Bab 5. Teman Baru
Jadi, cowok yang kemarin itu temannya Zeo? Sungguh, Nina malu bukan kepalang! Tolong dia! Rasanya Nina ingin menenggelamkan wajah di rawa-rawa!
Nina mengacak rambut kepalanya yang masih basah menggunakan handuk.
"Iiih, apes banget sih, gue! Kenapa mesti dia?! Pasti Wisnu satu sekolah sama Zeo. Muka gue mau ditaroh mana lagi?" rengek Nina di depan cermin.
Ingatan tentang kejadian 'uang receh' kemarin terus membayangi pikirannya. Meski hanya dengan satu orang, malunya tak tertahankan. Ia pikir semua akan berakhir dengan ia melarikan diri. Namun, ternyata itu semua bukan hal yang tepat untuk menuntaskan masalah tadi pagi.
Hari ini Nina akan mulai masuk ke sekolah barunya. Satu hal terakhir yang bisa ia harapkan; semoga setidaknya ia tidak masuk di kelas yang sama dengan Wisnu.
Setelah beberapa menit berdandan, Nina menggendong ranselnya, berjalan keluar kamar.
Hari masih lumayan pagi, tetapi teman-teman sekelas Zeo tampak sudah berkumpul di dalam ruang belajar mengajar.
"Zeo udah berangkat! Tadi yang katanya ngikut gue sambil nungguin Zeo siapa? Sana!" seru Bunga, salah satu siswi pintar di kelas. Kini beberapa siswa yang awalnya mengerumuni Bunga pun beralih mendatangi Zeo.
"Zeo, bagi PR nya ,dong."
"Nomor 12 sampe 27 apa jawabannya, oi?"
"Mau lihat jawaban essai-nya dong, Ze!"
Zeo sudah terbiasa dengan hal ini. Bukan karena Zeo yang paling pintar, melainkan karena ia tidak pernah menolak ketika siswa lain melihat PR atau tugas yang ia kerjakan.
Tanpa menjawab, Zeo membuka tas dan menyerahkan buku tulisnya. Ia tidak keberatan. Toh, ini bukan ujian.
Sedetik setelah buku Zeo berpindah tangan, kerumunan pun pergi meninggalkan cowok itu. Berbeda dengan citra jurusannya, kelas 11 MIPA 2 memang berisi sekumpulan siswa malas.
"Wow, ramainya ...." Wisnu menyapa sambil berjalan dari arah pintu menghampiri Zeo. "Mau ke kantin?"
"Kuy!" Zeo meninggalkan kelas beserta buku tugasnya yang kini tengah dikeroyok oleh teman teman sekelas.
Setelah beberapa menit, Zeo kembali ke kelasnya, disambut oleh Adit yang menenteng buku milik Zeo.
"Terima kasih Zeo, lo memang ketua yang baik!" Adit menyerahkan buku Zeo yang sudah berubah menjadi lusuh.
Ck!
Menyebalkan bagi Zeo ketika teman-teman mengungkit posisinya sebagai ketua kelas. Sebenarnya bukan ide Zeo untuk menjabat posisi itu. Semuanya berawal ketika ia naik ke kelas 11.
Mungkin bukan rahasia umum lagi, bahwa dalam satu ruangan kelas, selalu ada 3 kubu: kumpulan siwa-siwa pintar yang selalu dianggap idealis; kumpulan siswa yang sering dianggap tidak tertib; dan tidak ketinggalan pula kumpulan siswa-siswa netral.
Zeo ingin memperbaiki situasi kelas. Tidak dipungkiri, ia kelasnya menjadi lebih kompak lagi.
Kesempatan itu pun tiba. Sudah menjadi budaya di sekolah untuk melakukan pemilihan ketua OSIS dan ketua kelas setiap tahun pelajaran baru. Yana dan Nuri yang sebelumnya telah menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Kelas kini angkat tangan dan tidak ingin menjabat lagi. Akhirnya Wali Kelas memutuskan untuk mengadakan voting internal di kelas. Seperti yang diduga, tidak ada yang tertarik. Bahkan mungkin ada siswa yang takut namanya akan ditulis di papan tulis.
Saat itulah, Zeo mulai berpikir untuk mengusulkan satu nama, yaitu Tito. Tito adalah pemimpin dari siswa-siswa bandel di kelas Zeo.
Ia yakin apabila Tito dijadikan ketua kelas, setidaknya ia akan memiliki rasa tanggung jawab. Bukan tidak mungkin bahwa 'pengikutnya' akan patuh, dan bisa sedikit dikendalikan. Zeo rasa ini akan efektif untuk menyatukan kubu-kubu di kelasnya.
"Ayo, siapa yang ingin kalian usulkan sebagai ketua kelas?" Salah satu guru bersuara.
"Saya mengusulkan Tito, Bu." Zeo menjadi siswa pertama yang angkat bicara. Sontak Tito dan teman-temannya pun merasa tidak senang. Mereka mulai berdehem dan bergumam satu sama lain.
"Saya mengusulkan Zeo, Bu!" seru Tito membalas sambil memandang Zeo dengan tajam.
Jujur saja, Zeo tidak memperhitungkan hal ini akan terjadi. Ia hanya bisa diam ketika kubu Tito mulai mengajukan namanya. Ada juga yang mengajukan nama Tito, mengikuti ide Zeo.
"Baiklah, kita punya dua nama di sini," ucap ibu Pipit sambil menuliskan nama Zeo dan Tito di papan.
"Jadi, siapa yang memilih Tito?" Bu Pipit bertanya.
Zeo memandangi sekeliling. Sudah jelas geng Tito tidak ada yang mengangkat tangan. Zeo tertunduk dan mengangkat tangannya, sambil menunggu guru selesai menghitung.
"Yang memilih Zeo?"
Zeo menurunkan tangannya dan hanya pasrah saat mengetahui hasil akhir.
"Ok, Tito punya 15 suara, Zeo 18 suara."
***
KRING!
"Saatnya jam pertama dimulai."
Zeo tersadar dari lamunan panjang. Ia segera membenarkan posisi duduknya, menunggu guru datang. Di samping pintu, Tito dan beberapa temannya berdiri menengok koridor di depan kelas mereka.
"Eh! Ada Bu Pipit! Bu Pipit!" seru Adit sambil berlari ke tempat duduknya.
Tidak lama kemudian, Guru muda itu pun masuk. Seseorang di belakangnya mencuri perhatian seisi kelas. Zeo melongo ketika menyadari bahwa orang itu adalah Nina. Nina pun terkejut. Ia tidak menduga akan masuk di kelas yang sama dengan Zeo.
"Anak-anak, hari ini kita mendapat teman belajar baru," ujar Ibu Pipit sambil menepuk bahu Nina pelan. "Ayo perkenalkan dirimu, Nak!"
Nina mengangguk mengerti setelah mendengar instruksi dari Bu Pipit. "Halo semuanya," sapa Nina dengan senyum yang mengembang.
"Hai," jawab seisi kelas kompak. Seperti apa yang diajarkan oleh Pak Gus, guru Bahasa Inggris mereka, bahwa 'Hello' dijawab dengan 'Hai'.
"Namaku Denina, biasa di panggil Nina," lanjut Nina lagi.
"Status? Status?" celetuk salah satu siswa putra, yang langsung membuat Nina salah tingkah.
"Tipe Idaman??"
"Eaaaa! Gembel lu!"
"Sudah ... sudah! Nanyain statusnya nanti saja kalau jam istirahat!" sahut Bu Pipit. "Nina, kamu bisa duduk di bangku kosong di belakang, ya."
Nina pun segera berjalan dan duduk di meja yang dimaksud Ibu Pipit. Ia duduk tepat di belakang Bunga. Masih ingatkah kalian dengan si Bunga? Iya, salah satu siswi terpintar.
"Gue Bunga, jangan bawa perasaan dulu, ya! Cowok di kelas ini emang suka gombal!" ungkap Bunga.
"Hehe, iya." Nina hanya terkekeh mendengarnya.
"Hih, dia cuma iri gara-gara nggak pernah digombalin," sahut Bagas-siswa di kelas ini dengan tiba-tiba. Bunga pun memonyongkan bibir kesal, dan mencubit cowok di sampingnya.
"Halo Nina, aku Angel," sapa gadis di samping Nina.
"Halo," jawab Nina seraya tersenyum lebar. Selebar senyuman Joker.
"Jangan malu-malu, nanti kalo mau istirahat bareng kita berdua aja!" seru Bunga dengan antusias. Tampaknya Bunga adalah gadis yang sangat periang dan mudah berbaur dengan orang baru.
"Emangnya Nina malu, ya?" tanya Angel tak mengerti.
"ANGEL! BUNGA! Jangan ngobrol terus, Pak Bandi akan segera datang! Ngobrolnya nanti pas jam istirahat saja!" seru ibu Pipit menyadarkan tiga gadis itu. Selepasnya, ibu Pipit keluar untuk mengajar di ruang kelas lain.
"Selamat pagi, semua!" Pak Bandi langsung masuk dan menyapa siswa di kelas 11 MIPA 2 itu.
"Siapa tadi yang ngerjain PR di sekolah?!" Pertanyaan Pak Bandi sontak membuat mereka panik bukan kepalang. "Nggak ada, kan? Awas, ya, kalo sampai saya lihat kalian ngerjain PR di sekolah! Nanti saya hukum seperti kelas sebelah kemarin!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top