02. Alasan

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

"Yugao-chan mengapa berjalan terburu-buru, lihatlah stasiun masih ramai..." Turun dari Shinkansen Hinata berjalan terengah menyamakan jalannya dengan sang sahabat yang setengah berlari.

"Kau gila Hinata, kakak overprotective mu itu terus menelepon mu dan aku menanyakan keberadaan kita, dan kau memintaku untuk jalan perlahan." Bukannya melambat, Yugao malah mempercepat langkahnya.

"Yugao-chan, onegai...."

Langkah Yugao terhenti, Hinata menarik pergelangan tangannya.

"Ada apa lagi Hinata....?" Yugao mendesis kesal.

"Cerita saat jam istirahat tadi... Kau melupakan sesuatu..."

Yugao mengerutkan dahinya, "tentang Naruto Senpai?"

Hinata mengangguk malu-malu menjawab pertanyaan Yugao. "Kau belum menceritakan tentang Naruto Senpai...."

Yugao menghela nafasnya kesal, sepertinya sahabatnya itu sudah menjadi budak cinta sejak berinteraksi dengan pangeran sekolah itu. "Buka ponsel pintarmu itu, dan cari di internet dengan kata kunci Namikaze."

Hinata buru-buru merogoh tas Selempang berwarna lavender itu, meraih ponsel sederhana merek negeri ginseng, ia mengutak-atik sejenak ponsel sederhana itu. Tiba-tiba wajahnya menunjukkan raut keterkejutan, "menteri pertahanan Jepang?" Hinata setengah percaya ketika ia mengetik nama klan Namikaze di website pencarian, nama yang keluar pertama kali adalah Namikaze Minato, menteri pertahanan Jepang.

Dan ketika ia membuka biodata sang menteri, disana tertera jelas, nama putera sang menteri, Namikaze Naruto.

Yugao mengangguk meyakinkan Hinata. "Dia juga ketua club' karate di sekolah kita, dan peraih medali emas untuk cabang karate tingkat provinsi, Hinata... Hinata, kau terlalu banyak memasak dan menjaga kantin, sampai tidak tahu nama menteri pertahanan Jepang yang sang tampan dan viral itu, ibunya adalah pengusaha kimono. Sudah cukup bisa kita pulang sekarang?"

Hinata mengangguk dengan senyum sumringah di bibirnya, 'entah kenapa, mengetahui segala tentang Naruto Senpai membuat hatiku merasa hangat....'

...

"Ohayou..." Suara manis itu menggema riang di kediaman sederhana itu, Hinata baru saja keluar dari dapur dengan satu panci sup hangat di tangannya, gadis itu nampak manis dengan apron berwarna putih yang melapisi seragam sekolahnya, kemeja sailor dengan perpaduan rok lipit bermotif kotak-kotak.

Hiashi baru saja keluar dari kamarnya, pria paruh baya mengenakan hakama hitam, dan sudah nampak rapi untuk memulai aktivitasnya. "Ohayou Hime...." Hiashi merentangkan tangannya agar dapat menerima pelukan dari Puteri kesayangannya itu.

Hinata meletakkan sup misso itu di atas meja pendek di ruang tamu mereka yang juga berfungsi menjadi meja makan, ia melepaskan sarung tangan yang membalut telapak tangannya dan berhamburan ke pelukan sang ayah. "Ohayou gozaimasu Tenno-sama...." Hinata memeluk erat orang tua satu-satunya yang ia miliki.

"Ya...ya jika kau adalah Hime-sama dan Tou-sama adalah Tenno-sama lalu aku ini apa?" Hanabi keluar dari kamarnya yang ia tempati bersama Hinata dengan wajah cemburu yang ditekuk.

"Hahahaha..." Hiashi dan Hinata sontak tertawa bersamaan melihat aksi cemburu Hanabi.

"Kemari..." Hinata merentangkan pelukannya, lalu mengajak sang adik bungsu berpelukan bersama.

"Apa dramanya sudah selesai..."

Pelukan ayah dan anak itu terlerai, suara si sulung Neji menginterupsi. "Aku punya berita baik untuk kalian..."

"Berita apa, Nii-san..." Hinata menghampiri Neji, lalu merangkul lengan sang kakak, "apa kau akan segera menikahi Tenten-nee..." Goda Hinata sambil memicingkan satu matanya.

"Neji, belum boleh menikah sebelum menyelesaikan kuliahnya." Suara Hiashi yang biasa terdengar hangat kini sedikit menegas.

"Tidak Tou-sama..." Neji berjalan menjauhi Hinata dan merangkul pundak sang ayah. "Aku akan membantumu memenuhi kebutuhan, sudah saatnya kau beristirahat sekarang, dan berita baiknya adalah, aku dan Tenten sudah mendapatkan izin untuk membuka usaha rice box di kantin Universitas Tokyo, dan besok kami sudah boleh berjualan."

"Neji-nii, bukankah kau lulus tes di universitas itu....?" Hinata bertanya seraya berjalan mendekat ke arah Neji, kakaknya itu baru saja lulus dari sekolah menengah atas swasta di Tokyo, beberapa bulan lalu, dan dia sudah dinyatakan sebagai penerima beasiswa di universitas terbaik di Jepang itu.

"Aku sudah menolaknya..." Neji mencoba tersenyum ikhlas menyampaikan keputusannya. Walaupun ia mendapatkan beasiswa ia masih harus menyetor separuh dari uang pembangunan pada kampus itu.

"Neji, tak perlu pikirkan biaya... Ayah akan menjual mobil-"

"Tidak ayah...." Neji menggenggam erat tangannya, "kau tak boleh menjual mobil itu, bagaimana kita akan berdagang dan mengantarmu kontrol kesehatanmu jika kau jual mobilnya, biarkan... Tak apa aku tak bisa kuliah, yang penting... " Neji merentangkan tangannya dan membawa dua adiknya kedalam rangkulannya. "Kalian berdua harus berdiri di podium aula Universitas Tokyo sebagai mahasiswa dengan lulusan cumlaud."

"Neji-nii....." Hinata dan Hanabi tak mampu menahan tangis mereka, kakak tertua mereka telah melakukan pengorbanan besar untuk mereka.

"Nii-san aku berjanji akan menjadi adik kebangganmu dan anak kebanggaan ayah...."

Hinata berjanji terlalu besar pada kakak dan ayahnya, ia bahkan tidak tahu bahwa rasa bangga itu kelak akan berubah menjadi kotoran yang mencoreng wajah keluarga ini.

...

Kepala indigonya menoleh ke kanan dan ke kiri, ia merasa canggung dan sedikit ketakutan, melihat orang-orang di sekitarnya menatap aneh dirinya yang sedang berjalan di lorong sekolah. Hinata saat ini bukan berada di gedung kelas beasiswa tempat ia biasa menimba ilmu, ia sedang berada di sarang harimau sekarang, ia berada di lantai tiga gedung kelas pensubsidi. Lantai di mana kelas tiga dari siswa kalangan atas berada.

Dia sudah datang lebih pagi dari biasanya, tapi entah mengapa di gedung ini tiap kelasnya sudah nampak ramai. Dengan memeluk kotak bento yang ia buat khusus untuk orang yang khusus pula, Hinata tetap berjalan pelan menyusuri lorong itu, kemana lagi? Ia sedang menuju kelas Naruto.

Hampir sepuluh menit ia berdiri di depan pintu kelas Naruto, tak ada tanda-tanda pemuda pirang jabrik itu lewat di pintu ini, kelas Naruto mulai ramai, beberapa tatapan menjijikkan pun sudah berulang kali Hinata terima, namun ia masih bertahan di tempat ini. Hingga kehadiran warna terang mencolok dari kejauhan menyilaukan matanya, Naruto berjalan di sepanjang lorong tak sendirian, di sampingnya ada Sai yang menyamakan langkahnya.

Safir biru Naruto memicing, ia mendapati pemandangan aneh dari kejauhan, seorang siswi dengan seragam tanpa blazer. Murid kelas beasiswa berani masuk ke dalam gedung kelas pensubsidi.

"Kau yang kemarin?" Tanya Naruto saat Hinata sudah berada di hadapannya. Sementara Sai tersenyum menyindir, pemuda pucat itu lalu berlalu masuk ke dalam kelas.

Hinata mengangguk cepat dan menyodorkan kotak terbungkus kain serbet di tangannya. "Naruto Senpai, mohon terima ucapan terimakasihku ini....."

Senyum hangat terpatri di bibir Naruto, dengan sangat sopan Naruto menerima bento itu. "Kau seharusnya tak perlu repot seperti ini... Apa kau membuatnya sendiri?"

Hinata mengangguk semangat menjawab pertanyaan Naruto.

Sedikit terharu, Naruto melihat kotak bento itu, belum pernah ada wanita yang memberikannya makanan seperti selain ibunya sendiri, bahkan Sakura, gadis yang selama ini ia cintai ini. Selama ini gadis-gadis centil yang memujanya di sekolah ini hanya memberikannya snack-snack yang bisa dengan muda dibeli di minimarket.

"Kau masuk ke gedung ini saat masih sepi...." Naruto mengedarkan pandangan safir birunya ke sepanjang lorong, gedung itu mulai ramai.

Mengangguk menjawab pertanyaan Naruto.

"Kau akan kesulitan keluar dari gedung ini, ayo ku antar ke gedung kelas beasiswa..." Tangan kekar Naruto mendarat sempurna pada bahu Hinata, pemuda itu merangkulnya, sepanjang lorong, bahkan sampai ke gedung tempat ia belajar.

Kupu-kupu seolah berterbangan di perut Hinata, pemuda itu begitu sopan padanya, dan sangat gentle, beberapa kali Naruto bertanya tentang dagangan Hinata yang dititipkan di kantin, Hinata hanya mampu menjawab singkat, pesona Naruto telah mencuri semua akal sehatnya.

...

"Hinata, Naruto Senpai memang terkenal ramah dan tidak pilih-pilih teman...." Baru saja Hinata duduk di kursinya, ia sudah mendapatkan ceramah dari Yugao. "Kau sama sekali bukan tipenya dia hanya mencintai Sakura Senpai dia hanya bersikap baik padamu, atau mungkin kasihan. Jadi kau jangan salah artikan sikap baiknya kepadamu..."

Hinata menghela nafas seraya meletakkan buku dan tempat pensilnya, sekolah memang geger dengan pemandangan yang baru saja terjadi. Namikaze Naruto, siswa dari kelas pensubsidi, ketua OSIS, ketua club' karate, baru saja mengantar siswa baru dari kelas Beasiswa. Ucapan Yugao seolah baru saja menariknya dari khayangan dari jatuh terduduk di bumi.

"Aku tahu diri Yugao-chan, aku juga tak akan mengambil kembali kotak bento itu, mulai sekarang, aku akan memperhatikan Naruto Senpai dari jauh saja. Bagiku itu sudah cukup." Hinata tersenyum getir, ini adalah kali terakhir ia berada dekat dengan Naruto, ia tak akan mengulanginya lagi. Ia cukup tahu diri, ia tak akan bertingkah macam-macam agar tetap bisa bersekolah disini, bagaimana pun Tokyo Senior High School adalah batu loncatan terbesarnya untuk masuk Tokyo University.

...

"Khe... Ternyata ada juga gadis yang bisa mengalihkan mu dari Sakura." Sai dengan mulut tanpa filternya langsung berkomentar ketika mereka sudah duduk di kantin, pemandangan yang aneh jika Naruto membawa bento, dan itu terjadi hari ini.

Naruto tersenyum tipis menanggapi sindiran Sai, ia kembali fokus pada kotak bento, melanjutkan santapannya pada onigiri yang dibentuk menyerupai wajahnya.

Sakura yang duduk di hadapan Naruto langsung penasaran dan menarik kotak itu, ia tersenyum saat melihat isi kotak itu. "Seorang gadis yang memberikannya untukmu.... Yang kemarin hampir di bully oleh Karin?"

Naruto mengangguk seraya menerima kembali kotak bento yang dikembalikan Sakura. "Aku hanya menganggapnya adik kecil... Tidak lebih."

"Oh ternyata aku salah, Sakura tetaplah yang terpenting di hatimu... Lihat bagaimana cara rubah ini mengelak." Lagi, mulut Sai bersuara asal tanpa filter, ia seolah tak menganggap kehadiran Sasuke, pria yang di cintai oleh Sakura ada di hadapannya.

"Jangan asal bicara Sai." Sakura nampak kesal dengan ocehan Sai. Ia melirik ke arah Sasuke yang nampak acuh menusuk kentang goreng dengan garpu.

"OPS, aku lupa, pujaan hatimu ada disini, Sakura." Sai mengangkat kedua tangannya tanda ia menyerah.

"Jadi bagaimana perkembangan hubungan kalian?" Naruto telah selesai memakan bekal dari Hinata, ia mulai membuka pertanyaan serius dengan sahabatnya ini.

"Tak ada perkembangan, aku sedang seleksi jalur khusus Tokyo University, jurusan kedokteran tidak semudah jurusan lain." Sakura mengalihkan pembicaraan.

"Sakura, bukankah kemarin saat pulang sekolah kau berencana menyatakan perasaanmu?" Lagi tanpa dosa mulut Sai mengeluarkan racunnya.

Sakura berdiri jengah, ia beranjak dari duduknya.

"Apa yang kau lakukan pada Sakura-chan, Teme?" Tanya Naruto dingin. Naruto yang biasa ceria itu tiba-tiba dingin jika menyangkut tentang Sakura yang disakiti.

"Urusai Dobe." Sasuke menyeruput jus tomatnya acuh.

"Semua yang menyangkut Sakura-chan adalah urusan ku, Uchiha!" Nada suara Naruto mulai meninggi dan itu berhasil membuat Sai menepuk pundak Naruto. "Katakan, apa kau menolak Sakura-chan!"

"CK .." Sasuke mendengus bosan, ia mulai jengah dengan pembicaraan ini. Tak mau buang energi atau membuat keributan, Sasuke memilih meninggalkan tempat duduknya.

"Kusso!" Naruto menggebrak meja kantin murka, ia berlari mengejar Sasuke keluar dari kantin. Disusul oleh Sai yang kini kembali harus menjadi penengah.

...

"Kau lihat Hinata, mereka bertengkar lagi...." Dari ke jauhan Yugao dan Hinata sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi di meja dimana Naruto dan sahabat satu stratanya duduk.

"Apa itu gara-gara Sakura Senpai lagi?" Tanya Hinata dengan nada prihatin. Dari cara Naruto murka tadi nampak bahwa pemuda itu sangat mengkhawatirkanSakura yang lebih dahulu meninggalkan mereka.

Yugao mengangguk yakin. "Masalah mereka hanya itu."

Kasihan Naruto Senpai.

...

"Teme, tunggu!" Naruto menarik kerah kemeja Sasuke ketika mereka sampai di pintu kelas, kelas itu masih kosong karena sebagian dari siswa masih berada di kantin atau taman, karena saat ini masih jam istirahat. "Katakan padaku apa kau menolak Sakura-chan?!"

"Aku tidak mencintainya Naruto, kau tahu itu." Sasuke melepaskan tangan Naruto yang bertengger pada kerah kemejanya.

"Kau tahu dia sangat mencintaimu..." Naruto berujar lirih.

"Jika kau begitu mencintainya dan tak mau melihatnya bersedih kenapa tidak kau saja yang menjadi kekasihnya." Jawab Sasuke dingin seraya membenarkan kerah kemejanya.

Naruto tersenyum getir seraya menunduk menatap ubin. "Aku ingin, sangat ingin, tapi dia tak menginkanku."

...

Sejak hari itu Hinata benar-benar menepati janjinya pada dirinya sendiri, ia hanya menatap dan memperhatikan Naruto dari jauh. Tak lebih, hari demi hari Hinata lalui dengan Naruto sebagai semangatnya, kendati hanya menatap dari jauh, hal itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Hinata.

Tapi ada yang berbeda beberapa hari ini, beberapa hari ini Hinata sering melihat Naruto masuk ke dalam perpustakaan, padahal selama beberapa bulan menjadi pemuja rahasia Naruto, tak sekalipun Hinata melihat Naruto masuk ke dalam perpustakaan.

Dan jawaban dari pertanyaan Hinata kini ia dapatkan, setelah kartu accses perpustakaannya tercetak, ia akhirnya bisa mengikuti Naruto masuk ke dalam perpustakaan, dan pemandangan yang ia dapati membuat hatinya bagai ditusuk duri.

"Sakura-chan, kau sejak tadi pagi berada disini, apa kau tak lapar...?" Naruto langsung duduk di samping Sakura yang duduk di depan rak penyimpanan buku kedokteran.

"Naruto, aku sedang belajar, bisa kau tak menggangguku..." Sakura tampak kesal dengan keberadaan Naruto yang selalu membuntutinya.

"Baik-baik.... Aku akan pergi Sakura-chan, tapi kau jangan lupa makan ya...." Naruto mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, satu kotak susu uht.

Hinata tersenyum getir. Naruto Senpai, sebegitu besarnya kah kau mencintai Sakura Senpai.

...

Hari demi hari, pekan demi pekan berganti, bulan demi bulan berganti, Hinata masih setia memperhatikan Naruto dari jauh. Menatapnya saat berlatih karate, atau saat Naruto berkumpul bersama para sahabatnya. Dari jauh bagi Hinata itu sudah menjadi kebahagiaannya tersendiri.

Hingga tanpa disadari tibalah mereka di penghujung tahun ajaran sekolah. Para siswa kelas tiga sedang mengikuti ujian kelulusan, dan Hinata, setiap pagi dan sore selalu menyempatkan diri ke kuil untuk berdoa, berdoa untuk kelulusan Naruto.

Seperti sore ini, Hinata baru saja merapalkan mantra, ia membuka matanya, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati siapa orang yang tengah bersujud di sampingnya di hadapan altar. Haruno Sakura, orang yang paling dicintai Naruto, pria pujaannya.

"Sakura...." Belum selesai pertanyaan Hinata tentang keberadaan Sakura disini, kini ia di kejutkan oleh kehadiran orang lain, Uchiha Sasuke berdiri di belakang Sakura. Pria itu bahkan tanpa malu memeluk Sakura dari belakang.

Hinata buru-buru beranjak dari duduk bersimpuhnya, ia bersembunyi di balik tirai yang berada di sisi altar. Sedikit ide gila muncul di benaknya, ia ingin menguping pembicaraan Sasuke dan Sakura.

"Lepaskan aku Sasuke-kun..." Sakura berusaha keras melepaskan pelukan Sasuke.

"Tidak, sebelum kau memberi alasan, kenapa beberapa bulan ini kau bersikap acuh padaku."

"Khe... Kau lupa Uchiha-san. Kau sudah menolak pernyataan cintaku. Apa gunanya aku memperhatikanmu."

"Sakura, dengarkan aku...."

Hinata menutup mulutnya ia melihat Sasuke memutar tubuh Sakura, mereka seolah tak takut jika dipergoki oleh pendeta berpelukan di kuil. "Demi Kami-sama, kita sedang berada di kuil sekarang, hanya kau yang aku cintai sejak dulu."

Tak hanya Sakura, Hinata yang berada di dalam persembunyian pun terperanjat dengan pengakuan Sasuke.

"Lalu kenapa kau menolak ku...." Air mata mulai merembes dari mata giok Sakura.

"Ini demi Naruto, Sakura..... Kau tahu sejak kecil kita sudah berjanji untuk tidak saling mencintai.... Aku memberi kesempatan pada Naruto untuk mendekatimu..."

"Tapi sejak dulu hanya kau yang aku cintai Sasuke-kun.... Kita harus memberi tahu Naruto mengenai ini, dia akan mengerti, aku yakin itu."

"Setelah ujian kelulusan selesai, aku berjanji, akan mengumumkan pada Naruto, bahwa kau adalah tunanganku. Setelah kelulusan aku akan melamarmu, dan saat kau memulai pendidikan co.ast mu kita akan menikah... Aku janji...."

Air mata Hinata mengalir tanpa henti, Sasuke dan Sakura berpelukan di hadapannya. Mereka membohongi Naruto, dan tak lama lagi Naruto akan mengetahui kenyataan menyesakkan ini.

...

Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan siswa kelas tiga, Hinata sebagai siswa kelas satu seharusnya diliburkan sekolah hari ini, tapi hari ini ia tetap datang ke sekolah. Tujuannya satu, ia ingin memastikan keadaan Naruto baik-baik saja. Hari ini Sakura dan Sasuke akan menyampaikan kebenaran pada Naruto, kebenaran bahwa mereka berdua saling mencintai.

Dan sore ini, di taman belakang sekolah, Hinata akhirnya menemukan keberadaan Naruto, bersama kedua sahabatnya. Mereka bertiga duduk di kursi yang terbuat dari potongan kayu utuh saling berhadapan, Hinata berada di jarak yang cukup dekat untuk dapat menguping, namun juga tak terlihat karena dia berada di balik deretan bunga matahari yang cukup tinggi.

...

"Jadi begitu ya..." Suara Naruto terdengar sayu. Hinata datang terlambat, tampaknya Sakura dan Sasuke sudah menyampaikan semuanya.

"Dobe, bukan maksudku untuk...."

"Teme, aku titipkan Sakura-chan padamu, kau tak perlu takut, aku, kau dan Sakura-chan, kita akan bersahabat seperti dulu... Tak ada yang berubah, hanya saja...."

Air mata berlinangan dari mata Hinata, ia melihat Naruto menunduk, seolah tengah menahan luapan perasaannya. Ia kembali menegakkan kepala pirangnya, lalu deretan gigi putihnya muncul bersamaan senyum hangatnya. "Teme, Sakura-chan selamat ya....."

Hinata tersenyum lega, Naruto bisa menerima semua kenyataan itu dengan lapang dada, ia masih bisa tersenyum. Hinata menatap langit yang mulai menjingga, ia harus segera pulang kerumah menyiapkan makan malam untuk keluarganya. Jika Naruto Senpai saja bisa bahagia, lalu kenapa aku harus bersedih.

...

Petang telah menyapa langit Tokyo, sinar jingga mulai pudar berganti dengan warna pekat pudar menuju malam. Di kediaman sederhana keluarga Hyuuga, Hinata baru saja mematikan kompor gas, ia baru saja selesai memasak kari untuk makan malam. Mata bulannya meneliti menyusuri tiap sudut dapur sederhana itu ia mencari sesuatu.

"Mangkuk yang baru saja Neji-nii beli.... Hanabi belum membawanya ke dapur, kemana saja anak itu..... Hanabi.... Hanabi...." Hinata berusaha memanggil adiknya itu, namun tak ada sahutan, padahal di ruang tamu mereka suara televisi menyala terdengar riuh.

Hinata keluar dari dapur dan mendapati Ayah, Kakak dan adiknya duduk di depan televisi dengan sangat fokus. "Hanabi, dimana mangkuk yang baru Neji-nii beli...."

Tak ada yang bergeming, bahkan Hanabi yang ia panggil pun tak memalingkan matanya dari televisi dua puluh satu inci itu.

"Hanabi, kau mendengarku tidak!" Hinata mulai kesal sang adik sama sekali tak menghiraukannya, bahkan ayah dan kakaknya pun seolah tak berkedip menatap televisi.

"Neji-nii, Tou-sama, sebenarnya apa yang kalian tonton." Hinata mulai kesal dengan keluarganya yang tak merespon.

"Hinata bisa pelankan suaramu, kami sedang melihat berita penting." Neji orang pertama yang buka mulut.

"Tokyo Air lines yang terbang menuju Hawai, jatuh di tengah lautan Atlantik." Kini Hiashi yang menyahut.

"Dan salah satu penumpangnya adalah, menteri pertahanan kita, Namikaze Minato, bersama istrinya Namikaze Kushina." Dan sahutan terakhir dari mulut Hanabi, berhasil membuat lutut Hinata melemas.

...

Sejak diumumkan berita pesawat yang ditumpangi oleh orang tua Naruto jatuh di lautan Atlantik bersamaan dengan pemberitahuan hubungan Sasuke dan Sakura, Hinata tak pernah lagi melihat Naruto di sekolah. Di saat prom dimana semua siswa kelas tiga berpesta sebelum berpisah, Naruto tidak nampak disana.

Bahkan di hari wisuda dan pengambilan ijazah pun Hinata tak kunjung mendapati keberadaan Naruto, ia ingin sekali bertemu dan melipur hati pemuda itu, namun apa daya. Ia dan Naruto bagai langit dan bumi, tak satu pun informasi pribadi tentang alamat dan nomor ponsel Naruto ia dapatkan. Hinata memang bukan siapa-siapa di sekolah ini, ia hanya siswa kelas beasiswa yang tidak memiliki akses apapun untuk mengetahui data siswa di sekolah ini. Terlebih Naruto, siswa dari kelas pensubsidi yang tentunya bukan orang sembarangan.

Bahkan hingga saat di tahun ke tiga ia bersekolah, hingga saat kelulusannya Hinata tak kunjung mengetahui kabar tentang pujaannya itu.

つづく
Tsudzuku

Dan di chapter depanlah kalian bisa membaca Naruto menjelma menjadi Pucek Boyz.... Hahahah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top