Bab 19. Bakti Sosial (2)
Kegiatan bakti sosial rupanya benar-benar menguras tenaga Nina. Terbukti pagi ini badannya terasa sakit semua. Padahal, hari minggu kemarin sudah ia habiskan untuk beristirahat. Dengan malas ia bangun dan mematikan jam weker di mejanya. Sudah jam 05.30, dan Nina harus bangun. Beberapa kali Nina meregangkan otot-ototnya sebelum kemudian ia berjalan menuju kamar mandi. Ketika selessai mandi, Nina menyadari bahwa ia sudah harus berangkat karena hari ini Senin. Ia segera mempersiapkan diri sekedarnya, dan tidak sempat sarapan.
Hal yang identik dengan hari Senin adalah, upacara bendera. Acara masih berlangsung. Dengan cuaca yang begitu terik, hawa panas begitu terasa oleh siswa yang berbaris di lapangan pagi ini.
'Duh, kok gue kliyengan, ya?' batin Nina. Dalam sekejap, pandangannya kabur. Tanpa disangka-sangka, Nina ambruk menimpa Nuril yang ada dibelakangnya. Zeo pun tak kalah terkejutnya. Ia langsung keluar dari barisan untuk membawa Nina ke UKS, dibantu oleh Rania.
Wisnu yang saat itu bertugas di UKS melihat Nina dibopong oleh Rania dan Zeo. Ia langsung menyiapkan dipan untuk Nina berbaring. Setelah Nina mulai dirawat, Zeo segera kembali ke lapangan.
Nina tidak ingat banyak hal saat ia baru membuka mata. Suara perutnya, lah yang membuat ia mengingat kejadian sebelum ia pingsan. Ia mulai menyesal karena tidak sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah.
Nina menoleh ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Tirai dibuka, dan Wisnu muncul membawa nampan dengan teh dan sebungkus sandwich di atasnya.
"Kebetulan elo udah bangun," Wisnu menyerahkan gelas berisi teh hangat ke tangan Nina. Gadis itu pun meminumnya perlahan.
"Makasih ya, kak," ucap Nina sambil tersenyum
"Sama-sama," sahut Wisnu.
"Kak Wisnu nggak perlu nungguin aku disini,"
"Oh, nggak papa, memang hari ini aku lagi tugas di UKS."
"Tapi kak Wisnu sampai repot-repot bawain makanan segala, makasih ya, kak."
"Itu mbak-mbak kantin yang bawain, kok."
"Tapi kak Wisnu yang pesan, kan?"
"... bukan, memang biasanya ada jatah makan sama minum untuk yang lagi di UKS karena sakit."
Nina tertegun. Ia kira, Wisnu perhatian padanya. Namun ternyata dugaannya salah, pun ia merasa malu karena terlihat keukeuh bahwa Wisnu sudah melakukan berbagai hal untuknya.
"Kamu udah baikan sama Zeo?"
Nina menggeleng. "Kak, kira-kira kakak tahu nggak, kenapa Zeo berubah? Kak Wisnu kan juga tahu gimana ramahnya Zeo ke Nina waktu kakak main kerumah."
Wisnu membuka bungkusan sandwich untuk Nina. "Um ... aku dulu juga sempat tanya alasannya, tapi dia nggak jawab, dan kelihatan bingung."
"Bingung gimana?"
Wisnu angkat bahu. "Tapi, ada hal yang mungkin mendasari ini semua."
"Zeo, masih belum siap dengan pernikahan orangtua kalian." Wisnu menjelaskan dugaannya dengan jujur.
"Apa? Nggak siap gimana? Kami kan keluarga kandungnya," sahut Nina tak mengerti. "Dan kak wisnu tahu dari mana?"
"Dari Zeo. Dia bilang kalau tante Endah akan menikah lagi sama papa kamu. Meskipun dia nggak bilang secara langsung, tapi kelihatan, kok. Mungkin ini sederhana dan mudah bagi kalian, tapi nggak untuk Zeo. Aku udah kenal Zeo sejak kami masih SD, dan selama itu pun, aku bisa menyimpulkan bahwa Zeo dan papa tirinya sangat dekat."
"Masa, Zeo lebih memilih-"
"Nina, coba kita lihat dari sudut pandang Zeo. Memang banyak orang yang mengatakan bahwa 'darah lebih kental dari air' tapi ada berapa banyak ingatan yang Zeo punya ketika kalian bersama? Dan berapa banyak kenangan dan kebersamaan yang Zeo miliki bersama om Prabu?"
Nina bungkam. Perkataan Wisnu ada benarnya. Meskipun keluarga kandung, mereka tidak memiliki banyak kenangan, karena perceraian dan jarak yang memisahkan. Dimasa itu datang Prabu mengisi sisi yang kosong diantara Zeo dan Endah. Mengambil waktu hampir sepuluh tahun untuk bersama Zeo.
"Waktu. Zeo butuh waktu untuk menerima semua ini." Wisnu menyimpulkan, "meskipun susah, tolong elo pahami dia, dan bersikap seperti biasa. Jangan saling membelakangi punggung," bujuk Wisnu kemudian.
" ... udah kak, cukup." Nina tidak ingin mendengar Wisnu melanjutkan pembelaannya terhadap Zeo.
Wisnu tersenyum, dan menyerahkan sandwich yang sudah ia buka. "Yaudah, elo sarapan dulu, biar nggak pingsan lagi." Gadis di depannya menggeleng.
"Aku udah sarapan, kok," kilah Nina. "Kak Wisnu aja, yang makan."
"Bohong. Kamu kan belum sarapan,"
"Tahu dari mana?"
"Tadi perut kamu bunyi terus pas kamu pingsan,"
***
"BHUAHAHAHAHAHAH!" Bunga tertawa terbahak-bahak mendengar Nina menceritakan kejadian ketika ia di UKS.
"Maluuuuu!" Nina menutup wajahnya yang kini sudah memerah.
"Apa kalo Angel pingsan, perut Angel bakal bunyi kayak perut Nina?" Angel membayangkan.
"Padahal gue tadi tuh khawatir banget sama elo, tapi elo malah ngelucu gitu, gyahahahah." Sambil masih tertawa, Bunga mengaduk aduk mie ayam di mangkoknya.
"Ini jusnya ya, mbak. Maaf agak antri." Seorang pelayan kantin meletakkan jus pesanan Nina di meja.
"Nggak papa mbak, makasih," ucap Nina pada gadis muda yang mengantar jus.
"Jus lagi, jus lagi. Elo nggak bosen apa Nin?" Bunga menyentil gelas Nina. "Nggak ada sedotannya, pula! Mbaknya pasti lupa, deh."
"Gue emang mintanya nggak pakai sedotan," ucap Nina sambil mengeluarkan seauatu dari kantung bajunya.
"Heeeh? Elo punya itu, Nin?"
"Itu, apa?" tanya Angel.
"Masak elo nggak tahu, sih Ngel?"
"Beneran nggak tahu," sahut Angel sambil menggelengkan kepala.
Nina pun menjelaskan, "ini adalah sedotan stainless, untuk mengurangi penggunaan sedotan plastik. Ini bisa dipakai lagi, dan gampang dibawa kemana-mana."
"Nina ... Nina kayak lagi endorse."
Bunga dan Nina sontak menepuk jidat mendengar perkataan Angel.
"Bukannya gitu Ngel, kan salahsatu program sekolah kita adalah pengelolaan sampah. Makanya gue beli ini."
"Iya, denger-denger itu program usulan si Wisnu. Pantes elo antusias."
"Apaan sih Bunga." Pipi Nina kembali merona.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top