03. Semua Tak Sama Lagi

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Tiga tahun kemudian...

Drtrtrt

Ponsel berwarna hitam bergetar di atas nakas yang terbuat dari kayu eboni, memancing sepasang kelopak mata bagai madu si empunya untuk terbuka. Pria itu memperoleh lagi kesadarannya setelah satu malam penuh menghabiskan malam panjangnya di atas ranjang. Ya di atas ranjang, jangan berpikir bahwa pria yang baru berusia dua puluh tahun ini adalah pemuda bau kencur. Ia bahkan sudah kehilangan keperjakaannya sejak berusia delapan belas tahun. Catat delapan belas tahun.

"Hmmm...." Suara serak khas bangun tidur itu menggema di kamar tipe sweet salah satu hotel bintang lima di kawasan Shinjuku. "Ada apa Teme?"

'Dimana kau sekarang?'

"Ritz Carlton, Shinjuku." Ia menjawab panggilan dari ujung ponsel mahalnya sembari mengucek-ngucek mata-matanya, salah satu upaya untuk mengumpulkan nyawa setelah berlayar jauh ke alam mimpi.

"Shion, mungkin....., Ah sebentar aku lihat dulu, astaga aku bahkan lupa siapa yang aku gagahi semalam." Ia berbicara semudah itu, seolah melampiaskan nafsu biadabnya sudah menjadi rutinitas.

Kepala pirang cepak miliknya tertoleh pada wanita yang tergeletak lemas di sampingnya akibat permainan buasnya semalam suntuk, "rambutnya kuning, Sasuke, mungkin Shion, tapi aku pastikan dulu, hahahah." Ia kembali meracau lagi, lalu menyibak surai kuning wanita itu. "Hah, ternyata bukan Shion, aku sedang bersama Usagi, Teme!!!"

"Naruto, nenekmu pulang hari ini, tinggalkan jalang itu dan segera pulang ke rumah sekarang!"

...

"Dia tidur dengan perempuan nakal lagi, Sasuke-kun..." Wanita bersurai permen kapas itu merangkul lengan kekar tunangannya yang baru saja memutuskan sambungan telepon.

Sasuke menghela nafas pelan, ia mengangguk menjawab pertanyaan tunangannya.

"Apa ini semua salah kita... Kita memberitahunya tentang hubungan ini dan orang tuanya.... Hiks...."

"Sakura, berhenti menangis, ini semua tak sepenuhnya salah kita, Naruto sudah dewasa, sudah seharusnya bangkit dan menerima kenyataan ini."

"Dia kesepian Sasuke-kun...."

"Kita selalu ada untuknya." Kilah Sasuke seraya mengusap kepala Sakura yang bersandar pada bahu tegapnya.

"Tidak setiap saat..."

"Kau mau aku melepaskanmu untuknya?"

Kepala merah muda Sakura mendongak mendengar ucapan dingin tunangannya. "Aku bukan mainan yang bisa kau beri pada Naruto sesuka mu." Sudah berulang kali Sasuke mengulang kalimat penyelesaian yang sama ketika membahas tingkah bejar Naruto sekarang, menyerahkan Sakura, seolah itulah jalan keluar satu-satunya.

"Lalu apa, mencarikannya gadis-gadis baik-baik, agar dia jatuh cinta? Sakura dia hanya bisa jatuh cinta padamu."

"Lalu kau tak mencintaiku lagi sampai berniat menyerahkan ku padanya."

"Sakura, kita akan pikirkan lagi bagaimana caranya mengembalikan Naruto yang dulu, sebaiknya kita ke Uzumaki Mansion, sebentar lagi Mito Obaa-san pulang dari Rusia, kita harus bersiaga jika si Dobe itu tak tepat waktu kembali kerumah."

...

"Kau mau pergi secepat itu, Naru-kun...."

Tangannya terhenti membenarkan posisi resleting celana jeans-nya, saat sepasang tangan putih nan lentik bermain di atas perut berototnya. "Kapan-kapan kita akan main lagi, aku ada keperluan sebentar. Jadi Usagi-chan bisa kau jauhkan tangan nakalmu itu...." Ucapnya dengan nada menggoda.

Gadis pirang bernama Usagi itu memberengut kesal, ia mengenakan kimono, yang tergeletak di lantai untuk menutupi tubuhnya yang hanya berbalut lingerie tipis. "Mana jatahku." Rengeknya tanpa tahu malu.

"Aku sudah meletakkan delapan puluh ribu Yen di laci nakas." Jawab Naruto sambil mengenakan kaos oblong hitamnya yang ketat. "Ada obat pencegah kehamilan disana, kau jangan lupa meminumnya."

"Kita selalu memakai pengaman, kenapa harus meminum pil itu lagi?!"

"Apapun bisa terjadi sayang, kita harus bersiaga dua kali lipat, aku tak mau terikat dalam pernikahan, dan kau juga tak mau tubuhmu rusak karena mengandung benihku, 'kan?"

"Ya... Ya... Terserah kau saja...."

...

"Ohayou Tou-sama....." Hinata meletakkan sepiring nasi hangat mengepul lengkap dengan kuah kari dan potongan daging katsu di hadapan ayahnya, ia memberikan pelukan selamat pagi pada Hiashi lalu beralih pada Neji.

"Ohayou Nii-san...." Hinata meletakkan piring berisi makanan yang sama di hadapan kakaknya, lalu Neji menghadiahkan tepukan lembut di pucuk kepalanya.

"Ohayou Hana-chan...." Hinata mencium pipi adiknya tapi dengan cepat dihapus oleh Hanabi.

"Nee-sama... Aku ini sudah tiga belas tahun, jangan menciumi pipiku terus!" Kesal Hanabi sambil menekuk wajahnya dan hal itu sontak membuat semua keluarga Hyuuga tertawa.

"Lihat Tou-sama betapa sombongnya Hanabi kita, padahal Hinata saja yang sudah delapan belas tahun setiap hari kita peluk dan kita cium...." Kekeh Neji seraya mengusap surai Hinata yang kini duduk di sampingnya.

"Ngomong-ngomong Hinata, mulai hari ini kau tak perlu datang ke kantin kita di Sekolah Hanabi, biar Kou saja yang mengurus semuanya, kau harus memperketat belajarmu, bukan hanya di tempat kursus kau juga harus menambah jam belajarmu di rumah, bukankah test masuk Tokyo University tinggal dua pekan lagi...." Hiashi menatap penuh harap pada Puteri kesayangannya itu.

Sudah satu bulan sejak upacara wisuda Hinata di Tokyo Senior High School, dan selama itu Hinata membantu usaha kantin sang ayah di sekolah Hanabi. Namun ada satu yang aneh, Neji sang kakak selalu melarangnya ketika ia ingin membantu menjaga usaha sang kakak di kampus negeri paling bergengsi di Jepang itu. Ia rasa hari ini adalah waktu yang tepat, hampir tiga tahun Neji membuka usaha kantin di Tokyo University Tokyo, tapi tak sekalipun Neji mengizinkannya menginjakkan kakinya disana.

Hinata mengangguk patuh seraya menuangkan air dari ceret kecil ke mug-nya. "Jika aku tidak ke menjaga kantin kita di sekolah Hanabi, aku akan membantu Tenten-nee dan Nii-san di-"

"Tidak Hinata!" Belum sempat Hinata menyelesaikan ucapannya, namun Neji sudah menolaknya mentah-mentah. "Kau tetap di rumah dan pergi ke tempat kursus untuk persiapan testmu."

"Kenapa Nii-san selalu melarangku kesana.... ? Kalian menginginkanku kuliah disana, tapi aku sendiri tak pernah sekalipun di izinkan pergi kesana," Hinata menunduk kecewa, selama tiga tahun Hinata menjadi olok-olokan teman-temannya, hanya dirinya sendiri di sekolah itu yang tak pernah menginjakkan kaki di Tokyo University.

Hiashi melirik ke arah Neji, sebenarnya putera sulungnya inilah yang selalu melarang Hinata untuk datang ke Tokyo University. Ia tak pernah tahu alasan Neji melarang Hinata datang ke universitas itu. "Neji, jangan terlalu keras padanya, biarkan saja dia ke sana."

"Tidak ayah," Neji meletakkan sendoknya dan berhenti makan, "Hinata akan datang kesana saat ujian dimulai. Sebelum itu dia tak boleh kesana."

Pria bersurai cokelat panjang itu berjalan meninggalkan meja, dengan keputusan mutlaknya. Meninggalkan adiknya yang kini menangis dalam pelukan sang ayah.

Maaf Hinata, aku tak akan membiarkan mu terlihat olehnya. Bajingan itu tak boleh mengenalmu dan kau tak mengenalnya.

...

"Mau kemana Naruto?" Suara wanita berwibawa itu menghentikan langkah pria pirang cepak itu menuruni tangga rumah megahnya. Tersenyum penuh kemenangan, prediksinya tidak meleset, ia tiba di rumah tepat waktu, sempat mandi dan membersihkan diri, Naruto juga masih sempat menetralisirkan efek hang over sisa mabuk semalamnya. Dan kini ia berdiri di hadapan sang nenek dengan pakaian rapi, Polo Shirt hitam ketat mencetak jelas bongkahan otot seksinya.

"Tentu saja ke kampus Obaa-san." Naruto tersenyum manis, senyum palsu yang selalu ia gunakan untuk mengelabui sang nenek dari tingkah laku bejatnya bertahun-tahun.

"Yokatta, aku selalu tenang meninggalkanmu sendiri di Jepang, kau selalu berlaku manis seperti ini." Mito, wanita berusia hampir tujuh puluh tahun yang masih nampak segar itu berjalan mendekati Naruto yang berdiri di anak tangga terakhir itu, memberi kecupan sayang pada pipi bergurat Naruto. "Aku akan istirahat sebentar, nanti sore aku akan berangkat lagi ke Yokohama untuk melihat proses penenunan sutera, mungkin lusa baru kembali ke Tokyo."

Naruto tersenyum sinis bersamaan dengan neneknya yang berlalu. 'Pergi saja kemana kau mau, nek. Tak usah pedulikan aku. Tinggalkan saja aku sendiri, aku tak akan lagi kesepian seperti dulu saat dimana Okaa-chan dan Tou-chan baru meninggal. Rasa sepi itu telah melebur menjadi satu dengan diriku.'

Sejak hari dimana Sasuke dan Sakura menyatakan diri sebagai kekasih, ditambah lagi dengan kepergian orang tua tercintanya, Naruto yang ramah dan sangat menghargai gadis telah mati. Tak ada lagi Naruto yang peduli pada kesusahan sekelilingnya, kini yang tersisa hanyalah Naruto sang Casanova, bajingan yang selalu menghabiskan malam-malamnya dengan para jalang pemujanya yang rela melemparkan diri ke dalam pelukannya.

Naruto dengan segala keangkuhan dengan harta berlimpahnya, tak ada lagi Naruto dengan segala kerendahan hatinya untuk menyembunyikan hartanya. Kini harta, kedudukan dan ke tampannya ia pamerkan dengan terang-terangan, bagai merak jantan yang mengepakkan sayap indahnya untuk menjerat gadis polos yang terperdaya padanya. Menyerahkan dengan suka rela kesucian mereka dalam dekap hangat sang Casanova.

...

"Tidak perlu mengkhawatirkanku, sebaiknya kalian pergi dan nikmati waktu berdua." Naruto tersenyum tipis saat mendapati dua orang sahabatnya yang sedang menjalin kasih, berdiri di depan pintu mansion megah milik nenek dari pihak ibunya.

"Naruto, nenekmu..." Sakura menahan bahu tegap Naruto, membuat pemuda pirang cepak itu menghentikan langkahnya.

"Semua baik saja Sakura-chan, tidak perlu mengkhawatirkanku.... Kau pergi saja bersama Teme, kita bertemu di kantin saat jam istirahat...." Naruto tersenyum kecut, ia berjalan berlalu begitu saja meninggalkan dua sahabatnya yang rela jauh-jauh menyusulnya kerumah, menuju Lamborgini oranye miliknya yang sudah terparkir rapi.

"Sasuke-kun sampai kapan Naruto akan bersikap dingin pada kita....?" Sakura mendongak menatap harap pada onix tunangannya.

"Sampai dia menemukan wanita lain yang bisa menggantikan mu di hatinya, Sakura."

...

"Hai Tenten, kau tidak mengusirku?" Naruto mencoba menyentuh tangan gadis pemilik kedai yang mengantarkan pesanannya, namun dengan cepat gadis bersurai cokelat itu menepisnya kasar, hingga membuat Naruto sontak tertawa puas melihatnya. Ia sangat suka sekali menggoda penjaga kantin galak itu. Tenten memang cantik, tapi wanita itu bukan tipenya.

Lagi pula bagaimana dia bisa mendekati Tenten, bila tunangannya selalu bertindak seperti anjing helder penjaganya.

Tenten meletakkan asal satu piring kentang goreng di hadapan tamu kantinnya, "kau bersama Sakura, jadi aku tak akan mengusirmu, jika kau sendirian atau bersama para jalang itu, sudah ku pastikan kau tak bisa duduk tenang disini." Tenten pergi begitu saja setelah puas mengumpat.

"Ku rasa dia dan Neji benar-benar ditakdirkan hidup bersama, kau lihat itu Sakura-chan, dia bahkan tidak memperlakukan tamunya dengan baik, sama seperti pacarnya." Naruto mengambil kaleng bir dari tas ranselnya dan menenggaknya tanpa sisa.

"Kau selalu menarik para gadis polos disini Naruto, tak jarang kau berbuat setengah mesum disini, wajar bila Neji dan Tenten tak ingin reputasi kedainya buruk, menjadi salah satu mitra di kantin Tokyo University tak mudah Naruto." Sakura mengambil satu kentang goreng dari piring, ia melirik sekilas pada kaleng minuman yang baru saja ditenggak Naruto. "Naruto, kau minum bir sepagi ini, kau mau liver mu hancur hah!" Bentak Sakura yang baru menyadari bahwa kaleng itu berisi bir, ia sempat mengira bahwa Naruto bahwa minuman itu berisi kopi kaleng atau minuman ringan.

Naruto tersenyum acuh menanggapi ocehan Sakura padanya. "Aku biasa meminum ini setiap pagi, tak perlu berlebihan Sakura-chan." Jika kau begitu memperhatikan dan mengkhawatirkanku, kenapa kau tak pernah melirik cintaku Sakura-chan.

"Naruto kau bisa mati muda jika begini terus." Sakura menepuk jidat lebarnya yang tertutup rambutnya yang menyamping.

Naruto kembali tersenyum sekedarnya. Bukankah lebih baik bila aku mati, ini salah satu usaha ku untuk mati perlahan Sakura-chan agar tak perlu lagi melihatmu bersama Sasuke, aku ingin, ingin sekali pergi menjauh dari kalian, tapi selama aku masih bernafas melihat senyummu adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. "Kau terus mengoceh Sakura-chan aku tahu kau calon dokter...."

"Naruto, aku ingin bicara serius pada mu...." Kali ini Sakura bangkit dari duduk bersandarnya. "Tentang para Jalang itu, apa kau menggunakan pengaman saat bersama mereka? Kau tahu Naruto mereka bisa saja membawa penyakit menular padamu."

Naruto tersenyum tipis. Kau masih mengkhawatirkan ku, kau masih mempedulikan ku, tapi yang ada di hatimu hanyalah Sasuke. "Aku selalu menggunakan pengaman, Sakura-chan, kau tak perlu berlebihan."

"Yokatta... " Sakura menghela nafas lega.

"Apa kalian menunggu cukup lama...?" Suara lain menginterupsi, seketika senyum Naruto pudar, ia kenal suara itu, suara yang membuat senyum Sakura-nya semakin mengembang. Suara Uchiha Sasuke.

Sakura berdiri menyambut kedatangan kekasihnya, ia Naruto dan Sai memang kuliah di fakultas yang berbeda. Sasuke dan Naruto sama-sama memilih fakultas Hukum, hanya saja Naruto mengambil Jurusan Hukum Pidana, sementara Sasuke mengambil jurusan Hukum Perdata. Sementara Sai mengambil fakultas desaign arsitektur, dan dirinya sendiri sesuai dengan cita-citanya, mengambil fakultas kedokteran.

Pelukan hangat dihadiahkan Sakura saat sang kekasih menghampirinya, hal itu sontak membuat Naruto memalingkan wajahnya, ia tersenyum mendengus kesal, tiba-tiba hatinya serasa diremas. Sasuke dan Sakura terlalu sering mengumbar kemesraan di hadapannya, bukan tanpa sebab, semua itu terjadi karena Naruto bersikap seolah tidak terjadi apa-apa selama ini. Ia berpura-pura, ia bersandiwara seolah hatinya baik-baik saja.

"Hei-hei, berhenti bermesraan seperti itu, kalian tidak lihat betapa kasihannya sahabat kita ini." Mulut tanpa filter itu kembali berbunyi, siapa lagi yang bisa berbicara tanpa saringan di otaknya, selain Shimura Sai, pemuda pucat itu datang bersama seorang gadis yang baru dua minggu ia lamar. Tunangannya Yamaka Ino, mahasiswa tingkat lima jurusan pertanian.

Sai harus buru-buru mengikat Ino secepatnya, jika tidak seperti empat puluh persen gadis cantik di kampus ini akan berakhir dengan menghangatkan ranjang Naruto.

Naruto kembali tersenyum miris, "Sai, kau bisa memikirkan perasaan orang lain saat berbicara..." Sakura melerai pelukannya dari Sasuke, kembali duduk di kursinya di hadapan Naruto. "Ino tolong ajari kekasihmu ini.." Meraih Jus Tomat yang sudah ia pesan khusus untuk kekasihnya dan menyerahkannya pada Sasuke.

"Naruto, kau sebaiknya harus memiliki kekasih yang serius untuk mengurus hidupmu, mau ku kenalkan kau dengan seorang gadis baik? Ku rasa dia cocok untukmu, dia tetanggaku, baru beberapa bulan pindah ke distrik kami, namanya Hi-"

"Ino... Ino...." Belum selesai Ino melanjutkan tawarannya, Sai kekasihnya sudah memotong. "Apa kau tidak waras, sayang. Kau mau mengenalkan gadis baik-baik padanya, kasihan gadis baik-baik itu, hanya akan berakhir di ranjang hotel bintang lima bersama bajingan ini, hahaha," Sai tertawa seraya menunjuk Naruto. " Hanya Sakura satu-satunya gadis cantik yang mendapat perlakuan baik dari Naruto, ya tentu saja selain kau sayang, karena kau sekarang milikku." Sai ingat betul Ino pernah menjadi incaran kebuasan Naruto.

"Sai, cukup." Sasuke angkat bicara setelah cukup lama ia diam.

Naruto mendegus pelan, Sasuke selalu berwibawa saat melindungi Sakura, berbeda dengan dirinya yang melindungi Sakura dengan penuh ke gegabahan, dan hal itu lah yang membuat Sakura jatuh cinta pada sahabat kecilnya itu.

...

Sepasang mutiara lavender mengamati gerak-gerik Naruto bersama teman-temannya, dari kejauhan. Hyuuga Neji, si pemilik tempat dimana para mahasiswa hedon itu sedang menghabiskan waktu istirahat, nampak tidak senang dengan keberadaan Naruto di kedainya.

"Kenapa kau tidak mengusir bajingan itu?" Neji bertanya dingin pada sang kekasih yang menjadi patner binisnya, seraya mengecek mesin EDC, memantau jumlah pendapatan mereka hari ini.

"Neji, dia datang bersama teman-temannya, jika dia sedang tebar pesona disini atau bersama para jalangnya sudah lama aku mengusirnya." Jawab Tenten sambil menyisipkan selada di antara sandwich pesanan tamunya.

"Kau lihat itu Tenten, dia membawa bir ke kedai kita..." Mata Neji dengan tajam menangkap gerakan Naruto yang mengeluarkan satu kaleng bir lagi dari tasnya. "Akan ku hajar bajingan itu," Neji naik pitam dan berusaha menjauh dari meja kasir, tapi Tenten sang kekasih bergerak lebih cepat.

"Neji kendalikan dirimu..." Tenten menarik lengan Neji, "kau bisa membuat yang lain ketakutan, mereka bisa enggan datang ke kedai kita, di kantin ini sudah banyak kedai baru berjamuran, persaingan semakin ketat, kau tahu omzet kita semakin menipis, kau tahu Naruto adalah magnet bagi para gadis disini, dengan keberadaan dia-"

"Kedaiku, bukan tempat mesum Tenten!" Neji mengepalkan tinjunya kuat, di hadapannya Naruto kembali berulah, mencium seorang gadis yang lewat di hadapannya dengan tenang. Tentu saja, Naruto hanya perlu merentangkan tangannya sembari duduk, maka gadis-gadis tak tahu malu itu akan melemparkan dirinya pada Naruto. Tak ada yang berani menghalau kegiatan gila Naruto, semua orang bahkan dekan sekalipun tak ada yang berani pada cucu ketua komite penyumbang dana terbesar di universitas ini, terlebih lagi Naruto adalah putera mendiang menteri yang berjasa dalam pemerintahan Jepang, membuat pria ini bertingkah seolah kampus ini adalah miliknya.

"Dengan sifat idealismu itu, kita bisa bangkrut Neji.... Kau tahu berapa banyak uang yang kita butuhkan, kita baru saja melunasi rumah, lalu pemasangan ring jantung Tou-sama, biaya pendaftaran Hinata, dan sekolah Hanabi, juga biaya pernikahan kita.... Kau tahu jika tahun ini kita tidak menikah, Papa akan menarikku kembali ke Beijing, hiks...." Tenten menyandarkan keningnya pada lengan kekar Neji, ia sudah bertahun-tahun berada di Jepang, beberapa kali ayahnya datang dari Beijing untuk menjemputnya karena dia telah menyelesaikan kuliahnya, dan ia tetap bertahan negeri matahari terbit ini untuk mendampingi Neji.

Tenten bukan berasal dari keluarga sederhana atau miskin, ayahnya punya penaruh besar dalam bisnis farmasi di negeri tirai bambu itu, memberikan modal dan membawa Neji ke China adalah hal mudah bagi keluarganya. Tapi Neji memiliki tanggung jawab besar disini, ayahnya yang menderita jantung koroner dan dua adik gadisnya yang harus ia kuliahkan.

...

"Dimana Hinata?" Neji tiba di rumah dan mendapati ayah dan adik bungsunya di ruang serbaguna mereka, tak menemukan Hinata, membuat Neji langsung kelabakan mencari adik tercantiknya itu. Neji takut, ia takut jika Hinata nekat datang ke Tokyo University dan Naruto menemukan adiknya.

Oh ayolah pria mana yang tak menginkan adik tengahnya itu, Hinata memiliki fisik berbeda dengan keluarganya yang lain. Tiap inci tubuhnya adalah warisan sang ibu yang memiliki kecantikan sempurna, kulit putih bagai salju, bibir merekah merah muda bagai buah persik, bulu mata lentik dan lebat melengkapi wajah imut nan polosnya yang dibingkai surai panjang sepinggang dengan warna kelam pekat bagai kayu eboni. Ia akan menjadi incaran empuk bagi Naruto sang bajingan kampus.

"Dia di kamarnya Neji...." Jawab Hiashi dengan raut kesal. "Dia menangis seharian, kenapa kau melarangnya melihat kampus itu, sebentar lagi dia akan berkuliah disana."

Neji tak menggubris ucapan sang ayah ia masuk kedalam kamar Hinata yang berada di sisi ruangan.

...

Srakkkk

Pintu geser itu terbuka, buru-buru Hinata berbalik arah membelakangi sang kakak yang berdiri di ambang pintu.

"Kau masih marah pada Nii-san...."

Tak ada jawaban dari Hinata, hanya dengkuran halus yang terdengar, Hinata sedang berpura-pura tidur.

Neji tersenyum kecut ia mengusap pelan suari kelam sang adik.

'Kau tak pernah tahu bagaimana aku menyayangimu Hinata, kau adalah cahaya keluarga kita. Dan aku tak akan membiarkan bajingan itu mengenal dan melihatmu.'

...

Hinata bangkit dari bagian atas futtonnya ketika memastikan bahwa sang kakak sudah keluar dari kamarnya, ia beranjak menuju lemari gesernya, dan mengeluarkan dress warna dusty pink yang sudah ia siapkan. "Aku bukan anak kecil lagi Neji-nii, besok... besok aku akan menginjakkan kakiku di Tokyo University, tempat masa depanku akan dibangun, tanpa perlu menunggu waktu yang kau tentukan. Aku bisa memutuskan sendiri hidupku.

Hinata dengan semua rasa penasarannya, ia tak akan pernah tahu, tempat yang ia anggap akan mengukir masa depannya, adalah tempat dimana kehancuran semua mimpinya akan dimulai.

...

"Jadi kau tak pernah melihat atau pergi ke Tokyo University, Hinata?"

Hinata mengangguk sembari menyelampirkan handuk basah yang baru saja selesai ia cuci ke tali jemuran. Ia sedang berada di halaman belakang rumah baru mereka dan sekarang ia sedang berbincang dengan tetangga baru yang sebaya dengannya, salah satu mahasiswa fakultas pertanian Universitas Tokyo.

"Belum Ino-chan...." Hinaya menjawab lesu pertanyaan tetangga barunya yang sudah akrab dengannya, gadis bersurai kuning itu sebenarnya berusia satu tahun diatasnya. Tapi Ino tak mau Hinata memanggilnya Nee-chan, ia tak ingin tampak terlalu tua katanya.

Ino memutar dari jemurannya dan berdiri di samping Hinata, mendekatkan bibirnya pada Hinata agar mereka leluasa berbisik, "Baiklah bila kakakmu tak mau mengantarkanmu, dan kau merasa canggung untuk pergi sendiri... Besok pagi aku bisa mengantarkanmu ke sana......"

つづく
Tsudzuku

Noted: ¥ 80.000 = Rp. 2.500.000

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top