Épilogue : En Feu

Paris, France.

Namjoon memasuki restoran dengan santai, menemukan Kim Junmyeon telah menunggunya di salah satu meja dengan segelas anggur di tangan. Namjoon diam-diam meneliti karakter pria itu, menebak-nebak apa yang ingin dia bicarakan hingga mengubungi Namjoon secara pribadi dan memaksanya membatalkan penerbangan.

"Aku tidak yakin kau meminta bertemu di sini untuk minum anggur." Namjoon langsung berujar begitu dia duduk di hadapan Junmyeon. Pria itu melepas kacamata hitamnya, melirik Junmyeon yang dengan tenang meletakkan gelas anggur ke atas meja.

"Aku dengar dari Soojung kalau kau sekarang bertanggung jawab atas kelima wanita itu." Junmyeon memulai percakapannya dengan natural, berusaha untuk membangun suasana santai. Pembicaraan mereka akan sangat mengerikan dan Junmyeon tidak mau Namjoon bereaksi histeris di tempat umum. "Maksudku, Joohyun dan keempat temannya."

"Aku tahu siapa yang kau maksud." Namjoon menyela dengan cepat, tidak suka dengan Jumnyeon yang mengulur-ulur waktu. "Katakan saja, apa yang diinginkan seorang pengusaha terkenal yang nyentrik dengan kelima asetku yang sangat berharga? Kau membuatku membatalkan penerbangan, Kim."

Junmyeon mengulas senyuman miring, menyadari satu fakta menarik. "Mudah menebak kau sedikit banyak tahu soal sejarah keluargaku. Kalau begitu, apa yang kau tahu tentang Atlantis?"

Namjoon mengerutkan kening dengan pertanyaan tak terduga Jumnyeon. "Benua yang tenggelam? Peradaban sempurna yang selama ini terus diburu banyak pihak?" Kedua matanya membulat begitu dia menyadari sesuatu. "Tunggu! Jangan bilang kau ingin menemukan Atlantis dengan bantuan kelima wanitaku?!"

Junmyeon mendengus mendengar ucapan Namjoon. "Profesor Kim, berhentilah mengatakan seolah-olah mereka milikmu, kau kelihatan seperti punya banyak kekasih saja," katanya dengan nada tak suka.

Namjoon menggaruk pelipisnya, terkekeh canggung. "Maaf. Tapi, jika kau memang mengajak kami menemukan Atlantis, itu akan menjadi proyek besar. Memang sudah banyak yang mengadakan proyek untuk menemukan Atlantis, tapi kerjasama kita dan lima wanita itu akan membawa hasil yang luar biasa. Aku sangat yakin," katanya percaya diri.

Junmyeon menggoyangkan gelas anggurnya, menganggu antusiasme Namjoon dengan satu kalimat. "Atlantis yang kubicarakan sangat berbeda. Yang ini versi mengerikannya, Kim."

"Sangat berbeda?"

"Ya."

"Sangat mengerikan?"

"Sangat." Junmyeon mendekatkan gelasnya ke mulut, menatap Namjoon yang menunggu ucapannya. "Aku jamin otak jeniusmu tidak pernah mendengar yang satu ini."

Pria itu meneguk anggurnya dan tersenyum. Namjoon terpaku pada cara Junmyeon tersenyum. Senyum pria itu menyadarkannya bahwa apa yang barusan dikatakannya bukan bualan belaka. Entah apa yang dimaksud Junmyeon, tapi Namjoon punya perasaan buruk.

"Katakan, kenapa mereka terlibat?" Namjoon meneguk ludah, memain-mainkan cincin di tangannya. "Omong-omong, mereka baru saja keluar dari mimpi buruk."

Junmyeon terkekeh sebentar. "Aku tahu," katanya. "Tapi, apakah kau tahu, Profesor? Sebuah petualangan tidak masuk akal kadang terjadi karena kau membuka pintu yang salah. Karena itu, kau harus berhati-hati pada setiap pintu yang kau temui. Kau tidak tahu pasti apa yang ada di balik pintu itu. Mereka membuka pintu yang salah, lagi."

Namjoon tidak berkedip, firasat buruk semakin berkeliaran di benaknya. Junmyeon tersenyum miring, misterius dan mengerikan. Lalu, dia bertanya dengan nada rendah yang mencekam;

"Apa kau percaya hal mistis, Profesor?"

Namjoon tidak sekali atau dua kali diserang pengalaman mistis. Sebagai pencinta misteri, dia cukup sering mengalami hal-hal di luar akal sehat. Namun, cara Junmyeon bertanya padanya membuat pria itu merinding. Seakan pengusaha muda itu akan menceritakan suatu tempat yang sangat mengerikan.

Namjoon mengakui kalau sekarang dia merasa ketakutan.

.
.
.

Heathrow Airport, London, United Kingdom.


"Kami tidak sedang bulan madu, Kim." Sooyoung mendengus untuk yang kelima kalinya. Memutar bola mata meski wanita di ujung telepon tidak bisa melihatnya. "Menikah saja belum, apanya yang bulan madu?"

Yerim tertawa di seberang panggilan. "Kalau begitu, kenapa kau di London?"

Sooyoung menatap kaca besar di depannya, mengamati lapangan lepas landas yang diisi pesawat besar. Pesawat Sungjae seharusnya mendarat sebentar lagi. "Kami ingin mengunjungi saudara Sungjae di sini. Lagipula, kami jarang liburan berdua."

"Kukira kau mau kawin lari. Kalau begitu, selamat bersenang-senang, Joy."

Sooyoung mencibir saat panggilan diputus. Wanita itu memasukkan tangannya ke dalam saku, mencari kehangatan di balik mantel panjang yang dikenakannya. Dia menunggu dengan antusias, tak sabar menanti kedatangan tunangannya. Sooyoung tersenyum saat merasakan cincinnya masih melingkari jemarinya. Cincin pertunangannya dengan Sungjae, pria yang segera menjadi suaminya.

"Kau terlihat baik-baik saja."

Sooyoung menoleh, menemukan seorang wanita berambut pirang terang tengah berdiri di sampingnya. Dia bicara dalam bahasa Prancis yang fasih, menjelaskan asal usulnya. Wanita itu berambut pirang dan memakai mantel coklat panjang. Rambutnya agak tersembunyi karena topi hitam yang dikenakannya.

"Kau bicara denganku?" Sooyoung mengamati sekelilingnya, menyadari hanya dia yang berdiri di dekat wanita asing itu.

Wanita asing itu justru mendengus, mengalihkan pandang pada kaca jendela besar yang tadi diamati Sooyoung. Kedua matanya yang ditutupi kacamata hitam membuat Sooyoung tidak bisa mengetahui bagaimana tatapannya. Meski diam-diam, Sooyoung merasa tak nyaman dengan kehadirannya yang tak bisa diprediksi.

"Terlibat pesta terkutuk dengan dewa dan keluar hidup-hidup, kalian memang patut diapresiasi."

"Apa yang kau maksud?" Sooyoung mulai tersulut emosi. Dia juga heran dari mana wanita aneh ini tahu soal petualangan mereka. Sooyoung merasa wanita asing ini adalah ancaman yang patut dipertimbangkan. "Bicara sembarangan lagi dan aku akan merobek bibir merahmu."

"Pesawatnya akan meledak."

"Apa?"

Wanita itu menoleh, tersenyum miring. "Tunanganmu ada di dalam, bukan? Sepuluh detik lagi, pesawat itu akan meledak."

Sooyoung terdiam, berusaha mencerna baik-baik perkataan wanita asing itu. Ketika sadar, dia mencengkram kerah mantel wanita itu, menatapnya dengan pandangan marah. Ada kecemasan pada dua bola matanya yang bergetar.

"Apa yang kau maksud dengan itu?!" pekiknya frustasi. Kekhawatiran mendominasi benaknya saat ini, membuatnya tak bisa berpikir jernih. "Kenapa pesawat itu harus meledak?!"

Belum sempat Sooyoung memaki lebih jauh, suara keras ledakan terdengar dari arah area lepas landas. Semua orang menoleh, memandang ngerti dan berteriak melihat pesawat yang masih berada di udara itu terbakar. Api melalap bagian ekor pesawat, juga bagian tengah dan moncongnya. Asap pekat membumbung tinggi, memberi kesan kehancuran yang nyata. Pesawat itu jelas akan jatuh dan menimpa area lepas landas.

Sooyoung terkesiap, menatap tak percaya pada ledakan di depan matanya. Wanita itu melepaskan cengkeramannya, air mata turun menyusuri pipinya. Sooyoung berusaha menolak semua perasaan takutnya, mengelak kalau pesawat itu bukan pesawat yang sama yang dinaiki tunangannya. Namun, hal itu terasa percuma.

Sooyoung menoleh, wanita yang tadi bicara padanya telah menghilang entah ke mana, mungkin tersembunyi oleh keramaian orang-orang yang panik. Suara ledakan kembali terdengar, kali ini menghancurkan badan pesawat yang sudah tergeletak di lapangan lepas landas. Sooyoung merasa tubuhnya dibelit ketakutan yang nyata. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya, seiring dengan jantungnya yang berdetak tak karuan. Wanita itu memekik keras;

"SUNGJAEE!!!"
.
.
.

Ottawa, Canada.

Kamarnya gelap, nyaris tidak ada pencahayaan selain dari seberkas cahaya dari tirai jendelanya yang sedikit terbuka. Barang-barang dan kertas-kertas berserakan di atas lantai, memperlihatkan betapa berantakan suasana ruangan itu.

Seungwan duduk menekuk lututnya di atas ranjang, bersandar di sudut ranjangnya. Rambut sebahunya kacau, tak jauh berbeda dengan keadaan kamarnya yang jauh dari kata rapi. Wanita itu memandang ke sekeliling kamarnya dengan perasaan waspada, mengawasi pergerakan sekecil apa pun. Matanya yang memerah karena kurang tidur membuatnya terlihat semakin berantakan.

Suara dering ponsel yang meraung keras membuatnya terkejut. Seungwan melirik layar ponselnya yang menyala, memperlihatkan siapa yang menghubunginya. Wanita itu meneguk ludah, mengambil ponselnya yang tergeletak di dekat kakinya. Dengan gemetar digesernya tombol hijau pada layar ponselnya, menerima panggilan.

"Namjoon...."

"Wen?" Suara Namjoon di seberang sana kedengaran panik. "Kau baik-baik saja, bukan? Tolong katakan padaku kalau kau baik-baik saja."

Seungwan menangis, air matanya keluar tanpa permisi. Dia takut dan lelah, juga frustasi. Suara tangisannya yang keras membuat Namjoon panik, bertanya bertubi-tubi apa yang terjadi. Seungwan tak mampu menjawab dengan benar, dia terlalu ketakutan. Napasnya tersengal, tenggorokannya perih. Jantungnya bertalu-talu seperti gendang yang ditabuh.

"Nams, aku takut." Seungwan menangis lagi, berbicara pada ponsel di telinganya dengan nada lirih. "Aku sangat takut, Namjoon."

"Wendy, aku ingin kau tenang, oke? Katakan padaku pelan-pelan, apa yang terjadi?"

"Namjoon, dia menggangguku." Seungwan mulai bercerita dengan suara kacau. Tatanan bahasanya yang biasa teratur berubah berantakan karena rasa takut yang kini mendominasi pikirannya. "Aku tak tahu dia dari mana, aku tak tahu kenapa dia menggangguku. Dia terlalu mengerikan, Nams. Aku takut."

"Oke, Wendy. Aku akan datang mengunjungimu secepatnya, kau di Kanada, bukan?"

Seungwan mengangguk, lupa kalau Namjoon tidak bisa melihat anggukannya. Wanita itu mendengarkan baik- baik saran Namjoon untuk menenangkan diri. Seungwan hampir tenang sepenuhnya saat ponsel di tangannya tiba-tiba ditarik, terlempar membentur cermin di meja riasnya.

Jantung Seungwan terasa mencelos, turun ke dasar dengan kecepatan tinggi. Dia menatap takut-takut pada cerminnya yang retak parah, mengabaikan ponselnya yang bernasib buruk di atas lantai, bergabung dengan benda-benda lain. Seungwan meneguk ludah, belum menemukan apa pun.

Sepersekian detik kemudian, wanita itu menjerit keras. Bayangan mengerikan sosok penuh darah terpantul pada cerminnya yang retak. Sosok itu tersenyum lebar, keluar dari cermin dan melayang ke arahnya.

.
.
.

Estacio de França, Barcelona.

Seulgi berlari kencang di stasiun, berkali-kali melihat ke belakang untuk memastikan pengejarnya tidak menyusul. Wanita itu beberapa kali menabrak orang-orang, tapi tetap berlari kencang setelah mengucapkan gumaman permintaan maaf yang tidak terlalu jelas terdengar.

Merasa tidak ada yang mengejarnya lagi, Seulgi berhenti di depan telepon umum. Wanita itu menunggu dengan tidak sabar, ada seorang pria tua yang tengah menelepon. Begitu pria itu selesai, Seulgi segera menghampiri telepon umum dan memasukkan koin. Seulgi menekan beberapa nomor, mendekatkan gagang ponsel telepon umum pada telinganya. Wanita itu memandang waspada ke sekitar bilik telepon umum. Stasiun lumayan ramai malam itu, dan untungnya tidak ada yang mempedulikannya. Yang lebih penting, apa pun yang mengejarnya sudah tidak ada. Setidaknya untuk saat ini. Seulgi harus memastikan sesuatu.

"Jawablah, Irene." Seulgi melirik cemas ke sekitar, takut sosok yang mengejarnya kembali muncul.

"Seulgi?"

Seulgi terkejut mendengar suara wanita yang dihubunginya. Dia menarik napas panjang, mengembuskannya untuk menenangkan diri. "Irene, kau di mana?"

"Di mana lagi? Kantorku." Joohyun menjawab dengan intonasi menyebalkannya yang biasa, tapi Seulgi tidak ada waktu untuk berdebat sekarang.

"Kau baik-baik saja di sana? Maksudku, tidak ada yang mengganggumu, bukan?" Seulgi mengacak rambutnya dengan gerakan kasar, frustasi mencari tatanan kata yang tepat. Isi pikirannya begitu kusut sekarang. Jangankan bicara dengan benar, bernapas saja dia merasa kesulitan. "Mungkin seperti hantu atau apa pun. Kau tidak diganggu sesuatu seperti itu, bukan?"

Joohyun hanya diam, tidak menjawab racauan Seulgi selama beberapa saat. Seulgi bisa mendengar wanita itu menghela napas sebelum menjawab. Sepertinya ada kabar buruk.

"Ya, Seulgi. Aku juga mengalaminya."

Seulgi terkesiap, sadar kalau firasatnya benar. Wanita itu berdeham canggung, mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding. "Aku akan ke tempatmu, jangan ke mana-mana."

Diletakkannya gagang telepon pada tempatnya, menghela napas. Seulgi berbalik, hendak meninggalkan bilik telepon umum. Sebuah tangan dingin tiba-tiba mencekik lehernya, membuatnya sesak sekaligus terpaku di tempatnya berdiri. Suara lirih yang mengerikan itu terdengar jelas di telinganya, datang bersama hawa dingin dari belakang punggungnya.

"Datang ke Atlantis atau mati, Seulgi."

Air mata merosot turun membasahi pipinya, wanita itu memohon dalam diam.

.
.
.

The International Criminal Police Organizations Headquarters, Lyonn, France.

Joohyun meletakkan gagang teleponnya. Wanita itu mendudukkan dirinya di meja kerjanya yang tiba-tiba terasa dingin. Dia mengacak rambutnya dengan frustasi, pikirannya amat keruh sekarang. Setelah berbicara dengan Seulgi, Joohyun makin yakin kalau gangguan yang diterimanya akhir-akhir ini perlu perhatian lebih. Joohyun baru hendak menghubungi yang lainnya. Mungkin Seungwan, Sooyoung, Yerim, atau bahkan Namjoon. Bahkan Joohyun terpikir untuk menghungi Junmyeon. Siapapun, dia sangat takut sekarang.

Suara ketukan pintu menginterupsi.

Joohyun terlonjak, merutuki siapapun yang mengetuk pintunya kali ini. Wanita itu berteriak, mempersilahkan siapapun di balik pintu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Joohyun mengerutkan kening saat pintu tak kunjung terbuka.

Suara ketukan pintu kembali terdengar, kali ini terkesan main-main. Suaranya melambat, lalu tiba-tiba mengetuk dalam tempo cepat. Joohyun meneguk ludah, mengambil pistol dari laci meja kerjanya. Perlahan, dia berjalan ke arah pintunya yang tertutup. Suara ketukan itu masih terdengar, kali ini dengan tempo pelan. Terdengar seperti peringatan yang mengancam.

Joohyun meletakkan tangannya pada gagang pintu, membukanya dengan cepat. Tangannya yang memegang pistol telah bersiaga, menodong siapapun di balik pintu. Namun, tidak ada yang menyambutnya. Hanya keheningan dan ruangan kantornya yang kosong. Joohyun menatap ke sekeliling dengan pandangan cemas. Ke mana semua orang? Siapa yang mengetuk pintunya dari tadi?

Joohyun masih bersiaga dengan pistolnya, mengitari ruangan kerja anak buahnya yang kosong. Tidak ada satupun kubikel yang terisi atau komputer yang menyala. Satu-satunya penerangan adalah cahaya lampu temaram di langit-langit ruangan.

Suara bantingan pintu terdengar kencang, membuat Joohyun terkejut dan menoleh dengan cepat. Pintu ruangannya telah tertutup rapat, tulisan dengan terukir dengan darah di pintu itu menjadi apa yang paling mencuri perhatian agen muda itu.

Joohyun gemetar, membaca tulisannya lamat-lamat. Wanita itu berteriak begitu dia menyadari makna tulisan dengan warna merah pekat itu. Dengan gemetar diambilnya ponsel dari saku, mencari kontak yang menurutnya punya jawaban atas kejadian mengerikan ini.

Joohyun menangis begitu panggilannya terhubung, suara bingung bercampur panik seorang pria terdengar dari ujung telepon. Joohyun menangis lagi, terlalu ketakutan hingga semua akal sehatnya seolah menguap.

"Junmyeon...."

.
.
.

Seoul, South Korea.

"Itu Joy?" Mingyu bertanya saat Yerim meletakkan ponselnya ke atas meja. Wanita berambut coklat di depannya mengangguk pelan, menyedot es kopinya dengan santai. "Omong-omong, warna rambutmu kelihatan normal sekarang."

Yerim tertawa, mengelus surai kecoklatannya perlahan. "Aku mungkin akan bertobat sementara dari kebiasaan mengecat rambut. Supaya Komandan semakin menyayangiku, tentu saja."

Mingyu mencibir bualan wanita di depannya. "Aku tidak percaya. Kim Yerim yang kukenal tidak suka menaati aturan. Kau punya potensi memberontak yang unggul, Nona."

Yerim cemberut, membuat pria di depannya terkekeh gemas. "Kau akan terus meledekku seperti itu? Siapa kemarin yang memelukku dengan erat saat aku baru kembali?"

Tawa halus keluar dari celah bibir pria itu. "Bagaimana ya? Aku terlalu terharu kau kembali dengan semangat. Habisnya, kau bicara padaku seolah kau ingin pergi selama-lamanya. Aku jadi khawatir, tahu?"

"Aku sudah berjanji untuk kembali dengan selamat, Kim. Aku menepatinya, bukan?"

"Ya ya ya, Nona Kim. Aku sangat senang kau kembali dengan selamat. Omong-omong, bagaimana dengan misimu di Paris? Mengerikan? Coba ceritakan!"

Yerim memutar bola mata begitu melihat antusiasme di mata Mingyu. "Kau takkan percaya jika kuceritakan, itu di luar akal sehat. Lagipula, aku tak terlalu suka membicarakannya."

Mingyu mendorong piring cake pesanannya ke arah Yerim, menyadari dia salah memilih topik. "Sana makan yang banyak supaya kau tetap sehat. Aku yang bayar."

Yerim tersenyum senang, kedua matanya menyipit karena senyum lebarnya. "Kau memang yang terbaik, Oppa!"

Mingyu terkekeh, mengacak rambut wanita di depannya dengan gemas.

.
.

"Aku akan mengambil motorku, tunggu di sini." Mingyu memberi perintah pada Yerim yang hanya mengangguk.

Yerim mengeratkan mantelnya, mengamati jalanan di depan kafe dengan tenang. Malam belum terlalu larut dan suasana di sekitarnya cukup ramai. Yerim bersemu begitu menyadari malam ini banyak pasangan yang sedang kencan. Apa dia dan Mingyu bisa disebut begitu?

Yerim menggelengkan kepalanya keras-keras, merutuki dirinya yang terbawa suasana bersikap dramatis. Suara ketukan langkah membuatnya menoleh, Yerim heran orang gila mana yang punya suara langkah begitu berisik.

Hening. Yerim merasa kakinya dipaku hingga melekat kuat pada tanah dan mulutnya disumpal oleh sesuatu yang tak kasat mata. Bernapas pun menjadi hal yang sangat sulit bagi Yerim sekarang. Wanita itu menatap horor pemandangan di depannya.

Seorang wanita berlumuran darah yang tersenyum sadis padanya.

Sesak itu mencekik lehernya, menjeratnya pada perasaan takut yang membuat sekujur tubuhnya lemas tak berdaya.

Sosok itu semakin mendekat, perlahan-lahan.

"Yerim?"

Yerim tersentak, menatap bingung pada Mingyu yang sudah berdiri di depannya dengan motornya. Pria itu tampak khawatir saat melihat Yerim seperti orang linglung. Yerim menoleh lagi, sosok mengerikan itu sudah tidak ada.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menjulurkan helm.

Yerim menggeleng, tersenyum tipis. Wanita itu menerima helm pemberian Mingyu dan duduk di belakang Mingyu.

"Kau yakin baik-baik saja? Wajahmu pucat." Mingyu bertanya lagi, khawatir dengan keadaan rekannya.

"Aku baik-baik saja," tukas Yerim dengan cepat. "Ayo pergi dari sini, aku tidak mau berlama-lama di tempat ini."

Mingyu mengangguk paham, mulai menjalankan motornya meninggalkan kafe. Yerim melirik pasa kaca spion di motor Mingyu, meneguk ludah begitu melihat sosok mengerikan yang tadi menghantuinya berdiri di depan kafe. Menatapnya dengan wajah hancurnya yang mengerikan. Dia melambaikan tangannya seolah mengucapkan sampai jumpa pada Yerim. Seolah mereka akan bertemu lagi.

Yerim mengeratkan cengkeramannya pada jaket Mingyu, mulai menangis dalam diam dan sesak. Udara di awal musim dingin terasa lebih beku dari yang sudah-sudah.

Dia sangat ketakutan.

.
.
.

Junmyeon mendobrak pintu, masuk dengan langkah gusar ke dalam kafe yang lumayan ramai. Pria itu tidak datang untuk duduk menikmati kopi atau apa, dia justru menarik kerah pelayan wanita yang menyambutnya. Tatapan dinginnya membuat orang-orang yang berniat melerai mengurungkan niat, memilih menjadi penonton bisu saat Junmyeon bertanya dengan nada beku yang mengerikan.

"Apa yang kau lakukan?"

Wanita dalam cengkramannya tidak terlihat takut, malah sempat menyunggingkan senyum miring yang terkesan mengejek. "Menurutmu, apa yang kulakukan?"

Junmyeon menggeram, menahan diri untuk tidak menghajar wanita di depannya. Pria itu menyentakkan wanita itu dengan kasar, membiarkannya memperbaiki seragamnya yang kusut karena ulah Junmyeon.

"Kau kelewatan," kata Junmyeon dingin, tatapannya menajam. "Kau tahu apa hukuman bagi orang-orang yang kelewatan, bukan?"

Ucapannya membuat wanita itu terpancing emosinya. "Aku muak menjadi budak iblis itu, Suho!" Dia mengarahkan telunjuknya pada lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan seorang wanita yang duduk di kursi dengan wajah sedih.

Junmyeon terperangah karena teriakan Aimée, pria itu menghela napas panjang. Tatapannya melembut. "Aimée, tenangkan dirimu."

"Aku tidak bisa tenang, Kim!" Aimée memekik frustasi. Tidak peduli meski kini orang-orang semakin menjadikan mereka berdua pusat perhatian. Dia sudah terlalu muak memendam semuanya sendirian. "Aku tidak bisa tenang dengan semua yang terjadi. Aku muak dengan peranku sebagai pelayan wanita sinting itu!"

Junmyeon terpaku dengan air mata di pipi Aimée. Tiba-tiba, dia menyesal telah bertindak di luar batas. Menarik kerah seorang wanita jelas bukan tindakan sopan. Junmyeon memijit keningnya, berharap pikirannya yang keruh sedikit membaik.

"Suho, aku berhenti."

Junmyeon terkesiap saat Aimée telah berdiri di samping lukisan. Wanita itu memegang pemantik yang menyala, tersenyum sedih. Junmyeon kontan dibuat cemas luar biasa, sadar apa yang akan dilakukan wanita itu. Dia harus menghentikan Aimée sebelum semuanya terlambat.

"JANGAN LAKUKAN!" Junmyeon dengan panik berlari, hendak menghentikan Aimée.

Terlambat. Wanita itu telah membakar lukisan tersebut. Junmyeon menatap nanar pada lukisan yang terbakar. Api yang semula merah berubah hitam begitu menyentuh lukisan. Orang-orang berteriak panik, seorang pelayan pria pontang-panting mengambil seember air. Junmyeon menoleh pada Aimée yang berdiri di sampingnya, pria itu langsung terkesiap.

Wanita itu memegang pisau, mengarahkannya pada pergelangan tangannya. Kedua mata birunya dipenuhi genangan air mata yang perlahan luruh, menyuarakan perihnya yang selama ini dia tahan sendirian. "Sudah kubilang aku akan berhenti, Suho."

Junmyeon meneguk ludah, perlahan mendekat. "Aimée, kumohon. Kita bisa mencari jalan keluarnya."

"Tidak ada jalan keluar bagiku, Suho."

Junmyeon tidak sempat menghentikan tindakan wanita itu. Aimée mengigit bibir, dengan gerakan cepat mengiris pergelangan tangannya tepat di nadi. Orang-orang yang sedari tadi menyaksikan semakin dibuat ngeri. Darah segar memercik, mengenai lukisan yang perlahan terbakar. Aimée sendiri perlahan jatuh, dibantu oleh pelanggan dan pelayan lain yang berada di dekatnya.

Junmyeon hendak membantu Aimée, tapi hawa dingin dari lukisan membuatnya menoleh.

Junmyeon mengerjapkan matanya berkali-kali, nyaris tak percaya jika wanita dalam lukisan terbakar yang kini tengah berusaha dipadamkan justru tersenyum lebar. Senyum itu terlihat sangat mengerikan.

Junmyeon meneguk ludah, sadar bahwa petualangan buruk sudah menanti. Tenggorokannya tiba-tiba dicekik perasaan ngeri yang kuat, membuatnya diam luruh ke lantai dengan wajah ketakutan.

••••• COMING SOON •••••

ATLANTE

A Lost Island that Mustn't be Found

Apa yang pertama kali terlintas di benakmu saat mendengar kata Atlantis? Benua sempurna yang tenggelam? Pulau legendaris yang runtuh? Peradaban super maju yang terbenam ke dasar samudra dalam satu malam?

Well, biarkan kami membawakan cerita baru tentang Atlantis. Satu hal yang harus kau tanamkan kuat-kuat; Atlantis bukan tempat yang cocok untuk bersenang-senang.


| Horror / Supranatural |

Strarring by : Red Velvet, Kim Namjoon, Kim Junmyeon, and another idol.

Written by : Lumina Kim

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top