Six : Déjà Vu
Cerita ini hanya fiktif belaka, harap kebijaksanaan pembaca dalam memahami isi cerita.
| Fantasy/ Mythology |
| Red Velvet | TVXQ | Jessica and Krystal Jung | BTS |
and another idol,
Enjoy!
*****
Sooyeon pastinya sudah memprediksi kalau dia akan kedatangan tamu malam ini. Karena, ketika Sooyoung muncul di ambang pintu kamarnya dengan wajah aneh, Sooyeon tidak kelihatan terkejut sama sekali. Yerim dan yang lainnya mengikuti ketika Sooyoung berjalan masuk ke dalam kamar Sooyeon dan mendekat ke ranjangnya. Mereka memilih berdiri di sekitar ranjang, membiarkan Sooyoung mengambil peran untuk banyak bicara.
"Aku tidak terlalu suka basa-basi, jadi kita langsung saja." Sooyoung bersedekap, menatap Sooyeon yang duduk menyandar pada bantal-bantal dengan wajah mengintimidasi. "Katakan pada kami di mana kau meletakkan bukunya."
Sooyeon mengangkat sebelah alis, merespons pertanyaan tegas wanita tinggi di depannya dengan tenang. "Di dalam mimpi."
Sooyoung memutar bola mata. "Beruang betina ini," dia menunjuk Seulgi yang langsung mendelik, "berkata padaku kalau Monsieur Jung dan adikmu diserang Morfin."
"Morfeus," koreksi Namjoon.
"Whoever, itu tidak penting." Sooyoung mengibaskan tangan dengan acuh. "Mereka tengah sakau sekarang, dengan ukiran bunga opium di pergelangan tangan mereka. Wendy bilang opium adalah simbol dari Morfeus dan saudara-saudaranya, mereka dewa mimpi dan bukan nama narkoba, kalau-kalau kau tidak tahu."
Ekspresi Sooyeon langsung berubah, wanita berambut coklat panjang itu meremas selimutnya dengan keras. "Di mana mereka?"
"Ah, kau masih peduli ternyata."
"Di mana mereka, Park Sooyoung?" Mata rubahnya menajam, menatap Sooyoung dengan bengis.
Sooyoung membalas tantangan Sooyeon dengan berani, bertatap-tatapan seperti tengah mengirim laser dari mata mereka masing-masing.
"Gosh, ini sangat kekanak-kanakan." Joohyun jadi malu sendiri, melirik pada Seulgi yang hanya angkat bahu.
"Kita buat mudah, Jessica." Seulgi akhirnya bicara setelah Joohyun memberinya pelototan. "Keluargamu sekarat sekarang, kau baru saja selamat dari mimpi terkutuk, dan aku punya kabar buruk; Pria dengan topeng aneh itu enggan melepaskan kalian."
Sooyeon berdecih, "Dia memang tidak akan pernah melepaskan kami. Kau pikir kenapa aku masih dikutuk mimpinya selama ini? Aku mencoba berbagai cara untuk lepas."
"Dan aku yakin kau bahkan tak peduli jika kau membuat beberapa orang mati." Sooyoung menginterupsi, tampaknya masih betah membuat Sooyeon terintimidasi. "Satu orang pelayan mati lagi pagi ini, dan aku baru tahu kalau dia bukan yang pertama kali."
Sooyeon bungkam sepenuhnya, tidak bisa melawan Sooyoung meski hanya berupa delikan tajam. Wajahnya yang semula dingin diselimuti rasa bersalah, ucapan Sooyoung seperti vonis mati yang membuatnya bisu mendadak.
"Dengar, Jessica." Seungwan buka suara, tak enak juga jika membiarkan Sooyoung terus mencecar wanita malang itu. "Aku tahu kau hanya ingin selamat, tapi, kurasa ini bukan cara yang benar. Morfeus justru menjadikanmu perantaranya, membawa banyak orang ke dalam masalah jelas bukan solusi untukmu. Menilik berapa lama kau berkelana di alam mimpi, jelas kau sudah sadar fakta tentang Shim Changmin."
Sooyeon mendengus. "Aku sangat membencinya, terlepas dari fakta kalau dia adalah imajinasi kami semata."
"Baik," Seungwan mengangguk paham. "Tidak apa-apa, kami kesini bukan untuk berdiskusi soalmu atau Changmin. Monsieur Yunho meminta kami menyelamatkanmu, kami sudah selesai, tapi kami punya agenda lain."
"Menghadiri perjamuan Hoseok?" Sooyeon menyela, tidak butuh jawaban karena dia sudah paham. "Kalau kau ingin bertemu, silahkan saja. Rumah ini adalah gerbang, makanya kau dengan mudah masuk ke alam mimpi hanya dengan tertidur."
"Aku sudah menduganya," sahut Namjoon.
"Benarkah? Kurasa baik kau atau Profesor Son tidak pernah mendiskusikan ini dengan kami." Joohyun menyela tajam, membuat Namjoon dan Seungwan mengatupkan bibir.
"Itu tidak penting sekarang." Sooyoung menyela. "Kami ingin datang ke perjamuan dewa itu, menendang bokongnya dan mencari cara untuk keluar dari lingkaran mimpi buruk ini."
"Kau hanya akan bernasib sama denganku."
"Kami bukan kau, Jessica." Seulgi menyergah dengan tatapan tajam, bicara dengan nada tak senang. "Memang manusia pasti akan mati, tapi membunuh orang lain yang tidak tahu apa-apa hanya untuk menyelamatkan nyawamu terdengar menjijikkan."
Ucapan Seulgi jelas membuat Sooyeon didera amarah, tapi wanita cantik itu menahannya. Ada yang lebih mendesak pikirannya saat ini ketimbang balasan untuk kata-kata kejam Seulgi. "Baik. Pergilah ke alam mimpi dan cari tahu apa yang bisa kau lakukan. Semoga kau berhasil dengan mimpimu yang sulit itu."
"Kami ingin membawa satu penumpang lagi," sela Yerim yang sedari tadi hanya diam, melirik Namjoon yang dengan tenang menyaksikan. "Kami juga membutuhkan buku yang kau temukan, itu bukan milikmu."
Sooyeon terpaku, menatap Yerim dengan pandangan yang sukar diartikan. Tiba-tiba , tatapan matanya kembali menajam seperti saat pertama kali dia bertemu dengan Yerim di Dunia Mimpi. "Kau tidak boleh membaca bukunya, menyentuhnya pun tidak boleh."
"Aku sudah menyentuhnya, Jessica."
"Kalau begitu, jangan menyentuhnya lagi!" Sooyeon menjerit frustasi, membuat orang-orang di dalam kamar memandangnya dengan heran. "Kau harus tahu, Yerim. Buku itu dikutuk, memilikinya berarti menjadikan dirimu orang yang harus menyegel sang Pencipta Mimpi. Jika kau tidak mampu, kau hanya akan berakhir sepertiku, dihantui mimpi buruk tiap terlelap dan dipaksa membawa orang-orang ke rumah sialan ini."
"Jess—"
"Yunho Oppa dan Soojung tidak tahu ini. Mereka hanya tahu kalau aku menjual waktuku untuk bertemu Hoseok dan menghentikan mimpi buruk kami." Sooyeon kembali bicara sebelum Yerim bisa menyebutkan namanya dengan benar. "Yang kulakukan sebenarnya hanyalah menjadi budak Morfeus, semua ini untuk hidup normal yang semu. Dan semua ini terjadi karena aku membaca buku itu dalam mimpiku!"
Yerim mengatupkan bibirnya, menatap Sooyeon yang sudah berurai air mata. Tidak ada yang berani menyela percakapan mereka, semuanya dilingkupi suasana tegang yang nyata. Yerim mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Menahan diri untuk tidak meledakkan emosinya yang kacau balau.
"Aku tidak akan berakhir sepertimu."
"Yeri—"
"Aku tidak akan berakhir sepertimu, Jessica!" pekik Yerim kesal. Dia takut, dia benci dengan perasaan cemas setelah mendengar pengakuan Sooyeon. Sejujurnya, dia sempat ingin mundur saja. Semua hal di luar rasionalitas ini mengacaukan mentalnya. "Aku akan mencari cara untuk lepas, menyegelnya atau apa. Aku pasti akan menemukan cara dan kembali dengan selamat."
Yerim menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan untuk menenangkan diri. Sooyeon tidak berkata apa-apa, hanya menatap Yerim dengan pandangan sedih. Keteguhan pada wanita itu membuat Sooyeon perlahan luluh. Namun, dia tetap tidak ingin Yerim berakhir sepertinya. Meski Sooyeon bisa melihat kalau wanita berambut merah muda itu punya jiwa yang kuat.
"Aku berjanji pada seseorang kalau aku akan kembali dengan selamat." Yerim bicara perlahan, menekan air matanya yang entah kenapa hendak tumpah ruah. "Aku tidak pernah melanggar janjiku padanya dan aku tidak ingin ini menjadi pelanggaran janjiku yang pertama."
Sooyeon membisu, meski akhirnya wanita itu merogoh benda yang selama ini disembunyikannya di balik bantal. Dia memberikan buku bersampul kumal itu pada Yerim, dengan tegas menatap tepat pada kedua matanya.
"Kau tidak akan membiarkan yang lain menyentuh atau membaca buku ini. Gunakan hanya saat kau terdesak, dan jangan memberikannya pada Hoseok."
Yerim menerima buku pemberian Sooyeon dengan pelan, memeriksanya sekilas. "Bagaimana cara membacanya?"
Sooyeon terkekeh, raut wajahnya melunak. "Dibanding jurnal harian, itu lebih mirip buku petunjuk. Orang yang menulisnya pasti mengenal Dunia Mimpi lebih baik dari mengenal dunia nyata. Kau hanya perlu mengucapkan pertanyaan dalam hati dan membuka bukunya, kau akan menemukan jawaban dari pertanyaanmu tertulis di sana," jelasnya panjang lebar.
Yerim mengangguk paham, memeluk buku itu erat-erat seolah tengah memeluk harta yang paling berharga. "Terima kasih, Jessica."
Sooyeon hanya mengangguk sekilas, dia menatap tajam pada lima orang lain yang menatap buku di pelukan Yerim dengan pandangan ingin tahu, terutama Namjoon dan Seungwan yang menatap buku usang itu serupa bajak laut memandang harta karun legendaris.
"Bahkan jangan berpikir untuk menyentuhnya, Profesor," sindirnya telak.
Namjoon dan Seungwan yang tertangkap basah hanya bisa menunjukkan cengiran canggung.
"Maaf, ini kebiasaan lama yang sulit dihilangkan." Seungwan membela diri dengan tenang, meski matanya sesekali melirik buku di tangan Yerim. Dia menoleh pada Sooyeon yang memandangnya dengan curiga. "Tidak apa-apa, aku tidak akan melanggar batas. Sudah banyak cerita tentang penyesalan karena melanggar batasan tertentu, kami tidak ingin menjadi salah satunya."
"Itu benar," sahut Namjoon. Pria itu mengangguk takzim membenarkan ucapan rekannya. "Ini hanya insting seorang arkeolog, tidak perlu terlalu dipikirkan."
"Kau serius kita akan membawa orang-orang ini?" Seulgi bertanya pada Joohyun, memandang bergantian pada Seungwan dan Namjoon.
Joohyun menghela napas, wanita berambut coklat itu menampilkan senyum lelah. "Aku rasa ini akan menjadi perjalanan yang panjang."
"Perjalanan yang sangat panjang."
.
.
.
Yerim sejujurnya masih bertanya-tanya. Ya, wanita dengan rambut serupa sakura di musim semi itu menanyakan banyak hal dalam benaknya. Semua pertanyaan itu muncul semata-mata karena ia adalah wanita yang menjunjung tinggi rasionalitas. Dia yakin teman-teman barunya juga begitu. Seungwan mungkin bisa menjadi pengecualian, arkeolog rupawan itu tampaknya terbiasa dengan hal-hal mistis. Kalau Namjoon, entahlah. Yerim hanya menganggapnya arkeolog eksentrik yang hobi menantang maut dan punya gaya busana yang nyentrik. Yerim tidak akan terkejut jika dia ternyata mempercayai alien atau menjadi ketua dari sekte pemuja setan. Yerim akan bereaksi biasa saja jika ternyata pria berambut pirang platinum itu punya ketertarikan tertentu pada hal-hal di luar nalar.
Masalahnya, Yerim yang menjunjung tinggi akal sehat dan hanya mempercayai makhluk yang bisa dia hajar habis-habisan tiba-tiba mengalami mimpi aneh, diserang mimpi buruk oleh pria yang sama tiap malam, entah sejak kapan. Dia tidak tahu kenapa. Yerim tersiksa, tapi menolak mengutarakannya pada siapa pun. Lamunnya adalah rekan terbaiknya dalam bercerita. Parahnya, tiba-tiba dia dipasangkan dengan Sooyoung ke dalam sebuah misi, bertemu agen Interpol, pencuri legendaris, dan dua arkeolog muda yang baginya sangat aneh. Begitu saja, dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka berlima (kesampingkan Namjoon yang hanya ikut-ikutan) terikat dalam satu takdir yang sama; Mimpi terkutuk dan undangan perjamuan dari seorang pria bertopeng yang diduga adalah dewa.
Yerim dan segala rasionalitas yang dimilikinya tidak bisa percaya dengan begitu mudah, kendati wanita itu sadar tidak ada yang bisa dilakukannya selain mengikuti alur. Dia tidak tahu dengan wanita lain, tapi Yerim masih bertanya-tanya. Bahkan sampai sekarang.
Apa semua yang dialaminya di Paris adalah kenyataan?
Apa mimpi aneh dimana dia nyaris mati itu benar-benar terjadi?
Sungguhkah pria bertopeng dengan rambut orange itu adalah dewa mimpi? Heck, Yerim merasa dewa itu pasti sangat nyentrik karena warna rambutnya yang tidak biasa. Bukan berarti Yerim rasis atau apa, dia hanya tidak menyangka dewa berpenampilan seperti itu.
Yerim tidak pernah mengakui dirinya bodoh, meski Mingyu kerap mengatainya seperti itu manakala dia menerima misi berbahaya dari Taecyeon tanpa pikir panjang. Menjadi dark soldier serupa mimpi yang membuatnya bebas menikmati petualangan menantang nyawa. Ya, Yerim gadis yang penuh rasionalitas, tapi dia mencintai petualangan. Adrenalin mengalir di nadinya lebih banyak dari darahnya sendiri.
Namun, kali ini Yerim merasa dirinya bodoh. Dia duduk bersimpuh di lantai dengan buku usang terbuka di tangan, membentuk lingkaran bersama Sooyoung, Seulgi, Seungwan, dan Joohyun. Namjoon ada di tengah-tengah mereka, kelihatan cocok dengan kimono putih dan rambut senada.
Tidakkah dia sadar kalau dirinya mirip seperti persembahan sekarang?
Bersyukurlah karena pria itu diberi otak yang lebih deras dari aliran darah Yerim ketika melakukan uji nyali.
"Yerim, apa yang tertulis di buku itu?"
Yerim tersentak dari lamunannya, menoleh cepat pada Seungwan yang berada di sampingnya. Dia menunduk, mengamati buku di tangannya. "Posisinya seperti ini, dan kita hanya perlu menunggu untuk tidur."
Seungwan mengangguk-angguk. Mengejutkan karena dia percaya begitu saja dengan kata-kata Yerim, seolah apa yang dikatakan Yerim adalah hal biasa. Sementara Yerim merasa dirinya bodoh, sangat kekanak-kanakan.
Segala rasionalitas yang Yerim junjung tinggi-tinggi, sekali lagi retak karena dia tiba-tiba diserang perasaan kantuk yang sangat kuat. Dia terbuai, tak tahan lagi menahan kelopak matanya yang berat. Wanita itu merasa dirinya mengambang, lalu sebuah tarikan menyedot segenap aliran darah dan kesadarannya. Ketika dia membuka mata, dia berada di depan sebuah tempat yang demi apa pun, sangat aneh.
Rasionalitas kebanggaannya pecah, sepenuhnya hancur tanpa sisa saat dia menyadari kalau lagi-lagi, mereka terjebak ke alam mimpi.
.
.
.
Pintu ganda besar terpampang megah di depan mereka berenam. Pilar berwarna gading dan ukiran serupa emas murni di kedua sisinya membuatnya tampak mewah. Lalu, bangunan itu! Astaga, astaga, astaga! Namjoon dan Seungwan tidak henti-hentinya berdecak kagum. Pasalnya, bangunan di depan mereka tak ubahnya seperti kuil di masa Yunani kuno. Dalam versi yang lebih besar, lebih megah, dan lebih menakutkan.
Alih-alih merasa terintimidasi dengan bangunan besar yang menghambat langkah mereka, Namjoon dan Seungwan justru melihatnya sebagai sebuah mahakarya.
"Jika permata di sekitar pintu itu kujual, menurutmu berapa lama aku bisa bebas pelesir keliling dunia?" Seulgi bertanya pada Sooyoung, yang hanya bisa mengerutkan kening mendengar kalimatnya.
"Tempat apa ini?" Joohyun seperti biasa mengambil peran sebagai orang yang paling waras, mencermati keadaan di sekitar mereka dan membuat perhitungan.
"Gerbang Dunia Mimpi." Yerim yang menjawab. Menjadi orang yang memegang buku pemandu tampaknya membuat Yerim kelihatan lebih waras. "Ada Fobetor di sini, hanya itu yang ditulis."
"Sepertinya Jessica salah soal rumah mereka," kata Seungwan. "Rumah mereka hanyalah jembatan, sedangkan tempat ini adalah gerbangnya."
"Di sini ada Fobetor?" Namjoon menyela, membuat Seungwan terjebak dalam pemikiran yang tiba-tiba melintas di benaknya.
"Namjoon, bukankah ada dua monster disini?" tanya Seungwan takut-takut.
"Monster?" tanya Sooyoung bingung.
"Fobetor menciptakan dua monster disini untuk menjaga gerbang Dunia Mimpi dari penyusup," jelas Namjoon.
"Kita punya undangan dari Morfeus, bukan?"
"Seharusnya, kita tidak masuk sembarangan ke sini." Seungwan tersenyum canggung. "Mungkin batas bagi kita para manusia adalah mengambang dalam buaian mimpi yang diciptakan para dewa, bukan memaksa masuk rumah mereka seperti ini."
"Secara teknis, ini namanya pembelaan diri," sela Seulgi cepat. "Kita tidak pernah minta pada Mor- gezz, sebut saja dia Hoseok agar lebih mudah, itu nama Korea-nya bukan? Intinya, kita tidak pernah minta pada Hoseok untuk diberikan mimpi buruk berulang-ulang dan sajak mengerikan yang terus dia nyanyikan itu. Dia mengatakan padaku untuk datang ke perjamuannya untuk bisa lepas, dan di sinilah kita berada sekarang."
"Oke, Seulgi," kata Seungwan. "Kau tidak salah, tapi apakah menurutmu dia akan mempersilahkan kita datang begitu saja? Membuka pintu lebar-lebar dan mengatakan bienvenue seperti yang diucapkannya waktu kita memasuki mimpi yang dia ciptakan untuk Jessica? Kau berharap dia akan menyambut ramah seperti itu?" tanyanya dengan nada manis yang dibuat-buat.
"Aku rasa ini akan sangat berbeda, Kang." Namjoon lebih tenang dalam menjelaskan. "Ini bukan lagi mimpi ciptaan Morfeus. Ini adalah Dunia Mimpi di mana Oneiroi tinggal. Tidak hanya ada Morfeus di sini, tapi juga Fobetor dan Fantasos. Aku sudah menjelaskan tentang mereka sebelum kita masuk ke sini. Singkatnya, tempat ini berbahaya."
"Sebagai seorang pencuri yang berhasil membobol keamanan jenis apa pun, aku merasa kalau ini adalah sebuah tantangan."
"Berhentilah berdebat, teman-teman." Sooyoung menyela, menatap aneh pada pintu ganda besar di depannya. "Aku mendorong pintu ini sedikit, coba tebak? Tidak dikunci. Oneiroi atau apa pun itu, pastilah sangat ceroboh."
Seungwan dan Namjoon melotot kaget. Keduanya tidak sempat protes karena yang lainnya sudah membuka pintu duluan, masuk seolah mereka tengah memasuki gedung bioskop.
"Aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok," keluh Seungwan dengan frustasi.
"Jangan, kau akan jadi bodoh dan tidak berguna lagi." Namjoon melangkah masuk, membiarkan pintu ganda besar yang sudah dibuka Yerim dan Sooyoung tetap terbuka.
Seungwan mendengus, namun memilih masuk mengikuti Namjoon. Wanita cantik itu menganga begitu melihat ruangan yang dimasukinya. Penampakan di luar sungguh menipu apa yang ternyata ada di dalam. Seungwan kecewa dengan interior bangunan yang dimasukinya. Hanya sebuah lorong panjang dengan banyak pintu di sepanjang koridor. Hebatnya, dia tidak melihat Namjoon atau yang lainnya di mana pun.
"Wow, coba tebak mereka masuk ke pintu yang mana?"
***
Sooyeon mengamati adiknya yang berbaring di ranjang dengan perasaan bersalah. Dia ingin minta maaf, tapi rasanya meski Sooyeon mengatakannya seribu kali, dia tidak akan memperbaiki apa pun. Mereka tetap tejebak di tengah semua kerumitan mimpi buruk ini.
"Dia akan baik-baik saja."
Sooyeon menoleh, menemukan Yunho berdiri di ambang pintu dengan tongkatnya. Sooyeon menunduk manakala dia menyadari perban yang melilit pergelangan tangan kiri Yunho. Perasaan bersalah itu mengikatnya lagi, membelit tubuh kurusnya yang lemah.
"Apa itu sakit?" Suaranya serak saat bertanya. "Maaf karena tidak bisa melakukan apa pun."
"Tidak seberapa sakit ketimbang semua luka yang kau hadapi sendirian." Yunho melangkah mendekat ke arah adiknya, menciptakan bunyi teratur dari ketukan tongkatnya.
Sooyeon makin menundukkan kepalanya, terlalu terluka untuk menatap mata saudaranya. Yunho berhenti tepat di depan adiknya, lalu menarik kepala gadis itu ke dalam pelukan hangat.
Lalu begitu saja, Sooyeon melepaskan semua topeng dingin yang selama ini dipasangnya sebagai pelindung. Selama ini, dia sudah terlalu banyak menggenggam derita sendirian. Sooyeon membuang jauh-jauh akal sehatnya ke dalam tong sampah, mempercayai Hoseok sebagai satu-satunya tempatnya bertumpu, kendati dialah yang membuat Sooyeon dan kedua saudaranya terjebak ke dalam kutukan mimpi. Sooyeon ingin menyalahkan siapa pun. Rumah aneh mereka, impian Yunho yang begitu polos, Hoseok, Changmin yang palsu, atau dirinya sendiri yang terlalu naif dan penasaran dengan buku terkutuk itu.
Sebagai seorang saudari, dia hanya ingin menyelamatkan kedua keluarganya yang tersisa. Sebagai seorang manusia biasa, Sooyeon hanya kelelahan. Semua yang terjadi merubah jalan hidupnya begitu drastis. Sooyeon lebih memilih mati kelaparan ketimbang berlarian di dunia asing seperti orang gila, ketakutan setiap saat, menyaksikan potongan adegan mimpi buruk dan orang-orang yang harus dibawanya pada Hoseok agar dia dan keluarganya selamat. Sooyeon merasa dirinya tak lebih baik dari pembunuh sadis yang berkeliaran di luaran sana. Apa dia bahkan pantas untuk merasa bersalah?
Sooyeon tidak tahu.
Akan tetapi, di sini, di dalam dekapan Yunho. Sooyeon merasa bahwa apa pun yang akan terjadi nantinya, dia masih punya tempat yang menerimanya apa adanya.
Rasanya semua itu lebih dari cukup.
***
Joohyun pernah beberapa kali merasa sangat takut. Yang pertama, ketika ayahnya berpamitan untuk menjalankan tugasnya sebagai intelijen. Sebenarnya itu hal biasa, tapi Joohyun punya firasat buruk soal tugas ayahnya. Yang kedua, ketika ibunya datang ke kamarnya malam-malam dan memeluknya erat tanpa aba-aba. Yang ketiga, ketika orang-orang dari tempat kerja ayahnya datang untuk memberi kabar pada Joohyun dan ibunya. Ayahnya gugur dalam tugas. Joohyun baru berusia sepuluh tahun ketika semua itu terjadi. Dia sangat ketakutan. Dia takut dengan semua duka cita yang disampaikan keluarga, teman-teman, dan kolega orangtuanya. Dia takut melihat jasad ayahnya yang terbujur di dalam peti. Dia takut saat ibunya memintanya memberikan setangkai mawar putih untuk ayahnya. Dia takut saat peti mati ayahnya ditutup dan Joohyun tidak akan bisa melihatnya lagi. Joohyun sangat ketakutan.
Bertahun-tahun setelahnya, Joohyun diserang ketakutan yang sama saat rekannya meninggal karena melindunginya. Dia dihujani perasaan bersalah, merasa gagal, bodoh, tidak berguna, dan kehilangan. Lalu, akhir-akhir ini dia diserang mimpi buruk dari Hoseok. Percayalah, itu sama mengerikannya dengan melihat kematian orang-orang terdekatnya.
Karena Hoseok membuat Joohyun merasa bahwa dia seharusnya mati saja. Karena itu, Joohyun sangat ketakutan.
Kali ini, Joohyun merasa perasaan yang sama menyergapnya ketika dia pintu ganda besar di depannya terbuka karena ulah Yerim dan Sooyoung. Yerim bilang pintu itu gerbang dunia mimpi. Namjoon bilang, ada dua penjaga ciptaan Fobetor di sini. Joohyun takut. Seumur hidupnya, baru kali ini dia disentuh pengalaman yang mistis. Rasa-rasanya ditembaki kriminal terasa lebih baik ketimbang harus menghadapi Hoseok yang katanya adalah dewa.
Yang benar saja. Joohyun lebih percaya jika manusia yang melakukannya, tapi tampaknya itu tidak mungkin. Joohyun sadar dia tidak bisa mengelak setelah semua yang terjadi sejak Stephanie memberitahunya soal keluarga Jung. Joohyun harus menghadapinya. Dia harus bertemu Hoseok dan menanyakan padanya kenapa dia harus muncul di mimpi Joohyun dan membuatnya begitu ketakutan.
"Hei, Agen."
Joohyun menoleh pada Seulgi, wanita itu berhenti di pintu. Satu langkah lagi dan dia akan masuk.
"Kau kenapa?"
"Berhati-hatilah," kata Seulgi. Dia tidak menoleh pada Joohyun, langsung masuk ke dalam. Yerim dan Sooyoung sudah berjalan lebih dulu.
Joohyun mengikutinya, langsung meneguk ludah begitu dia tidak menemukan siapa pun di dalam. Tidak Seulgi, Sooyoung, bahkan Yerim. Joohyun berbalik, menemukan pintu ganda besar itu menutup sepenuhnya. Tanpa suara, tanpa aba-aba. Tidak ada Seungwan dan Namjoon.
Joohyun sendirian dan dia mulai ketakutan.
Wanita cantik itu memejamkan mata, mengatur napasnya sejenak. Setelah dirasa cukup tenang, dia kembali membuka matanya dan mengamati keadaan sekitar. Hanya ada lorong panjang. Lalu pintu, pintu, dan pintu. Joohyun berjalan menyusuri lorong, mengamati pintu demi pintu. Dia berhenti di depan salah satu pintu yang menarik perhatiannya. Pintu itu biasa saja, mirip seperti pintu lainnya yang berwarna putih gading dan dipenuhi ukiran emas. Namun, apa yang terukir di pintu itu membuat Joohyun berhenti.
Irene.
Itu namanya. Tidak salah lagi, pintu itu untuknya.
Joohyun menggenggam gagang pintunya, masih ragu-ragu apakah dia harus masuk apa tidak. Wanita cantik itu menertawakan dirinya yang terlihat bodoh. Kemana semua kualitasnya sebagai agen menguap?
Joohyun memutuskan membukanya saja. Dia disambut pemandangan ruangan yang mewah. Pintu itu langsung menghadap balkon yang terbuka. Ada seseorang di sana, seorang pria. Duduk di atas pagar balkon dengan santai. Rambutnya pirang, dengan paras rupawan yang membuat Joohyun sejenak terpukau. Lalu, dia menoleh pada Joohyun. Dia tersenyum dengan cara yang membuat sekujur tubuh Joohyun merinding hebat.
Ada sesuatu yang menakutkan soal pria itu.
"Kau yang bernama Irene?" Pria itu melompat turun, berjalan ke arah Joohyun dengan wajah marah.
Joohyun ingin mundur saja, tapi punggungnya langsung membentur pintu yang entah sejak kapan tertutup. Wanita itu meneguk ludah. Sementara pria di depannya justru mengamati Joohyun dari atas ke bawah.
"Berpakaianlah dengan pantas jika kau ingin masuk ke rumah orang lain," kata pria itu.
Dia berkata begitu saat yang dipakainya hanyalah piyama bergaris-garis dan celana bahan panjang. Jika Joohyun itu Sooyoung atau Yerim, dia yakin kalimat sebelumnya sudah diutarakannya tanpa pikir panjang. Sayangnya, ini Joohyun, dia lebih banyak bicara dalam pikirannya. Dia juga tidak selancang itu untuk mengomentari pakaian orang lain.
Pria di depannya menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, celana panjang dan atasan kemeja Joohyun berganti dengan gaun putih yang cantik. Joohyun terkesiap, wajahnya memerah karena marah dan malu. Rasanya seperti ditelanjangi, dan Joohyun tidak suka. Sementara itu, pria di depannya justru tersenyum puas.
"Apa yang kau lakukan?" kata Joohyun, berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar.
Pria pirang itu tidak menjawab, justru berbalik dan berjalan ke arah balkon. Joohyun hanya mengamati punggungnya yang mulai menjauh, tidak berani untuk sekadar mendekat atau apa. Pria itu masih memunggungi Joohyun, menatap pada cahaya terang yang berasal dari balkon. Lalu dia membuka piyamanya, memperlihatkan punggungnya yang mempunyai dua bekas luka. Joohyun ingin bertanya, tapi sepasang sayap mendadak muncul dari luka di punggung pria itu dan membuat Joohyun mengunci mulutnya karena terkesima.
Sepasang sayap dengan warna hitam yang pekat. Sayap itu mengembang lebar, membuat Joohyun seketika gemetar. Tidak, sayap itu tidak indah sama sekali. Joohyun hanya punya satu kata untuk menggambarkan apa yang dia lihat; mengerikan. Karena Joohyun sadar siapa sosok di depan matanya sekarang.
"Fobetor," lirihnya pelan.
Joohyun tentu ingat penjelasan Seungwan dan Namjoon. Fobetor adalah saudara Morfeus, dia biasa muncul dalam bentuk hewan atau monster dan memberi mimpi menakutkan.
"Para dewa memanggilku Ikelos," kata pria itu. Dia menoleh pada Joohyun, tersenyum miring dan membuat Joohyun melemas begitu saja. Wanita itu terduduk di depan pintu, menyandar karena tak mampu berdiri.
"Apa mimpi terburukmu, Irene?"
Joohyun tidak menjawab. Fobetor tidak butuh jawaban darinya. Karena Joohyun ambruk begitu saja, dengan mata terbuka berteriak kesakitan. Air matanya turun, membasahi lantai karena dia berbaring menyamping. Wanita itu memohon pada pria bersayap yang masih mengamatinya dengan tenang. Namun, permohonan lirihnya tidak terdengar. Fobetor justru semakin menyiksanya, menjebak wanita itu dalam mimpi buruk dengan mata terbuka.
.
.
.
Seulgi baru hendak membuka pintu di depannya saat suara teriakan terdengar keras. Dia merasa mengenal suara itu, entah kenapa perasaannya jadi kalut. Itu mungkin Seungwan, Sooyoung, Yerim, atau bahkan Joohyun. Tidak mungkin Namjoon karena teriakan itu jelas teriakan wanita, kecuali Namjoon memang berteriak seperti itu.
Seulgi hendak mencari asal teriakan itu, tapi koridor tempatnya berdiri tiba-tiba berubah. Dia sudah berada di sebuah ruangan sekarang, padahal belum membuka pintu. Belum sempat Seulgi mengerti apa yang terjadi dengannya, dia mendapati bahwa di ruangan itu, dia tidak sendiri, tapi bertiga.
Dua orang pria duduk berlutut di atas lantai kaca. Cahaya ruangan tidak begitu terang, tapi cukup bagi Seulgi untuk menyadari kalau kedua pria di depannya punya paras rupawan dan mereka memegang apel merah dan sehelai kain panjang berwarna hitam. Keduanya menoleh pada Seulgi, menatapnya dengan datar.
"Penyusup," kata pria berambut hitam.
Seulgi mengangkat alis, mulai paham siapa dua orang pria yang duduk berhadapan di depannya itu.
"Penjaga gerbang?" tanyanya dengan nada tak percaya. "Wah, kalian imut sekali! Aku pikir kalian akan muncul dalam bentuk yang menakutkan," celotehnya riang.
Nada riang Seulgi disambut tatapan keduanya yang menajam. Seulgi sadar dia salah bicara. Masa bodoh, dia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya.
"Penyusup harus dimusnahkan," kata pria satu lagi, yang bersurai abu-abu terang.
Seulgi tidak sempat bicara lagi, karena kedua pria itu buru-buru melempar benda di tangan mereka ke arah Seulgi. Kain hitam itu melilit lehernya, membuat Seulgi tercekik kesakitan. Wanita itu tidak bisa berteriak keras karena apel merah segera menutup mulutnya. Seulgi mencakar lehernya sendiri, berusaha melepaskan ikatan di lehernya. Apel di mulutnya terasa begitu keras hingga Seulgi tidak mampu mengigitnya.
"Tidurlah dalam mimpi terburukmu."
Kedua pria di depannya tersenyum mengerikan, menyajikan Seulgi tayangan mimpi buruknya yang paling kelam. Wanita itu mulai menangis, ingin menutup matanya tapi sesuatu memaksa matanya tetap terbuka lebar.
Seulgi berharap dirinya pingsan atau mati saja. Dia tidak bisa menyaksikan mimpi buruk yang terpampang nyata di depannya.
Tidak.
Mereka tidak boleh mati. Tidak ada yang boleh mati di sini atau di dunia nyata sana. Tidak ada.
Kumohon, jangan sampai ada yang mati.
.
.
.
Pria itu mengamati sajian mewah di atas meja. Dia mendesah, memandang lima kursi kosong yang belum terisi. Rambut orange halusnya berkibar diterpa angin, membuatnya sadar bahwa seseorang sudah datang. Wajahnya yang kali ini tidak ditutupi topeng apa pun berubah cerah begitu melihat seorang wanita berjalan mendekat ke arahnya.
Dia berdiri, tersenyum lebar seolah senang menyambut teman lama. "Bienvenue, Chérie."
Seungwan tidak mengatakan apa-apa, menatap bengis pada wajah penuh senyum Hoseok. Wanita berambut sebahu itu mendekat ke arah Hoseok, tidak sudi untuk duduk meski Hoseok sudah mempersilahkannya.
"Apa yang kau lakukan pada kami?!" pekik Seungwan frustasi.
Wajah Hoseok berubah datar, tapi dalam sekejap kembali cerah seolah dia punya penyakit bipolar. "Wendy, ini pestaku. Perjamuanku, peraturanku. Semua terserah padaku."
Seungwan ingin melakukan sesuatu, misalnya menyiram wajah penuh senyum palsu itu dengan segelas anggur di atas meja. Namun, ddia justru meremas gaun hitamnya, tertawa sumbang. Menertawakan dirinya sendiri, menertawakan Hoseok, menertawakan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.
"Apa kami pernah melakukan sesuatu padamu? Kenapa kau menjebak kami seperti ini?" lirihnya putus asa.
Hoseok terdiam, memandang Seungwan yang menunduk dan menangis sesenggukan di depannya.
"Kau pernah."
Kalimat itu membuat Seungwan mengangkat kepala, pandangannya buram karena air mata. Seungwan mengusap matanya, dapat melihat dengan jelas wajah Hoseok yang kali ini tanpa topeng. Tidak topeng emas, tidak juga topeng berupa senyum lebar di wajahnya. Hanya ada tatapan datar yang membuat Seungwan merasa déjà vu.
Dia merasa pernah menemui Hoseok sebelumnya dengan ekspresinya yang barusan. Terasa pernah terjadi, tapi Seungwan tidak mampu mengingatnya.
"Kau pernah, teman-temanmu yang lain juga. Disini, mereka memanggilku 'Hope', aku harapan bagi manusia yang putus asa," jelas Hoseok tenang. "Aku menawarkan kalian mimpi yang selama ini kalian idamkan untuk terwujud. Ketika kalian menerimanya, jiwa kalian adalah hak milikku."
Seungwan terpana dengan penjelasannya, tapi wanita cantik itu justru merasa semakin terluka. "Kenapa? Kenapa kau berhak atas jiwa seseorang? Apa karena kau adalah dewa?"
Hoseok tidak menjawab. Dia justru menjentikkan jari, membuat Seungwan tertidur dalam sekejap. Sebelum Seungwan ambruk ke tanah, dia sudah memeluknya. Pria itu mengelus rambut wanita yang tertidur di dadanya.
"Kau harus ingat semuanya. Kenapa kau terjebak ke sini, dan kenapa aku sangat menunggumu."
***
Halu! Lama tidak bertemu. Btw, aku seneng banget sama comeback mereka yang Psycho. Cantik-cantik nyeremin gimana gitu, lagunya bagus, MV nya keren, and mereka cantik bingits pen bungkus bawa pulang😭
Selamat ya RV!
Juga, cepat sembuh buat uri wanda💙
We'll be okay!
Fobetor dan dua monster imutnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top