Bab 16. Tito

  Sudah dipertimbangkan oleh Zeo, bahwa ketika ia dan yang lain melaporkan Tito, akan ada resikonya. Tito mungkin akan mendengar soal itu entah dari Ibu Pipit langsung, atau dari seseorang yang membocorkannya. Masalahnya adalah, Zeo tidak bisa memikirkan antisipasinya.

    Keesokan harinya, Tito menghampiri Zeo ketika tengah bersembunyi di toilet seperti yang biasa ia lakukan akhir-akhir ini. Beberapa teman Tito menghadang Zeo di depan pintu sehingga ia tidak bisa keluar.

    “Jadi markas Elo disini, sekarang?”

    “Bukan urusan Elo,” jawab Zeo singkat.

    Tito tertawa. “Kalo gitu, kenapa Elo ikut campur urusan Gue?” Ia mendekat selangkah ke arah Zeo. Ia menatap matanya. Tanpa berkedip, Zeo membalas tatapan remaja di depannya. Bukan bermaksud menantang, ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia tidak gentar dengan intimidasi semacam itu.

    “Gara-gara Elo, citra Gue di mata guru makin rusak! Elo yang laporin kalo Gue nyontek, kan?!” Tito menodongkan telunjuknya ke wajah Zeo.

    “Kalo Elo emang nggak mau dipandang sebelah mata, harusnya Elo berubah.”

    “Alaah, omong kosong! Elo nggak pernah tahu rasanya jadi Gue! Seberapapun Gue berusaha, guru-guru tetap bakal ngecap Gue sebagai siswa nakal!”

    “Emangnya Elo pernah menunjukkan diri Elo yang berubah?”

    “Nggak perlu! Gue nggak mau. Orang-orang kayak kalian itu, cuma melihat apa yang ingin kalian lihat. Berulang kali pun Gue nunjukin itu, kalian nggak bakal menyadari ataupun mempercayai itu. Tahu kenapa? Karena ketika kalian lihat dan mengoreksi kesalahan orang lain, kalian jadi merasa suci!”

    “Kita nggak ada yang merasa suci.”

    “Munafik amat sih, Elo.”

    “Gue nggak munafik!” Zeo semakin tersulut.

    “Nggak usah menyangkal!” Tito membuka keran dan membasuh tangannya dengan air. “Oh, iya! Keluarga Elo emang luar biasa. Bisa dibongkar pasang kayak puzzle mainan anak SD.”

    “Pantes aja kemarin drama, silsilah keluarganya udah kayak sinetron!”

    “Punya papa dua, uang jajannya dobel dong,” cibir yang lainnya.

    “Nggak usah sok suci! Benerin dulu keluarga Elo, jangan cuma ngurusin orang lain!” Tito mengelap tangan basahnya dengan baju seragam Zeo yang kini diam seribu basa, hingga bagian bahu baju batik itu menjadi kusut.

    “Ayo balik ke kelas,” ajak Tito kepada gerombolannya, membiarkan Zeo mencerna setiap kalimat ejekan yang mereka lontarkan.

    Tito sudah tahu. Rahasia yang ingin Zeo sembunyikan rapat-rapat, Tito sudah mengetahui semuanya. Jadi, apakah yang lainnya juga tahu?

    Zeo menutup matanya berat, ketika ia mendengar bel masuk berbunyi. Dengan enggan ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke kelas. Beruntung, belum sempat ia sampai di ruangan, speaker sekolah berbunyi.

    “Untuk para Perwakilan Kelas, diminta untuk menghadiri rapat di ruang OSIS.” Suara Ali menggema di seluruh area sekolah.

    Setidaknya Zeo bisa menghindari Tito. Ia pun berjalan menuju ruangan yang dimaksud.

    “Zeo!” panggil Rania di belakang Zeo. Ia segera menyusul pemuda itu, diikuti oleh dua orang lainnya, yang juga merupakan perwakilan kelas 11 MIPA 1, sama seperti Rania. Zeo tersenyum simpul untuk menanggapi panggilan Rania.

    “Beberapa hari ini kok aku jarang lihat kamu sih? Apa karena waktu itu?”

    Zeo berhenti berjalan. Ia mengerti maksud Rania adalah kejadian saat ia 'mengamuk' di kelas. Tapi sungguh, Zeo tidak ingin siapapun membahas mengenai hal itu.

    “Tolong Elo nggak usah bahas itu lagi, ya. Dengan ataupun tanpa Gue.” Zeo melanjutkan langkahnya.

    “Zeo ….”

    Rania menyusul kembali Zeo yang kini sudah duduk disamping Wisnu.

    “Oke, semua. Maaf kalo rapatnya dadakan, ya. To the point aja, kita akan melaksanakan bakti sosial ke salahsatu panti asuhan terdekat, Jum'at minggu depan. Jadi, mulai hari ini tugas kita adalah menyampaikan kepada siswa-siswa lain tentang program ini.” Ali langsung membuka rapat hari ini.

    “Siapapun yang ingin ikut ke lokasi, ataupun ingin menitipkan sumbangan seadanya entah seberapapun nilainya, selama layak maka kita akan terima. Maksimal dua hari sebelum hari H, ya.”

    “Seluruh Perwakilan Kelas harus ikut ke lokasi. Karena kita akan melakukan bamyak hal untuk adik-adik disana. Sejauh ini ada pertanyaan?”

    “Transportasinya bagaimana, kak?”

    “Kita akan menggunakan uang kas untuk menyewa bus. Maka dari itu, kalau ada siswa yang ingin ikut, harus mendaftar sebelum kita memesan bus nya. Agar kita tahu kira-kira butuh berapa kendaraan.”   

    “Sekedar memberitahu. Setelah kita bekerja keras dari panti kita bakal mampir bentar ke Dufan.”

    Seisi ruangan bersorak-sorai. “Piknik nih,” celetuk Bagas. Sedangkan Zeo hanya terdiam lesu, tidak menghiraukan keadaan sekitar.

    “Cukup siapkan stamina kalian, agar bisa tetap bersenang-senang. Setelah berjuang,” pesan Ali sebelum menutup rapat.

    “Elo tadi sembunyi dimana, sih?” tanya Wisnu pada Zeo setelah rapat selesai.

    “Nu, Elo mau nggak, pindah sekolah sama Gue? Kok rasanya sekolah disini itu berat, ya?”

    Wisnu paham apa yang Zeo rasakan. Gosip dan rumor tentang Zeo sudah sampai di kelasnya. Kadang ia juga mendengar kakak atau adik kelas membicarakan hal itu. Bukan tidak mungkin, semua orang di sekolah tahu. Wisnu mulai berpikir keras, bagaimana agar orang-orang berhenti membahas permasalahan Zeo di sekolah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top