Sept: Espoir
Cerita ini hanya fiktif belaka, harap kebijaksanaan pembaca dalam memahami isi cerita.
| Fantasy/ Mythology |
| Red Velvet | TVXQ | Jessica and Krystal Jung | BTS |
and another idol,
Enjoy!
*****
Sooyoung berjalan beriringan dengan Yerim, sesekali melirik penasaran pada wanita muda di sampingnya yang sibuk membaca buku. Sooyoung tidak terlalu suka membaca buku, dia lebih suka menghajar orang. Semua orang yang mengenalnya tahu itu. Dia masuk militer dan direkrut sebagai tentara khusus juga karena hobinya baku hantam. Memang agak aneh, dengan wajah cantik dan tubuh luar biasa, wanita itu kerap dibayangkan sebagai model yang melenggak-lenggok di atas catwalk atau mengisi sampul majalah dengan parasnya yang memukau. Bukannya berada di medan perang dengan senapan di tangan dan semangat membara sebagai pasukan berani mati kebanggaan negara.
Sayangnya, Park Sooyoung benci sesuatu yang terlalu biasa. Dia lahir di dalam keluarga militer, perkelahian dan latihan ala tentara adalah hal biasa baginya. Dia butuh tantangan, dia ingin menaikkan levelnya. Kedua orangtuanya tidak memaksa Sooyoung menjadi seorang tentara, bahkan menyarankan agar wanita itu memilih profesi sebagai dokter atau pengacara saja, kalau-kalau dia terlalu risih untuk menjadi seorang artis. Sooyoung menolak dengan tegas, mengatakan dia akan mengikuti jejak kakak lelakinya yang punya karir luar biasa di dunia militer. Atau, mengikuti jejak saudaranya yang lain sebagai pelatih karate ternama.
Larangan? Tentu saja Sooyoung sempat cekcok hebat dengan keluarganya. Wanita itu menantang arus, membuktikan dirinya layak dan membungkam orang-orang yang meragukannya dengan menjadi salah satu tentara kebanggaan negara. Terlebih, karena pilihannya Sooyoung bisa bertemu dengan Yok Sungjae, pria yang juga berkarir di bidang yang sama dengannya. Kisah cinta mereka tidak berjalan mulus karena tentangan sang ayah, tapi pada akhirnya berhasil menemui titik terang. Setelah Sungjae pulang dari misinya di Timur Tengah, Sooyoung akan meminta Sungjae segera menikah. Kalau bisa, memaksanya. Masa bodoh, Sooyoung dan Sungjae sama-sama tahu mereka saling mencintai dan mengharapkan hubungan dalam jenjang yang lebih tinggi, sikap tarik ulur yang kekanakan tidak diperlukan sekarang. Mereka harus mengambil langkah tegas dan berani.
"Apa yang membuatmu melamun dan tidak sadar kalau kita berada di ruangan yang aneh?"
Sooyoung menoleh cepat pada Yerim, tersentak begitu melihat raut serius wanita itu dan keadaan di sekitar mereka.
Apa lagi semua ini?!
"Sejak kapan kita berada di sini?" tanyanya bingung. Sooyoung memperhatikan ke sekitar, hanya melihat cermin, cermin, cermin, dan cermin. Keduanya seolah dikurung dalam labirin aneh yang dindingnya terbuat dari cermin. Sintingnya, tidak ada bayangan mereka terpantul di sana. "Dan tahukah kau tempat apa ini?"
Yerim menggeleng, menutup buku yang tadi di bacanya dan menyimpannya ke dalam tas kecil yang dibawanya. Terlihat jauh lebih tenang ketimbang rekannya. Aneh, tapi cukup membantu. "Tidak ada keterangan di dalam buku, aku tidak punya dugaan apa pun soal tempat ini."
Sooyoung berjalan mendahului Yerim, hendak menyentuh salah satu permukaan cermin di depannya. Dingin. Seperti cermin di kamarnya. Sooyoung berbalik, baru hendak berceloteh pada rekan merah mudanya saat dia disambut pemandangan kosong. Tidak ada Yerim, tidak rambut merah mudanya, tidak tubuh mungil dan tatapan tajamnya, tidak ada siapa-siapa selain Sooyoung dan cermin-cermin yang tidak memantulkan bayangannya. Bahkan tidak ada suara atau pun jejak kepergiaan Yerim. Luar biasa!
Sooyoung tertawa keras, membiarkan tawa sarkastiknya bergema di ruangan penuh cermin itu. Jika Morfeus atau siapa pun itu ingin membuat Park Sooyoung marah, dia berhasil melakukannya. Dia mau apa lagi sekarang? Mengirim Sooyoung ke neraka?
"Baik, sekarang apa, Morfeus? Aku bermain hide and seek dengan Yeri, begitu?" Sooyoung bertanya kosong pada udara. Tidak ada jawaban tentunya, tapi wanita cantik itu tidak peduli. Dia terlalu kesal pada apa yang terjadi dengannya sekarang. Lebih kesal lagi karena Sooyoung sadar mungkin dia tidak bisa menghadapinya. "Baik, ayo bermain. Pertama sekali, tolong beritahu aku kau ada di sini."
Sooyoung menoleh cepat saat sekelebat bayangan melintas dari arah sampingnya. Wanita cantik itu tentu merasa gemetar, sedikit. Dia mengigit bibir bawahnya untuk mengusir gelisah, memberanikan diri berlari mengikuti sekelebat bayangan yang sedari tadi terus melintasi cermin.
"Sooyoung ...."
Sooyoung menoleh dengan cepat, melayangkan tinjunya pada salah satu cermin yang merefleksikan bayangan bocah laki-laki dengan satu rongga mata yang kosong. Kepalan tangannya berhenti hanya beberapa senti sebelum menyentuh cermin. Sooyoung terkesiap saat anak kecil itu melesat pada cermin di sebelahnya.
"Kemari kau bocah busuk! Tidak usah bertingkah seperti mimpi burukku!" Wanita itu berlari, mengejar bayangan bocah yang terus menerus berpindah lewat cermin-cermin di sekitarnya.
"Soo—"
"DIAM!" Sooyoung meninju cermin di depannya, menciptakan retakan besar yang menyebar. Wanita itu menatap bayangan cermin retak yang kini menampilkan wajahnya yang terdistorsi. Ada darahnya di cermin itu, juga pada kepalan tangannya yang dihiasi pecahan kaca.
"Sooyoung."
Sooyoung menatap bayangan anak laki-laki dengan satu mata yang berdiri di belakangnya. Dia memejam, menenangkan diri agar tak terpancing emosi sesaat yang justru akan merugikannya. Sooyoung berbalik dengan tangan mengepal kuat, siap menghajar bocah yang hanya mematung menatapnya dengan wajah datar. Sooyoung tersentak begitu kepalan tangannya menembus tubuh anak kecil itu, dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh menembus tubuh bocah laki-laki di depannya. Sooyoung membulatkan mata saat dirinya nyaris menabrak cermin, dengan sigap menahan pergerakannya agar tidak menabrak cermin dan berakhir terluka. Sayangnya, sebuah dorongan kuat menubruk punggungnya, membuat Sooyoung terdorong ke arah cermin. Dia memejamkan mata, bersiap menerima luka apa pun. Yang terjadi justru tubuhnya menembus cermin itu dan masuk ke dalamnya.
.
.
.
"Sooyoung?"
Yerim melihat ke sekeliling, mencoba memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa rekannya tiba-tiba menghilang. Yerim hanya menoleh sebentar dan voilà! Sooyoung lenyap dari pandangannya.
Yerim mendesah lelah. "Joy, serius. Berhentilah bermain-main dengan semua ini." Dia menatap deretan cermin-cermin yang menghiasi dinding labirin, masih tidak menemukan refleksi sosoknya di sana.
"Joy,"
Tidak ada jawaban. Setitik keraguan menyusup dalam benaknya, membuat Yerim secara naluriah bersikap waspada. Dia memegang tas kecilnya, bernapas lega begitu merasakan buku terkutuk itu masih ada dalam tasnya.
"Jika kau sengaja melakukan ini, aku akan membelah koleksi tas kesayanganmu."
Tidak ada jawaban sama sekali, bahkan ancaman barusan tidak berfungsi. Yerim sadar kalau Sooyoung tidak sedang bermain-main. Oh, siapa sih yang tengah bermain di sini kecuali si Pencipta Mimpi yang terkutuk itu? Yerim yakin seribu persen dia yang paling senang dengan pesta terkutuk ini.
"Yerim."
Yerim berbalik dengan segera, bertemu pandang dengan sosok pria berambut orange yang menatapnya dengan pandangan kosong. Tidak ada topeng, tapi Yerim mengenalinya dengan mudah. Jung Hoseok, Morfeus, Sang Dewa. Sumber masalah dari segala hal tak masuk akal yang terjadi pada Yerim dan yang lainnya.
Yerim melompat mundur, mengeluarkan pisau kecil yang diselipkannya di pinggang dan memakainya sebagai pertahanan diri. Dia tahu itu percuma, tapi mati konyol tanpa pernah berusaha melawan sama saja dengan mencoreng harga dirinya sebagai tentara unggulan yang terhormat.
"Aku tidak akan mati dengan itu," kata Hoseok dengan nada tak beremosi.
"Tidak masalah," balas Yerim dengan pongah, berdoa semoga getar pada kalimatnya tidak terdengar Hoseok. "Aku hanya ingin melukaimu satu kali. Sekarang, katakan padaku dimana segelnya. Aku akan memutus lingkaran terkutuk ini."
Hoseok melihatnya dengan tatapan kosong. Sesuatu yang aneh, karena Yerim lebih sering melihatnya tersenyum mengerikan atau tertawa. Dalam ingatan Yerim, Jung Hoseok adalah makhluk sinting yang hobi membuatnya naik darah dan gemetar ketakutan. Tanpa topeng dan tawa menyebalkannya, dia kelihatan berbeda. Lebih tenang dan normal. Ketenangan yang mengerikan, karena Yerim sadar ada hening yang mencekam sebelum badai besar datang.
"Kau bisu atau bagaimana?" Yerim tetap berusaha memprovokasi, kendati Hoseok tetap mempertahankan wajah tenangnya.
"Yerim," panggilnya, "apakah kau ingin melihat sesuatu?"
Itu dia!
Yerim bernapas lega saat Hoseok kembali menampilkan senyum lebarnya yang biasa Yerim lihat. Dengan senyum lebar itu, Yerim merasa Hoseok tidak semenakutkan itu.
Setidaknya begitu, sampai ketika Hoseok menarik senyum miring yang ambigu dan meniupkan sesuatu dari telapak tangannya ke arah Yerim. Yerim spontan menutupi area mata dan hidungnya. Tapi percuma, aroma memabukkan itu sudah sampai ke indranya. Merasuki setiap sel tubuhnya. Yerim merasa kepalanya kosong dan pandangannya mulai berkunang-kunang, disusul efek bius yang kuat hingga akhirnya wanita berambut merah muda itu ambruk ke tanah.
Senyum di wajah Hoseok memudar dengan cepat, berganti dengan ekspresi datar yang membuat emosinya sukar diterka. Pandangannya beralih pada tas kecil Yerim yang kini terbuka, menampilkan buku kecil dengan sampul berwarna coklat.
.
.
.
Namjoon mencintai misteri dan segala tantangan penuh resiko yang menyertainya. Meski dia kerap menyumpah serapah begitu hal yang dihadapinya kerap membuat keringat dinginnya mengalir deras, ujung-ujungnya, pemuda dengan helai pirang platinum itu tetap akan mengambil petualangan penuh resiko dan menyambut segala sesuatunya dengan tangan terbuka.
Namjoon itu jenius. Deras otaknya mengalir lebih kencang dari manusia biasa, membuatnya bisa melahap berbagai ilmu dan punya jalan pikir yang cemerlang. Orang tuanya kaya raya. Kalau pun dia ingin hidup foya-foya seperti playboy yang kerap mengisi club malam atau berjudi di Makau dengan banyak taruhan dan berakhir kalah, dia bisa tetap makan dengan tenang dan mengunggah aktivitas bejatnya di sosial media. Namjoon juga diberkati wajah yang tampan, dengan tubuh atletis yang membuatnya dilirik banyak wanita dan sebagian pria. Kehidupannya adalah impian yang diidamkan banyak orang. Jenius, kaya, dan tampan.
Lalu, kenapa pria sesempurna Namjoon ikut serta dalam permainan terkutuk yang berhubungan dengan dunia Dewa?
Jawabannya sederhana; dia butuh sesuatu yang tidak bisa diuraikan dengan logika. Menjadi arkeolog adalah salah satu pekerjaan yang menurutnya paling menantang. Setelah berkecimpung dalam profesi itu, Namjoon kerap dibayangi sesuatu yang tidak mampu dia jabarkan dengan cara yang rasional. Mitos, kutukan, makhluk gaib, dewa, sihir, dan segala sesuatu yang membuat Namjoon harus membuang logikanya ke dalam tong sampah. Namun, Namjoon sama sekali tak menyesal. Dia mencintai pekerjaannya dan semua misteri yang harus dipecahkannya. Dia akan menjamu semua petualangan itu dengan sukacita dan senyum lebar.
Karena itu, Namjoon tidak terlalu terkejut saat menyadari tidak ada siapa pun yang terlihat begitu dia membuka pintu. Namjoon berbalik, menemukan pintu itu menutup sepenuhnya meski dia yakin tadi rekannya, Seungwan, turut menyertainya masuk. Namjoon kembali menatap keadaan tempatnya kini berada. Sebuah lorong panjang, deretan pintu, dan cahaya obor yang temaram. Dia berjalan, meneliti lamat-lamat pintu demi pintu yang dilewatinya. Salah satu kelebihannya adalah intuisinya yang tajam, itu terbukti dalam banyak pengalaman. Kali ini, Namjoon membiarkan intuisinya membimbingnya ke depan pintu dengan ukiran emas yang membentuk pohon besar dengan akar menyebar. Jemari kanannya yang dihiasi cincin memegang erat kenop pintu berwarna emas, membukanya dengan mantap.
Terpaan angin menerbangkan helai rambut dan kimono putihnya, membuat Namjoon secara naluriah menutupi matanya karena angin yang bertiup kencang begitu dia membuka pintu. Setelah angin itu reda, Namjoon perlahan menurunkan lengannya dan menatap ke sekitar dengan pandangan membola. Dia berada di sebuah hutan dengan pohon-pohon tinggi dan dedaunan yang berterbangan. Otak jeniusnya mulai bekerja, meneliti anomali apa pun yang bisa dia temukan di tempat itu.
Pohon, angin, daun, rumput, batu, tanah, bunga, jejak kaki, panah—
Bunga opium.
Salah satu sudut bibirnya tertarik membentuk seringai. Pria itu menatap pada hamparan opium dua meter di dekat kakinya, lalu dia bersiul seolah hendak memanggil hewan peliharaan.
"Keluarlah, Fantasos."
Angin kencang mendorong tubuh pria itu hingga membentur pohon, lalu tubuhnya dibelit akar pohon yang siap meremukkan tubuhnya. Namjoon terengah, sadar ikatan akar pohon di tubuhnya terlalu kuat untuk dilepaskan. Dia menatap dedaunan yang berkumpul membentuk siluet seorang manusia, melayang beberapa senti di atas tanah di depannya.
"Apa yang dilakukan manusia di sini?"
Namjoon menyeringai, meski bisa merasa akar pohon semakin kuat membelitnya. "Entahlah, mungkin penjagaan saudaramu tidak bekerja?"
Jawabannya jelas mengundang amarah dari sosok di depannya. Namjoon berteriak kesakitan saat salah satu kakinya dipatahkan oleh belitan akar pohon yang melingkari tubuhnya.
"Jangan bertele-tele, manusia."
"Tidak bisa diajak bernegoisasi, huh." Namjoon mencebik, menahan teriakan walau dia merasakan kaki kanannya sakit luar biasa. "Aku datang karena saudaramu mengundang beberapa temanku ke dunia ini."
Sosok dalam bentuk kumpulan daun yang berterbangan di depannya bersedekap. "Ikelos tidak seakrab itu dengan manusia, dan Morfeus tidak mungkin mengundang manusia tanpa memberitahukannya padaku. Apa Oneiroi lain yang membantumu masuk?"
Namjoon menatap sosok di depannya dengan tatapan menyelidik. "Lingkari dia, dan tunggu hingga kantuk menarikmu ke dalam dunia sang Pencipta Mimpi."
"Apa itu, wahai manusia?"
"Caraku untuk memasuki dunia ini." Namjoon menarik nafas panjang, menghembuskannya bersama sisa kecemasannya. "Seorang manusia pernah ke sini, menuliskan semua yang diketahuinya ke dalam buku. Siapa pun yang memegangnya bertugas untuk menyegel lingkaran mimpi terkutuk yang diciptakan Morfeus. Sekarang, buku itu bersama temanku yang entah dimana."
Sosok di depannya perlahan berubah. Namjoon terpana melihat bagaimana dedaunan berterbangan dan menunjukkan sosok pria tegap dengan sayap hitam terkembang di balik punggungnya. Helai rambutnya yang berwarna coklat berkibar pelan, seiring dengan kelopak matanya yang perlahan terbuka, menampakkan netra abu-abu yang menyorot tajam.
Namjoon baru tahu jika Fantasos memiliki wujud yang rupawan, membuatnya menahan napas untuk sejenak secara tidak sadar. Bahkan dia yang seorang pria dibuat terpana, Namjoon tidak tahu bagaimana reaksi wanita melihat sosok di depannya?
Meredam ketakjubannya, Namjoon berbisik lirih. "Apa kau sungguh Fantasos?" Dia tidak bisa percaya begitu saja, bersikap skeptis diperlukan.
"Aku Fantasos, tapi tampaknya kau salah soal yang lainnya. Meski kau manusia yang diberkati otak yang luar biasa."
Namjoon hanya diam melihat jari telunjuk kanan Fantasos tertuju pada dahinya. Begitu jarinya yang dingin menyentuh permukaan kulit Namjoon, dia merasa seolah setengah isi otaknya dicuri pergi.
.
.
.
Seungwan tidak butuh waktu lama untuk menemukan Hoseok, karena tampaknya dia sudah menunggu Seungwan dengan sabar. Melihat sosoknya duduk tenang dengan sajian makanan mewah terhampar di depannya membuat Seungwan diserang perasaan aneh.
Hoseok yang memejamkan mata sembari menikmati semilir angin terlihat seperti wujud keindahan yang tidak nyata. Begitu damai dan menenangkan. Jika saja Hoseok menghampirinya seperti ini di dalam mimpinya, mungkin Seungwan tidak akan keberatan diserang mimpi yang sama setiap malam.
Karena sosoknya terlihat seperti ... harapan.
.
.
.
Son Seungwan, tujuh tahun.
Paris, Prancis.
Gadis kecil itu menatap toko permen di depannya, matanya berbinar melihat deretan permen warna-warni yang terpajang di etalase toko. Dia baru hendak menuju pintu toko saat suara jeritan dan kendaraan melaju ke arahnya.
Seungwan tidak ingat apa yang lebih tepatnya terjadi. Sebelum matanya menutup karena kesadaran pergi dari tubuhnya, kedua netranya bisa menangkap pemandangan kerusakan yang mengerikan.
Darah, tubuh-tubuh sekarat, kendaraan yang rusak, bangunan yang hancur, permen dan kaca yang bertebaran. Lalu, gelap mengurungnya bersama rasa sakit di sekujur tubuhnya.
.
.
.
Ketika Seungwan membuka mata, dia disambut dengan pemandangan langit-langit ruangan yang putih bersih. Seungwan berusaha bangun dari ranjangnya, menatap ke sekeliling ruangan yang dia duga adalah rumah sakit. Pandangannya berhenti pada sosok pria yang duduk di samping ranjangnya. Tatapannya datar, dengan penampilan tidak biasa yang membuatnya terlihat tidak nyata. Rambutnya berwarna orange, dengan pakaian yang biasa Seungwan lihat dalam buku-buku lama milik ayahnya.
"Apa kau Dewa Kematian?"
Sosok di depannya mengangkat salah satu alis, terkekeh pelan dan menatap Seungwan dengan senyuman. "Aku bukan Thanatos, atau Ker."
Seungwan masih penasaran, menatap sosok pria asing itu dengan tatapan polos dan rasa ingin tahu. "Lalu, siapakah kau?"
"Oneiroi. Kau tahu?"
Mata Seungwan membola, otak cerdasnya membayangkan informasi yang pernah dibacanya soal Oneiroi. "Dewa mimpi? Kau Morfeus? Benar kan?"
Sosok di depannya tidak menjawab, hanya menampilkan senyum tipis. "Aku biasa dipanggil Hope. Aku membawa harapan untukmu, Wendy."
"Kau tahu namaku yang lain?"
"Aku tahu banyak hal."
Seungwan menatapnya dengan ragu. "Apa kau tidak punya nama manusia yang normal? Memanggilmu Morfeus atau Hope kedengaran aneh."
"Kau ... bisa memberikanku nama?"
"Benarkah?" Seungwan tersenyum senang, kedua pipi gembilnya memerah. "Aku keturunan Korea, kau mau nama dari bahasa Korea?"
"Tidak masalah, selama itu berarti baik."
"Kalau begitu, Jung Hoseok. Nama yang akan menyebar ke seluruh negara."
"Jung ... Hoseok?"
"Ya! Karna kau adalah dewa mimpi yang memberi harapan. Kau akan menyebar harapan ke seluruh negara!" Seungwan bicara dengan semangat, membuat sosok di depannya tertular kebahagiaannya yang cerah.
Pria itu tersenyum, kali ini bukan senyum palsu yang biasa dia tampilkan, melainkan seulas senyum tulus.
"Baiklah. Namaku Jung Hoseok. Salam kenal, Wendy."
.
.
.
Bae Joohyun, sepuluh tahun.
Paris, Prancis.
Gadis kecil itu berdiri di dekat pintu masuk rumah sakit, menatap muram pada genangan air yang turun dari langit dan membuat jalanan becek. Dia baru saja dari kamar mayat, melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ayahnya terbaring kaku di atas ranjang yang dingin.
Apa itu kematian? Joohyun tidak terlalu paham. Dia hanya memahami kematian sebagai bentuk kepergian seseorang ke tempat yang lebih baik. Namun, bukankah itu berarti Joohyun tidak bisa melihat ayahnya lagi? Karena Joohyun juga tidak bisa melihat atau bicara dengan neneknya yang lebih dulu pergi.
Sirene ambulans membuat gadis kecil itu menoleh, menatap penasaran pada pintu belakang ambulans yang dibuka. Tidak hanya satu, ada banyak ambulans dan ranjang-ranjang yang di dorong. Orang-orang kelihatan sibuk, membuat Joohyun menyingkir dan berdiri di dekat pilar.
"Irene."
Joohyun mendongak, menatap wajah asing yang tersenyum ramah padanya. Dia mundur secara naluriah, mengingat peringatan orang tuanya untuk tidak sembarangan bicara pada orang asing.
"Irene, apa kau ingin bertemu dengan ayahmu?"
Penjagaan Joohyun mengendur.
.
.
.
Kang Seulgi, tujuh tahun.
Paris, Prancis.
Semua yang ada di sekelilingnya selalu pergi, tidak ada gunanya menangisi seseorang yang tidak akan kembali. Kang Seulgi menanamkan kalimat itu kuat-kuat di dalam otaknya, menolak air matanya yang hendak tumpah ruah. Kakaknya pasti akan memarahinya kalau Seulgi ketahuan menangis, tapi dia tidak bisa menahan air matanya lagi.
"Kenapa kau menahan air matamu?"
Seulgi terkesiap saat melihat seorang pria menyodorkan sapu tangan padanya. Dia menatap pria yang berlutut di depannya, lalu membuang muka.
"Aku tidak diperbolehkan bicara dengan orang asing," katanya ketus.
Pria berambut orange itu tertawa. "Padahal kalau kau mau menangis, aku akan maklum. Kehilangan seorang ibu dan melalui beratnya hidup dalam keluarga yang hancur, kau berhak menangis untuk melampiaskan rasa sakitmu."
Kang Seulgi seharusnya marah atau melarikan diri dari pria di depannya. Namun, dia justru menangis keras, membiarkan air matanya mengalir deras di depan pria yang bahkan baru ditemuinya beberapa saat lalu.
"Seulgi, apa kau pernah mengharapkan kehidupan yang lebih baik?"
.
.
.
Park Sooyoung, lima tahun.
Paris, Prancis.
Sooyoung tidak paham apa yang terjadi. Dia hanya ingat bahwa kedua saudaranya membawanya ke toko permen. Di saat mereka sedang sibuk memilih makanan manis itu, suara berisik terdengar dari arah luar. Disusul teriakan dan tarikan dari kedua saudaranya. Lalu, dia menangis karena tubuhnya terasa sakit dan dua saudaranya terbaring tak sadarkan diri memeluknya. Suasana di sekitarnya sangat kacau dan Sooyoung tidak ingat apa pun lagi.
"Karna kecelakaan ini, kakakmu mungkin tidak bisa ikut turnamen minggu depan. Kita akan mempercepat liburannya dan kembali ke rumah dengan segera."
Ibunya bilang begitu tadi, sebelum meninggalkan Sooyoung sendirian dengan setangkai lolipop di tangan. Sooyoung belum menemui kedua saudaranya, tapi dia sadar kalau semua ini adalah salahnya. Dia yang merengek ingin ke toko permen saat itu.
"Kenapa kau menangis? Padahal kau punya lolipop dan wajah yang cantik."
Sooyoung mengangkat wajahnya, berbinar begitu melihat senyum lebar seorang pria di depannya. Dia memegang sepiring cake berlumuran coklat. Rambut orange yang nyentrik itu berkibar, membuat Sooyoung merasa kalau pria yang berdiri di depannya mirip tokoh pangeran yang kerap dilihatnya di buku dongeng. Dia menyodorkan kue di tangannya pada Sooyoung.
"Joy, apa kau percaya dengan harapan?"
.
.
.
"Kenapa kau datang ke kamarku?"
Hope —sekarang namanya Jung Hoseok— tersenyum begitu Seungwan bertanya padanya dengan nada bicara yang polos. Seungwan pastilah anak yang cerdas melampaui usianya, tapi dia juga punya ketenangan yang tidak wajar. Meski dia tahu kalau Hoseok adalah Dewa Mimpi yang pernah dibacanya di salah satu buku mitologi milik ayahnya, Seungwan tidak terlihat menganggap eksitensinya sebagai ancaman. Malah memberinya nama dan berbicara pada Hoseok seolah mereka adalah teman lama.
Hoseok tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya. Dia akrab dengan manusia yang putus asa dan menjadikannya ajang untuk memberi mereka harapan, lalu mengutuk jiwa mereka ke dalam mimpi yang diciptakannya. Karena itu, Hoseok tidak tahu harus bereaksi bagaimana dengan tanggapan Seungwan.
"Karena golongan darahmu langka, orangtuamu bersusah payah mencari donor darahnya hingga mereka kelelahan. Tidakkah kau kasihan pada mereka?"
Manik Seungwan membola, menatap Hoseok dengan tatapan tak percaya. "Mereka ... melakukan itu untukku?"
Hoseok mengangguk. "Kau sekarat sekarang dan aku datang mengunjungimu lewat mimpi. Jika kau ingin keluargamu baik-baik saja, bukankah sebaiknya kau ikut denganku?"
.
"Aku bisa mempertemukanmu dengan ayahmu lagi." Hoseok terdiam sebentar, meneliti raut wajah Joohyun yang penuh harapan. "Aku bisa mengabulkan harapanmu, tapi itu berarti kau harus meninggalkan ibumu."
.
"Aku akan memberikan kehidupan yang lebih baik. Tidak ada orangtua yang kasar, saudara yang jahat, keluarga yang buruk, rumah yang kacau. Semuanya akan terasa hangat dan menyenangkan jika kau ikut denganku, Seulgi."
.
"Turnamen itu adalah impian kakakmu sejak lama. Satu matanya buta, dia tidak akan pernah diterima dalam militer. Impiannya kandas karenamu, Joy. Tidakkah kau ingin memperbaiki kesalahanmu?"
"Aku ... bisa membantu Oppa?"
Hoseok mengangguk, tersenyum dengan cara yang biasa dia lakukan untuk memikat korbannya. "Kau harus ikut denganku dan kita akan mencarikan jalan keluar untuk kakakmu."
.
"Bagaimana, Wendy?"
"Aku tidak mau."
Hoseok memiringkan kepala, heran dengan jawaban gadis kecil yang duduk di ranjang itu. "Kenapa kau tidak mau? Bukannya kau selalu berharap orangtuamu tetap sehat dan kau tidak menyusahkan mereka?"
Seungwan menggeleng tegas. "Ayah dan Ibu selalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Jika mereka menyempatkan diri untuk begitu khawatir padaku, berarti aku tidak boleh pergi."
"Bagaimana kau tahu aku akan membawamu pergi?"
"Kau dewa mimpi, Hoseok. Semua kekuatanmu hanya bisa kau lakukan dalam mimpi. Tidak dalam kenyataan."
.
"Aku ... tidak bisa."
"Kenapa?"
"Aku memang berharap bisa bertemu dengan ayahku, tapi aku tidak bisa meninggalkan ibuku. Ayah pasti akan setuju dengan pilihanku, aku kenal Ayah."
.
"Aku tidak mau!"
"Hm?"
"Harapanmu pasti palsu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain bergerak maju dengan semua yang aku alami dan aku miliki. Ibuku pernah bilang, melarikan diri adalah tindakan pengecut yang tidak bertanggung jawab."
.
"Aku tidak mau ikut denganmu."
"Bukankah kau ingin saudaramu tetap bisa mewujudkan impiannya?"
"Impian Oppa adalah kami tetap utuh dan terus bersama. Aku tidak bisa pergi dan menghancurkan impian kakakku."
.
"Aku ... ditolak?"
Seungwan terkikik, merasa geli melihat wajah kebingungan pria di depannya. "Maaf, Hoseok. Sepertinya kau gagal dapat buruan hari ini. Aku tidak bisa meski sangat ingin melihat dunia tempatmu berada."
Hoseok terdiam beberapa saat, lalu pria itu berkata dengan senyum lebar di wajah. "Kalau begitu, datanglah ke perjamuanku."
"Perjamuan?"
Hoseok mengangguk pelan. "Aku akan memperlihatkan dunia tempatku berada. Lagipula, aku tidak pernah melepaskan seseorang yang harapannya kudengar dan ingin kukabulkan."
"Apa banyak makanan enak di sana?"
"Aku pastikan akan membuatmu senang, Ma Chérie."
.
.
.
"Tampaknya dia kelewatan batas kali ini." Fantasos berujar begitu saat telunjuknya menjauh dari kening Namjoon.
"Maksudmu?"
"Mengundang manusia ke Dunia Mimpi adalah tindakan pelanggaran, Kim Namjoon."
"Dari mana kau tahu na— ah! Itu tidak penting. Sekarang, katakan apa maksudmu dengan dia yang kelewatan batas. Kau bicara tentang Morfeus?" Namjoon merasa firasatnya tidak enak, seperti ada yang salah selama ini.
Fantasos memiringkan kepalanya, menatap Namjoon dengan seringai di wajah. "Kau benar juga. Saudaraku pasti tahu hal ini dan membiarkannya, dia kelewatan batas juga kali ini."
Namjoon mendidih, dalam hati ingin sekali mengucapkan permintaan maaf pada Seulgi dan mengatakan kalau Namjoon sangat paham perasaannya. Berada di situasi di mana kau tidak tahu sesuatu dan orang yang bisa memberitahumu itu justru mengulur waktu dan bertele-tele benar-benar membuat kesal! Namjoon ingin mengumpankan Fantasos ke Zeus sekarang, membiarkannya dipanggang petir atau apa pun yang bakal menyiksanya habis-habisan.
"Fantasos, Oneiroi yang terhormat." Namjoon menekan segala egonya dan membuangnya ke tempat Hades berkuasa, Dunia Bawah, yang paling bawah kalau bisa. Meski secara teknis dunia tempat dia berada sekarang termasuk Dunia Bawah. "Tolong katakan padaku, manusia biasa yang tidak tahu apa-apa ini, cerita lengkap tentang Jung Hoseok, Morfeus, saudaramu, pelanggaran, atau apa pun yang perlu kuketahui soal semua kejadian ini!"
Fantasos tertawa. "Manusia lucu juga," katanya dengan nada penuh kelakar. "Sekarang aku mengerti kenapa saudaraku begitu sering mengunjungi alam manusia."
Namjoon menjambak rambutnya dengan frustasi, ingin berteriak marah pada Fantasos tapi sadar kalau sosok di depannya adalah dewa.
"Tidak usah kesal begitu, Manusia." Fantasos menjentikkan jarinya. Sekejap kemudian, hutan tempat mereka berada berganti menjadi sebuah kamar yang mewah dan luas. Dengan dekorasi yang didominasi emas dan perak, ruangan tempat mereka berada mirip dengan kamar kerajaan dalam cerita fantasi. "Sekarang, aku akan menjelaskan padamu kesalahanmu yang pertama dan yang paling fatal."
Namjoon sempat terkejut dengan bagaimana tempat yang dipijaknya dengan cepat berganti, tapi ada yang lebih mendesak pemikirannya sekarang. Namjoon harus cepat kecuali dia ingin wanita-wanita barbar itu dalam bahaya.
"Apa itu?"
"Kenapa kau mengira pria orange itu adalah saudaraku?"
.
.
.
Seungwan tersentak, matanya membuka dengan segera. Wanita itu segera bangun begitu sadar dia tengah berbaring pada paha seseorang.
"Sudah bangun?"
Hoseok menatapnya dengan lembut, membuat Seungwan sejenak terpana. Wanita itu menggelengkan kepalanya, cepat-cepat menjauh dari Hoseok yang menatapnya masih dengan pandangan lembut.
"Jadi begitu caramu menjebak kami semua ke dalam permainanmu," tuduh Seungwan dengan kesal. "Kau marah karena kami tidak termakan bujuk rayu penuh kepalsuanmu?"
Hoseok masih mempertahankan senyum di wajahnya. "Kau membuatnya terdengar mengerikan, Wendy. Aku hanya penasaran, bagaimana kalian bisa menolak harapan yang sangat ingin kalian wujudkan?"
"Kau harus sadar, Hoseok. Meski kau Morfeus, kau tetap bisa salah dengan mimpi seseorang. Harapan ada untuk membuat kita tetap berjuang, tapi bukan berarti kita bisa mengorbankan orang lain seenaknya."
"Alasan yang bagus," puji Hoseok. "Aku mencoba tawaranku pada Yunho beberapa minggu kemudian. Meski dia sempat menolak, tapi dia menerimanya juga. Dan Jessica, dia begitu putus asa hingga rela melakukan apa pun untuk mempermudah pekerjaanku. Bukankah harapan bisa menjadi kekuatan yang menguatkan sekaligus menghancurkan?"
Seungwan menatap pria di depannya dengan pandangan tak percaya. "Aku kira kau sedikit berubah, tapi kau sama saja, Hoseok. Jika kau hanya ingin mengambil nyawa manusia, bukankah kau tak lebih dari monster pembunuh?"
Hoseok terdiam, senyum lenyap dari wajahnya yang semula cerah. "Apa aku seburuk itu, Wendy?"
Seungwan berusaha mengabaikan tatapan mata Hoseok yang terlihat begitu sedih. "Katakan di mana temanku yang la— tunggu! Kau tidak menceritakan bagaimana Yerim terlibat dengan semua ini."
Hoseok tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Gadis itu juga berada di lokasi kecelakaan dan salah satu korban juga. Tapi, aku kalah langkah dari dia."
"Dia?"
"Morfeus."
"Mor— bukankah itu kau?!"
Hoseok terkekeh renyah, menatap Seungwan dengan pandangan geli. "Kau dan teman jeniusmu salah tentang satu hal, Wendy. Aku bukan Morfeus. Kim Yerim mungkin telah bertemu dengannya sekarang. Aku hanya menepati janjiku untuk membawanya."
.
.
.
Ketika Yerim membuka mata, dia disapa pemandangan silau yang membuatnya harus mengerjap beberapa kali untuk membiasakan matanya pada cahaya terang. Wanita itu memegang kepalanya yang masih terasa melayang, mendengus samar dan bangkit dari posisinya yang berbaring di atas lantai yang dingin. Dia duduk, mengamati ruangan tempatnya berada. Ruangan luas yang dihiasi beberapa lukisan. Ada patung besar bersayap hitam ... dan seseorang yang mengamati patung itu.
Yerim menatap siluetnya dari belakang, merasa sangat mengenali bahu lebar dan tubuh tinggi tegap itu. Matanya membelalak begitu menyadari helai rambut pria di depannya yang berwarna serupa dengan miliknya sekarang.
Merah muda.
Sosok itu berbalik perlahan, membuat Yerim berdebar menanti wajahnya yang semakin jelas terlihat. Ketika dia sepenuhnya berhadapan dengan Yerim, wanita cantik itu terkesiap. Wajah rupawan itu dihiasi senyum, membuat ketampanan yang menghiasi fitur wajahnya berkali lipat indahnya. Melihat sosoknya dalam sudut seperti ini, membelakangi patung dengan sayap hitam yang terkembang lebar, membuat Yerim merasa melihat pria itu sendiri lah yang terlihat memiliki sayap. Terlihat indah, misterius, dan sureal.
Genangan air matanya bertumpuk begitu saja, lalu luruh diiringi isak tangis yang sarat akan rasa haru.
"Oppa...."
***
Wow, here we go again.
Aku gak nyangka cerita ini jadi cerita tercepat akun ini haha. Jadi gimana? Udah penasaran? Udah pengen baca bab selanjutnya? Udah sayang sama yang nulis? Eh! Intinya, karna aku sayang kalian aku bakal jelasin beberapa hal. Sedikit, maybe.
Aku buat perubahan pada usia di adegan kilas balik mereka. Jadi waktu Wendy, Seulgi umur 7 tahun, Iren 10 tahun, dan Joyie 5 tahun (buset kecil bat wkwk) mereka ketemu Hope dan nolak babang orange kita. Di situ Wendy yang ngasih nama Jung Hoseok ke dia. Gak lama kemudian, Hoseok nyoba lagi peruntungannya ke Yunho (15 th) dan zimzalabim! Keluarga Jung pun terjebak dalam permainan si Hoseok.
Si Yerim gimana? Cowok pink itu siapanya Yeri? Hoseok itu sebenernya dewa apaan kalo bukan Morfeus? Gimana nasib Namjoon yang cuma figuran?
Gak tau, liat aja di chapter depan.
Berhubung work ini cukup menguras otak, free to ask kalo ada bagian yang kurang jelas atau plot hole (selama itu bukan spoiler).
Sincèrement, Lume✨
Fantasos yang ganteng,
dan Babang Pink yang identitasnya dipertanyakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top