Bab 25. Bima


"Maaf aku nggak bisa disini lama-lama." ucap Bima yang berada di ambang pintu. Ia sudah bersiap untuk meninggalkan rumah tersebut setelah makan malam, karena memang ia hanya berniat mampir. Ada urusan bisnis yang kebetulan membawanya ke Jakarta. Namun hanya sebentar, karena masih banyak yang harus dilakukan. Ia lumayan sibuk.

"Iya, hati-hati ya mas," sahut Endah, dan mencium punggung tangan Bima. Hanya ia yang mengantar keberangkatan calon suaminya itu. Nina dan Zeo masih berada di dapur. Tentu Bima sudah sempat pamit pada mereka berdua.

"Mas ...." panggil Endah tiba-tiba saat Bima hendak membuka pintu mobil. "Maafkan Zeo, ya."

Bima tersenyum dan mengelus pundak Endah. "Kamu jangan khawatir." Ia masuk mobil, dan mulai meninggalkan halaman rumah.

Bima tidak marah pada Zeo. Meskipun sudah membuat suasana kebersamaan mereka menjadi canggung, Zeo adalah anaknya. Terlebih lagi ia masih ABG. Wajar bila ia sensitif, dan Bima memakluminya.

Nina dan Zeo masih duduk di meja. Sementara Zeo memainkan gadged di tangannya, Nina memperhatikannya dengan perasaan kecewa.

"Zeo, apa sih maksud elo tanya kayak gitu tadi?"

"Gue cuma ingin tahu kenapa mereka bercerai padahal akhirnya mereka mau menikah lagi." Zeo meletakkan HP nya di meja di depannya. Ia menatap Nina penuh penekanan.

"Apa sepenting itu elo sampai mau tahu? Gara gara elo, Ayah jadi merasa nggak enak tau nggak? Padahal dia sama keluarganya sendiri. Kenapa elo harus merusak suasana seperti itu, sih?"

"Apa bedanya sama pertanyaan gue sama pertanyaan elo soal gimana mereka ketemu lagi?"

"Ya jelas beda, lah! Elo menanyakan hal negatif yang pernah terjadi di masa lalu, sedangkan gue nanyai soal gimana mereka bisa jatuh cinta lagi satu sama lain, dan itu positif!"

"Negatif - positif, ya?" Zeo tertawa hampa. "Gue nggak paham maksud elo. Yang gue tahu, mereka udah pisah, dan akhirnya mereka mau kembali bersama lagi, setelah mama bercerai."

"Jujur, Nin. Seandainya gue bisa memilih, gue nggak ingin mama sama papa Prabu cerai." tambah Zeo terang-terangan.

Nina tidak percaya apa yang barusan ia dengar. Walaupun Wisnu sudah sempat menjelaskan tentang hal ini, Nina tidak menyangka bahwa Zeo akan mengatakan kalimat semacam itu. Semua kekesalan yang ia pendam pun mulai meluap-luap.

"Gue nggak ngerti sama pikiran elo, Zeo! Seandainya ayah sama mama nggak berhubungan seperti sekarang, kita belum tentu bisa ketemu lagi!"

"Elo benar."

"Jadi, ini alasan Elo? Ini alasan kenapa sikap elo seperti ini, hah?"

Zeo tidak langsung menjawab. "Gue nggak menolak keputusan mama untuk kembali sama Ayah."

"Bohong! Terus, selama ini apa? Elo diemin gue, diemin mama, nyembunyiin status kita, dan sekarang elo nggak menyambut ayah sama sekali. Ini semua namanya penolakan!!"

"Gue ...."

"Zeo ... walaupun papa elo sama mama udah pisah, tapi elo masih bisa berhubungan sama dia. Kenapa elo nggak memberi kesempatan ayah buat duduk di tempat yang ditinggal sama om Prabu?"

"Elo harusnya tahu perasaan gue, Na! Selama bertahun-tahun gue sama papa, nggak semudah itu buat melihat orang lain ngambil posisinya!"

"Semua hal nggak menyenangkan yang elo lakuin, semua karena ini? Nggak perlu menyangkal lagi. Elo lebih memilih orang asing daripada keluarga kandung elo sendiri!"

"PAPA BUKAN ORANG ASING!" tegas Zeo.

"OH! Jadi, kami orang asing nya??" sahut Nina tersulut emosi. "Zeo, gue nggak masalah kalo elo memperlakukan gue layak orang asing, nggak elo hargai sama sekali. Tapi gue nggak rela kalo elo nggak menghargai dan menghormati ayah!" Nina berdiri, tangannya mengepal keras. Matanya mulai terasa panas. Ia terluka.

"Elo nggak ngerti betapa berharganya papa bagi gue. Elo nggak ngerti betapa berharganya keluarga kami. Elo nggak tahu apa yang udah gue laluin selama ini!"

"Elo harusnya nggak egois! Pikirin perasaan kita juga dong Zeo!"

"Kenapa kalian minta gue buat mengerti dan mikirin perasaan kalian, sedangkan kalian semua nggak ada yang mikirin gue? Gimana dengan gue? Gimana dengan perasaan gue? Jadi sebenarnya siapa yang egois disini? Hah?"

"Zeo!!" Suara Endah mengenterupsi. Kini ia sudah berada di samping meja, berhadapan dengan kedua anaknya. "Cukup."

"Apa ma? Mama mau membela diri? Mama mau membenarkan semua keputusan mama?" Zeo menatap mamanya.

"Sikap kamu ini berlebihan. Kalau ingin menyampaikan pendapat dan perasaan kamu, bukan begini caranya ...."

"NGGAK ADA GUNANYA! MAMA UDAH TAHU PERASAAN ZEO, TAPI MAMA NGGAK PERNAH MAU MEMPERTIMBANGKANNYA."

"Zeo!"

Zeo berlari menjauh dari Nina dan Zeo. Setelah membanting pintu depan dengan keras, ia keluar dan mengambil sepedanya.

"Zeo, kamu mau kemana? Ini sudah gelap! Zeo!" panggil Endah yang mengetahui kepergian Zeo setelah mengejarnya hingga halaman rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top