dengan sangat cepat ia masuk ke dalam ruangan itu. Studio Tari Balet.

Hinata seolah menemukan harta karun, ia melompat kegirangan seraya bertepuk tangan saat menemukan masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi oleh cermin di sekelilingnya, ia tak menyadari, di balik pintu sepasang safir biru tengah memandang tingkahnya sembari tersenyum kecil sambil menggeleng-geleng.

Ia meletakkan tas selempangnya di salah satu sudut ruangan, lalu mengeluarkan ponsel pintarnya, menekan beberapa tombo, dan tak lama kemudian senyuman terpatri dari bibir peach-nya bersamaan dengan melody swan lake yang bergema di ruangan itu. Hinata berdiri di tengah ruangan, ia menjijitkan kedua kakinya bersamaan dengan kedua tangannya yang terangkat keatas, dan jari-jarinya yang disatukan satu sama lain. Hinata sedang memasang pose siap untuk menari balet.

Tubuh sintalnya yang gemulai bergerak mengikut simfoni, ia bergerak bagai angsa putih, berputar, melompat dengan luwes. Hinata mengepakkan tangannya bagai sayap angsa yang siap terbang, ia berputar dengan sepasang kaki yang terus berjalan sambil berjinjit, mengitari ruangan itu sambil berputar.

Meliukkan tubuh sintalnya, surai panjangnya ikut bergerak bersamaan dengan gerakan balet gemulai yang ia peragakan, sesekali Hinata menunduk lalu mengakat satu kakinya seolah menggambarkan angsa putih yang sedang terbang. Ia terus berputar berkali-kali dengan tangan mengepak, membuat sepasang safir biru yang sejak tadi terus mengikutinya enggan berkedip barang sedikit pun, keindahan sang pencipta tengah terpampang sempurna di hadapannya mana mungkin ia menolak sedikitpun.

Hinata amat piawai menari balet, sebuah bakat yang ia rahasiakan dari keluarganya. Teman-teman Hinata di Tokyo Senior High School dari kelas beasiswa tahu persis bagai mana bila Hinata dengan apik membawakan tarian swan lake ini, namun sayang ia berasal dari kelas beasiswa, bakat piawainya selalu tertutup oleh starata kemiskinannya.

Prok prok prok

Bersamaan dengan putaran terakhir saat simfoni itu berakhir, Hinata mendapati suara tepukan tangan bergema dari ruangan itu, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara itu, dan setelah ia memperolehnya, mutiara ungunya membulat lebar. Ia menyibakkan surai panjangnya yang menutupi sebagian wajanya, hingga poni ratanya kembali tertata sempurna. Langkahnya mendekat pada seseorang yang menghadiahinya tepuk tangan.

...

Hinata Point Of Views

Surai kuning bagai kelopak bunga matahari itu, senyum sehangat sinar matahari, biru lautan yang meneduhkan terpancar dari irisnya. Bagaimana aku bisa melupakannya, kulit kecokelatannya yang begitu berkilau diterpa sinar matahari.

Dia begitu berubah, surai itu tak lagi mencuat ke segala arah, terpangkas rapi namun kharisma tak pernah berkurang. Wajah ovalnya yang selalu menawan itu kini telah berganti dengan rahang tegas yang lebih berwibawa, bagaimana aku bisa melupakannya.

Melupakan senyum itu, tangan berurat dulu yang pernah menolong harga diriku kini telah membentuk otot sempurna, namun senyumnya tak pernah berubah, senyuman hangat itu. Dia salah satu dari sekian banyak alasanku menginginkan bisa berada di tempat ini. Dia..., bertemu dia disini adalah jawaban dari doa-doaku.

Wajah itu, senyum itu.... aku selalu merindukannya, sekalipun hanya dari jauh ku pandang dirimu selama ini. "Naruto Senpai....."

...

Langkah demi langkah, Naruto dan Hinata semakin mendekat, bagai dua orang yang saling merindukan lalu bertemu, tatapan safir biru dan mutiara ungu saling beradu bersamaan dengan langkah yang semakin memutus jarak, tatapan penuh rasa penasaran Naruto beradu dengan tatapan rindu dari Hinata. Mereka berdiri dengan jarak begitu dekat, saling menatap tiap inci satu sama lain, tatapan dari safir biru yang begitu mengagumi keindahan sang pencipta di hadapannya, berpadu dengan tatapan mutiara ungu yang penuh dengan jutaan rindu yang membuncah di hatinya.

Tanpa sadar air bening mengalir dari pelupuk mata lembut bagai kelopak bunga lili milik Hinata, menghadirkan kerutan di dahi madu Naruto. Safir birunya melotot kebingungan, ia memang brengsek, tapi dia tak melakukan apapun pada gadis di hadapannya ini, muncul tanda tanya besar mengapa wajah bidadari itu tiba-tiba menjadi haru.

"Naruto Senpai....." Belum cukup keterkejutan Naruto dengan air mata sang gadis yang meleleh, kini ia dikejutkan dari kalimat yang keluar dari bibir mungil sewarna buah persik itu. Gadis ini menggumamkan namanya.

Naruto memberi isyarat dengan menunjuk hidungnya, dan dengan air mata meleleh yang dihiasi senyuman di bibir persiknya Hinata mengangguk menjawab pertanyaan isyarat Naruto. Ya, dia mengenal Naruto, lebih dari mengenal, Hinata tahu semua gerak-gerik dan semua hal yang berhubungan tentang pemuda itu.

"Kalian saling mengenal?!"

Tiba-tiba suasana haru bercampur penasaran itu buyar, suara Ino menggema, bahkan setengah terpekik, membuat Naruto dan Hinata sontak terkesiap, Hinata buru-buru menghapus air bening yang meleleh di pipi pualamnya, sementara Naruto buru-buru mengusap kasar wajahnya, ia merasa baru saja dihipnotis oleh pesona gadis di hadapannya ini.

"Ada apa Ino-chan, dimana temanmu itu?" Tak lama kemudian suara Sai mengintrupsi, membuat Naruto dan Hinata semakin salah tingkah. "Naruto, kau disini?"

Naruto menyisir surai cepaknya dengan jari untuk menutupi kecanggunganya. Ia merasa seperti baru saja menatap dalam Sakura dan ketahuan oleh Sasuke. "Aku ada kelas." Jawabnya singkat seraya membenarkan posisi ransel di bahunya. Pria itu lalu berlalu meninggalkan studio balet itu.

"Hinata kau mengenalnya?" Ino kembali mengulang pertanyaan yang sama.

"Sangat," jawab Hinata tanpa melepaskan pandangannya yang mengikut langkah cepat Naruto menjauhinya. Naruto-senpai, aku menemukanmu, akan ku hapus semua duka yang menyelimutimu, sesuatu yang dulu tak pernah berani ku lakukan.

Sementara itu di sisi lain, senyuman penuh makna terukir di bibir Sai, dahinya berkerut mencoba mengingat sesuatu. Gadis penjual dango itu.....

...

Otak Naruto tak bisa memperoleh konsentrasinya, bayang-bayang gadis penari balet di studio itu terus menerawang di otaknya, membuatnya tak mampu berpikir apapun, lebih dari efek vodka dan wine yang selama ini ia tenggak. Dan disinilah ia berakhir, ia memilih kabur dari kelas dan duduk kedai milik Neji sambil menghisap rokok mengepul di tangannya.

"Kau kabur?"

Tepukan di bahunya sontak membuat Naruto menoleh, ia menemukan Sai berdiri di belakangnya dengan senyuman penuh makna. "Memikirkan gadis tadi?"

"Dia mengetahui namaku," Ucap Naruto datar, pandangannya lurus ke depan, ia sedang mengingat-ingat wajah para wanita yang berakhir di atas ranjangnya, namun ia tak menemukan Hinata di memory itu.

"Jangan mencarinya di memory otakmu yang menyimpan para jalang itu. Mundurlah lagi kebelakang saat kau masih menjadi pemuda baik yang menolong gadis dari kelas beasiswa itu."

Dahi Naruto berkerut, ia mencoba berpikir keras tentang gadis itu.

"Di otakmu hanya ada Sakura sejak dulu, bahkan kau tak menyadari tatapan penuh damba dari gadis penjual dango itu."

"Kue dango?" Beo Naruto.

"Jika masih kurang kata kuncinya, coba dengan kotak bento."

Tiba-tiba senyuman menyungging lebar dari bibir Naruto. "Dari kelas beasiswa...."

Sai sontak terkejut melihat senyuman Naruto, senyum yang sama yang ia pancarkan sebelum kematian ke dua orang tuanya, senyuman yang telah lama terkikis dari bibir Naruto. Gadis itu benar-benar akan menggantikan posisi Sakura di hatimu, Naruto....

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top