Bab 14. Ayah Wisnu

"Papa sudah bilang nggak usah mampir-mampir sepulang sekolah."

"Iya, Pa." Wisnu hanya menjawab dengan patuh. Sudah bisa dipastikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kamu harusnya meningkatkan kemampuan Taekwondo dengan latihan, bukannya malah main-main terus. Jangan kalah seperti pertandingan sebelumnya!" cetus papa Wisnu dengan nada yang sedikit ... menggertak.

"Iya, Pa." Hanya dua kalimat itu saja yang menjadi jawaban Wisnu selama ini. Tak bisakah papanya mengerti akan isi hati Wisnu selama ini?

"Satu lagi. Sebentar lagi kamu ujian semester. Papa yang akan datang ke sekolahmu. Pastikan kamu menjaga nama baik Papa." Thomas-papa Wisnu terus menekan.

"Iya, Pa." Wisnu menjawab untuk kesekian kalinya. Masih dengan kata yang sama.

Sulit bagi Wisnu untuk bisa protes atau menyanggah kata-kata Thomas yang absolut. Sama seperti kakak perempuannya yang sudah menikah, ia harus patuh. Thomas sebagai seorang kepala keluarga siap memberikan apap un yang anak-anaknya inginkan.

Namun, semua perlu timbal balik. Wisnu harus mengikuti aturan main yang dibuat oleh papanya.

"Ini semua demi masa depan kalian." Begitu alasan yang selalu Thomas gunakan.

Akan tetapi, semua anak di dunia ini memiliki keinginan dan minat tersendiri, 'kan? Kenapa di zaman seperti makin banyak orang tua yang menuntut sesuatu pada anaknya?

Tidakkah mereka mengerti bahwa anak mereka membutuhkan kebebasan?

Ya, Wisnu membutuhkan itu.

Wisnu belajar dengan giat, mengikuti les, dan bahkan mempelajari Taekwondo. Ia juga aktif mengikuti organisasi. Bisa dibilang ia cukup sibuk untuk dikatakan sebagai seorang siswa SMA.

Semua itu bukanlah keinginannya. Wisnu hanya ingin menjalani masa remajanya dengan bebas. Dengan begitu pun ia akan berusaha agar tidak mengecewakan Thomas.

Thomas yang tidak bisa percaya pada anak muda zaman sekarang tidak membiarkan Wisnu melakukan itu, dan kemudian menghancurkan masa depannya sendiri. Ia akan merencanakan masa depan Wisnu, membuat ia menjadi pemuda yang sempurna dan sukses di masa depan. Baginya lebih baik dipaksa sukses, daripada sukarela menjadi orang gagal.

Thomas ingin mengatur bagaimana dan dengan siapa anaknya bergaul.

Padahal, baik buruk teman pun tidak pasti menjamin bagaimana kelakuan anak itu. Bisa jadi yang bergaul dengan anak baik justru menjadi anak nakal. Bisa jadi juga yang bergaul dengan anak nakal justru menjadi anak baik.

Semua itu tergantung si anak. Jangan pentingkan circle-nya. Pentingkanlah didikan dan moral sejak dini.

"Jangan terlalu dekat dengan Zeo," pinta Thomas suatu hari.

Wisnu mengerutkan dahinya. "Kenapa, Pa? Zeo, kan, sahabat Wisnu dari kecil, Papa juga kenal dia dengan baik."

"Justru itu karena Papa kenal dia dengan baik. Wisnu, kamu harus memilih teman yang potensial. Si Zeo itu. Papa lihat dia tidak memberi manfaat sedikit pun untuk kamu. Sekarang, atau pun di masa depan," jelas Thomas yang menurut Wisnu tidaklah masuk di akal.

Oh, si Thomas itu kenapa seperti peramal saja, ya? Padahal ia hanyalah manusia biasa. Lalu, kenapa sudah asal berbicara mengenai takdir seseorang?

Sebenarnya Wisnu tidak setuju dengan pendapat Thomas, tetapi ia juga tidak berani beradu argumen dengannya.

"Pa, Wisnu nggak bisa untuk satu hal ini. Wisnu sendiri yang akan menentukan mau berteman dengan siapa," tolak Wisnu.

Sampai saat ini, Thomas masih tidak senang bila Wisnu bergaul dengan Zeo. Meskipun begitu, tampaknya itu tidak mengganggu hubungan pertemanan Zeo dan Wisnu. Mereka tetap saja dekat.

Pagi hari, Wisnu berangkat sekolah di antar oleh Thomas. Sebelum berangkat pun, ia mengabari Zeo melalui ponselnya, sehingga Zeo tidak perlu menunggu.

Zeo yang kini sudah berada di taman pun melanjutkan perjalanan tanpa Wisnu. Sejujurnya Zeo enggan untuk berangkat ke sekolah.

Inilah yang ia benci. Semenjak kejadian kemarin, ketika ia mulai berada di area sekolah ia merasa semua orang memperhatikannya. Suara-suara tidak jelas yang berasal dari beberapa siswa yang mengobrol pun Zeo asumsikan seakan tengah membicarakan dirinya.

Di kelasnya yang masih sepi, Zeo langsung membuka buku materi seninya. Karena di jam ke 6 nanti, akan ada ulangan harian. Lima menit kemudian Yana dan Bagas masuk, sehingga Zeo pun mencari tempat lain untuk menyendiri.

Mereka hanya saling pandang sampai Zeo menghilang dari balik pintu.

Zeo tidak berminat untuk melakukan apa pun di luar kelas. Terlebih sekarang adalah waktu ketika semua orang berada di luar. Akhirnya Wisnu memutuskan untuk menemani Zeo di kelasnya. Sementara Zeo melipat tangan dan digunakan sebagai tumpuan.

"Eh! Nino si anak Janda! Ngapain ke sini?"

"Iya tuh, emaknya Nino, kan, suka godain orang, nggak usah main sama dia!"

"Nakal, emaknya Nino nakal, anaknya pasti juga nakal."

Zeo mundur perlahan. Sesaat kemudian, anak-anak kecil mengerumuninya, mencibir, dan melempari Zeo dengan lumpur entah dari mana. Seragam putih abu-abu yang awalnya bersih, kini penuh bercak warna cokelat.

Wajah Zeo tak luput dari berbagai macam benda kotor yang mereka lempar. Zeo segera berlari, menghindari kerumunan itu.

Zeo masuk ke dalam sebuah rumah yang besar. Rupanya rumah itu sedang mengadakan acara pernikahan antara Endah dan Prabu. Zeo dengan seragamnya yang masih kotor berjalan mendekati dua sejoli yang tengah berbahagia itu.

"Saya dengar, pengantin wanita adalah janda yang sudah punya anak. Dari kampung pula."

"Heran sekali, tidak sepadan pria sehebat Prabu menikahi wanita itu."

"Mbak sudah dengar? Dia bercerai dengan suaminya di desa, agar bisa menikahi orang kaya di Jakarta."

Zeo marah mendengar percakapan dua wanita di dekatnya. Ia pun mendorong mereka hingga menabrak meja bundar di belakang. Zeo mengamuk, ingin sekali ia menyiram wajah mereka dengan semua minuman yang terhidang di tempat itu. Dua orang sekuriti menangkap Zeo yang mulai berontak.

"Selamat berjuang lagi," ucap salah seorang sekuriti, sebelum Zeo dilempar kedalam jurang yang sangat dalam. Semakin dalam, dan semakin gelap.

Zeo tersentak. Ia tersadar dari mimpi yang amat sangat buruk. Dengan susah payah ia mencoba untuk bangun dan membuka mata.

Keringat dingin membanjiri leher dan kening Zeo. Bersyukur sedikit demi sedikit matanya mulai menangkap cahaya. Kini ia berada di ruang kelas, sementara Wisnu terlihat sedang asyik berbincang dengan Bagas. Kelas sudah agak ramai.

"Zeo, udah bangun?" Wisnu menyodorkan sebungkus roti dan air mineral ke hadapan Zeo. "Nanti kita nggak sempat makan bakso, jangan sampai lapar," ucapnya.

Dengan wajah yang sedikit linglung, Zeo membuka dan meminum air mineral tersebut. Di sela-sela tegukan ia memandangi sekeliling, mencoba mencerna setiap informasi yang ditangkap oleh matanya.

"Uhuk!" Zeo langsung tersedak ketika mendapati Nina di pojok kelas memandanginya dengan sorot mata penuh dendam, lengkap diikuti oleh Bunga dan Angel. Baju putihnya pun sedikit basah karena tumpahan air dari mulut.

"Kenapa?" tanya Wisnu terkejut. Yang ditanya hanya menggeleng.

Wisnu memandangi jam dinding kelas. "Udah mau jam masuk, gue balik ke kelas dulu, ya," pamitnya pada Zeo.

Zeo mengangguk sambil mengibaskan seragam untuk sedikit mengeringkan. Ia masih mengumpulkan kesadarannya.

Wisnu pun juga berpamitan pada siswa lain di kelas itu, termasuk Nina yang ekspresinya langsung berubah manis saat menanggapi Wisnu. Selepas Wisnu pergi, Zeo kembali seperti seekor keong laut yang kehilangan cangkangnya, tak memiliki perlindungan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top