23. Akhir Kisah

Gin tersungkur ke atas tanah. Setelah sebelumnya tubuh kitsune itu terpelanting beberapa kali pada batang pepohonan sebesar pelukan dua orang dewasa. Dia menyeringai, menampakkan taring-taring tajamnya. Menahan nyeri yang terasa meremukkan tulang-tulangnya. Serangan Mume ternyata lebih kuat dari dugaannya.

Dia berusaha berdiri kembali. Meski terhuyung, tetapi sepasang matanya yang berkobar bagai api itu tetap awas melihat beberapa meter ke depannya.

Tampak Mume yang semakin beringas. Onryou tersebut berusaha menyerang Keisuke yang terus ditangkis oleh Gintaro; berusaha melindungi majikannya. Hingga dua kekuatan itu saling beradu dan menyebabkan tubuh siluman anjing tersebut terpental ke belakang. Menyebabkan beberapa luka menganga tanpa darah yang mengalir.

Keisuke terkejut. Raut wajahnya mengeras tatkala melihat roh pelayannya itu meraung kesakitan. Secepat kilat dia membuat tameng cahaya serupa busur, sebelum Mume kembali menyerangnya.

Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk melawan Mume selain bertahan dari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh jiwa yang telah berubah menjadi iblis tersebut. Menyerangnya secara langsung kemungkinan besar hanya akan melukai tubuh Sayo lebih parah lagi. Sebisa mungkin, mereka harus meminimalkan hal itu.

Keisuke berdecih. Tangannya mulai gemetar menahan kekuatan Mume yang semakin membesar. Pikirannya berkecamuk. Mereka harus memikirkan cara lain untuk bisa menyelamatkan jiwa Sayo yang mulai melebur sepenuhnya bersama wanita itu.

Saat hampir kewalahan, Gin yang sudah bangkit lagi pun melesat. Menerkam Mume dengan sekali lompatan. Akan tetapi, tubuh itu kembali dihempaskan dengan mudah seperti halnya menepis angin.

“Sial!” maki Gin ketika kepalanya kembali menyeruduk tanah. Tenaganya sudah hampir habis. Semakin menipis dikarenakan dia yang sudah lama tidak menyerap energi manusia.

“Kau baik-baik saja, Gin-san?” tanya Keisuke cemas. Dia mampu melihat daya kitsune itu yang semakin melemah. Tampak bahwa bola bintang miliknya yang berada di sela-sela ekor, perlahan-lahan meredupkan cahayanya.

Gin mengangguk. Untuk yang kesekian kalinya, dia berusaha bangkit.

“Keisuke, lakukan apa yang aku perintahkan. Aku memiliki sebuah rencana,” ujarnya tanpa melihat ke arah laki-laki berkacamata itu. Tatapannya lekat kepada Mume yang tengah balas memandang garang ke arahnya.

Kitsune itu merasakan kecamuk yang ada di dalam dadanya. Dia tidak bisa membiarkan Mume menghancurkan jiwa Sayo. Pun dia juga tidak mampu melihat Mume yang menjadi iblis karena dirinya. Kedua wanita itu sama-sama berharga untuknya.

“Mume, apa kita bisa bicara lagi?” tanya Gin hati-hati. Meskipun mustahil, tapi dia tetap ingin mencoba membujuk Mume sekali lagi untuk keluar dari tubuh Sayo.

“Tidak ada hal yang bisa kita bicarakan lagi, Shirogane!” jawab Mume tak ingin berkompromi kembali.

Dendam dan sakit hati Mume tidak lagi bisa ditawar dengan apa pun. Bahkan, jika Gin menyerahkam nyawanya dengan suka rela saat ini, itu tidak akan mudah memaafkannya. Wanita itu ingin Gin merasakan bagaimana kehilangan orang-orang yang berharga untuknya. Maka, segera dia mengadu kekuatan kembali dengan Gin.

Sementara itu, Keisuke mengambil kesempatan ini untuk membantu Gintaro yang masih terkapar dengan tubuh yang terluka. Sepasang mata siluman anjing itu menatap jerih kepada tuannya. Tanpa menunggu lama lagi, Keisuke menempelkan beberapa kertas rajah untuk membalut koyakan pada badan Gintaro. Kemudian dia merapal sebuah mantra dan dalam sekejap semua cedera itu kembali seperti semula.

“Terima kasih, Keisuke,” ucap Gintaro takzim seraya kembali berdiri.

Keisuke hanya mengangguk. Tatapannya kini berpaling kembali kepada Gin yang masih melawan Mume. Jelas terlihat bahwa kitsune itu semakin terpojok. Energinya terus menurun dan hampir habis. Berbanding terbalik dengan Mume yang semakin agresif melayangkan serangan.

“Apa yang harus kita lakukan, Keisuke?” tanya Gintaro. “Kita tidak mungkin membiarkan dia begitu saja memakai tubuh manusia sebagai wadahnya.”

Keisuke tidak langsung menjawabnya. Pandangannya belum teralih dari pertarungan antara mantan kekasih itu. Dia sedikit menangkap apa yang sedang direncanakan oleh Gin.

“Sepertinya satu-satunya cara untuk mengalahkannya adalah melakukan ritual pemisahan itu,” kata Keisuke dengan suara berat.

“Apa kau yakin, Keisuke?”

Keisuke mengeratkan rahang. Gigi-giginya bergemertak. Wajah yang semula tenang, berubah mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat, sampai-sampai kuku-kuku jari itu menekan kuat kulit telapaknya. Terlihat jelas pula kebimbangan dalam sorot matanya.

Lagi-lagi Gin terpelanting. Tubuhnya terseret hingga beberapa meter. Gintaro dengan segera menggantikan kitsune tersebut untuk melawan Mume. Sementara Keisuke menghampiri Gin yang berusaha bangkit dengan susah payah.

“Aku akan berusaha menangkapnya, Keisuke. Setelah itu langsung lakukan ritual pemisahan itu dan segera segel jiwa Mume kembali,” perintah Gin. Meski kondisinya kian memburuk, tapi sorot mata kecilnya masih tajam.

“Tapi, Kobayashi....” Akhirnya Keisuke mengutarakan kebimbangannya. Tentu saja ritual itu akan membuat jiwa Sayo juga pergi untuk selamanya.

Gin mengerti akan maksud Keisuke. Tentu saja dia juga tidak akan membiarkan perempuan yang juga telah mengisi kekosongan hatinya itu mati begitu saja. Dia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama lagi. Paling tidak untuk saat ini dia harus membayar semua pebuatan jahat yang pernah dia lakukan terhadap Mume.

Sepasang mata kecil berwarna abu-abu arang itu melirik ke sembilan ekornya yang meliuk-liuk di belakang. Ujung-ujungnya masih dipenuhi nyala api yang sebentar lagi pasti akan padam. Di sela-selanya, bola bintang miliknya mulai meredup.

“Ambil bola bintang milikku, lalu berikan kepada Sayo,” ujar Gin berhasil membuat pria berkacamata itu terbelalak.

“Apa kau yakin?”

Bola bintang memang ibarat nyawa bagi seekor kitsune. Memberikannya kepada manusia, tak lantas serta-merta akan mengembalikan kehidupan seseorang yang sudah mati. Hanya sebuah keberuntungan jika tubuh orang itu bisa menerimanya.

“Tidak ada salahnya mencoba. Tapi, aku yakin tubuh Sayo mampu menerimanya. Melihat bagaimana dia bisa bertahan menjadi raga bagi roh pendendam berkekuatan besar seperti Mume. Pastilah, tubuh itu dapat mentoleransi kekuatan yokai seperti kami,” jelas Gin.

Keisuke mengangguk paham. Meskipun begitu, dia yakin akan kehilangan Gin juga sebentar lagi.

Gin kemudian mendekatkan ekor-ekornya kepada Keisuke, meminta dia untuk segera mengambil bola bintangnya.

“Kau tidak usah mencemaskan aku, Keisuke. Aku tidak akan mati. Hanya saja, mungkin aku akan menghilang dan butuh bertapa ratusan tahun lagi untuk mendapatkan bola bintang,” ujarnya diiringi seulas senyum.

Dengan bergetar, tangan Keisuke akhirnya terulur untuk mengambil bola yang semakin redup cahayanya itu. Benda tersebut sedikit melayang di atas telapak tangannya. Memendarkan sinar lembut berwarna keperakan.

“Aku akan menangkapnya dalam satu kali serangan,” ucap Gin setelah nyawa miliknya kini telah berpindah tangan. Dengan ini, energinya akan semakin habis dan dia tidak akan bertahan lama. Bahkan nyala api pada satu ujung ekornya sudah padam. Maka, dia harus melakukannya dengan cepat.

Gin mengambil ancang-ancang. Dia sedang mengamati pertarungan antara Mume dan Gintaro. Menanti celah di saat Mume sedikit lengah.

Siluman anjing yang menjadi roh pelayan bagi Keisuke itu pun akhirnya berhasil menebaskan cakarnya dan melukai tangan wanita tersebut. Mume menggeram. Tidak menyangka bahwa Gintaro bisa menyentuhnya.

Saat itulah, Gin langsung menyergapnya tiba-tiba dari belakang. Digigitnya bahu Mume dengan kuat, serta kedua kaki depannya memeluk erat tubuh Mume. Dia berhasil mengunci pergerakan roh pendendam itu.

“Keisuke!” geram Gin memberi perintah.

Tanpa menunggu aba-aba lagi, Keisuke melemparkan lima kertas rajah yang langsung mengelilingi tubuh mereka. Dia juga mulai menangkupkan kedua tangannya dan melakukan gerakan seperti sebuah tarian. Sedangkan bibirnya ikut berkecumik mendaras mantra.

***

Rasanya amat sakit. Tulang-tulang seakan remuk dan hancur. Kegelapan yang benar-benar mencekam.

Udara di sekitarnya seakan tersedot paksa. Membuat paru-paru Sayo menyesak hebat. Napasnya tersengal luar biasa. Dia merasa, mungkin ajal sudah dekat.

Sayo terbaring lemah. Dia tahu bahwa dirinya sedang terperangkap kembali di dalam tubuhnya sendiri. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Bahkan, pilihan-pilihan yang berputar di otaknya, sama-sama tidak memungkinkan untuknya bisa selamat.

Tentu saja dia juga masih teringat jelas percakapan antara Gin dan Keisuke yang didengarnya. Meskipun tidak terlalu mengerti pembicaraan mereka, tetapi satu hal yang dia tahu bahwa dirinya tidak akan bisa kembali. Membiarkan Mume menguasai tubuhnya akan membuat dia semakin melemah, hingga mematikan jiwanya. Pun jika roh Mume dipisahkan dari raganya, maka hal yang sama juga akan terjadi. Seperti sebuah satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Dirinya mulai pasrah.

Bayangan orang-orang yang dia sayangi berkelebatan di depan matanya. Tatapan nanar ibunya selepas mereka bertengkar. Senyum hangat terakhir milik Sang Ayah sebelum neraka itu muncul. Sahabatnya, Keiko yang selalu membuat harinya secerah pagi di musim semi. Dan, Keisuke yang telah banyak membantunya.

Air matanya menggenang. Rebas ke lantai yang sedingin es, tempat dia terbaring. Ada banyak penyesalan yang tiba-tiba mampir di hatinya. Harusnya dia minta maaf kepada Chie dan mencoba memahami ayahnya lebih baik lagi. Mestinya dia juga mengatakan dengan jujur perasaannya kepada Keisuke.

Ah, umpama semuanya bisa dia laksanakan. Andai dia diberi kesempatan untuk kembali lagi ke tubuhnya. Pasti Sayo akan melakukan semuanya.

Kelopak matanya mulai terpejam. Sayo sudah tak mampu lagi menahan rasa sakit yang sangat di sekujur raganya. Dia benar-benar dalam kepasrahan. Hingga sayup-sayup dia mendengar namanya dipanggil berkali-kali oleh suara parau yang amat dikenalnya.

Dia membuka matanya perlahan. Meski penglihatannya samar, tetapi dia masih bisa mengenali siluet pemanggilnya.

Sensei?” ucapnya lemah dengan bibir yang bergetar. “Aku menyukaimu.”

Sejurus kemudian, semua kembali menggelap. Sayo kehilangan kesadarannya.

***

Raungan Mume memekakkan telinga, menyeruak kedamaian hutan. Membuat burung-burung yang sedang santai bertengger di pucuk-pucuk pohon ara berhamburan. Berterbangan memenuhi jernih langit biru tanpa sapuan awan.

Ritual pemisahan itu berhasil dilakukan. Tubuh Sayo meluruh jatuh, rebah di atas tanah lembap. Sedangkan Mume terpental ke belakang dengan Gin yang masih mencengkeramnya. Roh pendendam itu pun menampakkan wujud aslinya. Jubah junihitoe yang dia kenakan tampak lusuh. Kulit kusam layaknya kayu kering, serta dua tanduk di atas kepalanya. Sepasang mata bening itu pun tak ubahnya bagai gumpalan tanah yang menghitam.

“Keisuke, lakukan penyegelan!” perintah Gin lantang sebelum Mume berhasil membebaskan diri dari cengkeramannya.

Keisuke menatap nanar Gin, masih ragu untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh kitsune itu.

“Apa yang kaulakukan? Cepat! Tenagaku sudah hampir habis,” seru Gin kembali sembari manahan rontaan Mume yang berusaha melepaskan diri. Api pada ujung ekornya satu persatu padam, menyisakan sebuah nyala yang semakin meredup.

Laki-laki itu tersentak. Melihat keyakinan yang terpancar oleh sepasang mata kecil Gin, dia pun segera mengeluarkan sebuah gulungan perkamen dari waist bag yang telah dia persiapkan. Dibukanya benda itu seraya melukai ujung jarinya dengan jarum kecil. Cairan kental berwarna merah mengalir, yang kemudian dia gunakan untuk menulis rajah di atas sana.

Setelah semua persiapan usai, Keisuke pun mendaras mantra kembali. Dalam sekejap, tubuh Mume dan Gin tertarik untuk masuk ke dalam perkamen yang telah dia beri suratan tersebut. Cahaya berkilat-kilat beriringan dengan suara teriakan Mume yang cukup memekakkan telinga.

“Maafkan aku, Mume,” bisik Gin tepat di telinga Mume pada sela-sela ritual penyegelan. “Tidak ada satu hari pun, selama seribu tahun ini, aku tidak memikirkanmu. Sekarang, aku akan menuruti permintaanmu. Kita akan pergi dan bersama selamanya.”

Gin semakin memeluk erat Mume dari belakang. Dia ingin menebus semua kesalahan yang pernah diperbuatnya kepada wanita itu di masa lalu. Dia yang saat itu terpojok, benar-benar tidak memiliki pilihan lain selain membunuh Mume.

Hening kembali menyelimuti sekitar tatkala dua yokai itu telah tersegel sempurna di dalam gulungan perkamen. Keisuke menghela lega. Akhirnya tugasnya selesai juga. Dia pun segera berlari menghampiri tubuh Sayo yang masih tergeletak di atas tanah. Sedikit cemas, pria itu memeriksa keadaannya.

Napas Sayo sudah tak ada, tetapi detak nadinya masih sedikit teraba meski sangat tipis. Keisuke lalu membuka kedua bibir perempuan itu dan memasukkan bola bintang milik Gin sebagai ganti nyawanya. Benda itu langsung tertelan begitu berada dalam rongga mulut.

Keisuke was-was. Menanti reaksi yang Sayo terhadap benda berbentuk bola tersebut. Hingga akhirnya kelopak mata itu bergerak perlahan. Napasnya kembali berembus dan jantungnya mulai berdetak lagi.

“Kobayashi-san, apa aku mendengarku? Kobayashi-san?” panggil Keisuke seraya menepuk pelan kedua pipi Sayo.

Mata itu membuka pelan.

Sensei?” lirihnya. “Aku menyukaimu.” []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top