Bab 26. Minggat


Zeo terus mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Ia tidak memperdulikan goncangan-goncangan yang diakibatkan oleh aspal berlubang yang dilewati. Pikiranya menerawang dan mengenang kebersamaan yang ia lalui bersama Endah dan Prabu, hingga semakin jauh mengingat ketika masih memiliki nama Nino.

Terdengar suara decitan keras ketika Zeo menarik tuas rem sepedanya secara tiba-tiba. Ia kini sudah ada di taman. Penerangan temaram di sekeliling tempat itu membantunya menemukan sebuah kursi untuk duduk.

Zeo menghela napas berat. Perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Ia memejamkan matanya beberapa detik, mencari tempat yang mungkin bisa ia jadikan tujuan. Tanpa aba-aba, Zeo meraih sepeda yang ia biarkan ambruk di depan kursi, dan kembali mengayuhnya.

Zeo berhenti di depan pagar sebuah rumah. Cat putih rumah itu membias warna kuning emas dari lampu-lampu hias di sekelilingnya, warna yang hampir sama seperti lampu di taman tadi.

Zeo memencet bel, dan seorang wanita paruh baya muncul. Wanita itu tampak sedikit memicingkan matanya untuk memastikan siapa tamu yang datang ke rumah majikannya.

"Eh ... mas Zeo, to." Ia yang sudah hafal dengan Zeo pun tersenyum ramah. "Saya kira siapa, jam segini kok bertamu. Mari masuk mas," tambahnya sambil membuka gerbang untuk pemuda di depannya masuk.

"Makasih, mbok Yem." Zeo segera masuk ke halaman rumah tersebut. Namun, ia tidak langsung menuju ke dalam rumah 2 lantai itu.

"Den Wisnu sedang makan malam sama Ibuk."

Zeo tidak menjawab dan hanya mengikuti Iyem masuk ke dalam rumah.

"Ibuk, den Wisnu, ini ada mas Zeo datang," lapor Iyem pada majikannya.

"Oh, Zeo. Sini, Zeo ikut makan sama kami," sapa Tyas, mama Wisnu sambil melambaikan tangannya ke arah Zeo. Tampak hanya ada Tyas yang duduk di meja, tanpa ada anak sematawayang nya menemani.

"Nggak usah, tante. Terimakasih."

"Wisnu sedang ke toilet, tunggu sebentar, ya." Tyas menjelaskan keberadaan Zeo, mengerti siapa yang sedang pemuda itu cari di rumah tersebut.

"Baik, tante."

Setelah sekitar satu menit Zeo menunggu di ruang tamu, Wisnu yang mengenakan kaos hijau lumut dan celana pendek tampak menghampiri mama nya.

"Wisnu, itu ada Zeo datang ke sini."

"Zeo?" Wisnu langsung memandangi sekeliling, mencari dimana Zeo berada. Ia pun menghampiri Zeo, dan mengajaknya ke kamar.

Ketika hendak menutup pintu, terasa getaran singkat yang berasal dari HP di saku celananya. Ketika ia melihat layar, tertulis nama Tante Endah yang memanggil. Ia pun mengangkatnya.

"Halo?"

"Halo, Wisnu." Terdengar suara Endah dari seberang. "Maaf mengganggu kamu, tante mau tanya. Zeo sekarang ada disana, tidak?"

Wisnu terdiam sejenak, dan memandang Zeo yang tengah membaringkan tubuhnya di kasur. "Ada, tante."

"Oh, syukurlah, terimakasih, ya...."

"Sama-sama, tante."

Sambungan terputus. Setelah menutup pintu, Wisnu menghampiri Zeo yang rupanya masih membuka matanya.

"Dari mama, ya?" tanya Zeo sambil tetap menatap langit-langit kamar.

"Iya."

"Dia bilang sesuatu?"

"Tante Endah nanyain elo lagi disini, atau enggak."

"Cuma itu, kah?"

"Iya. Pasti elo kabur dari rumah, kan?"

Zeo mengalihkan pandangannya, dan menatap Wisnu yang duduk bersila di kasur dan bersandar pada dinding kamar.

"Iya." jawabnya singkat.

"Sekarang, elo cerita sama gue, sebenarnya ada apa."

Zeo pun menceritakan kejadian di rumah tadi, dari sudut pandangnya. "Kenapa sih, orang dengan mudahnya menempuh hidup baru mereka, dan melupakan masalalu? Bagaimana kalau kita menjadi masalalu seseorang, menjadi yang ditinggalkan dan dilupakan?"

Zeo melanjutkan, "mereka dengan mudahnya bercerai. Dan menikah lagi. Sekarang kehidupan papa lagi kacau-kacaunya. Sedangkan mereka sedang merangkai kebahagiaan-"

"Zeo ...." potong Wisnu. "Elo mau dengar pendapat gue, nggak?"

"Elo emang sahabat yang buruk. Temennya lagi curhat, malah mau diceramahin." ucap Zeo tersungut sungut. "Apa?"

"Kita, masih muda, belum tentu tahu apa yang selalu mereka hadapi sebagai orang dewasa. Dan, mereka punya pilihan atas hidup mereka masing-masing."

"Dan mengorbankan gue? Elo tahu nggak? Bahkan gue juga heran sama keluarga gue. Mama cerai sama Ayah, menikah dengan papa, cerai, dan mau menikah lagi dengan Ayah. Rasanya gue kayak di oper oper, dan itu nggak enak samasekali," curhat Zeo.

"Zeo, gue yakin mereka sudah berusaha sebaik mungkin. Kenapa elo nggak memberi mereka kesempatan? Dan berusahalah membesarkan hati elo. Mungkin awalnya sulit, tapi gue percaya elo bisa."

Zeo merasa seakan ia pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. "Memberi kesempatan?"







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top