Deux : Emmené- mòi à Paris
Cerita ini hanya fiktif belaka, harap kebijaksanaaan pembaca dalam memahami isi cerita.
| Fantasy/ Mythology |
| Red Velvet | TVXQ | Jessica and Krystal Jung | BTS |
and another idol,
Enjoy!
*****
"Paris is always a good idea."
- Audrey Hepburn -
.
.
.
Sooyoung pernah beberapa kali ke Paris, tapi dia tidak pernah datang ke City of Lights ini ketika hujan turun. Suasana kota terlihat suram, beda jauh dengan apa yang dia bayangkan soal Paris saat mendengar dia dan Yerim akan bertugas di ibukota Prancis tersebut.
"Yang kupikirkan soal Prancis hanyalah gaun-gaun cantik yang membuatku ingin menangis."
Sooyoung berujar saat limusin yang ditumpanginya bersama Yerim membelah Quay d'Orsay. Kawasan elit di Paris yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Menara Eiffel. Kendaraan yang mereka naiki bergerak stabil, mengikuti arus kerumunan di tengah hujan yang menyapu basah jalanan kota. Wanita yang mengikat tinggi rambutnya itu menoleh saat tak mendengar jawaban, mendapati Yerim sudah sibuk sendiri dengan dunianya.
Sejenak, Sooyoung terpaku dengan bagaimana gadis itu tampak sangat indah dengan kaca jendela limusin yang membingkainya. Rambut sewarna permen kapas itu kelihatan bersinar, serupa perak yang berkilau di antara suramnya suasana kota.
Sooyoung mengalihkan pandang saat dia melihat Yerim mulai menyadari arah pandangannya. Wanita itu lagi-lagi dibuat terkesiap, menemukan seorang pria bertopeng emas berdiri di tengah jalanan. Kendaraan yang melewatinya menembus tubuh pria itu, seolah-olah dia tidak nyata.
Sooyoung menajamkan pandangannya.
Pria dengan rambut orange itu menyeringai, membuat jantung Sooyoung berdetak dalam irama yang kacau balau. Ia melambaikan tangan pada Sooyoung yang terkesiap, lalu menghilang dalam satu kedipan.
Sooyoung mengedipkan matanya beberapa kali. Pria itu benar-benar menghilang. Menggelengkan kepala, Sooyoung berusaha menepis apa yang baru saja ia saksikan. Meski ia tidak bisa tidak gelisah.
"Mungkin hanya efek jet lag, musim dingin membuat otakku beku sesaat."
"Kau mengatakan sesuatu, Joy?"
Sooyoung menoleh pada rekannya, tersenyum tipis dan menggeleng sebagai jawaban. Yerim sempat heran, namun memilih tidak peduli. Perhatiannya kembali dicuri langit kelabu yang suram, membuang Yerim pada kenangan pahitnya di saat hujan.
"Apa kau melihat pria itu selain di dalam mimpimu?"
Yerim menoleh pada Sooyoung, menemukan wanita berponi rata itu menatap lurus ke depan dengan serius. Kedua tangannya yang saling bertaut gelisah di atas paha membuat Yerim bertanya-tanya.
"Sering. Apa kau melihatnya barusan?"
Tidak ada jawaban dari Sooyoung hingga lima menit ke depan. Yerim menyerah, dalam hati merutuki suasana emosional diantara mereka. Apa-apaan? Padahal ini Park Sooyoung. Yerim tidak menyangka wanita itu bisa menjadi begitu aneh seperti barusan. Jika saja Taecyeon tidak mengancam akan memangkas gajinya, Yerim ingin berganti rekan saja. Mungkin Mingyu bisa jadi opsi pertama. Meski menyebalkan, sersan muda itu jelas akan sangat membantu Yerim. Namun, tampaknya Komandan Taecyeon serius dengan ucapannya, wajahnya membuktikan itu.
Double serious, Taecyeon dan wajah jangan-bantah-aku andalannya bukanlah hal yang ingin Yerim lihat setiap hari. Karena itu, Yerim bersedia menjadi tentara yang baik dan patuh selama misi berlangsung. Agar Tuhan memberkatinya dan mereka berdua bisa kembali dengan selamat, itu kata Taecyeon.
Limusin berhenti di depan sebuah bangunan enam lantai, kelihatan seperti apartemen yang kuno namun tetap mewah. Sooyoung mengucapkan terima kasih pada supir yang mengantar mereka, keluar duluan karena sudah ada pria yang membawa payung menunggunya di dekat pintu mobil. Yerim menggerutu, tapi tetap mengikuti Sooyoung yang berjalan masuk ke dalam bangunan itu dengan wanita yang juga membawa payung. Yerim berjanji akan membuat laporan sejujur-jujurnya tentang betapa tidak menyenangkannya berpartner dengan seorang Park Sooyoung. Lagipula, sepetinya misi ini akan membosankan. Mereka hanya diperintahkan untuk membantu keluarga Jung. Salah satu keluarga pengusaha berpengaruh yang cabangnya ada dimana-mana. Entah apa hubungan pengusaha super kaya itu dengan komandannya, mungkin Taecyeon punya hutang budi padanya. Baik Yerim maupun Sooyoung tidak pernah bertanya lebih, mereka paham posisi mereka sebagai tentara yang spesial. Bukan hal aneh bagi mereka untuk melanggar beberapa peraturan, selama itu demi keamanan negara dan tidak terlalu merugikan. Mereka dibebaskan dalam beberapa hal, lepas dari prosedur ala tentara pada umumnya. Mempunyai keistimewaan tersendiri, demi misi yang tak kalah istimewa.
Seorang pria berpakaian pelayan hitam putih telah menunggu mereka, memperkenalkan diri sebagai kepala pelayan. Setelah melepaskan mantel, keduanya dibawa melewati lorong-lorong penuh lukisan tak jelas menuju meja panjang yang diisi sajian makanan mewah. Suasananya agak horror karena lampu yang temaram dan cahaya redup dari lilin yang mengisi meja. Mereka seolah tengah melangkah masuk ke dalam markas vampir.
"Aku rasa di luar tidak segelap ini." Yerim berkata pelan dalam bahasa Korea.
"Setidaknya, disini hangat."
Sooyoung memberi kode pada Yerim, melirik beberapa pelayan pria dan wanita berdiri tertib di bagian yang tidak terkena cahaya, seolah sedang menyamarkan diri mereka. Yerim membalas dengan senyuman simpul, mulai merasa tertarik dengan misi yang ia jalani. Yerim yakin mereka akan segera menemukan hal-hal yang menyenangkan.
Seperti sekarang ini. Yerim tersenyum sangat lebar, lupa menjaga sikap sebagai seorang tentara yang baik seperti yang sudah disepakatinya dengan Taecyeon. Sooyoung tampaknya juga lupa, karena Yerim bisa dengan jelas melihat pipinya yang tembam terangkat karena wanita itu tersenyum amat lebar. Ia jelas sama semangatnya dengan Yerim. Mungkin Yerim akan mengingkari janjinya untuk membuat laporan yang buruk soal Sooyoung. Ia belum pernah berpartner hanya berdua dengan Sooyoung, tapi tampaknya mereka punya selera yang sama soal tantangan.
Demi apa pun, hanya orang yang membosankan yang tidak bersemangat saat melihat Kang Seulgi duduk manis tiga meter di depan mereka. Sibuk dengan makanan yang tampaknya sangat menggiurkan itu. Seulgi bersikap seolah-olah tidak ada yang menatapnya. Yerim dan Sooyoung saling berpandangan, lalu tersenyum dengan mata berbinar. Kedua tentara muda itu benar-benar melupakan status mereka sebagai tentara, lupa bahwa mereka harusnya menangkap kriminal dan bukannya menatap Kang Seulgi dengan pandangan kagum yang kentara.
Iya, Kang Seulgi itu seorang kriminal. Kelas atas. Seseorang yang harusnya dijebloskan ke penjara mengingat catatan kriminalnya yang panjang. Cukup untuk dijadikan sebuah buku, yang mana akan memiliki banyak seri karena banyaknya kasus yang ia sebabkan.
Seulgi, yang akhirnya merasa terganggu karena derap langkah Sooyoung dan Yerim menoleh pada dua tentara itu. Seulgi mendongak saat keduanya ternyata sudah sampai di depannya, yang satunya berdiri menjulang sementara yang satunya lagi masih bisa ditoleransi lehernya. Ia mendengar informasi kalau dua tentara muda khusus akan bergabung, tapi tidak pernah menyangka tentara yang dimaksud memiliki tampilan layaknya idol terkenal yang sering dilihatnya di televisi. Keduanya benar-benar mematahkan anggapan Seulgi soal tentara yang konservatif.
Astaga, lihatlah rambut pink dan selera fashion itu.
"Aku paham, kau mungkin sedikit bingung karena kami tak seperti bayanganmu." Sooyoung memulai percakapan dalam bahasa Prancis, sekaligus menjawab pertanyaan yang diutarakan Seulgi lewat kernyitan di dahinya. Sooyoung mengulurkan tangan, mengambil langkah duluan dari Yerim yang masih memandang Seulgi dengan tatapan berbinar. "Aku seorang penggemar," katanya sungguh-sungguh. "Namaku Park Sooyoung."
Seulgi menormalkan ekspresinya, menatap tangan Sooyoung yang terulur padanya. Seulgi menjabatnya dengan santai dan mengamati wanita tinggi itu, mengingat wajahnya di berkas yang ia baca di perjalanan menuju Paris. "Aku juga penggemar, Joy." Seulgi tersenyum begitu mendapati mimik tersentak Sooyoung, meski hanya sebentar karena wanita itu kembali menormalkan ekspresinya. "Aku tidak akan melupakan insiden di konferensi. Hari dimana kau 'membantai' anggota dewan dengan sepatu hakmu."
Sooyoung terkekeh, reputasinya benar-benar naik karena kasus itu. Namun, karir tentaranya sempat terancam dan ia mendapat skorsing, plus pemotongan gaji. Tentu saja Sooyoung baik-baik saja, negara ini sangat membutuhkannya dan kemampuannya. "Aku yakin kata 'membantai' terlalu mengerikan, bagaimana jika suatu saat kejadian ini dituliskan dalam sejarah? Haruskah orang-orang mengenalku sebagai Joy si Pembantai?"
"Itu akan jadi kisah yang menarik, Park." Kim Yerim menyela, tidak terima jika Sooyoung mendominasi perhatian Seulgi. Yerim tersenyum lebar pada Seulgi yang kini memusatkan perhatian padanya. "Namaku Kim Yerim, salam kenal." Ia mengulurkan tangan dengan semangat, lalu mengguncang tangan Seulgi saat wanita itu menyambut uluran tangannya.
Seulgi mencoba mengingat informasi yang dibacanya soal Yerim. "Aku penasaran tenaga sebesar apa yang kau miliki di balik tubuh mungil itu." Seulgi lalu menatap keduanya dengan senyum simpul. "Suatu kehormatan bertemu Dark Soldier seperti kalian."
"Kehormatan bagiku bertemu dengan kriminal sekelas dirimu." Sebuah suara menyela percakapan ketiganya. Senyum Seulgi merekah begitu menemukan Bae Joohyun melangkah ke arah mereka dengan wanita lain di belakangnya yang tertinggal beberapa langkah dan sibuk dengan dokumennya.
"Oh, Kelinci Cantik dari Interpol." Seulgi terkekeh. Akan sangat menyenangkan bagi Seulgi bisa berkerjasama dengan agen yang terkenal dingin itu.
Joohyun berdiri, memamerkan sikap tubuhnya yang tenang di hadapan empat wanita lainnya. "Bae Joohyun, Interpol. Aku rasa kita akan bekerjasama dalam kasus ini." Wanita berambut coklat itu tidak mengulurkan tangannya atau sejenis cara berkenalan lainnya. Salah satu tangannya memegang mantel sementara tangan satu lagi tampak sibuk dengan beberapa map dan sebuah kacamata. Mungkin Joohyun akan dimaklumi jika saja wajah dinginnya tidak memberi kesan angkuh.
Sooyoung kembali pada wibawanya sebagai seorang tentara, sesuatu yang hanya ia tunjukkan pada orang-orang yang layak. "Park Sooyoung, aku bekerja di militer." Wajahnya tak kalah dingin dengan milik Joohyun. Sooyoung tersenyum, tapi jelas bukan jenis senyuman tulus.
Melihat itu, Kim Yerim juga memperkenalkan dirinya. "Kim Yerim. Sama dengan wanita itu." Ia bersedekap, menunjukkan pertahanan secara naluriah. Wanita di depannya perlu diberi peringatan kalau Yerim bukanlah seseorang yang bisa ia remehkan. Wajah mulus nan cantik itu mungkin belum merasakan tinjuan maut Yerim.
Seulgi tersenyum senang, menatap ketiga wanita yang saling berpandangan dengan wajah judes, menatap satu sama lain seolah mereka adalah musuh bebuyutan yang telah lama tidak berjumpa. Joohyun dengan sikap superior dan perfeksionisnya, dan Sooyoung dan Yerim yang sepertinya punya potensi unggul dalam memberontak.
Oh, ini akan jadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Bolehkah Seulgi bertepuk tangan? Dia sangat menyukai keributan.
"Aku pikir kalian harus memberi kesempatan bagiku dan wanita yang duduk disana untuk memperkenalkan diri." Wanita yang muncul dari belakang Joohyun bersuara, memecah ketegangan dengan kalimat yang diutarakannya tanpa rasa bersalah sama sekali. "Son Seungwan, aku seorang arkeolog, juga Profesor Arkeologi." Ia memperkenalkan diri, mengangkat tangannya yang penuh dengan dokumen sebagai isyarat kalau ia tidak bisa berjabat tangan. "Kalian juga bisa memanggilku Wendy." Wanita berambut pendek itu akhirnya memutuskan memberi salam khas orang Korea.
Seulgi tidak mengikuti jejak ketiga wanita lainnya yang membalas salam Seungwan. Ia sibuk mengamati wanita yang mengaku dirinya Profesor itu. Apa pekerjaannya tadi? Arkeolog? Mungkin ia lebih cocok menjadi model atau aktris, menilik kulit putih mulus dan wajah cantik wanita itu. Seulgi mungkin harus benar-benar melihat wajah Seungwan tertutupi debu sarkofagus untuk dapat percaya kalau wanita itu benar-benar seorang arkeolog.
"Kau tidak akan memperkenalkan diri?"
Seulgi nyaris tersedak saat Seungwan tiba-tiba menatap kearahnya. Bertanya dengan tatapan santai yang malah terkesan malas. Seulgi menaikkan alis, ia tidak pernah ditatap seperti itu sebelumnya. Ia familiar dengan pandangan benci, takut atau cemas yang diberikan orang-orang padanya. Atau dalam kasus Sooyoung dan Yerim, tatapan berbinar penuh kekaguman. Singkatnya, Seulgi hampir selalu menarik perhatian ketika dia ingin, dan menyembunyikan dirinya kalau ia mau, salah satu penyebab kenapa wanita itu sulit ditemukan. Sekarang, Seulgi sedang ingin menjadi pusat perhatian. Karena itu, ia memakai pakaian gelap, memberi eyeliner senada pada matanya dan membiarkan rambut coklat lurusnya tergerai. Memakai lipstik merah dan menunjukkan ekspresi wajah yang sulit dibaca.
Seungwan tidak seharusnya menatap Seulgi dengan pandangan malas, itu pelecehan.
"Kang Seulgi." Seulgi berdiam sebentar untuk melihat reaksi Seungwan. Ia mengerutkan kening saat Seungwan masih mempertahankan wajah tidak pedulinya.
"Pekerjaanmu?"
Astaga, wanita ini terlalu lama hidup di dalam gua.
Yerim dan Sooyoung terkekeh, menertawakan wajah kesal Seulgi yang gagal ia sembunyikan. Ini mungkin salah Seungwan juga. Tidak aneh jika ia tidak mengenali wajah Seulgi, tapi tidak mengenali namanya adalah hal yang sangat aneh. Serius, wanita itu tidak menonton televisi?
Seulgi berdeham, mengumpulkan kembali ketenangannya. Wanita itu melirik sekilas pada Joohyun yang dengan tenang mengambil tempat di sampingnya, tengah menikmati sajian teh yang baru dituangnya dari teko kecil. Seulgi kembali menaruh perhatian pada Seungwan yang masih berdiri, menunggu jawabannya.
"Aku seorang kriminal."
Seungwan masih tampak tidak tertarik, wanita itu hanya mengangguk paham. "Kau pasti sangat sibuk," katanya sambil mengambil tempat di samping Joohyun. Meletakkan dokumen yang dipegangnya di atas lantai. Sooyoung dan Yerim mengikuti dengan duduk di sisi yang berlawanan dari ketiganya.
"Tidak juga," jawab Seulgi sambil mengamati Yerim yang mulai mengambil pisau dan garpunya. Sooyoung bahkan sudah mulai makan, dan ia yakin tanpa perlu melihat kalau Seungwan juga tengah menikmati hidangan di meja. Hanya Joohyun yang tetap tenang dengan tehnya, tidak terusik dengan perbincangan Sooyoung dan Yerim. Wanita itu tampak tidak ingin diganggu, dan kedua tentara muda di depannya cukup pintar untuk tidak mengusiknya. Seulgi mengangkat bahu, memilih bersikap masa bodoh dan kembali menikmati sajian daging asap yang belum selesai dihabiskannya.
Ia tampaknya perlu mengabaikan anjuran Soojung soal mengakrabkan diri, empat wanita yang baru ditemuinya ini lebih memilih makan ketimbang membahas alasan mereka dikumpulkan.
Itu berita baik, Seulgi tidak suka diganggu saat makan.
***
Kesan pertama Joohyun saat Jung Yunho melangkah masuk ke ruang makan dengan tongkatnya yang berisik saat mengetuk permukaan lantai adalah; Pria itu sungguh kacau. Joohyun akan tetap menganggapnya kacau meski pria itu mengenakan setelan jas mahal, melapisi tubuhnya dengan kemeja kualitas terbaik yang harganya tak perlu dipertanyakan lagi. Dia tetap terlihat kacau. Bagian atas kemejanya tidak terkancing, rambutnya juga tidak tertata rapi dengan rambut halus yang menghiasi sebagian wajahnya. Astaga, kapan terakhir kali pria tampan itu bercukur? Yang paling mengerikan, ada lingkaran hitam tebal di sekililing matanya yang lelah. Serius, orang itu tidak tidur?
Hal yang paling membuat Joohyun bertanya dalam hati soal kebenaran penampilan Yunho yang terpampang di majalah bisnis dengan kenyataan yang ia lihat sekarang adalah fakta bahwa ia menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan, menyangga kaki kanannya yang terlihat tidak berfungsi. Mungkin patah tulang? Padahal, Joohyun rajin membaca artikel, ia belum pernah melihat satu pun artikel yang menyinggung soal keadaan kaki Yunho. Hei, pengusaha sekelas Yunho pasti diawasi gerak-geriknya oleh media, bukan?
"Terakhir kali aku melihatnya di salah satu seminar, ia sesehat lembu. Begitu inspiratif dan memukau, aku harus berkedip berkali-kali untuk sadar kalau ini benar-benar Jung Yunho." Seungwan berbisik lirih pada Joohyun, matanya tetap mengamati Yunho yang duduk di kursi paling ujung, mengisi tempat sebagai tuan rumah. Joohyun tidak terkejut dengan kecerewetan Seungwan, ia sudah menyadarinya saat mereka berpapasan di depan pintu masuk.
"Itu Jung Soojung. Dia lebih berkharisma jika dilihat dari dekat. Jika ini masa lalu, ia sudah menjadi Ratu yang berpengaruh. Mungkin Cleopatra atau Isabela. Akhir-akhir ini dia sering muncul di perusahaan dan media menggantikan Yunho yang menghilang tiba-tiba." Seungwan kembali berbisik saat wanita berambut coklat ikal dengan potongan pendek masuk ke dalam ruangan.
Joohyun mengamati Soojung yang mengambil tempat di samping Yunho, sejajar dengannya, bersebelahan dengan Sooyoung dan Yerim. Joohyun harus mengakui kalau Soojung lebih mengintimidasi ketimbang yang pernah dilihatnya di televisi. Wanita itu memiliki wajah yang beku, namun tetap cantik dengan sepasang mata tajam yang memikat. Bahkan, dengan lingkaran hitam yang tak terlalu kentara di matanya, Joohyun tetap akan memberi nilai plus untuk kecantikan Soojung.
Ia seperti julukannya, Krystal. Cemerlang, tenang, dan terkesan dingin. Joohyun menangkap matanya sedang melirik Seulgi untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menatap Joohyun dengan tenang. Joohyun tidak menghindari tatapannya, justru mencoba mencari hal lain dari sepasang bola mata berwarna coklat yang kini menatapnya.
Joohyun menemukannya dengan mudah. Terbiasa menemui berbagai jenis manusia dengan penampilan emosi beragam membuatnya dapat dengan mudah menyadari apa yang disembunyikan Soojung. Wanita ini terlalu banyak menyimpan perasaannya, menampilkan wajah beku nyaris setiap saat pasti butuh tenaga yang luar biasa. Soojung ibarat wanita yang berdiri kokoh dengan kedua kakinya sendiri, namun tetap butuh dipeluk tangan orang lain.
Tiba-tiba, Joohyun ingat Stephanie, juga apa yang dikatakan wanita itu padanya. Joohyun menatap Yunho, yang tampaknya tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Dia jadi penasaran tentang apa yang menimpa keluarga Jung.
Pertanyaannya, dimana Jung Sooyeon?
.
.
.
Apa kalian percaya kekuatan mimpi?
Jung Yunho percaya. Karena berkat mimpinya, ia bisa membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan hidup dalam taraf yang bisa dibilang mewah. Yunho memiliki kehidupan yang diimpikan begitu banyak orang. Mimpi sederhananya untuk tidak lagi tidur berlapis selimut kumal dengan rasa lapar mendera telah membawanya sampai pada titik yang ingin digapai banyak orang.
Namun, Yunho tak pernah menyangka mimpi terburuknya turut terwujud. Mungkin semesta memang adil, karena selain mewujudkan mimpi sederhana Yunho yang begitu mulia, semesta juga turut membuat mimpi paling buruknya menjadi nyata.
Ia kehilangan orang yang sangat disayanginya.
Yunho bersedia melakukan apa pun untuk membawa Shim Changmin kembali, juga membebaskan Jung Sooyeon dari kutukan yang membuat Yunho terjebak dalam lingkaran mimpi buruk yang tak berujung. Ia telah sampai pada level dimana nyawanya tidak begitu berati dibandingkan keselamatan mereka. Bagi Yunho, kehidupan impiannya akan sia-sia tanpa kehadiran mereka yang membangun mimpi bersamanya. Yunho tidak akan bisa hidup tenang sendirian, ia akan melakukan apa pun. Bahkan jika harus menawarkan semua yang ia punya.
Di sinilah Yunho berada sekarang. Duduk di kursi paling ujung dari meja makan yang mewah. Yunho mengepalkan tangannya yang gemetar dibawah meja. Sajian makanan mewah yang disiapkan pelayannya sama sekali tidak menggugah selera, Yunho sudah lupa kapan terakhir kali ia menikmati makanan yang masuk ke dalam lambungnya. Ia menatap orang-orang yang duduk satu meja dengannya. Di sebelah kanannya ada Jung Soojung dan dua orang wanita yang salah satunya memiliki warna rambut yang eksentrik. Di sebelah kirinya ada tiga wanita lain yang tidak pernah Yunho temui sebelumnya. Yunho meletakkan tangannya di atas meja, dan ia pikir tangannya yang tremor akan membuat meja bergetar. Soojung yang melihat itu menggengam tangan Yunho, mengabaikan pandangan bertanya dari kelima wanita lainnya akan apa yang tengah terjadi pada Yunho.
Yunho bisa merasakan kalau Soojung sama putus asanya dengan dirinya. Namun, mereka harus kuat. Changmin dan Sooyeon pasti menginginkan mereka untuk tetap kuat. Yunho merasa sedikit tenang, ia memandang lurus ke depan dan membiarkan tangan Soojung lepas darinya. Yunho tersenyum begitu ia membayangkan wajah Changmin di ujung meja lainnya. Pria yang terkenal sebagai raksasa bisnis itu menghela napas pelan, sebelum bertanya dengan intonasi putus asa.
"Apa kalian percaya kekuatan mimpi?"
Suara Yunho seperti lantai ruang bawah tanah yang sunyi, terdengar dingin dan kesepian. Membuat keenam wanita yang duduk semeja dengannya menatapnya dengan raut wajah kasihan. Terlebih Jung Soojung yang paham betul kenapa Yunho terdengar begitu pasrah.
"Monsieur, ada banyak hal aneh yang kupercaya. Anda tidak perlu ragu membicarakan apa pun denganku." Seungwan tersenyum manis, yang dibalas Yunho dengan senyum samar.
"Kalian mungkin sudah dengar garis besarnya, lebih baik aku memberikan bukti langsung ketimbang hanya bicara, bukan?" Yunho menatap Soojung, wanita itu langsung paham apa yang harus dilakukan.
"Kami tidak akan memaksa, kalian bisa mundur dengan segera." Soojung berujar dengan tegas, mengedarkan pandangan pada lima wanita lain di meja.
Seulgi mengangkat tangannya. "Aku punya pertanyaan, apa ada alasan khusus memilih kami?" tanyanya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Wanita itu menatap ke sekelilingnya. "Tentara, interpol, dan arkeolog. Apa yang membuatku terhubung dengan mereka? Satu fakta yang kutemukan hanyalah kenyataan bahwa kami semua fasih berbahasa Prancis."
"Pria berambut orange dan Jessica."
Soojung tersenyum lebar pada Seungwan. "Kurang dari satu menit, Profesor," katanya kagum. "Aku tidak menyesal kita memiliki satu orang yang langsung percaya dan mau berpikir."
"Krystal, kau bicara seolah aku tak percaya padamu." Seulgi mendengus, ia beralih menatap Sooyoung dan Yerim yang duduk di seberang meja. "Tentara, kau percaya cerita mereka?"
Yerim dan Sooyoung menatap Seulgi, keduanya sama-sama tersenyum. "Aku percaya pada hal yang bisa kupukul," kata Sooyoung. Yerim mengangguk setuju.
"Aku rasa aku salah bertanya."
"Maaf, aku lebih tertarik dengan jawaban Profesor Son." Joohyun menyela dengan sopan, lalu menatap Seungwan. "Bisa kau jelaskan kenapa kita berkumpul disini? Atau kau akan menjelaskannya, Krystal-ssi?"
"Tiffany Eonni tidak menjelaskan?"
"Ia pikir, lebih baik aku dengar langsung darimu."
Soojung menatap Joohyun. "Saudariku mendapat petunjuk selama dia terjebak dalam alam mimpi. Pertama hanya wajah, beberapa gambaran soal kehidupan kalian, dan yang terakhir adalah nama," katanya menjelaskan. Wanita itu meletakkan kedua tangannya di atas paha. "Butuh waktu lama, tapi hasilnya sepadan. Kalian adalah harapan yang tersisa."
"Seharusnya, ada konsekuensi." Seungwan menyela dengan cepat. Gadis itu mengigit kukunya, kebiasaannya saat tengah berfikir. "Ini tidak seperti sang Pencipta Mimpi dengan mudah memberikan petunjuk, Jessica harus lebih dulu mengadakan perjanjian, bukan? Atau si Pencipta Mimpi ini terlalu baik?"
"Sekali lagi, aku kagum dengan kecepatan berfikirmu, Profesor." Soojung menjawab tenang. "Sayang sekali, orang itu tidak sebaik yang kami harapkan. Saudariku menjual waktunya untuk terjebak dalam mimpi lebih lama. Dia terjebak lebih sering dari biasanya."
"Excusez-moi, tapi, aku mengantuk." Yerim menyahut, membuat perhatian satu meja terarah padanya. "Tidak bisakah kita menemui Jessica atau Pencipta Mimpi ini dengan segera? Aku tidak suka sesi diskusi," katanya jujur.
"Gadis kecil, kau harus mengenali musuhmu terlebih dahulu. Aku yakin kau paham kalimat itu." Joohyun menatap Yerim dan tersenyum simpul.
Yerim menoleh pada Joohyun, lalu tersenyum lebar. "Tentu, tapi aku lebih suka langsung berkenalan dengan musuhku. Ketimbang hanya menduga-duga dan berakhir terlambat."
"Satu kosong." Sooyung bersiul, mengejek.
Joohyun melirik tak peduli, Seulgi menyeringai.
"Karena itu, kupikir kalian akan percaya jika aku langsung menunjukkannya." Yunho mengambil atensi dengan suaranya. Matanya yang memerah karena kurang tidur menatap wanita yang diundangnya satu persatu. "Namun, apa kalian sudah yakin akan mengikuti perjalanan mimpi ini?" tanyanya.
Hening, tidak ada jawaban sampai akhirnya Joohyun memilih angkat bicara. "Qui craint le danger ne doit pas aller en mer."
Yunho tersenyum lebar. Orang yang takut bahaya memang tidak seharusnya pergi melaut. Terlalu banyak kejutan yang menanti saat layar sudah terkembang. Lautan adalah perjalanan panjang yang penuh bahaya.
***
Ketika seorang pelayan membuka pintu kamar Sooyeon, Seungwan langsung berteriak, nyaris membuat Yunho tersandung tongkatnya sendiri. Soojung mengamati Profesor muda itu dengan alis bertautan, tidak repot-repot menyembunyikan wajah jengkelnya.
"Ada masalah, Profesor?" tanyanya menahan rasa kesal.
"Hentikan itu!" Seungwan menunjuk pelayan yang membuka pintu, pria tua itu mengerutkan alis, tidak paham dengan bahasa korea yang digunakan Seungwan. Seungwan yang panik melupakan segala kosa kata Prancis dan Inggris yang semula melekat di kepalanya, ia terus berteriak heboh dengan bahasa Korea. Soojung yang memahami keadaan memberikan perintah pada pelayannya untuk berhenti, sementara Seungwan langsung berlari menuju pintu. Semua orang di sana memperhatikan Seungwan dengan heran saat wanita itu berjongkok dan mengamati ukiran di pintu, membaca ukiran yang terpisah antara sisi pintu dan kusennya.
"Monsieur Jung, Anda tinggal di rumah ini sejak kapan?" tanya Seungwan tanpa mengalihkan pandangannya dari ukiran di sisi pintu.
Yunho mengerutkan kening. "Ini rumahku sejak usiaku masih anak-anak, tentu ada renovasi dari tahun ke tahun."
"Kutebak Anda tidak pernah mengganti pintunya?"
Yunho sadar pertanyaan itu tidak butuh jawaban. "Apa ada yang salah dengan rumah ini?" tanyanya. Susana di sekitar mereka terasa mencekik. Tidak ada yang bicara, semuanya menunggu Seungwan yang kini berdiri.
"Aku tidak yakin, dan kurasa kita tidak punya waktu yang cukup untukku meneliti rumah ini." Seungwan menatap Soojung yang berdiri diam. "Kita harus menyelamatkan saudarimu. Aku cemas dia tidak sanggup bertahan lebih lama lagi."
Dengan pernyataan itu, Soojung berlari cepat ke dalam kamar. Wanita itu merasa lututnya melemas seketika hanya dengan melihat Sooyeon yang terbaring tenang di ranjangnya. Sejak kutukan mimpi ini berlangsung, Soojung tidak pernah tenang jika ada salah satu dari mereka yang tidur terlalu lama. Soojung menoleh pada pelayan yang siaga di dalam kamar. "Sudah berapa lama?" Dalam hati ia berharap hanya sebentar, mungkin masih ada harapan.
"Tujuh jam."
Tidak terkabul. Soojung berbalik, menatap Yunho yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu menatap Sooyeon dengan pandangan sedih, kemudian melangkah pelan-pelan menuju sofa di tengah ruangan.
"Oppa, aku rasa ia kembali terjebak."
Yunho duduk dan meletakkan tongkatnya. "Aku akan masuk." Ia memejamkan mata.
Soojung tidak setuju. "Kau tidak akan bisa, Oppa. Kau sadar kalau kakimu tidak akan bisa sembuh lagi? Dan kau masih ingin masuk ke sana?" Nada bicaranya terdengar berang, membuat Yunho kembali membuka mata. Namun, siapa pun paham kalau Soojung hanya tengah khawatir.
Joohyun menengahi sebelum dua saudara itu mulai berdebat. "Aku pikir kami ada disini dengan alasan untuk menyelamatkan Jessica," katanya. Wanita berambut coklat itu menoleh pada Seungwan yang masih terpaku menatap Sooyeon. "Aku rasa kau paham apa yang harus dilakukan," katanya agak keras.
"Oh, tentu." Seungwan agak kaget, namun cepat menguasai diri. "Aku punya rencana.Kita akan masuk untuk menyelamatkan Jessica, kita harus tidur untuk dapat terhubung ke dalam mimpi dan membangunkannya. Karena si Pencipta Mimpi atau apalah, dia mengundang kita jadi kita bisa masuk dengan mudah. Aku cukup yakin ini akan berhasil, tapi ada resikonya." Seungwan menjelaskan, menatap Joohyun dengan pandangan ragu.
Joohyun paham arti pandangan Seungwan. "Tidak perlu khawatir, pekerjaanku kadang membuatku harus berada diantara hidup dan mati. Aku akan melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadaku." Joohyun menampilkan ekspresi yakin. "Lagipula, aku kesini juga untuk sembuh dari mimpi buruk." Suaranya lebih pelan saat mengutarakan kalimat barusan.
"Aku ikut denganmu, Interpol." Seulgi menyahut, menguncir satu rambutnya dengan ikatan rendah. Gadis itu tampak siap, ia menoleh pada dua tentara di sampingnya. "Kalian ikut, anak-anak?"
"Kami tidak menolak tugas yang menyenangkan, Bu!"
Seulgi menyeringai senang. "Ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan."
Tampaknya, hanya Seungwan yang tidak yakin, gadis berambut pendek itu mendesah frustasi. Sekelebat firasat buruk menggerayangi benaknya. Ia sungguh tidak yakin dengan perjalanan mimpi ini, meski sebelumnya ia adalah yang paling bersemangat. Pengalamannya sebagai arkeolog membuatnya bisa merasakan bahaya mistis yang melingkupi perjalanan mereka.
.
.
.
"Apa kau sudah menghubungi Profesor Kim?" Seungwan bertanya saat Soojung menyerahkan headphone putih polos padanya. Ia sedang duduk di sofa bersama empat wanita lainnya, tepat di tengah kamar Sooyeon yang dilapisi karpet besar berwarna coklat.
Soojung mengangguk. "Sebelum kalian mulai terlelap, aku ingin menjelaskan beberapa aturan." Ia menatap kelima wanita yang duduk di sofa. Wanita berparas dingin itu mengigit bibir bawahnya sebelum kembali bicara. "Peraturan pertama; ketika kau masuk ke dalam alam mimpi, kami takkan bisa membangunkanmu kecuali kau berhasil keluar dari alam mimpimu sendiri."
"Efeknya akan parah jika kami yang disini memaksa kalian bangun. Kakiku hanyalah salah satu contoh." Yunho yang mengamati dari samping ranjang Sooyeon menyahut. Wajahnya tetap datar saat wanita-wanita di depannya refleks mengalihkan pandangan ke arah kaki kanan Yunho.
"Dipahami. Apa peraturan kedua?" Sooyoung menyela keheningan yang sempat melingkupi mereka.
Soojung tersentak, dengan cepat mengembalikan kesadarannya. "Jangan pernah memberitahu nama aslimu atau dari mana kau berasal. Di mana pun kalian akan terjebak, tolong dengan cepat beradaptasi."
"Sekarang aku mengerti kenapa aku ada disini." Seulgi menyahut dengan wajah jenaka. Wanita itu menatap Joohyun dengan pandangan lekat. "Aku yakin kantormu punya catatan tentang betapa mahirnya aku menyamar di berbagai tipe budaya."
Joohyun membalas tatapan Seulgi, tersenyum miring. "Akan menyenangkan jika aku bisa melihatnya secara langsung," balasnya tenang.
"Kupastikan kau tidak akan kecewa."
"Peraturan ketiga dan yang paling penting," sahut Soojung. Wanita itu kembali menegaskan aura intimidasinya. "Jangan percaya siapa pun di sana, terlebih sang Pencipta Mimpi itu sendiri."
Tugas kalian hanya membawa Sooyeon kembali, jika beruntung kalian bisa menemukan Changmin Oppa juga. Kusarankan untuk secepat mungkin mencari jalan keluar dan kembali kesini."
"Changmin?"
"Dia teman, sudah seperti saudara." Yunho menjawab pertanyaan Seungwan. "Karena terlibat dengan kami, dia terjebak."
"Kalian mengorbankannya?"
Pelan, Yunho mengangguk. Membuat Seungwan membulatkan mata terperangah.
"Dia mengorbankan dirinya."
Soojung membuang muka, menolak mengingat kembali peristiwa mengerikan yang pernah dialaminya.
Yerim mengangkat tangannya, berinisiatif memecah situasi canggung. "Jika jalan masuk kesana adalah dengan tidur, bagaimana dengan jalan keluar?"
"Jangan khawatir." Yunho menjawab pertanyaan Yerim dengan tenang. "Biasanya kau bisa kembali begitu berhasil menyelesaikan masalah di sana. Pencipta Mimpi tidak punya alasan lagi untuk menahan kalian tetap di sana, kalian hanya harus menemukan kunci untuk kembali. Itu ada di tiap tempat yang kalian datangi."
"Kunci yang seperti apa?"
"Bisa apa pun. Membuka sebuah buku, kotak harta karun, membunyikan gong suci, menebang pohon ajaib, atau bahkan membakar sebuah lukisan. Sesuatu yang sangat diagungkan di dunia tempat kalian berada, itu adalah kuncinya."
"Apa ada pola tertentu soal kuncinya?" tanya Seungwan. "Seperti tempat di mana kunci itu biasa berada. Aku yakin kalian sudah mengunjungi cukup banyak tempat di alam mimpi."
Yunho dan Soojung saling berpandangan. Soojung menoleh pada Seungwan dengan segera. "Biasanya ada di tempat yang paling tinggi."
"Ah, jangan lupakan satu hal." Yunho menyahut tiba-tiba. "Jangan mati, jangan pingsan atau terluka terlalu parah hingga sekarat. Kalian tidak akan bisa kembali kalau begitu."
.
.
.
Soojung menatap kelima wanita di depannya yang memejamkan mata, duduk tenang di sofa dengan headphone menyumbat telinga. Soojung telah mengatur agar lagu-lagu yang berpotensi membuat mengantuk diputar, meletakkkan lilin beraroma lavender di dalam ruangan. Sebisa mungkin, Soojung berusaha membuat suasana yang sangat mendukung untuk terlelap. Sebenarnya, ada banyak cara yang lebih instan, namun Yunho bilang mereka harus menghindari cara-cara yang bersifat memaksa. Mau tak mau, Soojung menurut.
Soojung kembali menatap kelima wanita di depannya, tubuh mereka kelihatan lebih rileks dengan nafas yang teratur. Tampaknya, mereka sudah benar-benar tertidur. Mungkin ... mereka sudah bertemu dengannya.
Sang Pencipta Mimpi.
***
Monsieur : Tuan
Excusez-moi : Permisi/ Excuse me
Qui craint le danger ne doit pas aller en mer : Orang yang takut bahaya tidak seharusnya pergi melaut.
Hehe, dah kangen belom :v
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top