Bab 7. Hiding Something

Sepulang sekolah, Zeo dan Wisnu masih berada di gedung itu. Mereka sebelumnya telah mencuri start untuk melaksanakan salah satu agenda OSIS yang mereka rapatkan pagi tadi. Kini mereka duduk di beranda sekolah, yang kemudian dihampiri oleh pak Joko.

"Lagi ngapain kalian?" tanya pak Joko melihat tumpukan kantong plastik di hadapan Zeo dan Wisnu.

Pak Joko selaku satpam di sana tidak merasa terganggu, karena memang belum waktunya gerbang ditutup. Beberapa siswa dan guru masih ada yang berlalu lalang di area sekolah. Ia hanya penasaran apa yang akan mereka lakukan dengan kantong-kantong plastik itu.

"Kita mau melipat kresek, Pak." Wisnu menjawab dengan sopan.

"Kresek buat apa dilipat-lipat?" pak Joko kembali.

"Em ... ini sampel bahan untuk kampanye REUSE plastik Pak, salah satu agenda OSIS," jawab Wisnu lagi sambil memasukkan plastik yang kini telah berbentuk segitiga ke dalam tas ranselnya dan mulai melipat lagi.

"Ooh ...." Pak Joko mangut-manggut dan kembali berjalan meninggalkan dua remaja itu. Kurang kerjaan baginya kalau harus terus berdiri di situ.

"Eh, Nu. Sebenarnya gue penasaran kenapa lo punya usulan reuse plastik ini ...." Zeo menyuarakan pertanyaannya kepada Wisnu.

Wisnu pun tersenyum. Sambil tetap menggerakkan tangannya, ia pun menjelaskan alasannya.

"Zeo, lo tau nggak fakta bahwa negara kita adalah salah satu produsen sampah plastik terbanyak di dunia? Nomor dua, malah! Sebanyak ratusan ribu ton sampah plastik kita hasilkan, dan itu terus bertambah setiap tahunnya. Lo tau sendiri bahwa sampah plastik nggak mudah terurai, di tanah atau pun di air, belum lagi bahaya microplastic jadi-"

"Oke ... oke," potong Zeo sambil mengangkat kedua telapak tangannya. "Jadi, lo pengin ...?"

"Kalau siswa-siswa di sekolah kita udah terbiasa untuk reuse plastik atau seenggaknya enggak membuang begitu aja kresek bekas yang masih bisa dipakai, secara nggak langsung itu bisa mengurangi jumlah konsumsi kresek. Seenggaknya kalau kita simpan, pasti ada orang lain yang masih butuh dan mau menggunakan kresek bekas yang masih layak pakai yang kita kumpulkan." Wisnu melanjutkan.

"Tapi kampanye semacam in,i kan, udah gencar dari dulu." Zeo berpendapat setelah mengamati penjelasan Wisnu.

"Iya. Makanya, gencarnya udah dari dulu, sekarang bisa jadi lembek kalo nggak dihimbau lagi. Dan, penjelasan gue belum selesai," sahut Wisnu tanpa berniat untuk beradu argumen dengan Zeo.

"Tujuan dari usulan gue ini adalah agar pemuda seperti kita bisa lebih kritis dalam permasalahan plastik ini. Gue yakin, kalau kita udah terbiasa melakukan hal baik di sekolah, setelah lulus nanti kita akan tetap bisa dan biasa melakukannya, yaitu kebiasaan untuk menggunakan dan mengelola plastik secara efisien."

"Emang sengaruh itu, ya, Nu? Maksud gue ... penduduk Indonesia, kan, jutaan, sedangkan jumlah siswa sekolah kita nggak ada apa-apanya. Apalagi, belum tentu semua siswa ngikutin himbauan itu, kalau dibandingkan dengan jutaan orang lain yang masih seenaknya buang sampah sembarangan ...," kata Zeo mengutarakan pendapatnya.

Raut wajah Wisnu tampak sedikit berubah setelah mendengarnya. Ia pun berucap, "Maksud lo, karena yang lain nggak banyak yang melakukan itu, maka kita nggak perlu melakukannya?"

Zeo memikirkan pertanyaan Wisnu beberapa saat. "Iya juga, ya."

Wisnu tersenyum lalu menepuk bahu sahabatnya. "Lagi pula gue yakin, bahwa yang berjuang buat mengatasi permasalahan lingkungan bukan cuma gue, lo, dan teman-teman sekolah kita aja. Di luar sana banyak orang yang berusaha dengan cara mereka masing-masing," balas Wisnu menyudahi penjelasannya dengan penuh keyakinan.

Zeo pun ikut tersenyum. Ia merasakan semangat yang dikobarkan sahabat karibnya itu.

Setelah selesai melipat dan menyimpan kantong plastik tadi, Zeo dan Wisnu pun berjalan menuju tempat parkir untuk memgambil sepeda mereka.

Wisnu membuka percakapan dengan bertanya, "Papa lo udah pulang?"

Zeo menggelengkan kepalanya. "Belum. Mungkin masih marahan sama mama."

"Tapi lo masih keep in touch, kan, sama papa lo?" Wisnu kembali bertanya pada Zeo. Keduanya sudah seperti saudara, selalu terbuka satu sama lain.

Kali ini Zeo mengangguk. Meskipun dengan percakapan yang itu-itu saja, Zeo selalu menghubungi Prabu melalui telepon. Zeo tidak pernah lupa untuk menanyakan kepulangan papanya tiap kali mereka mengobrol, meskipun kemudian Prabu akan mengalihkan pembicaraan.

Setelah sampai di parkiran, Zeo dan Wisnu pun mengayuh sepedanya. Kemudian mereka akan berpisah di pertigaan taman, karena arah rumah keduanya berbeda. Zeo pulang ke rumah, sedangkan Wisnu ke tempat ia biasa belajar taekwondo.

Di rumah, tidak banyak yang Zeo lakukan. Ia memang tipe remaja rumah yang betah di kamarnya sendiri. Biasanya ia menghias kotak dengan stiker, atau berfoto untuk membuat konten di Instagram. Baguslah, dari pada berkeliaran di luar dan kumpul-kumpul tak jelas. Maka hanya akan menambah hal negatif saja.

Kali ini Zeo berniat untuk bermain gitar dan merekamnya. Akan tetapi, kegiatannya terhenti ketika smartphone yang ia genggam berdering.

"Papa!" Zeo dengan begitu senangnya segera mengangkat telepon.

"Halo Zeo," sapa Prabu dari seberang sana. Ah, suara yang amat sangat Zeo rindukan. Sungguh, Zeo ingin cepat-cepat bertemu dengan Prabu! Dia sangat rindu!

"Halo, Pa! Tumben telepon Zeo duluan, biasanya juga Zeo yang telepon Papa," sahut remaja itu sumringah. Salah satu mood Zeo adalah papanya sendiri.

"Zeo, maafin Papa. Papa mau pinjam uang tabungan kamu, bisa?"

Zeo termenung. Ia heran mengapa papanya butuh uang. Setahu Zeo, Prabu adalah seorang pengusaha yang sukses. Namun, dengan cepat Zeo segera menampik keraguannya. Ia juga tidak berniat bertanya alasan Prabu. Yang jelas, Zeo harus membantu Prabu apa pun yang ia bisa lakukan.

"Oke, nanti Zeo transfer ya, Pa." Ia tidak menanyakan nominal uangnya, karena Zeo berniat untuk mentransfer semua isi tabungannya ke rekening Prabu. Toh Zeo belum memiliki banyak kebutuhan, selain makan dan sekolah yang biasanya sudah di urus oleh Endah. Ia juga memiliki penghasilan sendiri dari instagramnya walaupun sedikit.

Tidak apa, uang-uang dalam tabungannya tak akan pernah bisa membalas jasa Prabu yang telah ikut andil dalam merawatnya sejak dia masih kecil.

Suara Prabu terdengar terharu dari seberang sana. Ia berucap, "Makasih, Nak."

"Papa kapan pulang?" Pertanyaan yang selalu Zeo tanyakan kini pun terlontarkan.

"... Zeo, kamu, kan, sudah umur 18 tahun, nggak malu, apa, nanyain Papa kapan pulang melulu, hahaha." Bukannya menjawab, Prabu justru seolah ingin membelokkan pembicaraan. Ya, selalu seperti itu.

Raut wajah Zeo berubah secara tiba-tiba. "Jangan lama-lama marahan sama mama," katanya.

"Iya ... Papa nggak marah kok, sama mama. Zeo tenang aja," ucap Prabu lagi, sangat tenang didengar.

"Kalau gitu buruan pulang." Zeo tetaplah Zeo. Ia masih terus bersikeras agar Prabu cepat pulang. Sungguh, Zeo merindukan pelukan ayahnya itu.

"Kamu ini, kayak anak kecil aja. Pasti gara-gara jomblo, ya. Makanya buruan cari pacar, biar perhatiannya nggak sama papanya melulu," ledek Prabu sambil terkekeh. "Sudah, ya, Zeo. Papa mau melanjutkan pekerjaan Papa. Jaga kesehatan."

Tanpa menunggu jawaban dari Zeo, Prabu menutup sambungan teleponnya. Lagi dan lagi. Selalu membelokkan topik pembicaraan, dan menghentikan sesukanya. Sampai kapan semuanya akan berakhir? Zeo lelah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top