Une : Sucette
Cerita ini hanya fiktif belaka, harap kebijaksanaan pembaca dalam memahami isi cerita.
| Fantasy/ Mythology|
| Red Velvet | TVXQ | Jessica and Krystal Jung | BTS |
and another idol,
Enjoy!
*****
"A journey of a thousand miles begins with a single step."
- Lao Tzu -
.
.
.
"Namamu?"
Anak berumur lima belas tahun itu menatap lawan bicaranya dengan pandangan ragu. Bagaimana pun, wajah Asia amat jarang ia temui akhir-akhir ini. Sekarang seorang pria dengan senyum lebar berjongkok di depannya sambil mengulurkan setangkai lolipop. Dia juga bertanya dengan bahasa Korea yang fasih. Terdengar aneh bagi telinganya yang sudah terbiasa mendengar bahasa Prancis.
"Jung Yunho. Apa kau orang Korea?" Yunho tidak tahan untuk tidak bertanya.
Pria itu terkekeh halus, membuat Yunho sejenak terpana dengan tawanya yang terdengar berkelas. Yunho mengamati pakaian pria itu, dan sadar betapa mahal setelan yang dikenakan pria di depannya hanya dengan melihatnya. Jelas memiliki tingkatan yang amat berbeda dengan mantel lusuh yang Yunho kenakan sekarang.
"Marga kita sama." Pria itu rupanya sudah berhenti tertawa. Ia menatap Yunho dengan pandangan teduh, membuat anak itu merasa dirinya hanyut dalam dua bola mata berwarna coklat madu di depannya. "Yunho, apa kau butuh teman?"
Pertanyaan itu menyentak kesadaran Yunho. Dia menggeleng. "Aku punya dua saudari," jawabnya.
"Kau tidak mau teman laki-laki? Maksudku, bukankah lebih menyenangkan jika mempunyai sahabat laki-laki? Kau bisa menjadikannya saudaramu."
"Tapi, aku tidak punya apa-apa untuk membuatnya bahagia." Yunho memasukkan tangannya ke dalam saku mantel, merasa lega begitu menemukan roti yang tadi didapatkannya masih aman. Sooyeon dan Soojung pasti amat senang dengan makanan yang Yunho bawa.
"Aku punya roti yang lebih baik." Pria di depannya memasukkan setangkai lolipop yang dari tadi dipegangnya kedalam saku. Tangannya merogoh saku yang lainnya dan mengeluarkan sebungkus roti. "Lebih baik ketimbang makanan sisa, bukan?"
Yunho menerimanya dengan ragu-ragu. Ia bisa mencium aroma roti yang baru dipanggang, bungkusan kecil itu juga terasa hangat. "Terima kasih." Yunho membungkuk sekilas, tidak bisa menghilangkan kebiasaan Korea yang melekat pada dirinya meski ia tengah di tanah negara lain. Namun, bukankah pria di depannya juga orang Korea?
"Aku kenal seorang anak, ia juga orang Korea. Kau akan senang bertemu dengannya."
"Benarkah?"
Pria di depan Yunho terkekeh melihat ekspresi berbinar anak di depannya. Tangannya mengusap kepala Yunho dengan lembut. "Tapi, kau harus tidur jika ingin bertemu dengannya." Pria itu menyodorkan lolipopnya lagi.
Kali ini Yunho menerimanya.
Ia tidak sadar telah membuat langkah kecil yang berdampak besar. Sebuah kesalahan fatal. Satu langkah yang akan membawanya pada petualangan penuh kutukan.
***
Paris, France.
Yunho membuka matanya saat suara dering telepon yang berisik mengacaukan alam mimpinya. Pria itu mencabut selang infus dari tangan kirinya dan mengambil tongkat yang ia letakkan di samping sofa. Yunho menumpukan berat kaki kanannya yang patah pada tongkat, dan berjalan tertatih dari sofa menuju meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia meraih ponsel yang terletak di atas meja dan menatap layarnya.
5 missed calls from Soojung.
Yunho mendudukkan dirinya di tepi ranjang, menyandarkan tongkat pada meja dan menghubungi nomor Soojung. Wanita itu langsung menjawab panggilannya di dering pertama.
"Aku baik-baik saja, ada hal yang penting kenapa kau menghubungiku?" Yunho langsung menyela begitu Soojung baru memanggilnya, ia sudah hafal betul dengan rentetan pertanyaan yang akan diberikan Soojung tiap kali mereka berhubungan lewat telepon. Soojung yang terkenal dingin akan berubah menjadi begitu cerewet bila berhubungan dengan keluarganya.
"Oppa, aku menemukan mereka."
Satu kalimat dari Soojung mampu membuat Yunho menahan napasnya. Pria itu diserang sekelebat perasaan senang yang membuncah. Yunho tersentak begitu suara cemas Soojung mengagetkannya. Pria yang sudah memasuki usia kepala tiga itu menghela napas lega.
"Aku baik-baik saja, Soojung," katanya untuk meredam pertanyaan cerewet perempuan di ujung telepon. Yunho menyugar rambut hitamnya, berfikir keras.
"Bisakah kau membawa mereka untuk makan malam bersamaku?"
Yunho hanya diam saat Soojung menyatakan kesanggupannya akan permintaan Yunho. Pria itu menjauhkan telepon dari telinganya begitu Soojung mengatakan ia harus mengakhiri panggilan dan mengucapkan nasehat menjaga diri yang sudah ia hafal luar kepala. Yunho menatap ke luar jendela, yang berada tak jauh dari sofa tunggal tempatnya tertidur tadi. Hujan deras membuat pemandangan di luar terlihat buram, ia hanya bisa melihat aliran air yang menyapa kaca jendelanya.
Yunho membayangkan Changmin yang entah di mana, dan Sooyeon yang mungkin sedang kesepian dengan secangkir teh hangat di tangan. Air mata Yunho lolos begitu saja, menyuarakan perih yang sudah lama mendiami hatinya.
Apa semua ini akan segera berhenti?
***
Seoul, South Korea.
"Pacarmu?"
Pertanyaan itu terlontar begitu Soojung meletakkan ponselnya ke dalam tas. Wanita berambut coklat pendek itu menatap temannya yang menurunkan masker dan mulai sibuk menyantap makanan yang baru datang.
"Itu Yunho Oppa, aku yakin kau tahu aku bicara dengan siapa," jawab Soojung dengan nada datar. Ia mengambil cangkir teh di atas meja dan mengamati cara makan wanita di depannya. "Kau tak berubah, Kang. Masih saja menjadi pecinta makanan." Soojung menyesap minumannya dengan tenang.
Kang Seulgi terkekeh setelah ia menelan makanannya. Wanita yang menutupi rambutnya dengan topi itu menunjuk Soojung dengan garpunya. "Kau juga tidak berubah, Jung," katanya. "Bagaimana kabar Jung yang lainnya?"
Suasana hati Soojung langsung memburuk begitu ia mendengar pertanyaan Seulgi yang sama sekali tidak bermaksud buruk. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan bantingan pelan. "Mereka tidak baik," kata Soojung sambil membayangkan keadaan Yunho, juga Sooyeon dan Changmin. Ia lalu menatap Seulgi yang ternyata berhenti makan, malah menatap Soojung dengan kedua mata sipitnya. "Aku butuh bantuanmu, Seul. Tapi kau mungkin akan berada dalam keadaan yang berbahaya."
Seulgi berkedip sekali, lalu kembali menunduk dan melanjutkan acara makannya. "Apa pun yang telah terjadi, tampaknya kau benar-benar mengharapkanku untuk membantumu." Seulgi memotong steak di piringnya menjadi potongan kecil. "Kuharap kau bersedia jika aku mengisi perutku terlebih dahulu, aku tidak ingin mendengar cerita sedih dengan perut lapar."
Soojung mengigit bibir bawahnya, mengamati Seulgi yang kini sibuk mengunyah potongan daging di mulutnya. Wanita berusia dua puluh enam tahun itu sadar betul ia tengah mengumpankan sahabat baiknya ke neraka.
"Kita akan ke Paris, dan kau akan bertemu yang lainnya. Aku butuh bantuanmu untuk hal yang benar-benar mendesak."
"Krystal, kenapa kau menangis?"
Soojung tersentak, meraba pipinya yang basah. Ia menatap wajah khawatir Seulgi, hatinya makin terasa sakit.
"Tal, bisakah kau berhenti membuatku takut dengan air matamu itu?" Seulgi berujar dengan nada polos.
Tangis Soojung makin merebak. "Kenapa harus kau? Kenapa harus Sooyeon Eonni dan Changmin Oppa? Kenapa bukan aku?" katanya di sela-sela isakannya yang makin mengeras.
Seulgi menatap sahabatnya dengan pandangan bingung, beberapa pengunjung dan pelayan melirik ke arah mereka. Seulgi tidak peduli pada hal itu, ia hanya mengkhawatirkan Soojung. Wanita itu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Soojung, kemudian memeluk sahabat baiknya di bangku sekolah itu dengan dekapan erat.
"Apa kau mengalami masa-masa sulit selama kita tidak bertemu?" tanyanya sambil mengelus rambut Soojung.
"Mimpi burukku terwujudkan," jawab Soojung sambil terisak. "Itu mengerikan, dan tambah mengerikan karena aku butuh kau untuk memperbaikinya."
Di detik itu, Seulgi merasa mimpi buruknya sedang terbangun perlahan. Ia makin mengeratkan pelukannya pada Soojung yang kini terguncang hebat. Ia bisa merasakan betapa tertekannya Soojung dengan apa pun yang tengah menimpa perempuan malang itu.
Seulgi pikir, ia akan segera merasakan hal itu. Terlebih saat bayangan seorang pria yang menyeringai melintas di pikirannya.
***
Republic of Korea Armed Forces Headquarters, Seoul, South Korea.
"Kim!"
Kim Yerim menoleh begitu mendengar suara yang familiar di telinganya. Wanita berambut pink itu menatap rekannya yang berlari dari ujung lorong. Ia menunggu hingga pemuda berbadan tegap dengan kulit eksotis itu sampai di depannya.
"Bukankah kau juga seorang Kim, Sersan? Dan tak bisakah kau memanggilku dengan sopan saat kita sedang dalam jam kerja?" tanyanya saat tentara dengan badge nama Kim Mingyu itu berdiri di depannya.
Mingyu mengabaikan sindiran Yerim, ia malah menatap lekat-lekat kedua manik coklat di depannya. "Apa kau melakukan kesalahan, Yer?" Wajah tampannya amat dekat dengan Yerim sekarang.
Yerim mundur satu langkah dan mengerutkan alisnya. Namun, wanita bermarga Kim itu tidak sempat bertanya karena Mingyu sudah mencerocos duluan. "Astaga, Yerim. Kau itu anggota rekrutan, bahkan tidak seharusnya kau masuk ke dalam militer dengan tinggi badan seperti itu. Kalau saja kemampuanmu tidak—"
"Apa mulutmu sudah bosan terbuka? Aku bisa membuatnya menutup kalau kau mau." Yerim menyela dengan ancaman, menatap Mingyu dengan tajam meski ia harus mendongak.
Mingyu merapatkan bibir, sadar kalau wanita di depannya tidak sedang bercanda. Mulut wanita itu selalu saja sepedas bantingannya saat mereka latihan fisik di atas matras. Oh, membayangkan bantingan kejam Yerim membuat Mingyu merinding. Dia lebih suka Kim Yerim yang normal seperti ketika mereka minum bersama rekan lainnya saat sedang bebas tugas.
"Yer, aku tahu kau dan Joy istimewa. Maksudku, kalian dark soldier." Mingyu menjelaskan, melirik rambut pink Yerim yang dikuncir satu. "Lihat rambutmu, kau bahkan boleh berpenampilan seperti itu disaat kami harus betah dengan potongan rambut pendek dan tampilan kaku." Mingyu mengucapkannya dengan nada iri yang dibuat-buat terlalu jelas.
"Apa kau sudah selesai mengeluh?"
"Oke. Aku dengar kau dipanggil Komandan. Kau tidak membuat kesalahan kan?"
Yerim terdiam mendengar nada khawatir Mingyu. "Apa firasatmu buruk? Karena aku juga merasa begitu," katanya.
"Sangat! Aku seperti akan melepasmu ke medan perang paling berbahaya di dunia, Kim. Meski kau pendek dan mempunyai kepribadian ganda, aku tidak akan suka jika terjadi sesuatu yang buruk padamu."
"Aku akan baik-baik saja, Oppa." Yerim memberikan senyuman manisnya pada Mingyu. Wanita cantik itu menatap Minggu, salah satu rekan tentara yang paling dekat dengannya dengan sorot teguh.
Mingyu terdiam, mengamati Yerim dengan pandangan penuh makna. Pemuda Kim itu mengangkat tangannya dan memberi gestur hormat ala tentara. "Kembalilah dengan selamat, Kapten!" katanya tegas.
Yerim terkekeh melihat tingkah Mingyu. Wanita itu membalas hormatnya sekilas. "Jaga dirimu." Ia berbalik, dan mulai berjalan menuju ruangan komandan. Perasaan mendung yang sebelumnya sempat menggelayuti benak Yerim sirna seiring langkah kakinya yang semakin menjauh dari Mingyu.
Bicara dengan pria itu selalu berhasil membuat Yerim merasa tenang.
***
Saat membuka ruangan, Yerim disambut dengan pemandangan seorang wanita yang tengah memperhatikan kukunya. Ia kelihatan santai dengan baju lengan pendek tanpa lengan dan celana panjang yang membungkus kaki jenjangnya. Wanita itu tidak menoleh sama sekali ketika Yerim mendudukkan diri di depannya, tetapi Yerim yakin kalau Sooyoung menyadari kedatangannya.
Tidak mungkin tidak.
Lagipula, secuek apa pun Park Sooyoung terlihat, dia punya perhatian yang jeli akan keadaan di sekelilingnya.
"Apa kau sudah mengucapkan perpisahan dengan cowokmu, Kim?" Wanita berambut hitam panjang itu bertanya tanpa menatap Yerim.
"Mingyu bukan cowokku, urus saja kukumu dan Kapten Yok yang tidak menghubungimu itu, Park." Yerim membalas pedas, menyilangkan kaki kanannya dengan gerakan acuh.
Sooyoung mendengus, memusatkan atensi pada Yerim sepenuhnya. "Bukankah aku sudah mengatakan kalau Sung-fckn-Jae bukanlah nama yang akan kita bicarakan di waktu kerja?" Sooyoung sangat tidak suka dengan kalimat pedas Yerim yang ia akui benar adanya. "Sungjae tidak menghubungiku karena dia sibuk dengan misinya di Timur Tengah. Aku akan memotong mayatnya jika dia kembali padaku dalam keadaan mati."
Yerim bergidik tak peduli. "Kejam sekali. Potongan baru?" Ia melirik poni Sooyoung yang dipotong pendek. "Apa kau mengganti gaya rambut secara permanen?" tanyanya tertarik.
Sooyoung memegang ujung rambutnya. "Aku menonton drama tentang tentara, dan tentara wanita disana memiliki gaya rambut dengan potongan pendek. Karena aku tentara, kupikir aku harus mengikuti jejaknya." Sooyoung mengendikkan bahu. "Aku hanya berusaha menjadi tentara yang baik."
Yerim memutar bola matanya. "Kau hanya memotong ponimu, Joy," katanya dengan nada bosan. Ia tidak bisa mengerti dengan pola pikir aneh wanita bermarga Park itu.
Sooyoung terkekeh, agak menertawai dirinya sendiri. "Aku sebenarnya ingin mengecat rambutku. Hijau tidak buruk, bukan?" Ia merapikan poni ratanya.
Yerim langsung membayangkan Sooyoung dengan warna rambut hijau. Wanita cantik itu mengangguk pelan. "Itu cukup bagus, akan sangat membantu jika kau mempunyai misi di hutan."
Sooyoung tampak tidak setuju, ia merengut. "Aku cemas jika tentaraku sendiri akan menebas rambutku karena mereka mengiranya semak belukar. Rambutku akan kembali merah dengan darahku sendiri."
Yerim bergidik ngilu, humor Sooyoung kadang sulit dimengerti. "Kau dan mulutmu butuh saringan, Park. Yang benar saja."
Oh, Yerim harus mengatakan kalimat itu pada dirinya sendiri.
"Kau dan rambut pink itu ingin apa, Yer? Kau sedang syuting menjadi peri atau bagaimana?"
"Bisakah kita berhenti membahas topik yang rasis? Kau tidak boleh bertingkah seperti itu, Park."
"Kau yang mulai duluan, Kim. Jangan mengajariku soal etika karena aku bukan anak buahmu."
"Lebih tepatnya karena kita tidak punya etika."
"Oh, terkutuklah diri kita."
Keduanya tergelak, mengisi ruangan kosong itu dengan tawa halus mereka. Pembicaraan terus berlanjut hingga ke masalah pakaian dan hal yang berbau wanita lainnya. Sooyoung atau pun Yerim tidak peduli ketika mereka tengah bergosip di ruangan komandan. Mereka sibuk bicara sampai suara pintu terbuka terdengar bersamaan dengan masuknya dua orang pria ke dalam ruangan itu. Sooyoung dan Yerim langsung berhenti bicara dan menatap keduanya dengan pandangan ingin tahu.
"Siapa pria tampan di sampingmu, Komandan?" Sooyoung bertanya pada Taecyeon yang baru saja duduk di kursinya, melirik pria bersetelan jas abu-abu yang datang bersama Taecyeon.
"Kim Junmyeon, Nona." Pria berkulit putih susu itu tersenyum manis sambil mendudukkan dirinya di kursi paling ujung. Berhadapan dengan Taecyeon yang mengukuhkan posisi sebagai pemilik ruangan.
"Dia seorang pengusaha." Ok Taecyeon menjelaskan. "Mereka membutuhkan kalian untuk suatu hal."
"Apa kami akan menjadi bodyguard? Itu sangat tidak asik," sela Yerim. Yerim bosan dengan misi melindungi seseorang, itu terlalu biasa. Ia tipe yang lebih suka memburu ketimbang diburu.
"Bukan bodyguard, tapi misi ini bisa membunuhmu, Nona." Junmyeon menjelaskan dengan nada pelan, dia paham keengganan Yerim. "Karena itulah, kami butuh yang terbaik dalam bidangnya."
"Terima kasih untuk pujian tidak langsungnya, Tuan Tampan. Tapi semua misi kami berpotensi membunuh," pungkas Sooyoung. Sooyoung menoleh pada Yerim sekilas, lalu kembali memandang Junmyeon dengan senyum lebarnya. "Apa yang membuatmu yakin kami akan menerima misi ini?"
"Karena yang satu ini sangat berbeda." Junmyeon menyeringai, memberi getaran aneh pada kedua tentara wanita yang melihatnya. "Ini sebuah tantangan, percayalah kalau kalian tidak akan kecewa dengan tugas ini."
Taecyeon mendengus saat melihat Yerim dan Sooyoung mulai menunjukkan minat pada apa yang dikatakan Junmyeon. Dua tentara kebanggaannya itu selalu tertarik pada misi yang mempunyai tantangan berat.
Dasar anak-anak kelebihan adrenalin.
"Perbedaan yang bagaimana?"
Oh, Taecyeon bersyukur Yerim masih mau bertanya dan bukannya langsung menerima.
Junmyeon mengamati Yerim. "Apa kau percaya pada hal mistis, Nona?" Junmyeon justru melemparkan pertanyaan lain.
Yerim mengerutkan kening, bayangan sosok misterius tiba-tiba melintas di pikirannya. "Seperti mimpi berturut-turut tentang pria aneh yang memakai masquarade? Apa itu termasuk hal mistis?"
"Apa dia mengundangmu ke perjamuannya? Aku tidak mau karena dia menutupi wajahnya. Siapa tahu dia punya penyakit menular atau pemburu berantai yang berniat memutilasiku," celetuk Sooyoung. Sooyoung menaikkan alis pada Yerim yang tampak terperangah. "Apa?"
"Ini aneh karena kita punya mimpi yang persis sama, Park." Yerim benar-benar heran. Bagaimana Sooyoung bisa memiliki mimpi yang sama persis dengan Yerim?
Sooyoung sendiri terdiam, berusaha mencari kemungkinan apa pun yang bisa menjawab keheranan Yerim barusan. Jika memang persis, itu terlalu kebetulan untuk memiliki mimpi yang sama dengan Yerim.
"Jadi, dengan fakta barusan, apakah kalian percaya pada hal mistis?" Junmyeon kembali bertanya sementara Taecyeon terpaku dengan apa yang barusan dikatakan kedua tentaranya. Kelihatannya dia sendiri bahkan tidak punya kuasa untuk menolak misi ini, mereka berdua benar-benar terhubung. Padahal, Taecyeon hanya ingin memastikan kalau yang dikatakan Junmyeon itu salah, tapi tampaknya pengusaha itu benar.
"Aku percaya pada hal yang bisa kupukul," jawab Sooyoung. Ia langsung menaikkan alis begitu melihat ekspresi Junmyeon tidak berubah. Rupanya pria itu serius dengan ucapannya. "Baiklah, mari kita lihat apa aku dan Yerim bisa memukul hantu."
Yerim terkekeh dengan humor Sooyoung, namun tidak dengan Taecyeon atau pun Junmyeon. Keduanya tidak bisa tertawa saat mereka sadar betul betapa mengerikan hal yang akan dihadapi kedua wanita itu. Kedua wanita itu baru saja melangkah menuju gerbang kematian.
"Tapi aku ingin gajiku dan Joy dinaikkan. Menjadi pemburu hantu bukanlah hal yang bisa dilakukan setiap orang."
***
University of Cambridge, Cambridge, England, United Kingdom.
"Tunggu sebentar, Profesor Son!"
Panggilan dalam bahasa Korea itu membuat Seungwan menoleh, mendapati Kim Namjoon yang tengah menerobos merumunan mahasiswa dan mahasiswi yang bersiap meninggalkan ruangan. Wanita itu menunggu Namjoon yang masih berusaha melewati kumpulan mahasiswa dan juga bangku-bangku yang disusun rapi.
"Kau juga mengikuti kelasku, Profesor Kim?" Seungwan bertanya saat Namjoon sudah sampai di depannya. Dia mengamati penampilan Namjoon yang tak banyak berubah.
Masih saja eksentrik.
Tidak heran sih kalau beberapa orang memperhatikan mereka. Namjoon terlalu menarik perhatian dengan rambut pirang platinum dan cincin-cincin besar yang menghiasi separuh jemarinya. Setidaknya, pria itu berpakaian kasual dan bukannya pakaian kebesaran Kaisar Dinasti Ming.
Pria bertubuh atletis itu merapikan letak kacamatanya yang sedikit berantakan. "Aku punya hal yang penting untuk dibicarakan, bisakah kita mencari tempat yang lain?"
Seungwan menatap Namjoon sebentar, menyadari bahwa dia benar-benar sedang butuh bicara dengannya.
"Ikuti aku."
Disinilah Seungwan sekarang, duduk berhadapan dengan Kim Namjoon di ruangan Seungwan. Namjoon tampak gelisah karena pria itu terus meremas gelas kopinya sedari tadi. Seungwan berdoa semoga Namjoon tidak meremukkannya. Orang itu sangat berbakat dalam menghancurkan sesuatu.
"Apa kabar?"
Pertanyaan tak penting, Seungwan paham kalau Namjoon sedang menyusun kalimatnya. Namun, dia sendiri tidak punya banyak waktu. "Nams, aku harus segera kembali ke lab dan meneliti penemuan terbaruku. Kau tahu bukan? Aku sedang meneliti jejak yang kutemukan di Yunani."
"Aku paham Wen, aku juga seorang arkeolog kalau kau butuh diingatkan." Namjoon terkekeh hingga kedua matanya menyipit.
"Karena kau paham, Nam. Aku kesini hanya untuk menghadiri kelasku yang penting, dan maaf saja kalau kau tak cukup penting untuk kuberi waktu luangku."
"Mulutmu masih seperti itu ya." Namjoon menenggak minuman yang sedari tadi hanya diamatinya. Ia agak kecewa begitu sadar kalau kopinya mulai dingin. Rupanya ia memang mengulur terlalu banyak waktu hingga kopinya mendingin.
"Namjoon, apa ini sangat penting?" Seungwan mulai tidak nyaman dengan ekspresi Namjoon. Pria itu kelihatan tengah sibuk berpikir, dan Seungwan punya firasat buruk soal kemungkinan tentang apa yang tengah Kim Namjoon pikirkan. Temannya itu bukan tipe paranoid, dia memiliki kendali emosi yang baik. Jadi, apa yang membuat seorang Kim Namjoon berubah kacau seperti ini?
"Ini sangat penting, Wen." Namjoon meraih tas kerjanya, mengeluarkan beberapa dokumen usang yang sudah dilapisi plastik pelindung. Ia memberikannya pada Seungwan yang langsung memeriksanya.
Seungwan mengambil kacamatanya yang berada di atas meja dan membaca tulisan di atas kertas. "Kau menemukan dokumen ini dimana? Prancis?" Dia bertanya sambil terus membaca.
"Ini bahasa Prancis Kuno." Seungwan bergumam.
Apa yang akan kuceritakan adalah sebuah rahasia. Jika kau tidak mengalami apa yang akan aku ceritakan nanti, maka kau harus berjanji untuk menjahit kedua bibirmu rapat-rapat. Namun, jika kau mengalaminya, maka aku dengan tulus mengatakan;
Aku bersimpati untukmu, kawan.
Yang akan kuceritakan adalah sebuah kutukan, lebih tepatnya kutukan mimpi. Dalam negeri yang damai, beberapa tempat menyimpan rahasia besar yang tidak boleh dikuak. Tentang mereka yang bisa menjebak manusia ke dalam labirin mimpi. Kalau kau kebetulan terjebak dalam tempat itu, kau takkan bisa keluar kecuali mengikuti permainan sang Pencipta Mimpi.
Suara benda jatuh mengalihkan perhatian keduanya, Seungwan dan Namjoon sama-sama menatap buku tebal yang baru saja terjun dari rak.
Seungwan menahan napas sejenak, "Apa kita sedang syuting film horor?" Seungwan melepaskan pandangannya dari buku yang tergeletak di atas lantai. Wanita itu menunduk, menatap kertas di tangannya. "Aku punya firasat hal yang baru kubaca adalah penyebab dari kejadian barusan."
"Kau harus melanjutkannya."
Wanita berambut pendek itu mengintip Namjoon dari balik poninya yang menutupi mata. Pria itu memasang wajah serius yang sering dilihat Seungwan saat sedang bekerja. Seungwan menghela napas, mengusir sesak yang tiba-tiba mengikat dadanya. Ia membaca lembar selanjutnya dengan perasaan berdebar.
Sang Pencipta Mimpi adalah tuan rumah pesta perjamuan beracun, para tamu tidak boleh pergi kecuali mereka bersedia mengorbankan salah satu dari mereka untuk terjebak dalam ruang mimpi.
Selamanya.
Ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu.
Mimpimu, darinya.
Jiwamu, miliknya.
Seungwan berhenti membaca dan meletakkan kertas itu di atas meja, merasa aneh seketika. Seungwan berani berteriak kalau sekarang ia tengah merinding. Dia menatap Namjoon, menuntut penjelasan dari temannya itu.
"Dari mana kau mendapat kertas ini?"
"Jung Soojung, kau mungkin mengenalnya sebagai Krystal. Model yang juga saudari si Kaisar Bisnis, Jung Yunho."
Seungwan menghela napas. "Jika ini mimpi, bukankah itu bisa menjadi semacam lucid dream*? Mungkin saja waktu itu orang-orang belum menemukan fakta tentang lucid dream dan secara tak sengaja menciptakan mimpi buruk mereka sendiri."
"Percaya padaku, ini lebih dari sekadar lucid dream, kau harus benar-benar melihatnya sendiri supaya percaya."
"Baiklah, dengan pekerjaanku dan apa yang pernah kita alami sebelumnya, ini tidak kedengaran aneh." Ucapan Seungwan memicu tawa singkat di antara mereka. "Aneh rasanya menganggap hal yang tidak masuk akal sebagai hal biasa."
"Aku juga pernah mendengar yang agak mirip. Tentang makhluk yang memakan nyawa manusia lewat mimpi. Dia akan memberimu mimpi paling indah, membuatmu tidak ingin bangun dan memakan jiwamu. Lalu kau mati dalam tidurmu yang damai." Namjoon merasa tercekik dengan ucapannya sendiri. "Lalu, ada Oneiroi. Morfeus, Fobetor, Fantatos. Dewa Mimpi dalam mitologi Yunani yang tersohor."
"Aku telah banyak meneliti daerah yang dimitoskan terkutuk. Membongkar makam raja-raja kuno yang terkenal bengis semasa hidup mereka, masuk ke dalam gua dimana ratusan manusia mati sebagai persembahan dan meneliti peninggalan peradaban yang dikutuk. Hal seperti itu kadang membuatku demam tujuh hari tujuh malam."
Seungwan terkekeh, mulai agak tenang dengan kalimat Namjoon yang sebenarnya tidak sedang bercanda. "Kenapa kau tidak berhenti saja? Kau bisa menghasilkan uang yang banyak melalui pekerjaan aman dengan otak sederas itu, Kim."
"Terkutuklah aku dan rasa ingin tahuku, Son. Tubuhku tidak mau berhenti, dan otak sialan ini terus saja memikirkan tentang apa yang bisa kutemukan di daerah-daerah terlarang itu." Namjoon membuang napas frustasi. "Setidaknya, sejauh ini aku baik-baik saja," gumamnya, bersandar pada punggung kursi yang didudukinya.
"Boleh aku tahu kenapa kau memberikan kertas ini padaku?"
Namjoon menegakkan duduknya, menatap Seungwan dengan pandangan ragu. Cukup lama, sampai Namjoon sadar tidak ada gunanya menyembunyikan apa yang dia ketahui dari Seungwan. Akhirnya, Namjoon memutuskan untuk tetap mengatakan apa yang membuatnya migrain beberapa hari ini. "Sebenarnya, ketika aku menghadiri pesta ulang tahun salah satu rekan bisnis ayahku, aku bertemu dengan Krystal di sana. Aku berbincang dengannya dan dia kelihatan tertarik soal pekerjaanku. Lalu, dia bertanya soal catatan itu dan bertanya apakah hal ini mungkin terjadi. Aku tentu saja mengatakan kemungkinan bahwa hal itu bisa saja benar-benar nyata. Kemudian dia menanyakanmu, aku balik bertanya darimana dia tahu soalmu, firasatku buruk soal itu." Namjoon mengigit bibir bawahnya, lalu melepaskannya. "Terbukti saat dia mengatakan kalau sang Pencipta Mimpi ingin kau datang ke pesta perjamuannya, Wen."
Seungwan menyimak dengan baik, menyadari kalau Kim Namjoon sungguh-sungguh dengan kalimat yang diucapkannya. "Lalu?" tanyanya santai.
Namjoon mendengus, memalingkan wajah ke arah rak buku. "Aku mulanya tidak ingin memberitahumu karena aku yakin kau akan penasaran. Aku sama penasarannya dan melakukan beberapa penyelidikan. Kau boleh mengatakan kalau aku kerasukan arwah Fir'aun, tapi sang Pencipta Mimpi ini benar-benar datang dalam mimpiku, dan dia ingin kau datang." Namjoon menatap Seungwan dan mengumpat dalam hati begitu melihat binar rasa ingin tahu di mata gadis yang juga rekannya itu.
"Aku mulai tertarik, ini kasus yang bagus." Seungwan menggosokkan kedua tangannya seperti hendak mencicipi hidangan lezat. "Katakan, Kim. Pencipta Mimpi ini mengenakan pakaian bangsawan Prancis abad ke- 17 bukan?"
"Jangan katakan, Son."
"Aku akan mengatakannya, Kim; Aku pernah bertemu dengannnya dan aku akan berkunjung ke perjamuan sang Pencipta Mimpi ini."
"Terkutuklah kau dan rasa ingin tahumu, Wendy."
***
The International Criminal Police Organization Headquarters, Lyonn, France.
Bae Joohyun sedang sibuk dengan laporan yang diterimanya saat mendengar pintu ruangannya diketuk. Wanita berambut coklat itu menoleh untuk melihat siapa yang datang.
"Bos, seseorang ingin bertemu denganmu." Pria Kaukasian berambut pirang itu menyampaikan maksud kedatangannya dengan cepat. Ia pamit setelah Joohyun memberi anggukan paham.
Joohyun meletakkan map yang dipegangnya dan merapikan mejanya sekilas. Dia meraih blazer hitam yang tergantung di ujung ruangan dan mengenakannya dengan cepat. Joohyun membenahi penampilannya lewat pantulan cermin kecil yang ia letakkan di atas meja. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu segera keluar dari ruangan kerjanya dan menemui tamunya yang tengah menyesap kopi.
"Eonni?"
Stephanie Hwang menoleh pada Joohyun yang menatapnya dengan pandangan terkejut. "Apa kabarmu, Irene?" tanyanya ramah. Kedua matanya membentuk bulan sabit saat ia tersenyum.
"Kapan sampai disini, Tiffany-ssi?" Joohyun bertanya saat dia sudah duduk berhadapan dengan wanita berambut pirang itu.
"Jangan terlalu formal, Irene. Tapi terserahlah, aku datang kesini juga karena pekerjaan." Stephanie menunduk dan mengamati gelas kopinya yang masih hangat.
"Sesuatu terjadi, Eonni?" Joohyun bertanya dengan nada khawatir.
Wanita berambut pirang itu mengangkat wajahnya yang dihiasi gurat lelah. Stephanie menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk bercerita. Ia mulai bercerita dengan nada sendu. "Aku lahir di rumah sakit yang sama dengan sahabatku. Kami terpisah sangat lama dan baru bertemu saat duduk di bangku kuliah. Aku cepat akrab dengannya meski dia dingin dan membuatku ingin membunuh wajah cantiknya itu. Tapi, aku tahu dia punya hati yang hangat. Dia ada saat aku sedang dalam masa-masa terburukku dan kami saling menguatkan. Pekerjaan membuat kami terpisah, dan aku bertemu dengannya tak lama ini di Prancis." Stephanie melirik Joohyun, menemukan wanita itu masih menyimaknya dengan tenang.
Stephanie menghapus air matanya yang tiba-tiba turun. "Namun, ia tidak menyapaku dengan wajah dinginnya, atau memberi perhatian tersembunyi mengingat ia agak sulit mengungkapkan rasa sayangnya. Aku hanya melihat kehampaan di matanya, dan itu membuatku hancur."
Joohyun meneguk ludahnya mendengar cerita Stephanie, merasa tidak nyaman karena seniornya itu menceritakan hal yang terlalu pribadi. "Apa yang terjadi padanya?" tanyanya tanpa bisa dicegah. Bagaimana pun, Joohyun penasaran.
"Aku bertanya pada keluarganya, namun yang mereka ceritakan sama sekali tidak bisa kuterima dengan logika. Lalu, aku melihat mata Jessica dan menyadari bahwa tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima kenyataan. Aku membantu sebisaku dan menyelidiki kenapa kejadian itu bisa menimpa keluarga Jung."
"Tunggu," sela Joohyun. "Jung yang kau maksud ... Jung Sooyeon? Jessica?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Stephanie mengangguk. "Selain Soojung, bukankah yang lainnya tidak pernah muncul belakangan ini? Soojung punya nama cemerlang di dunia model, dia tidak tertarik bisnis. Tapi gadis itu muncul dimana-mana menggantikan Yunho yang menghilang."
"Hal yang mengerikan apa yang telah terjadi?" Joohyun bertanya dengan nada cemas. Joohyun sendiri tidak paham kenapa ia begitu khawatir, padahal tidak mengenal keluarga Jung secara personal. Kenapa dia merasa begitu dekat? Seolah ada benang merah yang menghubungkannya dengan keluarga kolongmerat tersebut.
"Aku akan menceritakannya, Irene. Tapi kau harus percaya padaku dan membantuku. Kau cerdas, prestasimu di Interpol dua tahun belakangan ini telah membuktikan kemampuanmu. Aku ingin kau membantu Sica dan yang lainnya."
"Aku yakin bukan itu alasannya. Apa sesuatu menghubungkanku dengan insiden yang menimpa keluarga Jung?" Joohyun menatap perempuan di depannya dengan wajah penuh keraguan. Joohyun tidak merasa perlu menutupi ekspresinya, dia ingin Stephanie sadar kalau Joohyun ingin jawaban jelas.
"Akhir-akhir ini, kau sering bermimpi buruk, bukan?" tanya Stephanie dengan nada pelan. "Aku yakin kau sulit tidur melihat kantung matamu itu. Itu pasti sangat mengerikan, didatangi mimpi buruk yang sama tiap kali kau terlelap."
"Bagaimana ... kau tahu?"
"Ini sulit dipercaya, Irene. Namun aku terpaksa melibatkanmu karena hanya kalian yang bisa membantu kami. Aku akan bercerita soal itu nanti, tapi kau harus ikut denganku ke Paris." Stephanie menggengam kedua tangan Joohyun dan menatapnya dengan pandangan memohon.
"Aku masih sulit menerima semua ini, maaf, aku masih agak bingung." Joohyun merasa tak nyaman dengan percakapan mereka. Dia melepaskan genggaman Stephanie dari tangannya.
"Seorang pria, masquarade dan perjamuan. Kau percaya padaku sekarang?" Stephanie menatap Joohyun lekat-lekat.
Hening.
Joohyun mengangguk, ini jawaban yang dia cari. Mungkin kasus keluarga Jung memang berhubungan dengannya. "Aku percaya, siapa dia?"
"Sang Pencipta Mimpi."
*****
Mademoiselle : Nona/ Miss
Lucid Dream : Fenomena dimana kita sadar kalau kita tengah bermimpi, dan bisa mengontrol mimpi tersebut.
Oneiroi (bahasa Yunani: Όνειροι, mimpi) adalah para dewa mimpi dalam mitologi Yunani. Mereka ada tiga, yaitu Morfeus (ahli berubah menjadi manusia), Ikelos atau Fobetor (ahli berubah menjadi hewan), dan Fantasos (ahli berubah menjadi objek alam).[1] Dalam mitologi Romawi, jumlah mereka adalah 999 dan tiga Oneirei yang disebut di awal adalah yang paling termasyhur. Simbol mereka adalah bunga opium. (Wikipedia)
NOTE :
Latar dan kejadian dalam cerita ini berasal dari imajinasiku, legenda, sejarah dan mitologi (tentunya dengan berbagai referensi.) Aku harap tidak ada yang protes kenapa cerita ini agak melenceng dengan mitos atau cerita yang beredar, karena di cerita ini aku membuatnya menurut versiku sendiri.
Sincèrement,
Lume-
Sersan Mingyu
Komandan Taecyeon
Mr. Suho
Sungjoy
Mrs. Hwang
Jadi gimana chapter pertamanya???
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top