6. Permintaan Mume
Hanya berjarak kurang dari setengah meter, mereka duduk bersisian di kursi belakang sebuah mobil sedan hitam yang baru saja memasuki jalur tol ke arah Kota Osaka. Beberapa kali Sayo melirikkan matanya ke arah samping; kepada Gin yang terlihat tak acuh. Mengamati detail wajahnya yang terasa tidak asing. Rahang yang tirus dengan dagu lancip. Sepasang matanya kecil, tapi dengan sorot tajam dan pancaran yang entah kenapa mampu menghipnotis. Ujung hidungnya yang tinggi, kemudian kedua bibir tebal merah muda yang mengatup.
Semakin melihatnya, Sayo semakin yakin dia adalah orang sama yang hadir di dalam mimpi episodiknya. Bagaimana bisa? Dia sendiri tidak tahu. Bahkan dadanya—secara aneh—terasa sesak. Ada luapan emosi yang entah datang dari mana. Harusnya dia tidak menerima tawaran dari Gin.
Semua ini terjadi ketika Keisuke berkata bahwa Shunsuke memintanya untuk menginap setelah makan malam usai. Dia menyesal karena tidak bisa mengantar gadis itu kembali ke Osaka. Lalu Gin yang tiba-tiba muncul saat mereka berada di genkan, menawarkan tumpangan untuknya dengan dalih dia juga akan pulang ke kota yang dulunya bernama Naniwa tersebut. Sayo sempat menolak, dia bisa menaiki kereta. Lagi pula berada dalam mobil bersama orang asing membuatnya tidak nyaman. Akan tetapi, Gin terus mendesak.
(Genkan: area pintu masuk bergaya tradisional, foyer)
“Tidak baik gadis cantik pulang malam-malam sendirian,” ucap Gin saat itu disertai kerlingan—membuat Sayo sedikit risi.
“Ini belum terlalu malam untuk pulang. Aku rasa masih ada kereta yang menuju Osaka,” tolak Sayo.
“Jangan termakan bualannya, Sayo-chan. Gin selalu mengatakan cantik kepada semua perempuan. Dan hati-hati dengan dia,” bisik Keiko tepat di sampingnya. Walaupun telah berbisik, tetapi suara kecil itu masih mampu di dengar oleh Gin yang langsung terkekeh.
“Aku rasa biarkan Kobayashi pulang sendiri. Dia pasti akan merasa tidak nyaman jika harus duduk berdua bersama orang asing yang baru dikenalnya,” timpal Keisuke memahami bagaimana kakunya Sayo saat hanya berdua dengannya. Apalagi jika bersama Gin.
Diam-diam gadis itu melirik Keisuke dan berterima kasih. Dosen muda itu benar-benar tahu dirinya.
“Kami tidak akan berdua saja, Keisuke. Bukankah ada Harada juga?” Gin masih memaksa Sayo untuk pulang bersamanya.
Akhir dari perdebatan itu kini terlihat. Tentu saja Sayo adalah pihak yang kalah. Padahal dia sudah mendapatkan dukungan penuh oleh Honomi bersaudara untuk pulang sendiri dengan kereta. Tiga lawan satu. Akan tetapi, seperti ada kekuatan aneh dari Gin yang mampu membungkam mulut mereka dan menyebabkan dirinya terjebak di sini sekarang.
“Apakah ada yang menarik dalam wajahku?” Suara berat dan dalam milik Gin tiba-tiba membuyarkan lamunan Sayo.
Gadis itu terkesiap. Dirinya tertangkap basah. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke luar. Menatap kilasan cahaya dari rentetan tiang-tiang lampu jalan yang menyala. “Tidak.”
“Tidak usah mengelak,” balas pria itu. Matanya kini terkunci pada tubuh Sayo yang terlihat semakin merapat ke jendela. “Aku juga penasaran pada satu hal. Siapa itu Shirogane?”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,” jawab Sayo dingin. Matanya terus memandang keluar. Sama sekali tidak berani untuk menoleh ke arah Gin yang makin menghunjaminya dengan tatapan penasaran.
“Bukankah kau menyebutku dengan nama itu tadi?”
Sayo membulatkan matanya. Dia yakin saat itu suaranya tidak keluar. Hanya mulutnya saja yang tanpa sengaja bergerak saat terkejut pertama kali melihat pria itu dalam pandangannya.
“Jadi, siapa dia?” cecar Gin tatkala Sayo hanya membisu. Gadis itu benar-benar mengusik rasa penasarannya.
Sayo tetap tidak mau membuka mulutnya. Dia sama sekali tak berniat untuk menjawab Gin. Untuk apa? Meski dia juga penasaran apa hubungan antara Gin dan Shirogane yang muncul di mimpinya.
“Kenapa tidak dijawab? Apakah aku harus membuka mulutmu dengan mulutku?” ujar Gin tak sabar. Tangannya lalu meraih ujung dagu Sayo, memaksa kepala gadis itu untuk menoleh ke arahnya. Kedua pasang mata tersebut bertemu. Gin terkesiap tatkala iris hitam milik gadis itu memandangnya. Tatapan mata yang rasanya pernah dia kenal.
“Bukan siapa-siapa. Hanya kebetulan seseorang yang aku kenal,” jawab Sayo ketus pada akhirnya. “Dan aku bisa menuntutmu atas tindakan pelecehan seksual.” Gadis tersebut lalu menyingkirkan jemari Gin dari dagunya dan membuang pandangannya kembali.
Pria bermata arang itu menarik tangannya. Tampak gurat kejut tergambar jelas di wajah tampannya. Hatinya menggelenyar. Dia yakin pernah mengenal Sayo sebelumnya. Akan tetapi di mana? Apakah gadis tersebut pernah berada di masa lalunya?
Sisa perjalanan mereka lalui dalam keheningan hingga Sayo meminta untuk turun di sekitar stasiun dekat apartemen-nya. Gin hanya meringis saat menyadari bahwa Sayo tidak ingin dia mengetahui tempat tinggalnya. Baiklah. Dia akan mencari tahu lagi tentang gadis itu nanti. Pasti.
(Apartemen: sebutan orang Jepang untuk rumah petak bertingkat, atau sejenis apartemen)
***
Rencana Sayo adalah langsung mencuci muka dan merebahkan diri ketika dia sampai di apartemen. Namun kenyataannya tidak seperti yang dia harapkan. Ibunya, Kobayashi Chie, rupanya sudah berada di dalam tempat tinggalnya tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Ibu? Kapan ibu sampai dari Takashima? Kenapa tidak memberitahuku dulu?” sapa Sayo seraya menurunkan ranselnya dan meletakkannya di atas lantai—dekat meja belajar.
“Sore tadi,” jawab Chie singkat. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sedang menjemur pakaian Sayo yang baru saja keluar dari mesin cuci di beranda. Aroma wangi sedikit manis menguar, mengisi segala sudut apartemen yang memiliki luas tidak lebih dari dua puluh meter persegi tersebut.
“Ibu sudah makan?” tanya Sayo seraya bergegas mengambil alih tugas menjemur yang seharusnya dia lakukan. “Sudah berapa kali aku bilang, Bu? Jika ibu ke sini tidak usah mencucikan baju-bajuku. Ibu duduk saja.”
“Lalu apa yang harus ibu lakukan sembari menunggumu pulang? Menonton televisi sampai bosan? Lagi pula ibu juga mencemaskan keadaanmu.” Chie berbalik tanya dengan sarkastis. Dia menyingkir, membiarkan Sayo mengambil sehelai kemeja yang setengah basah dari tangannya.
“Ibu bisa memasak saja. Itu lebih berguna untukku,” jawab gadis itu. Dia senang saat ibunya datang dan memasak lebih banyak. Itu artinya dia memiliki stok makanan untuk beberapa hari ke depan. Ya, bagaimana pun dia termasuk orang yang malas pergi ke dapur. Dia lebih suka membeli sekotak bento atau onigiri di konbini saat pulang kuliah.
(Bento: makanan bekal berupa nasi dan lauk-pauknya dalam kemasan praktis dan mudah dibawa ke mana-mana.
Onigiri: nasi kepal yang diberi isian dan dibalut dengan rumput laut.
Konbini: toko serba ada)
“Tentu saja ibu sudah memasak,” timpal Chie yang menarik kursi belajar dan mendudukinya. Kedua mata yang sama seperti milik Sayo itu menangkap buku yang baru saja digeletakkan oleh putri semata wayangnya. “Selaramu sedikit berubah. Sejak kapan kau membaca buku-buku haiku, Sayo?”
(Haiku: puisi Jepang yang biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku kata yang terbagi menjadi tiga larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5 suku)
Sayo tercenung. Buku dengan sampul hijau tersebut dia pinjam tadi dari perpustakaan universitas. Entah kenapa keinginannya untuk membaca buku-buku seperti itu jadi meningkat. Dia tidak menyukai pelajaran sastra sejak bangku sekolah; membuatnya pusing saat mengeja dan memaknai satu persatu berbagai kanji lawas.
“Aku hanya ingin membacanya saja,” jawab Sayo pada akhirnya. Dia sudah selesai menjemur dan kembali masuk. Diraihnya kumpulan haiku itu dan menyimpan di dalam laci. Mungkin dirinya sedang mengantuk saat mengambil buku tersebut dari deretan rak buku sastra.
“Sudah malam, Bu. Sebaiknya ibu tidur saja. Aku akan menggelar futon di lantai setelah mencuci muka,” kata Sayo sambil lalu dan hendak masuk ke dalam kamar mandi. Namun suara panggilan Chie mencegahnya.
(Futon: perangkat tidur tradisional Jepang)
“Pulanglah ke Takashima saat liburan musim panas. Ayahmu pasti sudah merindukanmu,” pinta Chie.
Hati Sayo mendadak dingin jika teringat ayahnya. Pria tersebut sudah meninggal akibat kecelakaan saat dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mobil ayahnya menabrak pembatas jalan dan masuk ke jurang sedalam sepuluh meter. Bukan hanya tubuh ayahnya yang ditemukan, tapi juga wanita itu. Sosok ayah yang begitu dikaguminya meregang nyawa saat bersama dengan selingkuhannya.
“Maafkanlah ayahmu, Sayo,” pinta Chie kembali. Matanya sedikit berkaca-kaca. Sayo yang melihat itu hanya bisa menghela napas dan berjanji akan pulang saat musim panas nanti.
***
Cermin itu sedikit mengembun. Titik-titik uap air dari pemanas yang dia gunakan untuk berendam menempel pada keseluruhan permukaannya. Memburamkan pantulan bayangan di dalam sana.
Sayo baru saja berendam. Niat awalnya yang hanya ingin mencuci muka saja sirna. Tubuhnya membutuhkan relaksasi sejenak. Maka pilihan terbaik adalah mandi, membiarkan otot-ototnya relaks sesaat saat air membasuhnya. Atau saat wangi lavendel yang dia gunakan sebagai campuran aroma terapi pada rendamannya memenuhi rongga hidung dan mempengaruhi otaknya untuk santai. Itu yang dia perlukan saat ini.
Pertemuannya dengan Gin masih menyisakan banyak tanya dalam benaknya. Kenapa ada rasa sesak yang tiba-tiba mendera dadanya, bahkan dia sampai meneteskan air mata? Bagaimana orang itu memiliki rupa yang sama seperti laki-laki yang ada di dalam mimpinya? Lalu, apa mimpi itu sebenarnya? Dari mana asalnya?
Dia mendesah. Telapaknya mengusap permukaan cermin hingga tak ada lagi embun yang tersisa. Dipandangi pantulan dirinya di dalamnya. Bahkan rupanya sekarang mulai terlihat berubah seperti sosok perempuan bangsawan itu. Wajah kecil nan cantik dengan sepasang mata berbentuk almon.
Tunggu. Sayo memfokuskan penglihatannya. Itu, yang ada di dalam cermin bukan wajahnya. Dia teramat yakin. Matanya terbelalak, tetapi bayangannya tanpa ekspresi apa pun. Bahkan gadis itu terlonjak ketika dia mendengar sebuah suara lembut memanggilnya.
Apakah ini mimpi lagi?
Perempuan asal Takashima itu menggeleng keras dan menepuk-nepuk kedua pipinya. Jika ini mimpi, dia berharap segera bangun. Akan tetapi, suara tersebut terdengar semakin jelas memanggilnya.
“Siapa kau?” tanya Sayo kemudian memberanikan diri.
“Bukankah aku sudah mengenalkan diri lewat ingatan itu? Ingatan yang aku bagi kepadamu,” jawab bayangan cantik di dalam cermin tersebut seraya menarik kedua ujung bibirnya.
Sayo mengerut. Wajahnya pasi. Napasnya hampir tersengal tatkala berkata, “Mu-mume?”
“Benar sekali.” Mume menyeringai senang.
Sayo menelan ludahnya. Mungkin dirinya sedang berhalusinasi karena terlalu memikirkan mimpi itu. Bergegas dia keluar dan mendapati lampu ruangan yang sudah menggelap dengan berkas cahaya lampu jalan yang menyelinap masuk. Suara embusan napas halus terdengar samar dari atas ranjang single di dekat jendela. Rupanya Chie sudah tertidur saat dia mandi.
Perempuan tersebut membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air yang diteguknya langsung. Saat kesegaran mengaliri kerongkongannya, Sayo mendengar suara itu lagi. Membuatnya terkejut dan hampir tersedak minumannya sendiri.
Kedua matanya memandang ke segala sudut ruangan, kemudian berhenti tatkala dia melihat bayangan Mume lagi yang terpantul dari cermin besar di sebelah meja belajarnya. Kali ini bukan hanya wajahnya yang terlihat, tetapi seluruh tubuhnya. Penampilan yang sama seperti saat mereka bertemu di pohon prem waktu itu; rambut hitam panjang tergerai dengan jubah junihitoe yang menutupi seluruh tubuhnya.
“Apa maumu?” cicit Sayo. Suaranya tercekat, hampir tidak mampu keluar dari mulutnya.
“Mauku?” ucap Mume menyeringai. “Keinginanku adalah keinginanmu.”
“Apa maksudmu?” Sayo mengernyit.
“Tanyakanlah pada hatimu sendiri.”
Gadis dua puluh tiga tahun itu menekuk alis. Berusaha mencerna apa yang disampaikan Mume. “Shirogane?”
“Aku harap kau melakukannya dengan baik,” jawab Mume.
“Bagaimana jika aku tidak mau?” []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top