Huit: Fête

Cerita ini hanya fiktif belaka, harap kebijaksanaan pembaca dalam memahami isi cerita.

| Fantasy/ Mythology|

| Red Velvet | TVXQ | Jessica and Krystal Jung | BTS |

and another idol,

Enjoy!

*****

"Kami akan menyegelmu."

Hoseok tidak tahu harus bereaksi apa. Dia bisa memprediksi Seungwan akan berkata demikian, tapi tidak bisa menentukan reaksi apa yang paling tepat untuk kalimat itu. Entahlah, rasanya ada yang retak dalam diri Hoseok. Dia kecewa, entah karena apa. Jauh di dalam benaknya, dia berharap Seungwan mau memahaminya dan memaafkan. Dia mungkin juga ingin dihentikan, mungkin.

"Jadi, kau memilih untuk melawanku?" tanya Hoseok dengan nada muram. Terlihat jelas pada sepasang matanya yang memandang sayu pada wanita di depannya.

Seungwan berusaha mengabaikan kilat kesedihan yang dilihatnya pada mata Hoseok. "Kau menciptakan lingkaran mimpi buruk yang mengerikan, Hoseok. Kami akan menghentikannya, tentu saja begitu."

"Tidakkah...," Hoseok memasang senyum sedih, bertanya dengan putus asa, "kau berniat melihat dari sisiku, Wendy?"

"Dari sisi yang mana, Hoseok?" Seungwan balik bertanya, nada suaranya rendah dan terdengar lelah. "Kau bahkan tak mempertimbangkan sisi kami, orang-orang yang kau jebak ke dalam mimpi buruk."

"Harapan yang tidak bisa terwujud itu mengerikan, Wendy. Aku hanya menawarkan kebahagiaan karena kalian sudah terlalu lama terluka."

Seungwan tertawa, tawanya kering dan muram. "Kau hanya memberi ilusi sesaat tentang dunia mimpi yang indah. Lalu, kau membuat kami harus membayar kebahagiaan semu yang sementara itu dengan rasa sakit yang berkali lipat."

Hoseok terdiam melihat air mata di pipi Seungwan. Untuk pertama kalinya setelah kurun waktu yang sangat lama, Hoseok merasa sangat menyesal.

"Katakan, Hoseok. Kau memberi kami harapan atau menjerumuskan kami ke dalam jurang penyesalan?"

Sangat menyesal sehingga dia ingin waktu berputar ulang.

Dia sudah melangkah terlalu jauh.

.
.
.

Seulgi tidak tahu apakah rasa sakit yang dialaminya sekarang adalah kenyataan atau mimpi buruk belaka. Dia dilempar pada semua kenangan pahit yang mengekang langkahnya seperti rantai dengan bola besi di ujungnya. Gadis itu menjambak rambutnya, mencoba menolak semua kilasan masa lalunya yang suram dan mencekik melintas di kepalanya. Namun, semua bayangan itu seolah di luar kuasanya, terus datang silih berganti. Rasanya seperti dipaksa menyaksikan dirimu sendiri dibunuh dengan mata terbuka. Rasanya sangat membunuh, dan mengerikan, terlalu mengerikan.

Seulgi menangis, air matanya meleleh di pipi sementara dia mencoba berteriak. Hanya sepi yang keluar dari tenggorokannya yang perih. Seulgi memejamkan mata, mengalah pada mimpi buruknya. Tangan-tangan tak kasat mata terus menarik jiwanya turun ke dalam lubang kegelapan, nyaris memiliki nyawanya jika saja dia tidak mendengar seseorang memanggil namanya. Suara itu menyelamatkannya dari jurang putus asa.

"Seulgi, Seulgi, Kang Seulgi!"

Seulgi membuka mata dengan cepat, bertemu pandang dengan netra khawatir Namjoon yang memandangnya lekat. Wanita itu kembali menangis, lalu memeluk Namjoon dengan erat. Kerapuhannya terlihat jelas dari caranya menangis, membuat Namjoon tidak bisa menolak.

"Aku takut, Oppa, aku takut," lirihnya. "Appa akan memukuliku, aku takut."

Namjoon terperangah, nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pemuda itu mengangkat lengannya, menepuk-nepuk punggung Seulgi dengan lembut. "Oppa akan melindungimu, tidak apa-apa," katanya menenangkan.

Namjoon memandang dua monster penjaga yang diciptakan Fobetor, wujudnya benar-benar seperti mimpi buruk. Tubuh monster dengan sepasang sayap rusak dan berdarah itu jelas tidak baik untuk dilihat anak-anak, tidak baik untuk siapa pun. Lagipula, mana ada mimpi buruk yang bagus untuk dilihat?

"Jika kau tidak ingin Morfeus menghukum tuanmu, lepaskan wanita ini."

Dua monster itu perlahan berubah. Wujud mengerikan yang sebelumnya membungkus kulit mereka rontok sedikit demi sedikit, menyisakan paras rupawan yang membuat Namjoon menahan decak kagumnya. Namjoon memandang dua pria dengan rambut berbeda warna di depannya.

"Katakan, di mana Jung Hoseok?"

Tidak ada jawaban, dua pria itu hanya memunggungi Namjoon. Lalu, sosoknya memudar seiring dengan terbukanya sebuah gerbang yang besar. Namjoon menatap ruangan besar di depan matanya, lalu menoleh pada Seulgi yang masih menangis di pelukannya.

Astaga, Namjoon bahkan tidak mau membayangkan jenis mimpi buruk apa yang Seulgi alami hingga wanita itu begitu kacau. Dia tahu apa yang mungkin Seulgi mimpikan, sejujurnya, Namjoon paham latar belakangnya dengan baik. Dia tahu ini agak kejam, tapi Seulgi tidak punya waktu istirahat sekarang. Hoseok mungkin telah beraksi dan mereka harus segera menghentikannya sebelum si Sinting itu semakin liar.

"Seulgi, bangunlah. Pestanya akan segera di mulai."

Namjoon memandang kosong pada ruangan megah di depannya. Jika keadaannya cukup baik, Namjoon mungkin akan menjerit kegirangan karena melihat ruangan kuno yang selama ini hanya dilihatnya di lukisan-lukisan kuno atau film. Dia juga akan menjerit tadi saat melihat dua monster penjaga Fobetor berubah wujud, Namjoon bahkan bisa saja mengagumi wujud monster mereka yang mengerikan. Sayangnya, pria itu tidak bisa mengagumi apa pun sekarang, bukan saatnya merasa excited dengan semua kegilaan ini.

Namjoon tidak merasakan apa pun dari kemewahan aula besar di depannya kecuali rasa sakit yang nyata, lebih sakit dari luka pada kakinya yang patah. Firasat buruk mengekang tenggorokannya dan membuatnya sulit bernapas.

Pesta ini terkutuk.

.
.
.

Joohyun baru saja keluar dari semua mimpi buruknya. Kepingan memori mengerikan telah menghantamnya sedemikian rupa hingga lelehan air matanya mengering di pipi, menyisakan jejak yang nyata akan luka. Tenggorokannya tidak mengeluarkan suara apa pun, hanya sunyi dan juga perih yang datang berturut-turut, membuatnya terikat sesak.

"Mimpi indah?"

Joohyun menatap nanar sosok rupawan di depannya; Fobetor tersenyum mengerikan dengan dua sayap hitamnya yang membentang lebar. Joohyun ingin memakinya, mengatakan semua kalimat kotor dan umpatan kurang ajar yang selama ini hanya disimpannya dalam benak. Tetapi, pria di depannya adalah dewa, dan Joohyun bisa mati konyol jika berbicara tanpa saring di depan hidungnya.

"Apa yang kau dapat dari semua ini?" tanya Joohyun dengan napas putus-putus. "Kau bahkan bukan Morfeus dan tidak punya urusan dengan kami."

Fobetor memiringkan kepala, mengamati wajah cantik Joohyun dengan seksama. Dia suka dengan bagaimana wanita itu tampak cantik meski dengan air mata membekas. "Karena itu menyenangkan?"

Satu tamparan lemah diberikan Joohyun pada sosok di depannya. Fobetor tidak merasakan sakit apa pun di pipinya, hanya keterkejutan yang nyata menghampiri benaknya.

"Mimpi burukku ... bukan permainanmu, bajingan brengsek!"

Joohyun kehilangan pengendalian dirinya, menatap Fobetor dengan napas terengah-engah. Kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya, membuat kukunya menusuk kulit telapak tangannya yang halus. Joohyun tidak peduli jika tangannya berdarah, yang dia tahu, dia tidak boleh kalah dengan sosok di depannya.

Fobetor menggeram, irisnya berubah menjadi hitam kelam. Kedua sayapnya yang pekat semakin terkembang lebar, dengan ujung yang kian panjang dan tajam. Urat-urat bermunculan di sekujur tubuhnya, membuatnya tampak seperti monster yang hendak mengeluarkan wujud aslinya.

Joohyun diam, mengerut hingga sosok mungilnya membentur dinding. Wanita itu menatap pada harimau buas di depannya, menyadari dia lah kelinci kurang ajar yang telah membangkitkan amarah predator di depannya.

Beruntungnya, sosok Fantasos muncul tepat sebelum Fobetor kehilangan kendali atas dirinya. Laki-laki dengan sayap serupa itu menyentuh pundak saudaranya, membuat Fobetor terdistraksi. Mereka saling bertatapan selama beberapa saat. Raut tegas di wajah Fantasos membuat Fobetor sadar bahwa saudaranya sangat serius.

"Ikelos, mereka bukan mangsamu."

Urat-urat yang semua bertonjolan di tubuh Fobetor memudar, seiring dengan sayapnya yang kembali pada ukuran normal. Pria itu menatap mata kelabu saudaranya, menyadari tidak ada kebohongan dan kesempatan mengelak di sana.

"Hope bilang padaku, aku bisa berbuat sesukaku pada mereka."

"Morfeus akan menghukummu, Saudaraku." Fantasos menyahut dengan bijak, menolak argumen terakhir saudaranya. "Ya, aku tahu kalau dia juga harus dihukum. Jika kau tidak ingin semuanya bertambah buruk, berhentilah."

Joohyun menyaksikan keduanya dengan jantung berdebar. Apa pun yang tengah mereka bahas, Joohyun hanya berharap kalau dia tidak dirugikan karena itu. Wanita itu terkesiap saat kedua dewa di depannya tiba-tiba menatapnya. Telunjuk kanan Fobetor terangkat, menunjuk dahinya. Tatapannya sedingin yang Joohyun lihat sebelumnya, membuat wanita itu merinding sekaligus terpaku.

"Selesaikanlah pestanya, Irene."

Joohyun terdorong oleh hempasan kuat dari arah depan. Anehnya, tubuhnya justru menembus dinding di belakangnya. Joohyun menyaksikan bagaimana dia seolah ditarik dari ruangan tempat Fobetor dan Fantasos berada. Waktu terasa berlalu sangat lambat saat dua bersaudara itu semakin mengecil di matanya, lalu lenyap. Dalam satu kedipan cepat, semua di depannya seketika berganti.

Joohyun berada di sebuah aula yang besar dan megah. Musik mengalun tenang, tapi memberi Joohyun perasaan aneh yang membuat sekujur tubuhnya merinding. Dia menyadari kalau dirinya tidak sendirian, ada banyak orang lain di sekitarnya. Mereka semua memakai pakaian mewah dan topeng yang menutupi area di sekitar mata mereka.

Joohyun menyadari satu hal.

Masquarade —shit Party has begun.

.
.
.

Sooyoung berteriak frustasi saat semua bayangan penyesalannya terpantul jelas pada cermin-cermin di sekitarnya. Wanita itu menarik rambutnya dengan keras, sisa air matanya yang mengering di pipi membuatnya terlihat makin kacau. Sooyoung tidak memedulikan apa pun, hanya berharap semua yang dia saksikan sedari tadi lenyap tanpa jejak. Dia tidak bisa bertahan lebih lagi dengan semua rasa bersalah yang mencekiknya. Lutut Sooyoung terasa melemas sementara kedua tangannya gemetar hebat. Dia ketakutan.

Sungguh, dia tidak ingin diserang semua mimpi buruk itu, tidak lagi.

Tidak akan pernah lagi.

"Sooyoung!"

Semua perhatiannya dicuri oleh sosok berambut sebahu yang menatapnya dengan pandangan khawatir. Sooyoung mengerjapkan matanya, membiarkan air mata yang menggenang mengalir membasahi pipinya yang telah penuh jejak air mata. Wanita itu tiba-tiba ingin menangis keras melihat Seungwan berjongkok di depannya, menatapnya dengan pandangan khawatir.

"Wendy...," panggilnya lirih.

Seungwan terkesiap, menyadari kalau Fobetor benar-benar bisa membuat seseorang yang paling kuat menjadi lemah bahkan tanpa harus menemuinya. Semua orang punya mimpi buruk yang menghantui mereka, tidak terkecuali Park Sooyoung.

Sooyoung yang Seungwan lihat sekarang jauh berbeda dengan sosok angkuh yang memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari militer yang hebat. Sooyoung yang sekarang hanyalah seorang wanita yang tejebak mimpi buruknya sendiri.

Seungwan melirik ke sekitar, dapat menyaksikan kilasan adegan terpantul pada cermin-cermin di sekitarnya. Tak ayal, mimpi buruk miliknya turut terefleksi pada cermin di depannya. Pandangan Seungwan tercuri oleh cermin panjang di depannya. Seolah mengejek dan berniat membuatnya gemetar ketakutan, mimpi buruknya yang paling kelam terpampang nyata di sana. Seungwan menggelengkan kepala, tersenyum pada Sooyoung yang masih ketakutan.

"Joy, tidak apa-apa," katanya.

Aku juga melihat mimpi burukku sendiri.

"Aku membunuh mimpi saudaraku," sahut Sooyoung. Nada suaranya lirih dan bergetar.

Aku meninggalkan rekan kerjaku terjebak di mekanisme makam dan tewas.

"Tidak apa-apa, Joy." Tangan Seungwan terangkat, mengelus rambut hitam panjang Sooyoung dengan lembut. "Mimpi terbaik kakakmu adalah kalian tetap utuh dan terus bersama, bukankah begitu?"

Katanya, aku harus tetap hidup karena nyawanya ada bersama nyawaku.

Sooyoung berhenti menangis, menatap wajah lembut di depannya. Wanita itu melihat rasa sakit yang sama. Namun, ada harapan pada wajah Seungwan. Seolah wanita itu punya kartu as yang membuatnya  yakin mereka akan memenangi perang mimpi buruk ini.

"Karena itu, Sooyoung, kenapa kau tidak melawan semua hal ini dan mewujudkan impian kakakmu? Bukankah tunanganmu menunggu?"

Karena itu, aku harus baik-baik saja agar nyawa temanku tidak sia-sia.

Cermin-cermin di sekitar mereka retak, lalu pecah berderai bersama mimpi buruk keduanya. Pecahan kaca ditarik menjauh, menyisakan mereka berdua dalam ruang hampa. Sepersekon kemudian, mereka telah berada dalam aula dansa yang megah. Para pria dan wanita bertopeng dengan pakaian mewah berdiri di lantai dansa, diam dalam pose menawan.

Seungwan berdiri, gaun merah dan topeng sewarna yang menghiasi matanya tidak lagi membuatnya terkejut. Sooyoung pun bereaksi sama, dengan gaun merah menyala dan topeng senada, dia berdiri dan tersenyum lebar.

Musik telah berbunyi, orang-orang mulai menari dan itu berarti pestanya sudah dimulai.

.
.
.

Yerim benci hujan. Dia benci hujan sejak usianya lima belas tahun dan suatu kecelakaan lalu lintas melemparnya pada mimpi buruk.

Yerim ingat kalau kedua orang tuanya membawa gadis cantik itu liburan ke Paris. Dia tengah mengagumi bangunan-bangunan cantik di sekitarnya saat tanpa dapat dia sadari, sebuah mobil melaju tak terkendali ke arahnya. Lalu tabrakan keras, rasa sakit, darah, tatapan orang-orang, wajah-wajah asing bermasker, lampu operasi yang silau, dan kegelapan. Yerim mengalami semua kejadian pasca kecelakaan itu dan mengingatnya dengan baik. Gadis itu terjebak dalam koma setelah operasi yang panjang dan rumit berhasil menyelamatkan nyawanya.

Dalam lelapnya, Yerim didatangi sosok asing dengan senyum ramah dalam mimpinya. Pria menduduki kursi di samping ranjang Yerim, tersenyum begitu melihat Yerim telah membuka mata dan menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya.

"Namaku Kim Seokjin," katanya memperkenalkan diri tanpa diminta.

"Apa?" tanya Yerim dengan nada tak percaya.

"Kim Seokjin."

Yerim meneguk ludah, terlalu mirip dengan nama yang dia kenal.

Yerim melirik pada rambut merah mudanya yang halus. Tampak aneh, tapi pria itu tidak kelihatan buruk sama sekali. Malah, sosoknya terlihat indah dengan aura misterius yang melingkupi tubuhnya.

"Rambutmu bagus." Yerim tidak tahu kenapa dia malah berkomentar demikian. Mungkin benturan keras membuatnya kurang waras. Mungkin juga dia hanya terlalu bingung dan mencari topik apa pun yang mungkin bisa dibahas.

"Dulu, aku juga suka mewarnai rambutku," jelas Seokjin. Pria tampan itu tertawa renyah, membuat Yerim terpaku dan merasa familar. Seakan-akan dia sudah pernah mendengar tawa yang sama sebelumnya. "Aku membuat janji dengan saudaraku yang masih berusia dua tahun bahwa kami akan mewarnai rambut kami dengan warna merah muda lima tahun lagi."

"Lalu, kalian melakukannya?"

Seokjin menggeleng muram. "Sebuah kecelakaan besar terjadi."

"Dia meninggal?"

"Aku yang meninggal, Yerim."

Yerim terperangah, tidak tahu harus berkata apa. "Kalau begitu ... aku sudah mati?"

Seokjin tertawa lepas. Tawanya kedengaran aneh, tapi menyihir, juga menular. Tanpa sadar sudut bibir Yerim tertarik ke atas begitu saja. Bahkan dia tidak tahu kenapa dia ingin tersenyum mendengar tawa Seokjin.

"Yerim, aku mengorbankan nyawaku untukmu. Bukan untuk membiarkanmu mati seperti ini." Seokjin menyelesaikan tawanya yang masih bersisa, menatap Yerim dengan pandangan geli.

Kali ini Yerim bingung. "Mengorbankan nyawamu untukku? Maksudnya, kau—"

"Kau adikku yang waktu itu berusia dua tahun, Kim Yerim."

Yerim tidak tahu harus bereaksi apa. Wajah di depannya memang terlihat familiar, tapi entah kenapa terasa asing di saat yang bersamaan. Yerim seperti kenal, tapi juga tidak kenal. Seperti dekat, tapi juga terasa jauh.

"Aku ... tidak mengerti," kata Yerim jujur. "Maaf, tapi mungkin kau salah orang karena saudaraku—"

"Masih berusia sembilan tahun ketika dia meninggal," sela Seokjin. Pria tampan itu tersenyum, lagi-lagi tersenyum. "Anggap saja, kehadiranku adalah hadiah karena dewa merasa iba aku tidak bisa melihat adikku tumbuh besar."

"Aku tetap belum mengerti."

"Tidak apa-apa, kita masih punya banyak waktu."

Dan Seokjin menjelaskan semua tentang kecelakaan itu. Seorang penjahat membunuh agen Interpol dan melarikan diri dari pengawasan polisi. Di tengah pelariannya, dia menyebabkan kecelakaan yang menewaskan banyak orang. Yerim dan Seokjin adalah korban. Seokjin melindungi adiknya, merelakan dirinya tertusuk besi panjang yang menembus jantungnya. Dan dibawahnya, Yerim yang masih berusia dua tahun menangis keras saat tetes darah dari jantung Seokjin membasahi pipinya.

Yerim tiba-tiba ingat semuanya, entah bagaimana. Pria di depannya seolah membuat Yerim menyaksikan kembali potongan adegan masa lalu itu dengan jelas.

"Seorang pria baik hati datang padaku dan menawariku kesempatan."

"Kesempatan untuk apa?"

"Menemuimu kembali ketika kau sudah siap untuk mendengar semuanya." Seokjin tersenyum. "Lebih tepatnya, melindungimu sebelum seseorang yang jahat membawamu pergi."

"Maksudmu apa?" Yerim makin bingung dengan semua penjelasan Seokjin. "Siapa orang jahat yang akan membawaku pergi?"

Seokjin tidak menjawab, justru menyentil pelan dahi gadis di depannya. "Bangunlah, Putri Tidur. Jangan membuat ibu dan ayah kita khawatir."

Yerim terbangun di kamar rumah sakit yang sepi. Ibunya yang baru masuk terkejut, memanggil dokter dengan histeris. Yerim justru menatap pada hujan yang menyapa kaca jendela. Pandangannya muram, setetes air matanya jatuh.

Saudaranya mendatangi mimpinya seolah-olah itu semua terasa nyata, tapi yang mati mana bisa hidup kembali, bukan?

Sejak saat itu, Yerim tidak pernah memimpikan Kim Seokjin lagi. Tidak meski dia memaksakan lelapnya, berharap Seokjin datang dan tersenyum padanya, tertawa dengannya sambil berbicara apa pun.

Kerinduan itu terlalu besar bagi Yerim, dia nyaris putus asa karena Soekjin tak kunjung datang.

Sebagai gantinya, di usia dua puluh satu tahun, mimpi buruk datang menghantuinya tiap malam. Mimpi buruk yang membuatnya kesulitan untuk bernapas.
.
.
.

"Oppa tidak pernah kembali lagi sejak saat itu." Yerim cemberut dalam pelukan Seokjin.  Pria itu terkekeh, mengelus rambut wanita di depannya dengan lembut. "Aku bahkan mewarnai rambut seperti janji kita."

"Aku bisa melihatnya." Seokjin tertawa. Pria itu melepaskan pelukannya, menangkup kedua pipi tembam adiknya dan tersenyum lembut. "Kau sangat merindukanku? Memang sudah bisa menerimaku?"

Yerim mengangguk. "Kenapa tidak pernah datang ke mimpiku lagi?

Senyum di wajah Seokjin memudar. "Aku ... tidak bisa. Bukankah Hoseok mengundangmu ke pestanya?"

Yerim mengerutkan kening.

Seokjin menjentikkan jarinya. Satu kali kedipan mata, ruang dan suasana tempat Yerim berpijak tak lagi sama. Seokjin membawanya pada aula megah dengan hiasan kristal emas dan pilar-pilar tinggi. Sebuah lukisan abstrak terbentang di langit-langit ruangan, mengisinya dengan sajian karya yang artistik. Musik klasik mengalun pelan dan orang-orang di sekitar mereka mulai berdansa. Mereka memakai gaun-gaun indah dan pakaian gagah, topeng beraneka rupa menutupi area mata.

Yerim terkejut dengan bagaimana pakaian kasualnya dengan cepat berganti menjadi gaun merah dan topeng berwarna sama. Dia menatap Seokjin, kelihatan menawan dengan setelan jas kuno dan topeng hitam di area matanya. Pria tampan itu mengulurkan tangannya.

"Bukankah tidak sopan menolak undangan pesta dari teman lama?"

Yerim tersenyum manis, menerima ajakan menari dari saudaranya dengan senang hati.

Tas selempang kecilnya masih kokoh di pinggang, dan Yerim lupa kalau Jung Hoseok tidak pernah cocok untuk dijadikan teman.

Dan pesta yang diadakannya terkutuk.

.
.
.

"Bebedah sialan itu."

Namjoon hanya tersenyum maklum saat mendengar umpatan dari Seulgi. Mereka berdiri di pinggir aula, menjauh dari kerumunan orang yang berdansa dengan ceria. Di atas podium mewah, Jung Hoseok berdiri di tengah-tengah para pemusik yang memainkan berbagai alat musik klasik. Tangannya memegang baton, tongkat konduktor yang mirip lidi. Topeng emas menghiasi area matanya, membuat darah Seulgi mendidih karena dia ingat semua penyiksaan mimpi Hoseok padanya.

"Dia pikir dirinya konduktor atau apa? Cih!"

"Menilik bagaimana kau dengan lancarnya mencaci maki, kurasa kau baik-baik saja," kata Namjoon. "Oh, itu Irene."

"Joohyun, kau baik-baik saja?" tanya Seulgi saat Joohyun menghampiri mereka. Wanita cantik itu kelihatan agak linglung. "Hei, kau mendengarku?"

"Apa? Ah, Seulgi!" Joohyun berseru kaget. "Maaf, aku butuh usaha ekstra untuk ke sini dan agak linglung," jelas Joohyun.

Seulgi menatap kerumunan tamu pesta yang menari dengan ceria, dia meringis. Berimajinasi tentang Joohyun yang berusaha keras mencapai mereka. "Aku bisa membayangkannya."

"Kalian tahu apa yang harus dilakukan, bukan?" tanya Joohyun dengan serius. "Kita harus mencari Yerim dan menyegel mimpi ciptaan Hoseok."

Seulgi menggoyangkan jari telunjuknya. "Biarkan itu menjadi tugas Wendy dan Joy," katanya, lalu tersenyum miring. "Targetku adalah dia."

Joohyun melotot begitu melihat telunjuk Seulgi mengarah pada Hoseok. Pria itu semakin mengerikan, lebih mengerikan dari Fobetor. Bisa-bisanya dia melirik mereka dan tersenyum lebar.

"Kau gila?!" desis Joohyun tak percaya. "Dia mengendalikan semua tamu di sini. Kau mau mati terinjak-injak? Tidak ingat apa yang terjadi saat kita berusaha menyelamatkan Nona Jung?!"

"Aku tidak akan ikut serta, kakiku dipatahkan Fantasos."

"Aku tidak membutuhkanmu, Namjoon," dengus Seulgi, wanita itu menatap Joohyun. "Agen, kita tidak akan punya kesempatan lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan menghajar wajah pria itu. Terserah kalau dia dewa atau iblis, aku kesal padanya, oke?"

Joohyun menghembuskan nafas keras, sadar kalau dia tidak bisa menghentikan Seulgi. Wanita cantik itu mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan, berhenti pada dua sosok berambut merah muda yang tengah berdansa bersama.

"Profesor Kim."

"Kenapa? Bukankah Seulgi bilang aku tidak dibutuhkan?"

Pandangan Joohyun tidak lepas dari dua orang tadi. "Apa kau kenal pria yang berdansa dengan Yerim?"

"Yerim? Wah, seleranya soal pria boleh juga," komentar Seulgi. "Apa Morfeus memberinya ilusi pria tampan dan membuatnya melupakan kita? Aku sedih sekali."

Mengabaikan celotehan Seulgi, Namjoon tercekat, ingatannya menggali bayangan akan sosok rupawan yang berdansa dengan Yerim. Ketika mata mereka bertemu, Namjoon tahu siapa pria itu.

"Kim Seokjin, saudara laki-laki Yerim yang seharusnya meninggal saat usianya baru sembilan tahun."

"Dia? Sembilan tahun?!" Seulgi memekik tak percaya, menatap bergantian antara Seokjin— orang mati yang seharusnya berusia sembilan tahun itu— dan Namjoon yang memasang wajah serius. "Jangan bercanda, Kim. Atau kucuri seluruh koleksi permata keluargamu yang kaya raya itu."

Namjoon mendengus, "Abaikan kenapa aku bisa mengenalinya meski kini fisiknya tak lagi berusia sembilan tahun, Seulgi. Aku mempelajari banyak hal soal latar belakang kalian untuk menemukan hubungan, dan kecelakaan yang ditunjukkan Fantasos padaku sama sekali tak ada dalam catatan."

"Kecelakaan?"

"Ingatlah, Joohyun, Seulgi." Namjoon menarik nafas panjang, mencari cara untuk menemukan kata yang tepat. "Pernahkah kalian menemui pria itu," Namjoon menunjuk Hoseok yang berdiri di atas podium di tengah-tengah panggung, "jauh sebelum mimpi buruk itu datang pada kalian?"

Joohyun dan Seulgi mematung. Keduanya tiba-tiba terperangkap dalam kenangan yang tadi menyiksa mereka. Pada kepingan mimpi buruk yang berusaha mereka singkirkan, ada Jung Hoseok di sana.

Pria itu memberi mereka harapan.

Joohyun dan Seulgi menolaknya.

"See? Pria itu agak narsistik, dan dia bukan Morfeus!" Namjoon ingin menjerit frustasi sekarang. "Kalian membuat Oneiroi itu marah dan menjebak kalian ke dalam pesta terkutuk ini."

"Dia bukan Morfeus?" Joohyun melirik pada Yerim dan Seokjin. "Namjoon, beritahu aku sesuatu soal Morfeus."

"Dia dewa mimpi?" sahut Seulgi.

"Aku juga tahu itu, Kang," desis Joohyun. Wanita itu memandang serius pada Namjoon. "Sesuatu yang lain. Seperti apa kemampuannya atau apa yang sering dia lakukan."

Seutas benang merah ditarik, kini Namjoon memahami sebagian besar peristiwa yang terjadi.

"Dia memiliki kemampuan untuk menyamar menjadi manusia dan memasuki mimpi orang lain." Jantung Namjoon berdebar hebat sekarang, adrenalin yang mengalir dalam darahnya berpacu. "Aku rasa aku mulai mengerti."

Joohyun tersenyum. "Kang, kau dendam pada Hoseok?"

"Aku punya janji untuk melepas topeng dan  menghajar wajah menyebalkannya."

"Kalau begitu, lakukan." Joohyun menatap pada kerumunan orang-orang yang berdansa dengan ceria. "Meski terinjak-injak, pastikan kau dapat meraih Hoseok. Lepas topengnya dan hajar wajahnya untukku, Kang Seulgi."

"Aku akan melakukannya untuk kita semua." Seulgi meregangkan otot-ototnya, merasa terpacu oleh musik yang semakin melaju dalam tempo cepat. "Hoseok salah jika dia berpikir hanya dirinyalah yang bisa menikmati pesta terkutuk ini."

Namjoon merangkul kedua wanita itu, tersenyum hingga matanya hilang di balik topeng putih yang menutupi area matanya. Dia mengabaikan wajah jengkel Joohyun dan tatapan membunuh Seulgi, pria itu justru tersenyum lebar.

"Girls, tidakkah kalian akan mempertimbangkan tawaran untuk bergabung ke dalam grup? Aku akan dengan senang hati memfasilitasi semua yang kalian butuhkan. Percayalah, ini akan menyenangkan."

Seulgi tertawa palsu, kelihatan jelas dibuat-buat. "Lebih menyenangkan lagi jika aku bisa mematahkan lenganmu. Jadi, singkirkan tanganmu dari pundakku, oke?"

Namjoon mundur, mengangkat kedua tangannya sebagai pertanda kalau dia menyerah.

.
.
.

Sooyoung menghindar saat sepasang tamu yang menari nyaris menabraknya. Wanita cantik itu menahan amarahnya, menghembuskan napas beberapa kali agar kemarahan tidak menguasai dirinya. Di belakang Sooyoung, Seungwan mengikuti dengan susah payah.

"Pesta ini payah," dengus Seungwan saat akhirnya mereka sampai ke pinggir aula. "Aku tidak mengerti kenapa mereka terus menari dan menari tanpa lelah."

Sooyoung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dahinya berkerut begitu menemukan Yerim tengah berdansa dengan pria-asing-tapi-tampan di tengah-tengah aula.

"Apa mataku rusak?" tanya Sooyoung. "Gila. Kim Mingyu akan menerorku jika Yerim berakhir terjebak dengan orang asing itu. Maksudku, setampan apa pun dia. Bukankah semua yang ada di sini hanyalah ilusi?"

"Apa yang kau— wait, what?!" Seungwan tak bisa menahan pekikannya. "Apa yang dilakukan bocah merah muda itu? Kita susah payah datang ke sini untuk menyegel mimpi Hoseok dan dia malah berdansa?" gerutu Seungwan.

"Aku tahu Yerim suka pria tampan. Tapi, aku benar-benar tidak tahu kalau dia selemah itu terhadap pria tampan." Sooyoung mengeluarkan argumentasinya. "Maksudku, lihatlah! Dia bahkan tersenyum cerah, aku tak pernah melihatnya tersenyum seperti itu kecuali saat dia berhasil membanting seseorang."

Seungwan menyimak perkataan Sooyoung dengan baik. Berapa kali pun Seungwan memikirkannya, dia yakin Yerim tidak sebodoh itu untuk terjerat. Pasti ada sesuatu yang salah. Seungwan mencari-cari si sumber masalah, Hoseok, menemukannya mencuri pandang beberapa kali pada Yerim dan pria asing yang berdansa padanya.

"Joy," panggil Seungwan.

"Kenapa?"

"Aku rasa pria itu bukan sekadar tampan."

"Aku setuju, dia juga cantik."

Seungwan mendengus, nyaris menjambak rambut Sooyoung karena humornya yang tidak berada pada tempat seharusnya. "Bukan itu, Park. Aku hanya merasa kalau dia seseorang yang tidak bisa ditangani Hoseok dengan mudah."

Sooyoung mengerutkan kening. "Kenapa? Karena rambutnya merah muda?"

"Joy, Hoseok terlihat seperti ingin menyingkirkannya dari pesta tapi dia tidak bisa melakukannya. Tahu kenapa?"

"Kau tahu?"

"Tidak."

Sooyoung memasang senyum palsu pada wajahnya. "Selera humormu buruk sekali, Wendy."

"Kau lebih buruk, Joy," balas Seungwan dengan santai. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan."

"Merebut kesadaran Yerim kembali."

"Tepat. Tapi yang paling penting, membuat pria itu berada di pihak kita."

Keduanya menatap pada pria yang berdansa dengan Yerim. Seolah sadar dirinya dipandangi sedemikian rupa, Seokjin menoleh. Satu senyuman miring terpeta di wajah tampannya.

Seungwan menyadari senyum itu, juga Sooyoung. Dan mereka berdua punya keyakinan kalau Seokjin mungkin bisa memberi apa yang mereka butuhkan.

Seungwan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tersenyum lebar begitu musik mengalun dalam tempo yang semakin cepat. Hoseok pasti tengah menggila sekarang, karena dia membuat seluruh tamu undangan menari lebih agresif.

"Joy, tampaknya Hoseok marah."

"Begitu? Senang mendengarnya."

Sooyoung menatap kerumunan orang-orang yang menari liar di depannya. Adrenalin dalam darahnya mendidih minta dilepaskan, dan Sooyoung tahu sekarang saat yang tepat.

"Are you ready for this?" tanya Seungwan.

Sooyoung tersenyum pada wanita di sebelahnya. "Zimzalabim!"

.
.
.

"Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan." Fantasos mengigit apelnya, menatap pada kerumunan orang-orang di lantai bawah. "Hope agak aneh. Membiarkan mereka menyerangnya semudah itu membuatku merasa kalau dia tidak serius."

"Ada yang ingin dia buktikan."

Fantasos menoleh pada pria di sampingnya. "Menurutmu, dia punya suatu rencana?"

Fobetor tersenyum sinis, menunjuk seseorang di lantai dansa dengan dagunya. "Kejutan lain dari Hope, Shim Changmin."

Fantasos berhenti mengunyah apelnya, menatap pada sosok yang ditunjuk saudaranya dalam kerumunan. "Apa kau yakin akan membiarkan semua ini terjadi?"

Fobetor mengangkat bahu, mengambil apel dari tangan Fantasos dan mengigitnya. "Bukankah kau yang minta aku berhenti? Kau takut semuanya akan bertambah buruk."

Fantasos menatap muram pada orang-orang yang mulai menari dengan liar. Matanya berhenti pada sosok Shim Changmin yang berdiri tenang di pinggir aula. Lalu, Fantasos menatap Yerim dan pria yang berdansa dengannya.

"Kuharap, Morfeus punya rencana yang bagus untuk mereka."

***

Sooyeon menyesap teh chamomile yang dibuat Yunho untuknya. Gadis itu menatap sendu pada jalanan kota yang basah karena hujan, terlihat jelas dari kaca jendelanya yang lebar. Wanita itu menghela napas pelan, berharap sesak di dadanya hilang.

Yunho dan Soojung ada di kamarnya. Sooyeon baru saja selesai menceritakan semua yang selama ini dia alami tiap kali terlelap begitu lama. Semuanya. Tanpa terkecuali. Termasuk cerita tentang bagaimana dia secara tak sengaja harus berakhir membantu Hoseok.

"Aku minta maaf, Eonni," kata Soojung. Wanita itu mengigit bibir bawahnya, menatap saudaranya dengan perasaan bersalah. "Aku sempat berpikir kau mengkhianati kami dan—"

"Itu tidak masalah," sela Sooyeon. Senyum hangat terpatri di wajahnya saat Sooyeon menatap wajah adik perempuannya. "Aku memang melakukan banyak hal buruk akhir-akhir ini. Tidak masalah bahkan jika kau sempat membenciku, Soojung."

Soojung menatap wajah saudarinya dengan pandangan haru. "Aku selalu punya keyakinan dalam diriku kalau masih Sooyeon Eonni yang kukenal."

"Aku juga selalu berfikir begitu," imbuh Yunho. Pria itu mengacak pelan surai coklat Sooyeon, lalu tersenyum tipis. "Maaf karna sempat kasar padamu kemarin. Itu benar-benar kebodohanku."

"Tidak apa-apa. Kalian berhentilah minta maaf padaku." Sooyeon memasang wajah cemberut, menimbulkan tawa geli dari Soojung dan Yunho. "Soal Changmin—"

"Itu kesalahanku," potong Yunho sebelum Sooyeon melanjutkan. "Aku pasti terlalu kesepian akan kehadiran sosok saudari laki-laki dan menciptakan imajinasiku sendiri soal Changmin."

"Itu imajinasi kita bersama, Oppa." Soojung menyahut sebelum Yunho makin menyalahkan dirinya sendiri. "Jadi, itu bukan kesalahanmu, Oppa."

"Soojung benar," timpal Sooyeon. "Tapi, Shim Changmin bukan kesalahan. Dia sama sekali tidak pernah menjadi kesalahan bagi kita."

Soojung dan Yunho menatap Sooyeon dengan pandangan bertanya. Wanita itu justru memasang senyum manis, terasa hangat dan tulus.

"Aku rasa, Yerim mungkin mengerti perasaanku," lirih Sooyeon. "Seseorang yang seharusnya tidak nyata, tapi terasa jauh lebih nyata. Seolah-olah dia benar-benar ada dan bisa kita sentuh, kita raba, kita dengar detak jantungnya."

"Seseorang yang terasa seperti mimpi-mimpi yang menjadi nyata, harapan yang terwujud. Changmin adalah seseorang seperti itu, bukan?"

Yunho mengalihkan pandangan pada hujan yang mulai reda di balik jendela, menyisakan gerimis ringan yang masih membasahi bumi. Dia tersenyum, mengingat wajah Changmin dalam pikirannya. Kehangatan menyebar dalam hatinya saat membayangkan senyum pria yang sudah dianggapnya saudara sendiri.

Lalu katanya, "Ya. Shim Changmin adalah seseorang seperti itu."

"Dia tidak pernah menjadi kesalahan. Kehadirannya adalah hadiah yang indah di tengah semua mimpi buruk ini."

*****
Yuhuuu, did u miss me????

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top