CHAPTER 1 - Hari Perkenalan

16 Juli 2006, SMA Insan Cendikia.

Aku menenggak minuman kalengku di tengah keriuhan kantin. Hari itu cukup santai karena itu adalah hari pertama masuk sekolah, dan hari pertama aku memakai seragam putih abu-abu yang kata orang-orang akan banyak mengukir kenangan.

Dua mata pelajaran sudah terlalui, Bahasa Inggris dan Biologi, dan keduanya diisi dengan acara perkenalan siswa satu persatu, bedanya hanya saat pelajaran Bahasa Inggris harus memperkenalkan diri dengan menggunakan Bahasa Inggris. Bagitulah, seperti tidak ada kegiatan lain saja.

Hal itu pasti dilakukan setiap guru di hari pertama masuk sekolah, sejak aku SD hingga SMA dan aku yakin guru kalian juga melakukan hal yang sama. Kalau memang belum ada materi yang akan diajarkan, kenapa tidak disuruh pulang saja?! tapi ini malah meminta siswa memperkenalkan diri seharian. Dan ya, setelah jam istirahat nanti aku juga harus siap untuk memperkenalkan diri lagi di mata pelajaran berikutnya.

Tapi masih ada yang bisa aku syukuri hari itu, yaitu aku masih berada di satu sekolah dengan 5 temanku, setidaknya aku masih punya alasan untuk ke sekolah hari itu.

Safia datang membawa dua mangkuk berisi makanan di kedua tangannya. "Ini mie ayam bakso pesenan Kamal dan ini bakso pakai mie kuning buat Alif." Safia menempatkan mangkuk itu satu persatu di hadapan Kamal dan Alif.

"Lo emang paling tau mau gue, Fi," ujar Alif siap untuk menyantap baksonya.

"Punya gue mana?" tanya Tama.

"Di sini gak ada siomay, Tam. Jadi gue bingung mau pesenin apa buat lo."

"Yah, gue jadi kangen kantin buk Yuni."

"Balik gih lo ke SMP!" timpal Kamal.

"Rese lo!" balasnya. "Yaudah, Fi. Gue mie ayam kayak kamal aja deh."

"Lo pesen sendiri gih, kasian Fia bolak balik mulu, dia juga mau makan kali."

"Gakpapa, Mal. Sekalian gue juga mau pesen."

"Eh iya, gakpapa kan Fi?"

"Lo tau diri aja kali."

"Udah ah, Mal. Gakpapa kok, Tam." Safia bangkit dari kursinya. "Lo gak makan, Ga?" tanyanya kepadaku. "Biar sekalian gue pesenin."

"Ha? Gue enggak deh, gak laper."

"Oh oke." Safia tersenyum kemudian pergi.

Tubuh Safia menjauh dan menghilang di kerumunan orang yang mengantri mie ayam, tapi senyumnya masih melekat di ujung mataku. Senyum itu, salah satu alasan yang membuatku bersemangat di hari pertama sekolah ini.

Aku suka Safia, iya aku jujur pada kalian, tapi tidak dengannya. Entah sejak kapan tepatnya, aku tidak tahu. Awalnya aku pikir perasaan ini hanya perasaan biasa yang wajar terhadap seorang sahabat perempuan, kemudian aku sadar sepertinya ini beda, dan aku harap Kamal, Alif, Tama dan Sandi tidak memiliki perasaan sepertiku ke Safia, semoga saja.

Dipercakapan sebelumnya kalian pasti sudah tebak kalau Safia adalah anak yang baik, tidak hanya itu tapi dia juga anak yang pintar dan senyumnya manis. Sama seperti 4 sahabatku yang lain, aku mengenal gadis berambut lurus sepunggung itu sejak duduk di bangku SMP.

Karena ini bagian awal, mungkin aku akan memperkenalkan 5 sahabatku dulu, karena cerita ini tidak akan jauh-jauh dari cerita tentang mereka.

Pria berhidung mancung dengan rambut hitam legam dengan sisiran rapi itu namanya Pratama Yunanda, biasa dipangging Tama. Dia anak pertama di keluarganya, makanya namanya Pratama. Tapi, aku juga anak pertama dan namaku tidak Pratama, sudahlah abaikan. Bisa aku katakan kalau Tama sosok paling bijak di antara kita ber 6, meski kadang tingkahnya kekanak-kanakan tapi dia memiliki aura seorang pemimpin, entah kenapa begitu, tapi secara tidak sadar kami selalu meletakkan dia di posisi pemimpin kapanpun itu, entah itu dalam kelompok belajar, mengambil keputusan atau bahkan merencanakan liburan.

Di sebelahnya adalah Kamal Faiz, aku sudah cerita sedikit di awal tentangnya. Kamal adalah tipe teman yang 'kalo gak ada lo, gak rame' karena dia yang selalu jadi menghidup suasana.

Dan pria yang sedang makan Mie Ayam itu namanya Muhammad Alif Prayoga. Kulit sawo matang, gigi ginsul dan rambut yang sedikit berponi itu sedikit deskripsi dari Alif. Dia tipe cowok cool yang akan terlihat keren saat menggunakan pakaian apapun yang kadang membuatku iri. Berbeda dengan yang lain, aku mengenal Alfi sejak SD. Kita bersekolah di SD yang sama yaitu di Yayasan Budi Sakti milik papa, kemudian masuk ke SMP yang sama dan selalu sekelas hingga sekarang.

Mendengar sejarah singkat itu pasti kalian berpikir kalau aku dan Alif sangat dekat, tapi nyatanya kita tidak sedekat itu. Alif tipe teman yang sangat setia kawan, tapi aku tidak terlalu terbuka dengannya, entah kenapa. Tapi semesta selalu menuntut kami untuk selalu bersama, begitulah.

Sudah itu saja, jangan minta aku mendeskripsikan diriku sendiri. Percayalah kalau tidak ada hal yang menarik dariku.

Eh tunggu, ada yang kurang.

"Sandi mana?" tanyaku.

"Paling bentar lagi juga nyusul," jawab Alif.

"Lo udah bilang ke dia kalau kita di sini?" tanya Tama dan dijawab anggukan oleh Alif.

"Eh iya!" seru Kamal. "Gue baru ingat, tadi gue liat Sandi jalan sama kakak kelas."

"Eh serius lo?"

"Iya, cantik, gile. Anak kelas sebelas IPA kayaknya."

"Widii, mantep juga si Sandi, hari pertama udah gandeng kakak kelas aja," sambung Tama.

"Gosip mulu lo berdua," ujar Alif.

Jujur, aku tidak terlalu terkejut dengan gosip seperti itu sekalipun itu benar. Sandi punya badan yang atletis hingga membuatnya terlihat lebih dewasa, jadi hal yang wajar kalau dia dilirik kakak kelas. Tambah lagi Sandi memang suka bermain dengan cewek cantik, jadi ya sudahlah.

Tak lama, Sandi datang. Itu dia Sandi Aruna, berjalan dengan satu tangan di saku dan seragam yang tidak dimasukkan ke celana. Terkesan urakan, tapi memang itu Sandi yang kami kenal.

"Widi!!, ni dia artis kita hari ini," seru Kamal melihat Sandi dari kejauhan.

"Lo ngomong apa sih, Mal." Sandi mengambil posisi duduk di sebelahku.

"Lo gak makan, San? Biar gue pesenin," tanya Fia.

"Gak usah, Fi, makasih. Gue udah makan tadi."

"Cie, yang makan sama kakak kelas," goda Kamal lagi.

"Apaas sih lo!"

"Cerita kali, San, hari pertama udah bisa gandeng kakak kelas aja lo," tambah Tama.

"Lebay lo pada! Dia itu dulu tetangga gue. Dan baru ini jumpa lagi, gue malah gak tau kalau dia sekolah sini juga, makanya tadi kita ngobrol bentar," jelasnya. "Udah ah, gak usah dibahas lagi."

"Oke-oke, karena udah pada ngumpul, kita mulai aja pembahasannya," Tama angkat bicara setelah menghentikan makannya.

"Pada mau ngomongin apa sih?" potong Sandi.

"Ini hari pertama kita masuk SMA, makanya kita masih bisa ngumpul kayak gini."

"Maksud lo?" potong Kamal.

"Sabar kali, gue belum kelar ngomong."

"Langsung aja kali, Tam. Udah mau bel," kata Alif ikut bicara.

"Oke-oke. Lo pada tau kan, kita udah gak sekelas lagi kayak pas SMP. Dan gue yakin setelah ini kita bakal jadi jarang ngumpul lagi karena sibuk sama temen-temen kita masing-masing dan gue gak mau hal itu terjadi."

Aku ingat, memang saat itu perbedaan kelas jadi hal yang kita pikirkan. Terbiasa 3 tahun berada di kelas yang sama membuat kita berenam tidak punya alasan untuk gak kumpul. Tapi sekarang beda, Tama di kelas X-1, Kamal dan Safia ada di kelas X-2, aku dan Alif berada di kelas yang sama di X-3, sedangkan Sandi di kelas X-4. Ya aku dan Alif sekelas, sekarang taukan kenapa aku bilang kalau semesta selalu mendukung kebersamaan aku dan Alif.

"Wajar kali, Tam. Kalo di tempat yang baru, kita pasti ketemu orang yang baru," kata Sandi.

"Iya, gue tau itu wajar. Gue juga gak ngelarang kalian untuk temenan sama temen baru kalian. Tapi gue cuma gak pengen aja kita berenam jadi makin jarang kumpul."

Safia buka suara, "kenyataan kalau nanti kita bakal jarang ngumpul karena beda kelas itu gak bisa dipungkiri, Tam. Tapi kita tetep bisa atur waktu buat ngumpul kan?"

"Gue tau caranya." Kalimat Kamal menyedot pandangan kami. "Kita harus satu organisasi bareng."

"Gue setuju," jawab Alif cepat.

"Boleh juga," sambungku.

"Oke, sepakat. Tapi apa?" Tanya Tama.

"Apa aja dah, gue ngikut" kata Kamal.

"Gue mau masuk klub basket," kata Sandi

"Gak bisa gitu dong, San. Ntar Fia gimana?" bantah Alif.

"Gimana kalau paskibra aja, kita semua bisa kan?" saran Tama.

"Gak mau gue,males panas-panasan."

"Parah banget sih alasan lo, Mal! Tadi lo bilang ngikut aja."

"Apa aja selain paskibra," sambung Kamal lagi.

"Eh, udah mau bel!" seru Fia membuatku sontak melirik jam tangan.

"Yaudah, kita sambung ntar aja, pulang sekolah."




--------------------------------------


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top