Bab 4. Insiden
Nina membuka jendela di kamarnya. Karena ini hari pertama-ah! Hari kedua ia di Jakarta maksudnya, Nina tidak langsung ke sekolah. Kemungkinan ia akan mulai masuk besok. Zeo sudah berangkat ke sekolah, sementara Endah entah pergi ke mana. Jadilah dia berada di rumah besar ini sendiri, hanya ditemani beberapa pembantu saja.
Gadis itu pun keluar dari kamarnya. Ia berencana untuk berjalan-jalan di sekitar kompleks. Karena cuaca sudah lumayan terik, ia hanya menggunakan kaus lengan pendek, celana training dan dilengkapi dengan topi berwarna abu-abu.
"Bi, saya mau jalan-jalan sebentar, ya," pamit Nina pada Suti.
"Iya non, tapi memangnya Non Nina sudah tahu area perumahan di sini? Nanti kalau tersesat bagaimana, Non?" Suti bertanya dengan nada khawatir.
"Saya bawa HP kok, Bi. Nanti bisa pakai Google Maps," jawab Nina menunjukkan HP di tangannya. Ia juga membawa dua lembar uang seratusribuan yang disimpan di kantong baju kausnya.
Suti yang gagap teknologi pun hanya mengangguk sambil menggaruk kepalanya tak mengerti. Dulu saat dia masih muda, dunia belum secanggih ini. Sekarang peta dalam HP pun ada, ya.
"Ya Non, hati-hati ya."
Akhirnya Nina bisa melihat dengan jelas apa yang ia lewatkan selama perjalanan kemarin. Barisan rumah mewah berjejer di tepi jalan yang ia lewati. Nina melangkah dengan santai. Jalanan tidak ramai oleh kendaraan. Mungkin karena ini masih jam kerja. Atau mungkin juga karena ini bukan jalan raya.
Entah sudah berapa lama Nina berjalan, tetapi tanda sadar ia kini telah berada di pinggir jalan raya. Sudah banyak pedagang kaki lima menjual berbagai dagangannya.
Nina pun mendekati salah satu pedagang yang tengah berjualan sop buah. Panas dan terik. Ini adalah waktu yang sangat pas untuk minum sesuatu yang segar.
"Mang, sop buahnya satu ya," ucap Nina pada penjual sop buah itu.
"Mau diminum di sini atau didibawa, Neng?" tanya penjual tersebut memastikan.
"Minum di sini aja, Mang," jawab Nina. Ia ingin beristirahat sejenak dan berteduh. Kebetulan sekali penjual es itu mangkal di bawah pohon yang cukup rindang.
Nina menunggu sambil mengecek HP nya. Sudah jam 12 siang. Dirasa-rasa ia berada tidak terlalu jauh dari kompleks tempat tinggalnya.
"Ini esnya ya, Neng." Penjual itu menyodorkan pesanan sang pelanggan.
"Makasih, Mang," ucap Nina sambil menyodorkan uang ke penjual es tersebut.
Penjual itu menampilkan raut wajah yang cukup cemas. Ia berucap, "Duh, nggak ada uang kecil ya, Neng?"
"Nggak ada, Mang."
Pria paruh baya itu pun menerima uang Nina. Ia segera sibuk mencarikan kembalian untuk gadis itu.
"Maaf, Neng. Ini pakai uang receh, mau, kan?" tanya si penjual kepada Nina yang sedang memakan sop buah.
"Iya nggak papa Mang," jawabnya.
Setelah itu, Nina segera menghabiskan sop buah pesanannya dan melanjutkan perjalanan. Entah mengapa, ia tiba-tiba lapar.
Nina mengedarkan pandangan ke sekeliling, hingga akhirnya menemukan sebuah gerobak bertuliskan Siomai-Batagor tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang. Tampak beberapa orang sedang duduk di samping gerobak itu. Nina pun berjalan menghampiri.
"Mang, beli batagornya 5 bungkus, ya."
Penjual itu menengok ke arah Nina. "Waduh Mbak, kalau batagor adanya nanti sore. Siang begini mah, saya jualnya ketoprak," ungkapnya.
Nina cukup terkejut. Ia ingin makan batagor. Nina merasa tertipu oleh penjual ini.
"Kalau siang ketoprak." Nina membaca sebuah kertas di laminating tergantung di sisi kanan gerobak. Penjual itu tidaklah salah.
"Yaaah ... padahal penginnya batagor," keluh Nina. "Ya udah Mang, ketoprak aja, nggak papa."
"Ok. Mbak mau pesan berapa? Lima bungkus?" Nina mengangguk mendengarnya. Biarlah pesan lima. Satu untuknya, satu untuk Zeo, satu untuk Endah, dan sisanya untuk pembantu di rumah.
"Totalnya berapa, ya?" Nina bertanya.
"Lima bungkus, Rp54.000 Mbak."
Nina pun merogoh kantong saku kaosnya, berniat mengambil gulungan uang kembalian dari penjual es tadi untuk membayar.
SRAKK!
Nina menepuk jidat menyadari kelupaannya. Ada banyak uang receh yang berada di dalam gulungan uang itu. Mulai dari lima ratusan, seribuan, dan bahkan dua ratus perak. Semuanya berhamburan keluar.
Apesnya, di samping ada seorang siswa berseragam putih abu-abu tengah duduk di trotoar, menyantap ketoprak-yang akhirnya dihujani oleh kepingan-kepingan perak milik Nina.
Remaja itu tampak terkejut melihat uang lima ratusan perak mendarat di piringnya, diikuti oleh suara dentingan koin. Sedetik kemudian, terdengar suara orang cekikikan.
"Ma-maaf ya, Mas ...." Nina berujar lalu mengambil kepingan uangnya dari piring cowok itu. Selanjutnya ia pun mengumpulkan koin koin lain yang kini berserakan di bawah.
"Ada yang ketinggalan," ucap cowok tersebut yang sontak membuat Nina menoleh.
"Hah?" beo Nina terlihat cengo.
Dengan perlahan remaja cowok itu meraih uang receh di rambut kepalanya, dan menyerahkan sisa koin yang ia maksud.
"Pfft ... ketopraknya sudah jadi, Mbak," ucap mamang penjual ketoprak yang sejak tadi memperhatikan sambil menahan tawa.
Pipi Nina memerah. Ia benar-benar merasa malu hari ini. Dengan cepat ia membayar dan mengambil ketoprak pesanannya. Ia ingin segera pergi dari tempat itu!
Sampai di rumah, Nina langsung disambut oleh Darwis-si tukang kebun yang kini tengah membukakan gerbang untuk Nina. "Baru pulang, Non?" tanya Darwis pada Nina.
"Iya, Mang." Nina membenarkan dan langsung berjalan masuk menuju dapur dan menghampiri Suti.
Nina menenteng sebuah kantong plastik dan diserahkannya pada Suti seraya berkata, "Bi, ini saya beli ketoprak. Bibi sama Mang Darwis makan aja, terus yang lainnya disimpen di kulkas, ya." Tanpa menunggu jawaban, Nina segera masuk ke kamar, membenamkan wajahnya ke bantal. Lapar sudahlah hilang digantikan oleh rasa malu.
"MALU BANGET YA GUSTI!!" Nina mengamuk di kasurnya, berteriak kala mengingat beberapa kejadian memalukan tadi pagi.
Cukup lama mengamuk sendiri dengan tak jelas, terdengar suara Zeo yang baru pulang dari sekolah. Namun, hal itu tidak menarik bagi Nina. Ia masih saja meringkuk di kasurnya.
"Nina kemana, Bi?" Setibanya di rumah Zeo langsung bertanya perihal Nina. Iya, sepenting itu memang seorang Nina bagi Zeo.
"Di kamar, Den."
Zeo memandang pintu kamar Nina yang sedang tertutup rapat. Apa dia memang hobi tidur ...? Zeo bergumam dalam hati.
"Oh, iya, Den. Barusan non Nina beli ketoprak, Den Zeo mau?" Mengingat tentang ketoprak tadi, Suti langsung menawarkan.
Zeo menggeleng menandakan ia menolak. "Nggak, tadi saya juga udah makan ketoprak, kok." Kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Setelah petang datang barulah Nina keluar dari kamarnya untuk mandi. Endah juga sudah pulang. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Selesai mandi, Nina menuju ruang tengah. Ia menghampiri Endah yang tengah menonton televisi.
"Nina sudah mandi? Kalau lapar bilang sama Bi Suti, ya," ucap Endah saat melihat Nina duduk di sampingnya.
Nina mengangguk sebagai jawaban.
"Bocil udah bangun?" Suara keras Zeo tiba-tiba terdengar dari arah belakang. "Tuh kan, Ma. Bocil ini hobinya tidur."
"Enggak kok ...." Nina memberikan penolakan dan membela diri. Bisa-bisanya Zeo mengira hobinya ini tidur. Dia hanya kelelahan saja, kok!
"Permisi." Suara seseorang dari luar menghentikan perbincangan mereka. Zeo yang mengenal suara itu pun langsung melompat dari sofa, berlari keluar rumah.
Nina mengekor pada Endah yang juga berjalan menyusul Zeo. Akan tetapi, Nina segera berhenti dan bersembunyi di belakang pintu. Di depan rumah, tampak seorang remaja laki-laki tengah berbincang dengan Zeo. Mereka tampak akrab. Rupanya ia adalah Wisnu.
"Hai Nina," sapa Wisnu melambaikan tangannya ke arah Nina ketika ia melihat sosok saudari Zeo itu di balik pintu.
Nina hanya membalas Wisnu dengan tersenyum. Kok mas nya tau nama gue ya?, batin Nina sambil sesekali memandangi Wisnu yang tanpa ia sadari berjalan semakin mendekat.
"Ke belakang aja, yuk!" ajak Zeo sembari menepuk bahu Nina yang baru saja mulai melamun.
Tiga remaja itu pun berjalan menuju teras belakang rumah-tempat biasanya Zeo dan Wisnu menghabiskan waktu luang. Terdapat satu kolam ikan memanjang tepat di depan tembok yang memisahkan rumah itu dengan rumah lain. Suara jangkrik terdengar dari tanaman-tanaman hias yang mengelilingi halaman belakang. Hari memang sudah lumayan malam.
"Nina mau batagor, kan?" Wisnu membuka bungkusan yang ia tenteng sedari tadi sambil duduk di atas karpet.
"Ma-"
"Eh, kalian belum kenalan secara resmi, kan?" Zeo memotong perkataan Nina. "Lo baru lihat fotonya, ya gak?" ucap Zeo sambil memandang Wisnu. Rupanya Zeo sudah menceritakan perihal Nina pada sahabatnya itu.
"Oh iya." Wisnu menjawab sembari melempar senyum ke arah Nina.
"Tapi sebenarnya gue udah pernah ketemu langsung sama Nina, kok," ungkap Wisnu berhasil membuat Zeo penasaran.
"Kapan?" tanya Zeo. Setahunya, Nina baru sehari tinggal di sini. Ia memandangi Nina dan Wisnu bergantian.
Nina hanya melongo karena tidak merasa bahwa ia pernah bertemu ... tunggu dulu!
Jangan bilang ....
Wisnu menyodorkan tangan kanannya ke arah Nina. "Kenalin, aku Wisnu. Sahabat Zeo, sekaligus cowok yang makan ketoprak tadi siang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top