Bab 9. Denial

Entah sudah berapa lama Zeo tidak beranjak dari tempat tidurnya. Jendela kamar pun masih tertutup tirai. Mata Zeo sembab. Tanpa memandang lewat cermin pun remaja itu tahu bagaimana kira-kira keadaannya saat ini. Beberapakali ia masih meratap, membiarkan luka hati yang ia rasakan keluar sedikit demi sedikit.

Ia benci, sangat benci, benar-benar benci dengan ini semua. Benci dengan dirinya yang selama ini sok kuat, dan benci keadaan.

Mungkin Zeo egois karena hanya memikirkan dirinya sendiri. Sejak pertama kali ia mengetahui pertengkaran antara Endah dan Prabu, ia memang merasa takut. Hampir sama dengan apa yang ia rasakan di masa lalu. Yang berbeda adalah, ia bukan lagi takut kalau akan ada seseorang yang terluka. Ia lebih takut bila orang tuanya akan berakhir bercerai, lagi.

Sebenarnya pemikiran semacam itu selalu menghantui Zeo selama ini. Namun, ia selalu menangkis prasangka itu demi dirinya sendiri. Ia akan mencari beribu-ribu alasan untuk berpikir bahwa semua akan baik-baik saja, sebelum akhirnya ia meyakini itu.

Sekarang Zeo harus menghadapi hal yang selalu ia takutkan. Orang tuanya bercerai. Kenapa? Bukankah pertengkaran biasa terjadi dalam keluarga? Bukankah keluarga ada untuk saling melengkapi? Kenapa Endah tidak menerima kekurangan Prabu? Kenapa? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dengan amarah di benaknya. Di sela-sela itu, pikirannya melakukan satu hal yang sudah biasa ia lakukan; mencari alasan dan cara agar semua terasa baik-baik saja.

Tetap meyakinkan diri walau diri sendiri pun sama sekali tidak meyakinkan.

Zeo meraba-raba kasurnya, mencari benda persegi panjang pipih yang biasa ia bawa ke mana-mana. Setelah ditemukan ia segera mengetik sesuatu. Zeo menghela napas panjang, dengan mantap ia bangkit dari tempat merebah tadi.

Di sebuah kafe, Zeo berjanji temu dengan Parbu. Ia membawa buku tabungan dan kartu ATMnya. Sudah jam makan siang. Zeo masih menunggu gestur Prabu muncul dari arah pintu.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya pria jangkung itu datang.

Parbu segera duduk di hadapan Zeo. Tidak seperti biasanya, Zeo menjadi pendiam yang tidak menyambut papanya dengan manja.

Zeo menyodorkan barang yang ia bawa tadi ke arah Prabu. Tanpa berkata apa-apa, tanpa menatap pria di hadapannya. Luka itu tentu belum mengering.

"Makasih banyak, ya, Nak," ucap Prabu setelah mengambilnya.

Zeo hanya mengangguk sebagai respons. Bibirnya masih nilu untuk digerakkan. Mulutnya masih enggan membuka suara.

"Kamu ada masalah?" tanya Prabu menyadari ada yang berbeda dengan Zeo.

"Pa ...."

"Iya?"

"Papa cerai sama mama?"

Prabu mematung hebat mendengar pertanyaan Zeo. Akhirnya anak ini tahu yang sebenarnya. Akhirnya Zeo tahu rahasia yang selama ini ia dan Endah tutup-tutupi. "Maafkan papa, Zeo. Ini semua salah papa," ujar Prabu seolah ia merasa sangat tersakiti.

Zeo menggeleng tanpa tahu apa yang sebenarnya tidak ia setujui. "Kenapa kalian harus cerai? Kenapa Papa setuju buat pisah sama mama? Apa Papa memang nggak punya keinginan untuk bertahan sama kita?" desak Zeo bertanya beruntun. Dadanya mulai terasa sesak menahan begitu banyak beban.

"Papa sudah berusaha agar mamamu membatalkan keputusannya, tetapi gagal ...."

"Papa sayang sama mama?" Zeo kini bertanya lagi. Kedua matanya yang berkaca-kaca ia tahan agar tak menumpahkan air mata.

"Papa sayang sama kalian berdua," jawab Prabu masih sama lirihnya.

"Papa ingin kembali ke keluarga kita, kan?" Entahlah, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepala Zeo sejak tadi.

Dengan begitu mantap Prabu mengangguk dan menjawab, "Iya, Nak. Papa enggak bisa hidup tanpa kalian. Setelah perceraian, hidup Papa rasanya enggak karuan. Papa butuh kamu, Papa butuh mama kamu!"

"Kalau begitu, Papa harus merebut hati mama lagi." Zeo menggenggam kedua tangan Prabu dengan erat, menunjukkan dukungan dan harapannya pada Prabu.

Apa yang Zeo harapkan, tentu bisa terwujud, bukan?

Setelah hari itu, sikap Zeo pada Nina dan Endah berubah. Ia tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada keadaan. Setiap berada di rumah, Zeo selalu menghindari pembicaraan dengan Endah atau pun Nina.

Berangkat sekolah tanpa sarapan, dan menghindari Nina di sekolah. Bahkan setelah sebulan di Jakarta Nina merasa seakan ia tidak tinggal serumah dengan Zeo, atau pun mengenalnya.

Seakan-akan, Nina juga turut salah dalam semua masalah ini ....

Nina bisa melihat Zeo, tetapi ia tidak bisa mendekat atau pun berbicara dengannya.

Mereka berdua dekat, tetapi seolah jauh.

Kali ini Nina bertekad mendesak Zeo untuk berbicara. Ia ingin tahu apa yang salah dengannya, apa alasan Zeo mengabaikan keberadaannya. Namun, lagi-lagi Nina gagal mendapat kejelasan.

Ayolah, Zeo tidak boleh egois! Walau bagaimanapun Nina tidak tahu apa-apa di sini. Tidak seharusnya Zeo bersikap seperti itu. Tidak seharusnya Zeo mengabaikan Nina tanpa alasan yang jelas.

BRAKK!

Nina mengebrak meja belajarnya, membuat pensil dan bolpoin di atas meja itu melompat sesaat. Beruntung walaupun sudah bel masuk kelas, guru belum datang.

"Kenapa sih, Nin?" Bunga yang kaget menepuk dadanya. "Lo jadi ngamuk gara-gara laper? Makanya tadi harusnya lo jajan sama kita," kata Bunga lagi.

"Iya," timpal Angel.

Tanpa ada angin tanpa ada hujan, Nina berkata dengan lantang, "Gue benci banget sama Zeo!"

"Hah? Lo benci sama pak ketua?"

"Kenapa Nin?"

Pertanyaan-pertanyaan datang dari Angel dan Bunga secara bersamaan.

Nina tidak sempat menjawab. Ia hanya menatap Zeo yang duduk jauh di depannya, karena guru baru saja datang.

Lelaki itu benar-benar menyebalkan!

Akhirnya ketika jam istirahat kedua tiba, Nina berniat menceritakan semuanya pada Angel dan juga Bunga.

Semuanya yang selama ini ia rahasiakan. Ia tutupi rapat-rapat.

"Alakadabra banget sih Zeo!" umpat Nina masih cukup kesal saat mengingat betapa dinginnya Zeo sekarang.

"Ya ampun Nin, dari tadi lo dabra-dabrain Zeo melulu, kenapa sih?" Angel bertanya pada Nina. Heran dengan sikap sahabatnya itu.

"Guys ... gue bakalan cerita, tapi jangan teriak karena kaget ya," kata Nina akhirnya.

Angel pun mencondongkan tubuhnya ke arah Nina. Sementara Bunga bersiap sambil mengaduk-aduk bakso kuah pesanannya yang baru tiba.

"Sebenarnya, gue sama Zeo itu-"

"PHUAHHH! Panash!" teriak bunga tiba-tiba, memotong ucapan Nina yang belum saja selesai. Rupanya ia menyeruput kuah di mangkok terlalu cepat.

"Nih, minum, nih!" Nina menyodorkan gelas jus pesanannya nya.

Bunga pun segera menyeruput jus mangga itu hingga tandas, meninggalkan bongkahan kecil es batu bening di gelasnya.

"Makasih, Nin. Hehe."

"Ih, Bunga, kok jus Nina Bunga habisin sih, kan kasian Nina belum minum lhoo." Angel menyalahkan.

"Masa, sih?" Bunga terkejut. Ia tidak menyangka bahwa ia menghabiskan jus temannya. Bunga pun memandangi gelas Nina.

"Maaf Nin," rengeknya kemudian.

"Udahlah, nggak penting! Yang penting sekarang, kalian dengerin gue!" kata Nina lagi, greget karena sejak tadi tidak jadi bilang fakta yang selama ini ia rahasiakan.

"Siap!" sahut Angel dan bunga hampir berbarengan.

Nina mulai berbisik, "Sebenarnya, gue sama Zeo itu saudara."

"HAAAAAAH?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top