Neuf : Représailles
Cerita ini hanya fiktif belaka, harap kebijaksanaan pembaca dalam memahami isi cerita.
| Fantasy/ Mythology|
| Red Velvet | TVXQ | Jessica and Krystal Jung | BTS |
and another idol,
Enjoy!
*****
Orang-orang yang menari di dalam ruangan itu semakin liar. Seulgi mengembuskan napas kencang, mempersiapkan diri untuk melewati pagar manusia—entah mereka bisa disebut manusia atau tidak— dan menghajar wajah Hoseok. Motivasi wanita berambut panjang itu hanya satu; menuntaskan janjinya. Untuk menuntaskan janjinya, Seulgi harus mengerahkan semua kemampuannya. Terserah jika nanti dia gagal, tidak berani mencoba sama sekali kedengaran lebih buruk baginya.
"Mari berdansa." Seulgi melepaskan topeng di matanya, lantas menerjang kerumunan orang-orang yang berdansa.
Namjoon tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru takjub saat Seulgi melompat masuk ke dalam kerumunan pesta, dengan lihai bergerak di antara orang-orang yang berdansa. Mungkin wanita itu terbiasa melewati sistem keamanan tingkat tinggi, dan menganggap orang-orang tanpa jiwa yang kini berdansa liar di aula itu hanyalah salah satu sistem keamanan yang harus dia lewati.
Kang Seulgi benar-benar harta yang berharga. Namjoon harus bisa membuat wanita itu berada di pihaknya. Akan ada banyak keuntungan yang Namjoon dapatkan jika memiliki pencuri cantik itu di sampingnya.
"Tutup mulutmu sebelum air liurmu menetes keluar, Profesor."
Namjoon mengatupkan rahang dengan segera, memasang wajah salah tingkah pada Joohyun yang menyeringai. Wanita cantik itu tertawa pelan melihat Namjoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung harus berkata apa.
"Kau mau tetap di sini, bukan?" tanyanya. Telunjuknya mengarah pada kerumunan orang-orang yang berdansa di aula. Seulgi terlihat sibuk di sana, menghindari orang-orang yang seolah bernafsu menginjaknya. Wanita itu tidak segan-segan mengumpat saat dia terkena dorongan atau sikutan. "Aku ingin membantu Seulgi."
Namjoon sudah mengangguk, tapi dia buru-buru menggeleng ketika melihat seseorang di kerumunan pesta. Joohyun mengernyit bingung dengan tingkah Namjoon.
"Shim Changmin?"
Joohyun menoleh ke arah pandangan Namjoon terpaku, menemukan seorang pria balas menatap mereka dengan pandangan dingin. Sepasang mata pekat yang memesona mengunci tatapan Joohyun. Rambutnya coklat, sebagian jatuh menutupi dahi. Pria itu memakai pakaian mewah tak ubahnya seperti pria-pria lain di lantai dansa. Di antara orang-orang yang terus menari dengan gerakan cepat, Changmin menatap mereka tanpa kedip.
"Profesor, dari mana kau tahu dia Shim Changmin?" bisik Joohyun. Seolah-olah dia takut Changmin bisa mendengar mereka. Padahal, sedari tadi Seulgi mencaci maki Hoseok dan Joohyun tidak menghentikannya. Menegur pun tidak.
"Anggap saja otakku jenius, tapi aku tahu dari cerita Monsieur Yunho. Aku tidak akan datang ke suatu tempat tanpa persiapan, Agen Bae." Namjoon menjelaskan, balas berbisik. "Omong-omong, dia kelihatan lebih mengerikan ketimbang Hoseok."
"Yah, tidak heran Nona Jung sempat membencinya."
Namjoon menggeleng, menyeringai pada Joohyun. "Jessica tidak pernah membenci Changmin. Dia hanya tidak pandai mengutarakan perasaan, wanita itu memang buruk sekali soal berterus-terang."
Joohyun menatap Namjoon dengan pandangan tertarik. "Sepasang mata tajam yang terasah. Aku tidak salah menduga sejak pertama kali kita bertemu, Profesor."
Namjoon mengangkat bahu, tidak terlalu memikirkan perkataan Joohyun. "Aku pikir kau punya sepasang mata tajam yang terasah juga, Irene."
Joohyun menoleh, memandang datar pada Seulgi yang menjerit saat seorang tamu dansa mendorongnya dengan keras. Joohyun melirik podium, menemukan kepala Hoseok menoleh ke sana-sini. Pria itu kelihatan sibuk, mengendalikan tamu pesta dengan tongkat kecil di tangannya.
"Dunia ini tidak dalam kendali Hoseok, bukan?"
Namjoon menggeleng yakin, turut menatap pada Hoseok yang masih berdiri di atas podium. Musik masih mengalun, semakin cepat lajunya. Orang-orang semakin liar menari. Terbang, berputar, melompat. Entah apalah gerakan dansa orang-orang bertopeng itu. Namjoon mendongak, menatap dua orang yang berdiri tenang di lantai dua.
Fantasos melambaikan tangannya, sementara pria di sampingnya menatap Namjoon sekilas, lalu membuang muka dengan gerakan acuh.
"Hoseok hanya mengendalikan musik dan orang-orang yang menari," jelas Namjoon, menatap Joohyun dengan senyum bersemangat. "Aku menunggu Morfeus, ini akan semakin seru jika dewa mimpi itu turut bergabung ke dalam aula."
Joohyun terkekeh remeh, membuang topeng yang sedari tadi menghiasi area matanya. "Namjoon, aku yakin seribu persen kau tahu kalau dia sudah bergabung sejak tadi."
Namjoon tertawa. Ya, dia tahu.
Dia sangat tahu.
Pria itu melepaskan topeng di matanya, mendongak ke lantai dua. Fantasos kembali melambai, kali ini tersenyum miring menatap mata tajam Namjoon yang bicara padanya. Mereka bertatapan cukup lama, saling mengirim pikiran lewat tatapan mata masing-masing.
Fobetor mengangkat sebelah alis, merasa kalau manusia-manusia di lantai bawah itu akan memberinya pertunjukan yang menarik. Menilik bagaimana saudaranya, Fantasos, begitu dibuat terpikat dengan salah satu manusia yang ada di bawah sana.
Dia mungkin harus mencoba bersikap ramah pada manusia.
.
.
.
Topeng yang menghiasi wajah mereka dilepas. Seungwan dan Sooyoung telah berbaur dengan segenap tamu pesta yang ada di lantai dansa. Dengan kemampuan bertarung Sooyoung yang tidak bisa dipandang sebelah mata, mereka cukup mudah melewati pagar manusia yang bergerak lincah di aula.
"Yerim masih tidak sadar," kata Seungwan saat mereka berdua semakin dekat dengan Yerim.
Seungwan tidak sempat bicara lebih banyak karena Sooyoung sudah keburu bertindak. Gadis tinggi itu menerjang Yerim dengan satu tendangan, membuat wanita muda itu terpisah dengan rekan dansanya. Keduanya mundur dua langkah, menatap Sooyoung dengan pandangan heram bercampur marah.
"Apa yang kau lakukan, Park?!" Yerim memandang Sooyoung dengan sebal. "Kau mau membunuhku atau apa?"
"Aku mau menyadarkanmu, Yerim." Sooyoung membalas dengan tenang, menunjuk Seokjin dengan jari telunjuknya. Suara berisik musik dan keramaian pesta seolah perlahan menjauh dari mereka. "Pria ini memang super tampan, tapi dia hanya ilusi, Kim! Sadarlah!"
Yerim mengerutkan alis. Sedetik kemudian, tawanya menyembur keluar, membuat Sooyoung dan Seungwan kebingungan. Yerim menatap temannya dengan pandangan geli, seolah mereka baru saja mengatakan lelucon paling konyol.
"Joy, dia saudaraku."
"What the fuckin fuck?!" Sooyoung menjerit kaget. Menatap Seokjin dengan pandangan berbinar, lalu ganti memandang Yerim dengan garang. "Kau punya saudara yang punya pahatan wajah seperti mahakarya dan tidak pernah bilang padaku?"
"Joy, bukan itu yang penting sekarang." Seungwan melerai sebelum Sooyoung semakin melantur. Dia harus bertindak sebagai orang waras sekarang. "Aku dan Namjoon menyelidiki kalian semua. Saudara Yerim seharusnya mati saat usianya baru sembilan tahun. Orang ini tetap tidak nyata."
Yerim terkesiap, sadar kalau sejak tadi dia menari dengan ilusinya sendiri. Wanita itu menatap Seokjin, yang tersenyum manis padanya. Yerim meneguk ludah, menolak perasaan asing yang mengganggunya saat menyadari senyum Seokjin yang berbeda.
"Dia saudaraku."
"Kurasa tidak, Kim." Sooyoung menghela napas, melirik tas selempang Yerim yang memuat buku terkutuk yang seharusnya bisa menghentikan semua keanehan ini. Dia menatap Yerim dengan pandangan kasihan. "Yeri, kau harus sadar. Tidak mungkin saudaramu yang mati di usia sembilan tahun terwujud dalam sosok tinggi dan tampan seperti pria itu."
Yerim menggeleng kuat-kuat. Menolak mempercayai perkataan Sooyoung meski dia tahu wanita itu tidak bisa lebih benar lagi. Seokjin tidak mengambil tindakan apa pun. Hanya mengamati semuanya dengan tenang.
"Dia saudaraku, Joy. Namanya Kim Seokjin. Aku akan mengenalkan—"
"Aku tidak mau berkenalan dengan ilusi, Yerim."
Kedua mata Yerim berkaca-kaca, membuat Sooyoung mengatupkan mulutnya karena merasa bersalah. Dia tahu Yerim terguncang, tapi membiarkannya terjebak ilusi lebih menyakitkan.
Seungwan segera bertindak, menghalangi pandangan Yerim dari Seokjin. Profesor muda itu menatap tentara di depannya dengan wajah serius.
"Yerim, bukankah yang mati tidak bisa hidup kembali?"
Air mata Yerim turun setetes. Dia melirik Seokjin dari punggung mungil Seungwan. Tindakan Seungwan yang berusaha menghalangi pandangan Yerim dari Seokjin sebenarnya sia-sia. Tubuh jangkung Seokjin tetap terlihat oleh mata Yerim.
Seokjin tersenyum. Pria itu tersenyum dengan cara yang membuat Yerim merinding dan tidak mengenalinya.
Yerim mundur dua langkah. Dia kini tahu dari mana semua perasaan asing itu berasal. Seokjin yang terasa dekat sekaligus jauh di saat yang bersamaan, itu semua karena wujudnya benar-benar serupa dengan saudara laki-laki Yerim. Namun, sosok di depannya tetap bukan Seokjin.
Karena yang mati tidak bisa hidup kembali.
Sooyoung berinisiatif mendekat, menyentuh salah satu lengan Yerim. "Yeri, ini mungkin sulit. Tapi, kau harus sadar kalau dia tidak nyata."
Seungwan berbalik, membelakangi Yerim dan Sooyoung. Dia menatap Seokjin dengan tatapan menyelidik.
"Wendy Son. Aku benar, bukan?" Seokjin justru lebih dulu bertanya.
Seungwan menunjukkan wajah terganggu, tidak suka fakta kalau Seokjin mengenalinya. "Di mana kakimu berpijak?"
Seokjin tertawa. "Kau bertanya soal keberpihakanku?"
"Aku bertanya-tanya kenapa kau mengambil wujud saudara laki-laki Yerim."
Raut ceria di wajah Seokjin lenyap. Kali ini, tatapannya dingin seperti gunung es yang beku di bawah lautan. "Wendy, kau terlalu lancang."
"Kalian semua terlalu lancang."
Entah sejak kapan, musik telah berhenti dan orang-orang yang mulanya menari memadati aula telah berhenti. Semuanya terdiam dalam pose yang anggun. Hoseok memasang wajah marah, berdiri di antara Seungwan dan Seokjin.
Dia menunjuk Seokjin dengan tongkat kecilnya. "Bukankah kau berjanji tidak akan menganggu? Ini pestaku."
Seokjin tersenyum remeh. "Apa kau lupa kalau kau juga berjanji tidak akan membuat kerusakan?" katanya balik bertanya. "Omong-omong, pestamu membosankan sekali, Hope."
Yerim menahan napasnya saat melihat wajah Seokjin retak. Retakan itu bermula dari area pipinya, lalu semakin menjalar menghiasi permukaan wajahnya. Perlahan-lahan, retakan itu mengelupas dan rontok ke tanah seperti daun berguguran.
Wujud asli Seokjin menampakkan diri.
.
.
.
"Berhenti, Shim Changmin."
Pria tinggi itu berhenti, lalu berbalik dengan tenang. Wajah datarnya sama sekali tidak berubah meski melihat Joohyun dan Namjoon ternyata mengikutinya ke lorong-lorong sunyi dari tadi. Mereka berhenti di koridor gelap yang lenggang. Hanya ada cahaya lilin dalam jarak dua meter dan lukisan-lukisan seram yang tergantung di dinding.
"Sudah lama sekali sejak tempat ini kedatangan tamu manusia."
Joohyun memandang Changmin dengan tatapan penuh selidik. "Bukankah kau juga manusia, Changmin?"
Salah satu sudut bibir Changmin tertarik membentuk senyuman miring. "Secara teknis, hanya jiwaku yang berkelana di dunia penuh ilusi ini, Agen Bae."
Mengabaikan bagaimana Changmin bisa mengenalinya, Joohyun balas tersenyum remeh. "Aku tidak akan bertanya kenapa kau menganggu keluarga Jung. Cukup beritahu cara untuk keluar dari tempat ini."
Changmin justru tertawa, tawa yang bergema di lorong sepi tempat mereka bertiga berada.
"Kau menanyakan pertanyaan yang lucu, Agen."
"Aku setuju."
Joohyun melotot pada Namjoon, tidak senang dengan bagaimana Namjoon justru mendukung Changmin. Namjoon yang menyadari tatapan marah Joohyun hanya memasang cengiran tak berdosa.
"Dia sudah menuliskan semuanya, Irene."
"Menuliskan?" Joohyun mengerutkan kening. Otaknya dengan cepat membuat kesimpulan. "Maksudmu, dia—"
"Pemilik buku yang sekarang ada pada Yerim." Namjoon melengkapi kalimat Joohyun sebelum wanita itu menyelesaikannya. Pria itu maju, berdiri di antara Joohyun dan Changmin. Tatapan matanya yang tajam bertemu pandang dengan netra kelam Changmin yang sama tajamnya. "Akhirnya aku bertemu denganmu, Changmin. Monsieur Yunho titip salam. Kenapa kau tidak mengunjungi mereka lagi?"
Raut wajah Changmin mengeras. "Jangan bicara seolah kau tahu semuanya, Profesor," desisnya mengancam.
Namjoon sama sekali tak kelihatan terintimidasi. "Sayang sekali, aku tahu banyak hal, Changmin. Aku tahu kau punya semacam perjanjian dengan Hoseok. Kau menjadi teman bagi keluarga Jung juga karena perintahnya. Di tengah cerita, kau justru benar-benar menjadi teman bagi keluarga Jung. Kau menjual jiwamu lebih lama pada Hoseok dan membantu mereka keluar. Sayang sekali, Jessica justru menginginkanmu kembali dan kau memberikan bukumu padanya."
Changmin menggeram marah. "Profesor, kusarankan agar kau berhenti bicara. Kecuali jika kau mau aku mematahkan kakimu yang lain."
"Aku tak keberatan," balas Namjoon dengan berani. "Aku tahu kau tidak akan melakukannya, Changmin. Karena kau menyayangi manusia. Kau mengabdi pada Hoseok, tapi, di belakangnya kau berkhianat. Bukankah begitu, Changmin?"
Changmin menatap Namjoon lekat-lekat. "Mengesankan karena kau tahu semuanya, Profesor," katanya pelan. "Kau benar, aku memilih membantu keluarga Jung dengan memberi buku itu pada Jessica. Dengan buku itu, dia hanya menjadi perantara. Itu lebih baik ketimbang Hoseok mengambil jiwanya."
"Aku tahu dari Fantasos, omong-omong." Namjoon berujar dengan santai. "Dia menunjukkan beberapa gambaran padaku saat kami saling bertatapan dan aku menyimpulkannya sendiri. Ternyata aku benar, ya? Jadi, kau bisa mengeluarkan kamu dari sini, bukan?"
Changmin tersenyum. "Ya, aku tahu caranya. Sekadar informasi untukmu, Profesor, Hoseok juga tahu semua yang kulakukan. Dia justru memanfaatkanku dan Jessica untuk membawa teman-teman wanitamu ke sini. Menurutmu, dia akan begitu saja membiarkan kalian pergi?"
Namjoon terdiam. Tatapan matanya yang tajam bergetar saat melihat senyum miring Changmin.
"Namjoon, kau tidak diundang ke dalam pesta ini. Menepilah, biarkan mereka berlima yang menyelesaikan pestanya."
Namjoon berbalik, meneguk ludah begitu menyadari Joohyun tidak ada di lorong itu. Hanya ada mereka berdua dan kesunyian yang mencekam.
.
.
.
Lagi-lagi pengalaman mengerikan yang sama. Joohyun kembali ditarik dari ruangan tempatnya berada. Punggung Namjoon dan wajah Changmin menjauh dari pandangannya. Lebih tepatnya, Joohyun yang ditarik menjauh. Separuh napasnya terasa dicuri pergi saat kekuatan tak kasat mata itu menarik tubuhnya menjauh. Joohyun tidak berdaya melakukan apa pun, hanya membiarkan raganya ditarik pergi entah kemana. Wanita itu tidak tahu siapa yang melakukan hal ini padanya. Yang jelas, Joohyun akan memastikan orang itu menyesal. Memberikan satu tamparan sepertina cukup.
"Kau ditarik?"
Satu kedipan mata, dan Kang Seulgi sudah berdiri di sampingnya. Wanita itu tampak sehat dan baik-baik saja seperti yang terakhir kali Joohyun lihat. Hanya wajahnya yang kelihatan merah seperti menahan kesal.
Joohyun mengangguk pelan, menjawab pertanyaan Seulgi sebelumnya. Wanita itu menatap ke sekeliling.
"Tamu-tamu ini kenapa?"
Seulgi menggeleng, dia tidak tahu. "Musiknya berhenti, dan coba lihat ke arah pukul dua. Sepertinya mereka sedang mengobrol seru di sana dan kita tidak diajak."
Joohyun memandang arah yang dimaksudkan Seulgi. Ada Hoseok di sana, pria itu masih memakai topengnya. Lalu, ada Seungwan, Sooyoung, Yerim dan mungkin Kim Seokjin. Mereka semua tampak tegang, seperti tengah berseteru dalam perang urat syaraf ketimbang 'mengobrol seru' seperti yang dikatakan Seulgi tadi.
"Lihat!"
Kedua wanita itu terkesiap, nyaris tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Pria berambut merah muda itu, Kim Seokjin, retak seperti boneka porselen yang mudah pecah. Retakan itu menghiasi area wajahnya, terus hingga ke seluruh tubuhnya. Lalu, rontok satu persatu seperti mengelupas dari kulitnya. Sebagai gantinya, paras rupawan yang merupakan wujud asli Seokjin terlihat. Rambut merah mudanya telah berganti helaian hitam yang lebih kelam dari arang. Potongan rambutnya membuka dahi, membuat sepasang mata legam yang dinaungi alis tebal itu terlihat jelas. Hidungnya mancung, dengan bibir penuh berwarna merah muda yang membuat wanita mana pun iri. Garis rahangnya tegas, serupa pahatan wajah-wajah yang kerap dianggap impian banyak pria. Sepasang sayap lebar terkembang dari punggungnya, berwarna hitam seperti busana yang kini membalut tubuh tegapnya.
Seulgi nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketampanan pria—atau makhluk apa pun itu—jelas di luar batas wajar manusia. Seulgi terpaku pada aura kelam yang dibawanya. Terkesan indah, dingin, sekaligus mengintimidasi.
"Morfeus...." Joohyun bergumam pelan, masih takjub pada wujud asli di balik wajah Kim Seokjin.
Seulgi menoleh cepat. "Dia? Morfeus?" tanyanya dengan nada tak percaya. "Saudara laki-laki Yeri adalah dewa?"
"Kim Seokjin sudah mati, Seulgi. Yang ada hanya Morfeus, dewa mimpi."
Seulgi menatap sosok yang disebut Morfeus, memindainya lamat-lamat. "Aku mengerti. Karena Morfeus punya kemampuan menyamar sebagai manusia, dia mengambil bentuk Kim Seokjin di usia dewasa. Menakjubkan. Jadi, itu wujud aslinya?"
Joohyun mengerling, "Siapa yang tahu? Morfeus lebih ahli dari siapa pun dalam hal meniru wajah. Pekerjaannya adalah datang ke mimpi orang-orang, Seul. Dia bisa menjadi siapa saja di mimpi kita."
Seulgi mengangguk paham. "Baik, lupakan Morfeus dan fetisnya terhadap wajah tampan saudara laki-laki Yerim. Situasi di sana kelihatan tidak baik."
Joohyun mengamati ketiga teman wanitanya. Wajah mereka kelihatan terkejut, terlebih Yerim. Wanita itu seolah habis melihat hantu.
"Seul, bersiaplah untuk pertarungan."
Seulgi menoleh, tersenyum hingga mata sipitnya lenyap. "Aku selalu siap, Irene."
.
.
.
Sooyoung melirik Seungwan, menyadari wanita itu tampak terpaku pada wajah marah Hoseok. Sooyoung memandang Yerim, wanita itu masih terpukau pada perubahan rupa saudara laki-lakinya. Entah siapa sosok super-duper tampan di depan mereka sekarang. Rasa-rasanya dia tidak membawa kabar baik.
Sooyoung heran, kenapa semua antagonis di dalam dunia ini begitu tampan?
"Hei, Profesor Wendy," panggil Sooyoung dengan bisikan pelan, menarik lengan wanita itu agar mendekat.
Seungwan tersentak, memandang Sooyoung dengan tatapan bingung.
"Nanti-nanti saja mengobrolnya, ayo keluar dari sini, Wen."
Seungwan mengangguk, melirik Yerim di samping Sooyoung. "Bukunya, Joy."
Sooyoung baru hendak mengambil tas Yerim, namun pemiliknya buru-buru mencengkram lengan wanita itu. Sooyoung terperangah, menatap mata sembab Yerim yang menatapnya tajam.
"Hanya aku yang boleh menyentuh buku ini, Joy."
"Sekarang kau menunjukkan wajah aslimu, Morfeus?" Suara Hoseok membuat perhatian mereka teralihkan. Kini, atensi sepenuhnya berpusat pada Hoseok dan Morfeus. "Kukira kau masih lama mau bermain adik-kakak dengan Yerim."
Sosok yang dipanggil Morfeus membalas dengan senyum remeh. "Kukira kau yang lupa aturan karena terlalu penasaran dengan empat wanita yang menolakmu berturut-turut. Astaga, Hope, kau menyedihkan sekali."
Wajah Hoseok mengeras. "Morfeus, kau sudah janji tidak akan menganggu. Kukira kau sangat menepati janji, heh?"
Morfeus membalas dengan senyum simpul di wajah tampannya. "Hope, kau kelewatan. Ingat, aku yang bertanggung jawab di sini. Berhentilah dan terima hukumanmu. Itu jika kau masih mau menyandang gelar sebagai salah satu Oneiroi."
Tawa sarkastik Hoseok bergema. Ketika pria itu berhenti tertawa, suasana di aula terasa lebih mencekam dari yang sudah-sudah. Suara gemeretuk tulang terdengar, disusul dengan munculnya sepasang sayap hitam dari punggung Hoseok. Pria bertopeng itu tertawa lagi, kali ini lebih mengerikan dari yang sebelumnya.
"Morfeus, kau pikir aku tidak bisa me—"
Hoseok tidak bisa melanjutkan ucapannya karena sebuah tendangan mendadak menerjang pipinya tanpa ampun. Pria itu terjatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, wajahnya kembali dipukuli bertubi-tubi. Topeng di area matanya lepas, membuat penyerangnya merasa puas.
Seulgi menghentikan pukulannya, memandang puas pada wajah Hoseok yang tidak tertutupi apa pun. "Wajahmu tampan juga. Kenapa bersembunyi di balik topeng seperti penjahat? Ah, aku lupa kau memang penjahat."
Hoseok menatap Seulgi dengan pandangan marah. "Kau lancang sekali untuk ukuran tamu, Seulgi."
"Aku tidak pernah minta di undang ke dalam pesta terkutukmu, brengsek!" Seulgi memaki, mengeluarkan amarah yang selama ini dipendamnya. "Aku tidak minta kau datang dan memberiku harapan serta konsekuensi sialan yang kau ciptakan sesukamu. Aku tidak peduli kau sakit hati karena ditolak, Hoseok. Aku bahkan tak peduli kau itu dewa atau iblis sekali pun. Jangan usik hidupku."
Hoseok memandang sepasang mata tajam Seulgi yang menatapnya tanpa gentar. Dulu sekali, Hoseok pernah melihat tatapan yang sama. Tatapan yang ditunjukan Seulgi padanya saat wanita itu menolak tawarannya.
"Aku sudah menuntaskan janjiku, Hoseok. Aku sudah menghajar wajahmu dan membuka topeng sialan itu." Seulgi tersenyum remeh. "Ternyata, kau aslinya sangat menyedihkan, ya?"
Hoseok mengayunkan tongkatnya. Tamu-tamu pesta yang semula hanya diam bergerak cepat. Mereka menerjang Seulgi, menahan kedua tangan wanita itu dan menyerangnya ramai-ramai.
"Seulgi!"
"Seulgi akan baik-baik saja!" Joohyun yang sedari tadi hanya diam berseru begitu Sooyoung hendak membantu Seulgi. Wanita itu berlari ke arah Yerim. "Lindungi Yerim dan biarkan dia mencari cara untuk pergi. Cepat!"
Seolah menjawab tindakan Joohyun, Hoseok berdiri dan kembali memosisikan tongkatnya. Pria itu tersenyum miring, menatap tajam pada Morfeus yang hanya diam memandangi semuanya. Musik telah dimulai, dan tamu-tamu pesta kembali bergerak. Kali ini mereka tidak menari, mereka mengincar seseorang.
"Wendy! Joy!"
Tidak perlu diperintah dua kali. Sooyoung dan Seungwan dengan segera memblokade orang-orang yang hendak mendekati Yerim. Sooyoung melancarkan serangannya pada dua orang yang hendak mendekat, membuat mereka menjauh. Seungwan, meski kemampuan bertarungnya tidak sebaik Sooyoung, berusaha sekuat tenaga menghalau orang-orang bertopeng yang menyerang mereka. Wanita itu menggunakan segala cara. Mengigit, menampar, menjambak, dan menendang dengan sekuat tenaga. Joohyun turut bergabung, menggunakan kemampuannya sebagai bagian dari Interpol untuk menyingkirkan orang-orang yang berusaha mendekati mereka.
Di tengah-tengah ketiganya, Yerim langsung paham apa tugasnya. Wanita itu merogoh buku kusam di dalam tas selempangnya, membuka sembarang halaman. Yerim memejamkan matanya, mengucapkan pertanyaannya di dalam hati.
Tulisan berpendar emas terukir di atas halaman. Yerim membacanya, hanya untuk dibuat terkesiap dengan apa yang tertulis di sana.
Yerim mengangkat wajahnya, menatap Morfeus dengan pandangan tidak terbaca. Morfeus hanya menyunggingkan senyum miring. Melihat itu semua, Hoseok tertawa keras.
Musik mengalun semakin cepat, dan mereka kian terjebak.
.
.
.
"Bagaimana cara keluar dari sini?" Namjoon bertanya untuk yang kesekian kali. Changmin membuatnya tidak bisa bergabung di lantai dansa, dan Namjoon tidak tahan berdiam tanpa melakukan apa pun.
Changmin memutar bola mata, tidak paham kenapa Namjoon begitu keras kepala. "Kau sudah bertanya puluhan kali, Namjoon. Sudah kubilang, hanya pemilik buku yang bisa me—"
Changmin tiba-tiba berhenti. Tingkahnya membuat Namjoon bingung, berhenti mendesak. Changmin tersenyum, wajahnya terlihat sangat bangga.
"Hei, Profesor. Tolong katakan pada Yunho, aku tidak pernah berpura-pura saat menjadi teman baginya. Juga tidak berpura-pura saat mengatakan kalau aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan mereka bertiga."
Namjoon berseru kaget, melihat Changmin terduduk sembari memegangi dada kirinya. Darah merembes keluar dari celah bibirnya, tapi pria itu masih bisa tersenyum.
"Selamat tinggal, Profesor."
Namjoon mendekap tubuh Changmin, pria itu semakin banyak mengeluarkan darah. Cahaya putih bersinar dari dadanya, semakin terang hingga pandangan Namjoon dibuat silau. Ketika profesor muda itu membuka mata, dia menyadari kalau Shim Changmin tidak ada lagi di lorong tempatnya berada.
Lalu, sajak sedih itu terdengar lirih di lorong yang gelap.
Jiwaku hilang dalam kegelapan,
Kunang-kunang harapan menjebakku pada dewa kejam yang kelaparan,
Dia mengabulkan mimpiku, dia mencuri jiwaku.
Aku berkelana dari satu tempat ke tempat lain,
Mengunjungi jiwa-jiwa yang rapuh,
Membimbing mereka ke dalam harapan semu.
Sang Dewa tertawa saat berhasil menjebak mereka, jiwa-jiwa yang kehilangan asa,
Aku tidak tertawa, aku tidak pernah bisa tertawa.
Harapan mengutuk jiwaku ke dalam kegelapan selamanya,
Aku akan selalu menjadi perantaranya dalam menjebak jiwa-jiwa yang lemah,
Suatu hari, aku ingin bebas,
Sang Mimpi harus menembus jiwaku yang beracun,
Hanya dengan itu, semua jiwa yang pernah kujebak bisa kembali pada raganya,
Dan semua mimpi buruk ini bisa berakhir.
.
.
.
"Apa yang kau lakukan, Kim?!" Sooyoung memaki saat dilihatnya Yerim tidak melakukan apa pun selain menatap Morfeus dengan pandangan aneh. "Bukan waktunya untuk fangirling, kita semua dalam bahaya!"
Seungwan menarik Sooyoung menjauh saat sebuah pukulan nyaris mengenai wanita itu. Bukannya, berterima kasih, Sooyoung masih menggerutu pada Yerim yang tak kunjung bergerak.
"Yerim, dia bukan saudaramu." Joohyun tampaknya bisa menebak kenapa Yerim begitu ragu-ragu. Wanita itu tampak kesulitan menahan serangan, tapi masih bisa bicara pada Yerim. "Apa pun yang tertulis di dalam buku itu, lakukan saja. Percayalah pada kami, Yeri."
"Yer, tidak baik berada di dunia ini terlalu lama. Kita hanya manusia biasa. Terlalu banyak ketidakseimbangan yang akan terjadi jika kita terus di sini. Kau tentu tidak mau bertemu Hades, bukan? Dia tidak ramah, asal kau tahu." Seungwan masih sempat bergurau.
"Lakukan saja, Kim! Tidak usah banyak pikir. Aku tidak mau mati disini! Aku masih mau menghajar lebih banyak manusia sungguhan!"
Mendengar seruan teman-temannya, Yerim menjadi yakin. Wanita itu membuang keraguan di dalam dirinya, menatap Morfeus dengan pandangan yakin.
"Lindungi aku. Aku perlu bicara empat mata dengan saudaraku."
Yerim masih membuka buku di tangannya, berlari ke arah Morfeus dengan sekuat tenaga. Hoseok telah membuat jarak mereka cukup jauh, seolah sengaja membuat boneka-bonekanya (tamu-tamu pesta) memukul mundur Yerim dan teman-temannya.
Hoseok sempat berteriak marah melihat tindakan Yerim, hendak menghampirinya. Namun, Seulgi yang telah melepaskan diri buru-buru mencengkram lengannya. Sooyoung membantu, diikuti Joohyun. Kini, Hoseok terhalang oleh tiga wanita penuh tekad yang mengunci pergerakannya.
"Tongkatnya, Wendy!" Yerim berseru.
Seungwan mengambil tongkat dari tangan Hoseok, melemparkannya ke arah Yerim. Yerim dengan sigap meraihnya, kembali menuju ke arah Morfeus. Matanya melirik tulisan baru yang terukir di atas permukaan kertas. Yerim tersenyum. Sekarang dia punya 'mantra pembalik' untuk sajak-sajak mengerikan yang kerap dinyanyikan Hoseok dalam mimpinya.
Saatnya untuk pembalasan.
Buku keramat di tangan kiriku, tongkat di tangan kananku,
Do, re, mi, fa, sol,
Aku akan mengusir hadirmu dalam satu waktu,
Hoseok menggeram marah, berusaha melepaskan diri dari wanita-wanita yang menyerangnya. Yerim terus bergerak maju, melewati kerumunan tamu-tamu pesta yang hanya diam. Tongkat Hoseok berada dalam kendalinya dan tamu-tamu pesta itu takkan bergerak tanpa tongkat itu.
Kau datang bukan karena inginku,
Mimpi-mimpiku tidak kujual padamu,
Kau menciptakannya semaumu,
Do, re, mi, fa, sol,
Hoseok yang sudah melepaskan diri dengan susah payah menuju ke arah Yerim. Dia baru hendak menggapai wanita mungil itu, tapi Joohyun yang terlentang di lantai dengan sigap menarik kakinya. Hoseok menggeram marah, menyentakkan kakinya dengan keras. Joohyun terbanting, membentur salah satu pilar dengan keras.
Aku tidak takut, aku punya harapan,
Aku tidak lari, kau bukan teman,
Aku tidak perlu menyambutmu dengan kehangatan,
Inginku tidak perlu kau wujudkan,
Jiwaku bukan untuk kau makan,
Sooyoung kali ini mengentikan Hoseok. Wanita itu tertawa saat Hoseok memandangnya dengan tajam. Dengan kondisi yang babak belur, tindakan Sooyoung terbilang sangat berani.
Hoseok menghempaskannya hingga terdorong beberapa meter, membentur tamu-tamu pesta yang diam bergeming.
Do, re, mi, fa, sol,
Aku datang ke perjamuanmu malam ini,
Kau tidak menyuguhkan apa pun kecuali ilusi,
Lima langkahku berderap dengan berani,
Aku hanya butuh menghajar wajahmu satu kali,
Seulgi menggeram marah melihat keadaan teman-temannya. Dia berlari ke arah Hoseok, dengan sekuat tenaga menghajar wajah pria itu. Tindakannya sempat membuat Hoseok terhenti beberapa saat. Tidak beberapa lama, Hoseok telah melemparnya hingga membentur dinding aula.
Hoseok baru hendak melangkah lagi, tapi Seungwan telah menunggunya.
Do, re, mi, fa, sol,
"Hoseok! Kau tidak pantas menjadi harapan!" Seungwan berseru dengan lantang. "Sana bertukar tempat dengan Fobetor dan menjadi mimpi buruk orang-orang!"
Hoseok menggeram marah. Dia hendak menyerang Seungwan, tapi pandangannya keburu dikunci pada Yerim yang telah berdiri di depan Morfeus.
Tik-tok, tik-tok,
Waktunya bagi kami untuk pulang,
Wujud mengerikan Morfeus dengan segera berganti menjadi Kim Seokjin. Yerim sempat bimbang beberapa detik, tapi wanita itu segera memantapkan niatnya. Dia mengenggam tangan kiri Morfeus dengan tangan kanannya yang mengangkat tongkat. Melanjutkan sajak pembalasan yang sedari tadi dia nyanyikan.
"HENTIKAN!"
Kan kuhapus semua kutukan yang pernah datang,
Membebaskan jiwa yang terkekang,
Terlambat. Yerim sudah menusuk buku Changmin dengan tongkat kecil Hoseok. Bantuan dari tangan Morfeus membuat rencananya berhasil. Tusukan itu mencipta lubang terbakar yang kian membesar. Api memakan tiap bagian buku dengan segera. Dalam kurun waktu yang sebentar, buku itu telah lenyap tanpa sisa. Bahkan tidak ada abu sisa pembakaran.
Pergilah dan kau takkan terkenang,
Kau bukan harapan yang kutunggu-tunggu untuk datang.
Seungwan mundur beberapa langkah saat dilihatnya Hoseok menjerit. Tubuh pria itu dibalut api hitam yang semakin besar, melahap tubuhnya tanpa ampun. Hoseok berlutut, berteriak kesakitan. Tangannya menggapai-gapai ke arah Seungwan, berusaha mencari pertolongan.
Namun, Seungwan tidak menolongnya. Dia tidak mengenali tatapan mengerikan Hoseok, pun suaranya yang memohon pertolongan dengan serak. Sosok itu tidak sama dengan pria yang dilihat Seungwan di rumah sakit.
Dia bukan Jung Hoseok.
Dia bukan harapan.
Seungwan membiarkannya lenyap tanpa sisa.
.
.
.
Namjoon berlari ke aula dengan napas memburu, kakinya yang patah menyulitkan pergerakannya. Pria itu terkesiap melihat apa yang terjadi di sana. Tidak ada lagi tamu-tamu pesta yang menari dengan menyebalkan. Tidak ada Jung Hoseok. Hanya ada lima wanita yang juga rekannya dalam petualangan terkutuk ini, dan Morfeus.
Namjoon terpana saat wujud Kim Seokjin berubah di depan matanya. Pria itu telah menjelma menjadi sosok rupawan dengan sayap lebar membentang di balik punggungnya. Di tengah-tengah kekacauan aula pesta, Morfeus satu-satunya yang masih berdiri gagah. Persis seperti pemenang perang di antara lautan manusia sekarat.
Yerim melepaskan genggaman tangannya pada Morfeus, menjatuhkan diri ke lantai dengan napas terengah-engah. Seungwan berlari ke arah Sooyoung yang paling dekat dengannya, membantu tentara muda itu duduk. Namjoon mendekati Seulgi dan Joohyun, membantu keduanya dengan segera.
Morfeus masih berdiri di depan Yerim, memandang pada tangan kirinya yang memegang tongkat. Dia menjentikkan jarinya. Seberkas cahaya muncul dari bekas tempat Hoseok terbakar, cahaya satu lagi muncul dari arah lorong di mana Namjoon datang. Berkas cahaya hitam dan putih itu meliuk-liuk di udara, berpilin, membentuk jalinan yang menuju ke arah yang sama. Kedua cahaya itu meresap ke dalam tongkat yang dipegang Morfeus.
Yerim dan yang lainnya menghela napas lega. Petualangan terkutuk mereka telah berakhir. Pestanya sudah selesai.
***
Yow! Long time no see gaes.
Well, kayaknya kisah ini sudah mencapai ending. Eh, masih ada chapter lagi, ding. Wkwkwk.
Yang penting, siap2 say goodbye ke babang2 tampan dunia mimpi ini ya. (Btw Profesor Namjoon kenapa nyelip di sini yawla)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top