8. Aroma Kamelia

Gin menelan salivanya. Lagi-lagi pandangan itu. Sepasang bola mata indah bagai obsidian tersebut begitu dikenalinya. Dia yakin pernah melihatnya. Dahulu. Entah pada suatu tempat di bagian mana dari masa lalu.

Hasrat pria kitsune tersebut tiba-tiba sudah mencapai ubun-ubun. Hatinya yang berdesir pelan seolah membisikkan sesuatu untuk melakukan lebih. Di dekatkan wajahnya ke arah gadis itu. Aroma matahari bercampur wangi kamelia yang menguar dari tubuhnya, benar-benar membuat pikiran Gin melayang-layang. Dia mengenalnya. Dia yakin pernah menghidu wangi yang sama.

Sayo terbelalak. Dia mendapati dirinya tak mampu bergerak. Seolah ada jiwa lain yang menguasainya. Bahkan tatkala pria yang secara tak sengaja dia tarik ke dalam air tersebut semakin mendekati wajahnya. Sekeras apa pun dia mencoba, hanya geming yang didapat. Hingga dia merasakan sesuatu yang hangat melekat sempurna pada sudut bibirnya.

Hanya sekejap kehangatan itu dirasainya. Gadis tersebut mendapatkan kembali kuasa tubuhnya beberapa detik kemudian. Gin telah mencuri sebuah ciuman darinya. Tak dapat dielakkan, telapak tangannya kini telah mendarat di pipi kiri pria itu.

Sayo mendorong tubuh Gin menjauh. Matanya berapi-api. Berani-beraninya orang yang baru dikenalnya itu menciumnya. Lancang. Dia ingin segera mengeluarkan makian.

“Enyah kau!” teriak Sayo seraya berusaha berdiri. Pakaiannya basah, tetapi diabaikan. Kakinya tetap melangkah menjauhi tubuh Gin yang tergeming di tempatnya.

Dia sudah tidak tahan. Dikemasi kembali semua barang bawaannya dan memasukkan ke dalam tas hitam besar. Gagal lagi kegiatan samplingnya kali ini. Bergegas Sayo meninggalkan Gin yang menatapnya nanar.

“Tunggu,” sergah Gin seraya meraih lengan Sayo. “Jika kau tidak ingin aku cium, kenapa hanya diam saja? Kau bisa menolakku sejak awal.”

Sayo memalingkan wajahnya. Menatap pria dengan pipi kiri kemerahan bekas tamparan yang baru sesaat lalu dia hadiahkan.

“Itu bukan keinginanku,” desisnya. Gadis itu menyentak genggaman Gin untuk melepaskan lengannya. Kembali tungkai mungil tersebut berjalan menjauh.

Memang bukan atas kemauannya. Dia sudah berusaha untuk menggerakkan badannya, tetapi tak mampu. Sayo yakin saat itu Mume yang menguasai tubuhnya. Dia dapat merasakan perasaan tersebut memenuhi hatinya. Rasa asing yang bukan miliknya.

Sayo mengacak rambutnya sedikit frustrasi. Kenapa pula harus ada Mume dalam tubuhnya? Sepertinya dia harus mencari cara agar ia bisa keluar dari raga miliknya.

Sedangkan sedikit tertinggal di belakang Sayo sana, Gin masih bertanya-tanya. Apa maksudnya dari bukan keinginan gadis itu? Jelas-jelas dia tahu bahwa Sayo bahkan memejamkan kelopak matanya saat kecupan tersebut terjadi. Kenapa sikapnya berbeda? Seolah-seolah ada orang lain yang memiliki tubuhnya.

***

“Maaf,” ucap Gin yang masih mengekori Sayo hingga gadis tersebut hampir tiba di apartemen-nya.

Malam telah turun menyelimuti Kota Osaka saat keduanya masih berada dalam kereta. Bisu yang membentang di antara mereka, sedikit membuat Gin menyesal. Apalagi gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan keberadaannya, bahkan mungkin menganggapnya tidak ada. Dia sepertinya sungguhan marah.

Sayo hanya menoleh sekilas sebelum tubuhnya berbelok ke sebuah gedung berlantai lima dengan dinding merah bata yang terletak di sudut jalan. Hatinya masih kesal. Bukan hanya karena perbuatan lancang Gin. Namun juga Mume yang mengusiki hidupnya.

“Kobayashi,” panggil Gin membuat Sayo memutar bola matanya.

“Apa?” sahutnya malas.

Gin mengeluarkan benda pipih dari dalam saku, lalu menyodorkannya kepada Sayo. “Ponselmu.”

Sayo mendengkus. Dia bahkan lupa soal gawainya yang masih ada pada pria itu. Tanpa mengucapkan terima kasih atau kata perpisahan, gadis tersebut langsung berlalu, setelah menerima benda pipih kesayangannya.

“Aku harap kita bisa berhubungan lagi,” ujar Gin setengah berteriak.

Gadis itu mendengkus untuk kedua kali. Dia sama sekali tidak berniat bertemu dengan Gin lagi. Dalam hati bahkan dia berdoa agar pria tersebut jauh-jauh dari hidupnya yang tenang.

Kakinya kembali bergerak. Melangkah gontai ke dalam gedung apartemen. Memeriksa kotak suratnya—siapa tahu ada surat-surat tagihan yang bisa dia ambil—di basemen. Mendapati kosong, Sayo melanjutkan geraknya menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai satu.

Dalam langkah hening, hanya suara derap sepatunya yang terdengar menggema. Memorinya masih memutar adegan di mana Gin yang berkata bahwa sepasang capung yang sedang kawin akan membentuk tanda hati dan pria itu berharap mereka bisa sama seperti insekta tersebut. Telinganya memanas. Demi mendengar kata kawin dan hati yang membuat pikirannya ke mana-mana, menyebabkan tubuh Sayo kehilangan keseimbangan ketika itu. Saat hendak jatuh, tanpa sengaja dia menarik lengan Gin ikut serta.

“Kau tidak perlu terlalu memikirkannya, Sayo. Dia hanya pria mesum penguntit,” bisiknya kepada diri sendiri.

Berkali-kali dia mengucapkan kalimat itu bagai mantra yang dia rapal hingga memasuki kamarnya dan menyalakan lampu. Segera dia meletakkan kedua tas besar yang dibawanya ke atas lantai dengan sembarang. Disurukkan kepala yang masih terlindungi oleh topi bucket tersebut ke dalam selimutnya. Masa bodoh dengan tubuhnya yang masih kotor. Toh, malam ini jadwalnya untuk mengganti seprai kasur.

“Menyebalkan!” gerutu Sayo dibalik mulut yang tersumpal kain selimut.

Jadwal penelitian yang sudah dia atur, kembali berantakan. Bagaimana jika dirinya tidak bisa lulus tepat waktu hanya karena kegagalan sampling? Dia harusnya bisa mendapat tiga sampel hari ini. Akan tetapi karena Gin, dia hanya baru mengambil satu saja.

“Hai, Mume. Apa aku bisa bicara denganmu?” tanya Sayo pada dirinya sendiri seperti orang gila saat bangkit dan menghadap cermin kamarnya.

Tak ada apa pun yang menjawabnya. Hanya suara titik-titik air yang  menetes dari keran dapur mininya meningkahi hening. Gadis itu melihat bayangan sendiri di dalam cermin. Wajah kuyu dan rambut lepek. Celana jin dipadu kaus polo berwarna abu-abu membalut kulitnya—yang lebih cokelat karena sering terbakar sinar matahari—jauh dari kesan feminin.

“Aku yakin itu bukan aku yang menerima ciumannya, tapi kau. Kenapa kau harus ada di hidupku? Mengacaukan segalanya. Kenapa harus aku yang menyimpan kenanganmu? Siapa kau sebenarnya?  Seseorang yang mengenalkan diri bernama Mume,” ucap Sayo runtut.

Sunyi. Masih tetap tak ada jawaban. Sayo mendesah lelah. Sepertinya dia butuh istirahat. Saat baru saja hendak membasuh wajahnya, bel apartemennya berbunyi. Terpaksa, dengan langkah sedikit terseret, gadis itu mengintip lewat lubang kecil di pintu sebelum membukanya.

Setelah mengetahui siapa tamunya, Sayo pun membuka lebar pintu  apartemen-nya. Mempersilakan pemilik wajah jelita yang mirip dengan salah satu dosennya itu untuk masuk. Tubuh ramping tersebut melenggang, melepaskan sepatu hak dan menggantinya dengan selop.

“Tumben mampir ke sini?” tanya Sayo sedikit heran dengan kedatangan Keiko yang tiba-tiba.

“Kenapa? Apa aku tidak boleh ke rumah sahabatku sendiri? Aku sudah mengirimkan pesan kepadamu, tapi sepertinya ponselmu tidak aktif.” Keiko menggidikkan bahu, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa kecil yang menghadap televisi.

“Seperti biasa. Anggaplah rumah sendiri,” tutur Sayo ikut duduk di kursi panjang tersebut dan meraih ponsel, lalu menekan tombol dayanya. Benar saja, begitu gawai itu menyala kembali, ada berbagai notifikasi masuk. Salah satunya adalah pesan instan  dari Keiko.

Keiko memang sudah sering kali mampir ke apartemen-nya sejak mereka masih kuliah sarjana. Gadis berambut panjang bergelombang tersebut bahkan beberapa kali pernah menginap di sana.

“Aku sedang bosan di rumah,” keluh Keiko menghela napas. “Akhir-akhir ini ayahku merongrongku untuk bisa membujuk Kak Keisuke berhenti jadi dosen dan mengambil alih perusahaan. Jika tidak, maka ayah akan segera mencarikanku suami.”

“Aku lebih suka Honomi-sensei terus jadi dosen,” timpal Sayo yang langsung dihadiahi lemparan bantal duduk oleh Keiko.

“Itu memang maumu, kan, Sayo-chan? Supaya bisa melihat Kak Keisuke setiap hari.”

Sayo menggeleng. “Aku hanya merasa bahwa Honomi-sensei terlihat senang dengan profesinya. Bukankah yang lebih penting adalah kita bahagia karena bisa melakukan hal yang disukai?”

“Sayangnya ayahku tidak seperti itu.”

“Lalu?”

Keiko kembali menghela napas. “Aku belum mau menikah. Kau tahu sendiri bagaimana keras kepalanya kakakku itu. Sifat yang diturunkan dari ayah kepadanya. Lagi pula, aku menyukai Gin-san. Ya, walaupun dia sama sekali tidak pernah melirikku sebagai wanita.”

Mendengar nama Gin disebut membuat tubuh Sayo sedikit tersengat. “Kenapa kau malah begitu menyukai orang seperti itu?”

“Orang seperti itu?” Keiko mengangkat sebelah alisnya.

“Orang menyebalkan yang suka seenaknya sendiri.” Terdengar jelas nada kesal dari suara Sayo. Tentu saja dia masih dongkol dengan apa yang terjadi di sungai hari ini.

“Kau seperti memiliki dendam pada Gin-san. Kau tidak diapa-apakan olehnya, kan, Sayo-chan?” tanya Keiko curiga. Dia memicingkan matanya, menatap lekap wajah Sayo yang masih dipenuhi sebum.

Diam-diam, sebenarnya Keiko sudah berada di depan gedung apartemen Sayo bertepatan dengan gadis itu yang baru saja pulang. Niatnya untuk langsung menyapa urung tatkala melihat bayangan tubuh yang dikenalnya mengekor di belakang Sayo.

“Dengar, Sayo-chan,” ucap Keiko dan mengubah posisi duduknya menyerong ke arah Sayo. “Aku berbicara sebagai sahabatmu. Terlepas dari fakta bahwa aku menyukai Gin-san atau kau sebagai calon kakak iparku, aku katakan jangan pernah tergoda oleh dia! Sekali pun.”

“Kenapa?” Sayo menautkan alisnya.

“Aku tidak bisa mengatakan alasannya. Tapi percayalah kepadaku bahwa hal berbahaya jika kau terbuai oleh Gin-san.”

“Tapi kau menyukainya,” cicit Sayo.

“Aku menyukainya karena dia tidak pernah menganggap aku sebagai wanita. Maka itu dia masih bersikap sopan kepadaku. Lain halnya jika dia sudah menganggap seorang perempuan sebagai mangsanya. Bisa dipastikan kau tidak akan bisa terlepas dari jeratnya.” Keiko mengeluarkan suara tiruan geraman harimau yang sedang mencengkeram buruannya, berusaha memberi sentuhan lelucon pada kalimatnya.

“Kau menggambarkan orang itu sebegitu menyeramkan,” komentar Sayo. Dahinya mengernyit.

“Pokoknya, Sayo-chan. Jauh-jauhlah dari Gin-san dan jadilah kakak iparku saja. Mengerti?” pesan Keiko. Bibirnya sedikit mengerucut. Temannya ini, apa dia tidak memiliki selera humor sedikit pun?

Sayo tidak berkata apa-apa lagi. Pikirannya sedang mencerna kalimat Keiko baru saja. Apakah benar Gin se-menyeramkan itu?

Sebagian hatinya mengatakan bahwa Keiko benar dan keinginannya untuk menjauhi Gin. Akan tetapi, sudut hatinya yang lain yang telah dikuasai Mume berkata lain; untuk terus mendekat pria itu apa pun yang akan terjadi nanti. Sayo tahu bahwa dulunya Mume memiliki seorang kekasih bernama Shirogane yang berwajah mirip dengan Gin sekarang. Apa mungkin Gin adalah Shirogane? Perasaan bergemuruh yang selalu dia rasakan kepada Gin, sebenarnya apa? Pikirannya berkecamuk.

“Apa maumu sebenarnya, Nona Mume?” []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top