Ayah boleh pergi👣

Happy reading 🌻

Ayah adalah cinta pertamaku.
Namun, kalau cinta pertamaku saja bisa pergi meninggalkan aku. Bagaimana dengan cinta-cinta selanjutnya?

-Aresha

🛵🛵🛵

Netranya terus menatap spion mobil. Bukan tanpa alasan, melainkan melihat cowok yang masih berdiri di tempatnya semula. Bagaimana bisa pandangannya beralih ke arah lain, sementara cowok yang berdiri itu adalah cinta pertamanya. Namun, hanya Eca yang memiliki perasaan pada cowok itu. Ya, cinta tak terbalaskan, tepatnya.

Cowok itu sudah tidak terlihat lagi, karena tikungan tajam yang baru saja dilewati Eca.

Eca kembali memperhatikan jalan, melalui jendela mobil. Sekarang dirinya sedang berada di dalam taksi. Sejujurnya dia masih belum mengerti apa arti dari pesan yang dikirimkan oleh ayahnya. Pesawat? Pesawat apa maksudnya? Eca sama sekali tidak paham.

Tidak butuh waktu lama, Eca tiba di kediamannya. Setelah membayar, Eca menyusuri halaman rumahnya sampai di teras rumah langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada dua buah koper berukuran sedang yang tergeletak di teras.

Eca memicingkan matanya. Dia kenal koper itu. Koper milik Gerald, yang biasa digunakan pria itu untuk pergi ke luar kota.

"Assalamualaikum, Ayah!" teriakan melengking yang keluar dari mulut Eca membuat seluruh penghuni rumah berhamburan menghampirinya, termasuk Bi Imah.

"Waalaikumsalam, Neng Eca kok teriak-teriak?" tanya Bi Imah yang baru saja keluar dari dapur.

"Ayah mana?" tanya Eca. Manik matanya tiada henti berputar, menyisir setiap sudut rumahnya dari depan pintu. Namun, sosok yang dicari belum juga menampakkan wajahnya.

"Di ruang kerja, Neng."

Eca langsung mengayunkan langkahnya menuju ruangan di sudut kiri. Baru saja ingin masuk, tetapi seorang pria sudah lebih dulu membuka pintu. Sehingga Eca harus mundur selangkah untuk membuka jalan agar pria itu bisa keluar.

"Jelasin sama Eca!"

Gerald menarik napasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. Tangannya merangkul bahu putri kesayangannya. Napasnya begitu berat, dadanya sesak, pikirannya kacau. Sulit sekali mengatakan semuanya pada Eca. Namun, dia tidak boleh egois. Eca harus tahu kebenarannya.

"Ayah!" rengek Eca seraya melepas rangkulan sang ayah.

"Ayah mau pergi ke Palu."

Mata Eca membulat sempurna. "Ayah bercanda, 'kan?"

Gerald mendekatkan wajahnya, "Apa Ayah terlihat sedang bercanda?"

Eca terdiam. Sedetik kemudian dia menggeleng cepat. "Tapi buat apa?"

"Ayah ditugaskan untuk mengawasi proyek pembangunan gedung di sana. Hanya dua bulan kok."

Gerald adalah salah satu arsitek terkenal di beberapa perusahaan. Design rancangannya selalu dilirik banyak klien. Termasuk rancangannya kali ini, yang di desain khusus oleh dirinya sendiri, sebuah gedung serbaguna.

Terkadang dia juga sering ditugaskan untuk mengawasi langsung proses pembangunan dari rancangannya sendiri. Alasannya untuk meminimalisir kesalahan tata letak atau tidak keselarasan antara desain dan bangunan aslinya.

"Hanya, Ayah bilang!" Eca berdecih seraya membuang tatapannya ke arah lain. "Dua bulan itu lama, Ayah!"

"Kalau nggak dinanti-nanti, pasti terasa sebentar, sayang."

Bagaimana tidak kesal, pasalnya Gerald baru saja pulang dari Semarang seminggu yang lalu dan sekarang pria itu harus pergi lagi.

"Lagian kenapa harus Ayah? Ayah itu arsitek, tugas ayah kan hanya merancang gedung. Kalau mengawasi, itu tugas mandor kan?"

"Eca," ucap sang ayah lembut.

"Jangan mempersulit Ayah, ya. Kamu udah besar, harusnya kamu ngerti, apa yang Ayah lakukan ini demi masa depan kamu."

Eca menghela napasnya gusar. Perasaannya benar-benar bimbang sekarang. Eca tidak ingin egois, tetapi dia juga tidak ingin ayahnya pergi.

"Tapi Eca sendirian di rumah." Sekarang matanya mulai panas. Kabut hitam sudah menghalangi penglihatannya.

"Ada Bi Imah sama Pak Tono, 'kan?"

Eca mengusap pipinya yang mulai basah. Gadis itu bukan menangisi kepergian ayahnya. Namun, meratapi nasibnya yang tidak punya siapa-siapa lagi selain Gerald.

Eca mendongak, menahan air matanya agar tidak kembali terjatuh. "Ayah boleh pergi," ucapnya dibarengi dengan helaan napas yang begitu berat.

Gerald tersenyum seraya menangkup wajah putrinya, lalu mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. "Makasih, putri kecil Ayah yang paling cantik."

Eca mengangguk. Dia berusaha untuk tersenyum, meski hatinya tidak baik-baik saja.

"Kita berangkat sekarang ya!"

"Hmm."

Gerald merangkul Eca menuju mobil. Gadis itu sesekali melirik Gerald. Hatinya terlalu berat untuk mengizinkan ayahnya pergi ke Palu, tetapi lagi-lagi Eca harus mengesampingkan egonya.

Eca mengeratkan pelukannya. "Eca sayang, Ayah!"

🛵🛵🛵

Sore hari ini bandara cukup ramai dengan beberapa orang yang berlalu lalang ke sana kemari. Ada yang sekedar menjemput sanak saudara dan bahkan yang sedang menanti seseorang pun terlihat di sini.

Eca sedang pergi ke toilet. Kini hanya ada Gerald dan Tono yang tengah menunggu Eca.

"Pak Tono, saya boleh minta tolong?"

Tono menoleh, dia mengangguk sebagi tanda persetujuan. "Boleh, Tuan. Silakan."

"Tolong jagain Eca! Awasi dia, jangan sampai lengah," ucap Gerald. Ada nada cemas dalam bicaranya.

"Baik, Tuan. Saya akan menjaga, Neng Eca, seperti anak saya sendiri."

"Laporkan setiap apa pun yang dilakukan Eca. Saat saya tidak ada, Bapak bertindak sebagai bodyguard untuk Eca."

Tono tersenyum, lalu mengangguk. "Siap, Tuan."

"Ayah, kapan take off?" suara Eca membuat keduanya terdiam kikuk.

Gerald tidak ingin pembicaraannya dengan Tono didengar Eca. Kalau tidak, maka gadis itu pasti akan marah kepadanya. Eca tidak pernah mau terlihat lemah. Dia gadis keras kepala yang selalu berusaha melakukan apa pun sendirian. Namun, satu hal yang paling dia tidak sukai adalah ditinggalkan ayahnya.

"Sebentar lagi."

Eca mengangguk.

Tidak lama kemudian, pengumuman dari pengeras suara terdengar mendominasi dalam bangunan ini. Terakhir, Eca memeluk sang Ayah. Gadis itu akan kembali menanggung hari-hari penuh kerinduan sendirian.

Beberapa kali gerald mengecup puncak kepala putri kecilnya. "Jaga diri baik-baik, ya!" pesan Gerald.

Eca mengangguk cepat. "Iya. Ayah juga hati-hati di sana. Jangan sampai telat makan. Jaga kesehatan!"

"Siap, putri kecil," ledek Gerald.

Pria itu melepas pelukannya. Panggilan boarding di bandara menandakan bahwa penumpang harus segera menuju gerbang keberangkatan dan naik pesawat.

Gerald beranjak dari hadapan Eca. Gadis itu hanya bisa menatap punggung sang ayah sampai akhirnya hilang tertutup beberapa orang.

Eca menghela napasnya berat. Dia harus bisa mandiri. Eca membalikkan badan dan mulai melangkahkan kaki lagi.

Seandainya ibunya masih hidup, mungkin dia tidak akan kesepian seperti sekarang. Itulah hal yang selalu eca harapkan. Memiliki orang tua yang utuh, sama seperti teman-temannya yang lain.

Ibunya meninggal ketika melahirkan Eca. Itu lah hal yang tidak pernah bisa diterima oleh Eca. Seandainya wanita itu tidak mementingkan dirinya, mungkin saja dia masih hidup dan bisa bersama dengan Gerald sampai saat ini.

Mengingat kenyataan hidupnya, beberapa bulir air mata berhasil lolos, membuat jejak lurus di pipinya.

Sekarang Eca sudah duduk manis di dalam mobil, bersama Tono yang sudah siap melajukan mobil milik majikannya. Eca menatap keluar melalui kaca mobil.

Matahari sudah hampir tenggelam seluruhnya. Hanya terlihat sisa-sisa cahaya jingga pada sela-sela gedung pencakar langit di Ibu kota.

🛵🛵🛵

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top