Bab 3. Ordinary Day
"Zeo, bangun sayang."
Zeo menggeliat malas. Suara lembut Endah berhasil membangunkannya. Ia mengerjapkan mata, meraih HP di meja lalu menghidupkan layarnya. Hari ini adalah hari Senin, pukul 06.15 pagi. Baiklah ....
"Udah jam segini?!" Zeo langsung bangun dan duduk di atas kasur dengan spontan. Setelah sadar dia akan terlambat, segeralah Zeo berlari ke arah kamar mandi.
"Zeo lupa pasang alarm! Kok mama nggak bangunin Zeo sih?" pekik Zeo dari dalam kamar mandi.
"Barusan, kan, baru aja mama bangunin!" Endah yang kini tengah merapikan tempat tidur Zeo menjawab dengan setengah berteriak.
Setelah selesai merapikan kasur dan membuka jendela, Endah berjalan menuju meja belajar Zeo dan mulai merapikannya. Tampak puluhan foto kecil tertempel di dinding. Foto-foto saat ia bersama sahabatnya yang bernama Wisnu, Klub Basket sekolah, dan foto keluarga yaitu Zeo, Endah, dan Prabu.
Endah tersadar. Foto saat Zeo bersama papanya paling banyak tertempel di dinding itu.
Endah kembali larut dalam keresahannya. Prabu dan Endah sudah resmi bercerai, sejak Prabu meninggalkan rumah. Namun, waktu berbulan-bulan tidak cukup untuk Endah memberitahukan fakta itu pada Zeo. Yang remaja itu yakini sampai sekarang adalah orang tuanya sedang pisah ranjang dan memerlukan waktu untuk tidak bertemu. Zeo yang sangat menyayangi papanya dan tidak keberatan menunggu Prabu kembali sampai sekarang.
Entah bagaimana jadinya bila Zeo mengetahui apa yang ia tunggu tidak akan pernah terjadi, dan keputusan mamanya lah yang menyebabkan itu semua. Akan tetapi, pada akhirnya ia harus mengatakan yang sebenarnya, cepat atau lambat.
Endah segera menyelesaikan pekerjaannya lalu turun ke dapur. Beberapa saat kemudian, Zeo menuruni anak tangga dengan cepat lengkap menggunakan seragam putih abu-abunya.
"Nina mana ma?" Zeo bertanya pada Endah.
Endah menyerahkan sepiring roti bakar kepada putranya kemudian menjawab, "Nina masih tidur."
"Sekarang Zeo tau. Hobinya si bocil adalah tidur," ucap Zeo sambil tertawa kecil.
Dahi Endah mengernyit mendengarnya. Ia pun bertanya, "Bocil?"
"Panggilan sayang Zeo buat Nina, hehe. Nggak papa, kan, Ma kalau Nina Zeo panggil bocil?"
"Kamu itu ada ada aja," kata Endah lalu mengusap rambut Zeo. Suami pertamanya dan Prabu mungkin boleh pergi, tetapi sebisa mungkin akan ia jaga Nina dan Zeo. Tak akan dia membiarkan kedua anaknya ikut meninggalkannya juga.
"Yah! Mama, Zeo, kan, udah sisiran ...." Zeo menyingkirkan kedua tangan Endah dari kepalanya. Zeo harus tetap terlihat ganteng saat di sekolah!
Endah hanya tersenyum menanggapi. Ia menyodorkan minum dan berujar, "Udah, buruan berangkat. Udah jam setengah tujuh lho, ini."
"Gawat! Wisnu pasti udah nungguin Zeo di pertigaan!" Zeo segera menghabiskan sarapannya, minum, dan berpamitan pada Endah. For you information, Wisnu merupakan sahabat dekat Zeo.
Zeo selalu berangkat sekolah menggunakan sepeda yang ia miliki. Menurutnya, sepeda jauh lebih mudah dibawa dan dikendarai. Ia tidak sendiri. Wisnu juga menggunakan sepeda. Mereka selalu berangkat bersama-sama, karena kompleks tempat tinggal keduanya berdekatan.
Zeo merupakan lelaki yang sangat beruntung. Setelah dulu ia melewati masa-masa sulit, sekarang sudah tergantikan. Walau ada satu hal yang mungkin kelak akan membuat hati Zeo kembali hancur.
Dari kejauhan tampak seorang remaja dengan seragam yang sama dengan Zeo berdiri menopang sepedanya. Sudah dapat dipastikan itu adalah Wisnu.
"Gimana pertandingan kemarin?" Zeo membuka percakapan sambil mengayuh sepeda. Kemarin Wisnu tengah mengikuti sebuah pertandingan bela diri taekwondo. Berhubung Zeo menjemput Nina, ia tidak bisa ikut menonton dan mendukung sahabatnya itu secara langsung.
"Kalah," jawab Wisnu yang langsung mengayuh sepedanya juga, tepat ketika Zeo melewatinya. Dengan sekejap, ia sudah berada di depan sepeda yang Zeo kendarai.
"Papa lo ....?"
"Pastinya marah, lah. Tapi nggak papa, udah biasa, kok," jawab Wisnu santai, tanpa merasa tersinggung. Padahal, di balik sikap santainya itu, ada perasaan yang sakit karena ucapan sang ayah. "Ngomong-ngomong, nanti malam gue ke rumah lo ya," ucap Wisnu menambahkan.
"Hm." Zeo mengangguk meski yang bertanya tengah sibuk dengan jalanan di depannya.
Perjalanan mereka lumayan singkat, karena rumah mereka tidak terlalu jauh dari gedung tempat mereka bersekolah. Terlebih lagi mereka mengendarai sepeda dengan cepat. Keduanya kini telah memasuki parkiran sekolah. Hanya ada beberapa sepeda yang terparkir di sana karena kebanyakan siswa memilih untuk menggunakan motor ataupun mobil.
Sampai di depan kelas MIPA 2, Zeo hanya masuk untuk langsung meletakkan ranselnya di meja nomor 3, dan berjalan kembali bersama Wisnu ke kelas sahabatnya itu.
"Pagi, Kak," sapa beberapa siswi dari kelas 10 pada Zeo dan Wisnu.
"Pagi," jawab Wisnu ramah. Zeo hanya mengangguk dan tersenyum singkat. Begitulah image yang Zeo tunjukkan ketika di sekolah. Berbeda dengan Zeo yang "anak mama papa" ketika ia di rumah. Zeo berusaha agar terlihat cool dan berwibawa.
"Zeo, Wisnu!"
Suara Rania terdengar memanggil dua lelaki itu dari arah lapangan. Di antara kerumunan siswa yang tengah mempersiapkan diri untuk upacara hari Senin, terlihat gadis itu melambaikan tangannya. Dengan setengah berlari, Zeo dan Wisnu pun menghampiri.
"Ada siswa tadi lapor kalau dia nggak bisa bertugas karena suaranya serak." Rania menjelaskan permasalahannya ketika mereka sampai di hadapan. Di samping Rania, para siswa-siswi kelas 10 MIPA 3 tengah berbaris menunggu instruksi.
"Yang mana orangnya?" tanya Zeo.
"Saya, Kak ..., " lirih seorang siswa sambil mengangkat tangannya. Tampak pin nama bertuliskan Reihan Saputra di dada kiri.
Melihatnya Zeo langsung kembali bertanya, "Kenapa? Kok bisa serak?"
Reihan terlihat menyedihkan karena terus terbatuk-batuk sebelum menjawab, "Batuk, Kak."
"Kira-kira ada yang bisa menggantikan posisi Reihan?" tanya Wisnu sambil memandangi barisan di depan. Setelah beberapa saat, tidak ada jawaban.Sepertinya tidak ada yang berani mengajukan diri. Mereka hanya terdiam dan saling pandang, bahkan ada yang tertangkap mundur.
Zeo memperhatikan jam di tangannya. Tidak ada waktu lagi. Upacara bendera akan dimulai dalam lima menit. Bahkan sudah banyak siswa yang berbaris mengelilingi lapangan.
"Oke, kalian kembali ke tempat tugas kalian masing-masing," ucap Zeo akhirnya. "Saya yang akan menggantikan posisi Reihan." Bukan tanpa alasan, Zeo menggantikannya karena ia yang bertugas melatih pleton.
"Kamu ikut barisan paduan suara, ya," ucap Rania pada Reihan. "Tapi nggak usah ikut nyanyi, suara kamu nggak bakal kedengeran soalnya," lanjutnya.
"Siap, Kak!" jawab Reihan yang kemudian bergabung dengan barisan yang Rania sebutkan tadi.
Karena hampir seluruh siswa sudah berada di lapangan, Zeo pun menempatkan diri di sudut barisan yang akan ia pimpin. Sedangkan Wisnu segera berlari menuju kelasnya untuk meletakkan ransel dan kembali ke lapangan. Rania sendiri bertugas sebagai PMR saat itu, menunggu di belakang barisan untuk berjaga bila ada siswa yang sakit selama upacara.
Seperti biasa, siswi-siswi kelas 10 yang berada di samping Zeo heboh, karena ada seorang pengurus OSIS yang bertugas di barisan mereka. Apalagi Zeo sangat tampan dan cool.
"Ya elah, kalo aja yang bertugas kakak kelas cewek, pada sibuk ngrumpi. Giliran kakak kelas cowok yang tugas, kalian pada heboh? Heboh lu!" celetuk seorang siswa putra. Siswa lain yang merasa terwakili pun mengiakan sambil menyoraki barisan putri di samping mereka.
"Mohon kalian berkaca, ya! Nggak inget, apa, kalau ada pleton cewek yang tugas. Buaya daratnya langsung muncul!"
Dug! Dug! Terdengar suara mikrofon yang ditepuk. Itu menandakan bahwa upacara akan segera dimulai.
"Sssst!" Zeo menengok ke arah barisannya dan membuat isyarat dengan kedua tangan, meminta mereka untuk mulai tenang.
"Upacara bendera hari Senin tanggal ...." Pembaca protokol mulai membacakan susunan upacara bendera. Setelah upacara dimulai, suasana berubah menjadi khidmat. 15 menit berlalu. Beruntung semuanya berjalan dengan lancar. Meskipun saat itu matahari bersinar terik, tidak ada siswa yang sakit.
"Pasukan ... bubar ... jalan!"
Komando dari pemimpin upacara menandakan upacara telah rampung. Bagai pasukan semut, para siswa-siswi berhamburan kembali ke kelas masing-masing untuk melanjutkan kegiatan belajar mereka. Zeo segera memasuki kelasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top