3. Mimpi Episodik
Osaka, 2020 M
Sayo tergelagap. Didengarnya suara alarm ponsel yang membangunkannya. Kepala yang semula terkulai di atas meja, kemudian terangkat. Kelopak matanya masih setengah terpejam. Rambut jelai itu terlihat masai menutupi sebagian wajahnya. Beberapa kali dia mengerjap. Berusaha menangkap berkas cahaya yang menyelip di sela-sela tirai jendela guna mengenali di mana dia berada.
Sebuah ruangan yang tidak begitu besar dan amat dikenalinya. Penuh dengan spesimen serangga dalam rak-rak stainless, juga berbagai jenis kupu-kupu dan capung yang diawetkan dalam kotak pajangan di dinding. Sayo tersadar. Dirinya sedang berada di ruangan laboratorium entomologi di kampusnya. Tempat yang sudah seperti rumah kedua baginya.
(Entomologi: salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang serangga)
Menegakkan tubuh, Sayo mencari ponselnya yang terus berdering. Kedua matanya sempurna terbuka saat melihat penunjuk waktu di benda pipih tersebut berangka tujuh. Itu berarti dia tertidur semalaman di sini. Dia ingat sedang mengerjakan artikel biologi yang harusnya dia unggah pagi ini di laman universitas.
Buru-buru gadis itu mengecek laptopnya yang masih dalam mode sleep. Napasnya sedikit lega saat mengetahui bahwa jurnalnya telah selesai dan berhasil diunggah tiga jam lalu. Sepertinya Sayo tanpa sadar melakukan hal tersebut.
“Syukurlah,” ucapnya. Dia berhasil menyelesaikan tugas dari Kodakawa-sensei yang terkenal sangat disiplin itu di saat-saat terakhir.
(Sensei: panggilan yang digunakan untuk memanggil orang dihormati karena posisinya, bisa juga diartikan sebagai guru)
Sayo menyandarkan punggung. Dipijitnya pelipis yang terasa sedikit pusing. Akhir-akhir ini dia merasa mudah lelah. Seperti ada sebuah beban di tubuhnya. Dia juga menjadi gampang tertidur. Diliriknya cup kertas bekas kopinya semalam. Bahkan minuman kafeina yang biasa menjadi andalan itu tidak mampu membuatnya tetap terjaga. Ada yang aneh di dalam dirinya. Sayo menyadarinya semenjak pulang dari Kumano.
Antara sadar atau tidak. Tatkala mencari Keiko, gadis itu malah menemukan pohon prem yang diceritakan oleh temannya. Kemudian, Sayo seperti melihat wujud seorang perempuan bangsawan yang mengingatkannya pada putri-putri aristokrat zaman dahulu. Entah apa yang terjadi kepadanya setelah itu. Dia sama sekali tidak mengingatnya; bagaimana cara dia bisa keluar dari hutan tua tersebut dan tersadar saat berada di sebuah rumah sakit dengan jarum infus yang menusuk punggung tangannya.
Selama tiga hari, gadis yang memiliki tatapan mata tajam itu selalu mengalami mimpi-mimpi episodik tatkala memejamkan mata. Seakan jiwanya melayang-layang dan terjebak pada sebuah raga yang bukan miliknya. Dia berada pada tubuh seorang perempuan pada Zaman Heian bernama Mume.
“Oh, Kobayashi-san.” Sebuah suara bas yang bercampur parau tiba-tiba membuyarkan lamunan Sayo. Gadis itu menoleh dan mendapati dosen pembimbingnya tersebut berada di ambang pintu laboratorium. “Ternyata kau sudah datang pagi-pagi sekali,” lanjut Honomi Keisuke.
Pria berkacamata tersebut pun masuk. Membuka tirai jendela agar cahaya yang sedari tadi menyisip dapat memberi terang ke dalam ruangan. Sayo mengikuti gerak-gerik Keisuke. Dosen muda yang telah menjabat sebagai kepala lektor tersebut tampak segar. Rambutnya masih sedikit basah. Aroma mint yang lembut menguar samar dari tubuh tingginya. Penampilannya sudah rapi dengan kemeja katun hitam panjang yang digulung lengannya, juga celana berwarna senada. Berbeda dengan Sayo yang bahkan belum sempat mencuci muka sekadar untuk menghilangkan sebum di wajahnya.
“Sebenarnya semalam aku tidur di sini,” ucap Sayo ingin meralat pernyataan Keisuke. “Maksudku, aku sedang mengerjakan tugas artikel dari Kodakawa-sensei semalam dan tanpa sengaja tertidur di sini.”
Keisuke menoleh. Satu alisnya sedikit terangkat tatkala melihat ada lingkaran hitam di kedua mata Sayo, bibirnya yang sedikit mengering, cup kertas bekas kopi, juga sebuah laptop yang masih menyala. Pria berkacamata itu pun menyadari bahwa gadis berambut jelai tersebut kemungkinan sudah begadang.
“Kau baik-baik saja, Kobayashi-san? Bukankah kau baru sakit?” tanya Keisuke tenang dengan nada khawatir yang samar.
“Aku baik-baik saja, Sensei,” jawab Sayo meyakinkan. Meski dia sendiri tidak yakin apakah dirinya baik-baik saja setelah kembali dari Kumano. Rangkaian mimpi episodik itu seperti terus menghantuinya.
“Aku ingin meminta maaf,” ujar Keisuke. Matanya kembali menatap keluar jendela. Sisa-sisa air hujan semalam masih lekat pada helai-helai daun pepohonan prunus dan ginkgo yang berjejer rapi di sepanjang jalanan kampus.
“Eh?” Sayo mengerutkan kening.
“Seharusnya hari itu aku menemanimu ke Kumano. Bagaimana pun juga kau dalam tanggung jawabku. Tapi, kau malah pergi bersama adikku yang ceroboh.”
Keisuke sedikit menyesal. Pasalnya saat itu dia mendadak harus ke Yokohama untuk mengisi seminar entomologi nasional di sana. Menggantikan Profesor Saito—kepala laboratorium ini—yang istrinya tiba-tiba masuk rumah sakit.
“Aku benar-benar baik-baik saja, Honomi-sensei,” ucap Sayo sekali lagi berusaha meyakinkan Keisuke. Tangannya dengan cekatan mematikan laptop dan membereskan mejanya. Dia harus pulang terlebih dahulu untuk sekadar mandi dan mengisi perut sebelum masuk kelas yang akan dimulai jam sepuluh pagi.
Keisuke masih memperhatikan Sayo lewat ekor matanya. Gadis itu terlihat buru-buru seakan enggan untuk berdua saja dengannya di ruangan ini. Selalu saja begitu. Entah kenapa. Padahal pria berusia kepala tiga itu berharap bisa bersamanya. Mungkin dia harus lebih banyak bersabar lagi agar Sayo sedikit mau membuka perasaannya.
“Ano, Sensei. Bagaimana keadaan Keiko-san?” tanya Sayo sesaat setelah menyandang ransel miliknya. Dia dengar, Keiko yang saat itu juga masuk ke hutan tua Kumano pun ditemukan dalam keadaan pingsan.
Keisuke tergelagap, tapi pria itu dengan tenang menjawab, “dia sepertinya masih sedikit syok dan sekarang masih ada di rumah.”
“Apa aku bisa datang menjenguknya?” tanya Sayo kembali. Dia sedikit mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu.
“Tentu. Setelah jadwal mengajar hari ini selesai, aku akan mengantarmu,” ucap Keisuke mantap. Seberkas senyum tipis terbit di bibirnya.
“Tidak,” balas Sayo cepat. “Honomi-sensei tidak perlu mengantarku. Aku bisa ke sana sendiri.”
“Tidak apa. Kebetulan hari ini ayahku memintaku untuk pulang.”
Sayo menggigit bibir bawahnya. Dia sedang menimbang apakah akan pergi bersama Keisuke atau tidak; demi kesehatan jantungnya. Bagaimana tidak? Jika tiap kali berdekatan dengan dosen muda itu bisa membuatnya tiba-tiba gugup tanpa sebab. Pun sensasi aneh yang dia rasakan menggelitiki perutnya.
Kedua manik mata hitam pekat itu menatap sekilas ke dalam netra Keisuke. Di balik kacamata tersebut, ada pandangan yang sedikit memohon. Dengan satu anggukan kecil dari Sayo, pada akhirnya mampu menerbitkan seberkas senyum di bibir tipis Keisuke.
***
Sesuai janji. Sayo akhirnya pergi bersama Keisuke ke Minoo yang berjarak setengah jam perjalanan menggunakan mobil. Kota kecil tempat kelahiran pria itu berada di pinggiran sebelah barat daya Prefektur Osaka. Dipagari oleh bukit-bukit yang berstatus sebagai taman nasional dan terkenal dengan pohon-pohon maple-nya yang indah kala berubah kemerahan di musim gugur.
Tiga puluh menit yang terasa sangat lama. Paling tidak, itulah yang sedang dirasakan oleh Sayo. Dia bahkan harus mengatur napasnya agar berembus secara normal. Berkali-kali gadis berambut julur jelai tersebut membenarkan posisi duduknya. Netra hitamnya pun tak berani melirik ke arah Keisuke yang sedang mengendalikan laju mobil dengan penuh konsentrasi.
“Apa kau merasa tidak nyaman, Kobayashi-san?” tanya Keisuke memecah bisu semenjak mereka baru saja keluar dari kampusnya di Sugimoto. Pria berkacamata tersebut beberapa kali mencuri pandang ke arah Sayo yang terlihat gelisah.
“Aku?” Sayo tergagap. “A-aku tidak apa-apa, Sensei. Kau tidak perlu cemas.”
Sayo kembali membuang pandang. Benar-benar situasi yang bisa membuat jantungnya berlompatan. Sedikit sesak. Namun, menyenangkan. Dia ingin agar segera sampai saja agar terbebas dari kecanggungan ini.
Keisuke sendiri masih menunjukkan sikap tenang. Meski di dalam benaknya didera berbagai macam pemikiran; apakah gadis ini benar-benar tidak menyukainya? Apa yang harus dia lakukan agar Sayo merasa nyaman di dekatnya? Dia tahu, dia adalah pria payah yang bahkan tidak bisa membuat perempuan yang disukainya tersebut mau melirikkan matanya.
“Kobayashi-san,” panggil Keisuke pelan. “Apa kau ingin mengganti tempat observasimu? Aku bisa merekomendasikan beberapa tempat yang bisa kaugunakan selain di Kumano.”
“Kenapa?” Sayo menoleh.
“Kumano terlalu jauh. Aku hanya takut kau kenapa-kenapa,” jawab Keisuke. Mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki Kota Minoo. “Kau bisa melakukan observasi di Minoo Park. Aku bisa mengirimkan surel kepada kepala insektari di sana agar mengizinkanmu melakukan penelitian.”
(Insektari: tempat yang digunakan untuk memelihara dan mengembangkan serangga)
Sayo menggeleng. Kurang setuju dengan ide itu. Meski benar Minoo Park adalah salah satu pusat penelitian serangga di Jepang, tetapi lingkungan di sana sudah tidak terlalu alami. Ada banyak sentuhan manusia di mana-mana. Di tambah tempat tersebut adalah salah satu tujuan wisata yang populer dan cukup padat di waktu-waktu tertentu.
Percakapan mereka terhenti tatkala mobil berjenis kei car (mobil kecil) berwarna biru metalik itu memasuki sebuah pekarangan dengan taman bergaya tradisional yang kental. Hamparan rumput hijau sedikit berbukit. Pinus-pinus Jepang yang dikerdilkan. Kolam yang dipenuhi tanaman lotus dengan sebuah jembatan kayu yang melengkung berwarna merah di atasnya. Perdu azalea, juga beberapa pohon ceri. Semuanya berpadu menyejukkan pandangan siapa saja.
Mereka turun. Melangkah masuk ke sebuah bangunan megah yang berarsitektur tradisional modern. Sayo hampir takjub. Dia tidak menyangka bahwa rumah Honomi sebesar ini. Meskipun dia telah bersahabat dengan Keiko semenjak kuliah sarjana, tetapi tak pernah sekali pun dia mengunjungi kediaman keluarganya di Minoo.
“Oh, Harada-san,” sapa Keisuke saat melihat pria tua dengan rambut yang sudah memutih itu duduk di atas sofa ruang tamu sembari membuka-buka sebuah majalah. “Rupanya kau ada di sini.”
“Sudah lama tidak bertemu, Keisuke-kun,” balas pria bernama lengkap Harada Sojiro tersebut seraya berdiri lalu membungkuk. Sebuah senyuman ramah terlukis di wajahnya kala melihat Sayo yang berdiri di belakang Keisuke.
“Kalau kau ada di sini, berarti...” Keisuke menggantung kalimatnya; menyelidik.
“Tuan Morikawa ada di ruang minum teh bersama ayah dan adikmu,” ucap Sojiro mengerti arah pembicaraan Keisuke. Diliriknya kembali Sayo dengan rasa penasaran yang mengakibatkan gadis bermata hitam tersebut buru-buru membungkukkan badannya; memberi salam.
Keisuke lalu mengajak Sayo untuk masuk lebih dalam ke tempat tinggal orang tuanya. Berjalan menyusuri selasar berlantai kayu yang mengelilingi sebuah taman kecil berdesain asimetris. Hingga kaki pria itu berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu setengah terbuka.
“Kakak mungkin juga akan pulang membawa calon menantu untuk ayah.” Sebuah suara yang cukup akrab tertangkap pendengaran Sayo; membuat gadis itu sedikit terbelalak.
“Benarkah? Bukankah itu berita baik, Honomi?” Seketika darah Sayo berdesir pelan saat suara lain yang lebih berat dan dalam menimpali.
“Menantu apa, Keiko? Tidak usah asal bicara,” ketus Keisuke tiba-tiba menyela. Dibenarkannya letak kacamata yang sedikit melorot, lalu membungkuk dan memberi salam.
“Kau sudah datang, Keisuke?” sapa suara yang mampu mendesirkan hati Sayo secara aneh tersebut. Sepasang netra tajam miliknya berusaha mengintip dari balik punggung Keisuke demi mencari empunya.
Di dalam ruangan itu ada tiga orang, termasuk di dalamnya Keiko yang langsung menyapanya gembira. Sisanya milik seorang pria baya dengan gurat wajah yang mulai dipenuhi keriput dan mengenakan baju tradisional. Sedangkan yang satu lagi adalah lelaki dewasa yang tampak perlente dengan fashion item masa kini; kemeja hitam yang dibalut jas putih semi formal.
Di saat itu pula sepasang mata arang milik seseorang di dalam sana bertemu dengan manik hitam Sayo. Menimbulkan gemuruh yang mendidihkan dadanya tanpa sebab. Pun udara di sekitarnya seolah terisap seluruhnya; mendadak terasa sesak. Setiap inci sarafnya seakan kehilangan rasa. Lalu darahnya tersirap. Lewat tatapan mata menghipnotis yang penuh pesona. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top