17. Pemburu Yokai

Provinsi Kii, 1016 M

Gubuk kecil itu berdiri agak jauh dari pemukiman warga lainnya. Di tengah ladang sayuran tepat di pinggiran Sungai Katsuura yang mengaliri sepanjang Pegunungan Kii menuju Samudera Pasifik. Rumah berbilik kayu tersebut hampir reyot dengan atap dari tumpukan jerami. Tanpa jendela maupun tingkap-tingkap yang membuat udara menjadi pengap.

Di dalamnya, seorang perempuan sedang menuangkan jerangan air panas ke dalam mangkuk tanah liat berisi nasi cokelat bercampur biji-biji jawawut. Dia menghidangkan makanan itu kepada seorang laki-laki yang tengah duduk bersila. Kedua bola mata tersebut sedari tadi menatap Si Wanita, mengikuti segala gerak-geriknya dengan pandangan terenyuh. Tak butuh waktu lama, makanan sederhana ala kadarnya itu sudah tersaji, berteman garam dan rebusan lobak, juga secuil ikan kering.

“Silakan,” ucap wanita itu. “Maaf, aku hanya bisa menghidangkan makanan seperti ini.”

“Terima kasih, Nona.” Yoshizuki berusaha untuk menarik sudut bibirnya ke atas. Walaupun hatinya benar-benar merasa miris melihat kehidupan yang dijalani Mume saat ini.

Lihatlah. Wanita itu kini kehilangan banyak berat tubuhnya. Menyisakan tulang bersama kulit kering yang sedikit kasar. Tak ada lagi jubah-jubah indah beraneka rona yang ditenun menggunakan benang sutra membalut tubuhnya. Berganti pakaian sederhana berwarna cokelat kusam yang terbuat dari serat pohon wisteria. Rambut hitamnya yang panjang tergerai juga telah tiada, menyisakan surai sebatas pinggang yang diikat kuat. Bahkan jemari lentiknya yang dahulu selalu indah menari di atas senar koto, kini sudah tak menampakkan keelokannya lagi.

Yoshizuki mengepalkan tangannya kuat-kuat di atas lutut. Menahan bibirnya yang hendak bergetar. Pun genangan di sudut matanya yang hampir meluruh. Dia ingin menangisi kehidupan Mume, tetapi sebagai laki-laki pantang baginya terlihat emosional.

Mume ikut duduk di hadapannya. Di samping seorang bayi perempuan yang tertidur pulas dengan lampin lusuh yang dikenakannya. Melihat wajah cantik bocah yang baru berumur beberapa bulan itu, membuat Yoshizuki tidak tahan untuk menanyakan keberadaan Si Ayah yang semenjak kedatangannya tidak menampakkan muka.

“Entah.” Mume menggeleng lesu menjawab tanya Yoshizuki. Tampak jelas dalam raut wajahnya sebuah kepiluan, meski perempuan bermata almon itu berusaha untuk mengulas senyum.

“Sudah berapa lama dia tidak pulang?” tanya Yoshizuki kembali.

“Beberapa minggu,” jawab Mume.

Sungguh, Yoshizuki ingin membunuh saja siluman rubah itu. Dia memercayakan Mume kepadanya, tetapi apa yang dia dapati sekarang? Kehidupan mengenaskan yang dijalani nonanya. Laki-laki tersebut merasa ditikam oleh Shirogane.

“Anda tidak mencarinya, Nona?”

“Dia akan kembali lagi setelah beberapa minggu menghilang. Selalu seperti itu,” jawab Mume pelan.

Yoshizuki kembali mengetatkan rahang. Semua petaka ini berawal dari perbuatannya. Pasti. Andai dulu dia tidak menuruti kemauan Mume, tentu saat ini dia masih bisa melihat perempuan tersebut duduk manis di depan ruangannya sambil memetik siter, menulis puisi, atau hanya menikmati guguran daun yang mulai menguning. Meskipun Yoshizuki juga tak terlalu yakin, apakah Mume akan bahagia dengan kehidupannya seperti itu.

“Maafkan saya, Nona. Telah membawa Anda pada kehidupan yang sulit,” ujar Yoshizuki penuh penyesalan.

Mume menggeleng. Tampak jelas jika dia memaksakan sebuah senyuman terlukis di wajahnya untuk menyembunyikan kekecewaan di dalam hatinya.

“Apa Anda bahagia?”

“Satu-satunya kebahagiaan yang tersisa untukku hanya dia,” jawab Mume seraya melirik kepada putri kecil hasil dari pernikahannya dengan Shirogane.

“Anda menyesal, Nona? Sudah dua tahun berlalu semenjak Anda pergi dari Kyo.”

“Andai pun aku menyesal, bukankah sudah tidak ada tempat bagiku kembali?” Mume menatap nanar ke arah Yoshizuki.

Perempuan itu benar-benar tidak mampu membendung air matanya lagi. Buliran bening itu luruh dari sudut mata kirinya. Hatinya sungguh sakit. Dia sudah mengorbankan semua kenyamanan hidup yang dia miliki, demi bisa bersama pujaannya. Dia ingat pernah mengatakan tidak akan menyesali keputusan yang telah dia ambil. Akan tetapi, Shirogane yang diharapkan untuk tetap di sisinya, nyatanya saat ini tidak dia ketahui keberadaannya.

Yoshizuki membuang napas panjang. Laki-laki itu segera melahap makanan yang disajikan oleh Mume untuk menutupi rasa penyesalannya. Lagi-lagi dia hampir menangis saat membayangkan hidangan inilah yang setiap harinya dimakan oleh mantan nonanya. Kehidupan yang begitu berat.

“Sebenarnya saya datang mencari Anda karena ingin menyampaikan sesuatu,” ujar Yoshizuki setelah menghabiskan semangkuk nasi cokelat bercampur biji jawawut. Dia hampir lupa dengan tujuan yang sebenarnya menemui Mume.

“Soal?” Mume mengangkat sedikit alisnya.

“Entah Anda sudah mengetahuinya atau tidak, tetapi Tuan Daijou-daijin, ah, maksud saya Tuan Atsuyasu telah meninggal di pengasingannya di Oshu.”

“Meninggal di pengasingan Oshu? Apa maksudmu?” Sepasang mata berbentuk almon itu membulat penuh. Dia berharap salah dengar.

“Beberapa saat setelah Anda meninggalkan Kyo, beliau telah dimakzulkan oleh Tuan Sadaijin dan para pendukunganya karena dianggap tidak setia pada kekaisaran. Lalu, mereka membuat seluruh anggota keluarga Anda diasingkan ke utara, di Provinsi Oshu. Ayah Anda telah meninggal musim dingin lalu,” jelas Yoshizuki.

(Sadaijin: menteri kiri/ menteri pengawas senior. Jabatan ini satu tingkat di bawah daijou-daijin)

Mume tercenung. Bagaimana bisa ayahnya diturunkan dari jabatannya? Dia mencemaskan keadaan ibu dan juga saudara-saudaranya di tempat paling utara di Pulau Honshu saat ini. Daerah itu merupakan wilayah yang sedang ditaklukkan oleh Kekaisaran Heian. Dia dengar ada suku barbar yang berhidung lebar dan bermata besar hidup di sana.

(Maksud Mume adalah Suku Ainu yang merupakan suku asli penghuni utara Jepang, mulai dari Pulau Honshu bagian utara, Hokkaido, hingga wilayah Sakhalin dan Kepulauan Kuril di perbatasan Jepang-Rusia)

“Apa ini semua salahku, Yoshizuki?” tanya Mume. Perempuan itu tidak menyangka, kaburnya dia dari Kyo membawa dampak besar bagi ayah dan keluarganya.

“Perpolitikan di biro pemerintahan memang penuh persaingan ketat. Sedikit celah saja yang terlihat, bisa dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan.”

Yoshizuki menjeda. Ditatapnya sekali lagi wajah Mume yang terlihat muram. Bergantian dengan bayi kecil di sampingnya yang saat ini sedang menggeliat pelan.

“Nona, apa Anda mau pergi saja bersama saya dan mendapatkan hidup yang lebih layak dari ini?” tanya Yoshizuki berhati-hati.

“Terima kasih atas tawaranmu, Yoshizuki. Namun, aku tidak bisa meninggalkan Shirogane begitu saja. Aku mencintainya,” tolak Mume.

“Tapi, Nona. Apa Anda tahu, jika sebenarnya dia...” Yoshizuki menggantung kalimatnya. Masih ragu untuk memberitahukan sosok asli Shirogane yang seekor kitsune berekor sembilan.

“Sebenarnya apa?” Mume sedikit memicingkan mata.

“Tidak. Bukan apa-apa,” jawab Yoshizuki pada akhirnya. Mungkin dia harus menyimpan kenyataan ini terlebih dahulu. Meskipun dia yakin, sebentar lagi kedok Shirogane akan terbongkar.

Ya. Dia ke tempat ini karena mendengar desas-desus tentang beberapa wanita yang ditemukan dalam keadaan sekarat di pinggiran hutan Kumano. Instingnya sebagai pemburu yokai dan onmyouji—pekerjaan Yoshizuki sebenarnya—mengatakan bahwa semua itu merupakan perbuatan Shirogane. Maka, Yoshizuki pun langsung bergegas ke sini.

“Kalau begitu ikut pergilah denganku sekarang, Nona,” pinta Yoshizuki pada akhirnya.

“Ke mana?”

“Ke tempat di mana Shirogane berada.” Yoshizuki bangkit seraya menyandang kembali pedang tachi-nya, juga busur beserta anak panah di punggungnya. Dia akan menjalankan tugasnya yang lain sekarang ini; memburu Sang Kitsune.

***

Mume tidak lagi mampu berkata-kata. Sepasang mata almon yang cantik itu sempurna membola. Kedua bibirnya bergetar, menahan isakan yang menyesakkan dadanya. Serasa ada duri yang menyangkut di tenggorokannya, membuatnya perih kala menelan saliva.

Dia tidak ingin mempercayai apa yang dilihatnya kini. Lelaki yang dia cintai selama ini terpergok sedang bersama wanita lain di pinggiran Hutan Kumano. Dia yang selama ini menjunjung kesetiaan, rupanya telah dikhianati. Pandangannya nanar, menatap keadaan perempuan yang bersama suaminya; terbaring lemas dengan bagian bawah bajunya yang tersingkap.

“Aku bisa menjelaskan semuanya, Mume,” ujar Shirogane berusaha meraih tubuh Mume yang sedang terpaku di tempatnya berdiri seraya mendekap putri mereka. Akan tetapi, langkahnya terhalang oleh Yoshizuki yang tiba-tiba mengulurkan lengannya di depan Mume, membuat kain kariginu-nya yang lebar itu menutupi sebagian tubuh perempuan tersebut.

“Berhenti di sana,” ujar Yoshizuki. Pandangannya garang, menatap penuh ancaman kepada Shirogane. “Jangan dekati Nona Mume lagi!”

“Minggir! Ini tidak ada urusannya dengamu,” desis Shirogane balas menatap nyalang ke Yoshizuki.

“Aku yang telah membawa Nona kepadamu, maka aku juga yang akan menanggung keselamatannya.”

“Aku tidak akan menyakiti wanita yang aku cintai, kau tahu?” Shirogane hendak merangsek maju. Tidak peduli dengan tatapan garang Yoshizuki yang seakan ingin membunuhnya. Namun, langkahnya kembali mundur tatkala laki-laki itu menarik keluar pedang miliknya.

‘Jangan pernah percaya sepenuhnya kepada yokai, apa pun janjinya.’ Harusnya aku mengingat kalimat itu sebelumnya.” Tanpa aba-aba, Yoshizuki langsung menyabetkan ujung pedangnya ke arah kitsune tersebut.

 Shirogane yang mendapatkan serangan dadakan pun berusaha menghindar. Langkah ringannya berhasil membawa siluman tersebut sedikit menjauh dari Yoshizuki yang hampir membabi-buta. Sepasang mata berwarna abu-abu arang itu menatap sekilas pada wanita yang masih memandang mereka dengan nanar.

Seakan tak ingin memberi jeda, Yoshizuki kembali mengayunkan senjata tajamnya. Beberapa kali hingga Shirogane sedikit kewalahan menghadapinya. Terus melompat ke belakang sampai dia harus memanjat salah satu pohon ara tua dengan posisi horizontal.

“Bukankah ini curang namanya? Kau menggunakan pedang sedangkan aku tanpa senjata apa pun,” ucap Shirogane.

“Maka tunjukkan jati dirimu, Kistune!” perintah Yoshizuki.

Shirogane menyeringai. Dia sebenarnya tidak ingin berubah ke wujud asli di hadapan Mume juga putrinya. Akan tetapi, desakan Yoshizuki seakan terus merongrongnya. Harusnya dia juga tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi; terbongkar kedoknya sebagai kitsune.

Siluman rubah itu pun kembali melompat. Kali ini dia mengarahkan langkahnya untuk memasuki hutan. Di antara pepohonan ara yang menjulang dengan daun yang mulai kecokelatan, dirinya dan Yoshizuki saling berkejaran. Kalau pun Shirogane harus mengubah wujudnya demi menghadapi pemburu yokai tersebut, dia akan melakukannya jauh dari pandangan Mume.

Mereka sampai di tanah yang sedikit lapang, cukup untuk menuntaskan pertarungan. Shirogane mulai mengubah bentuknya. Perlahan-lahan menjadi seekor rubah putih cukup besar. Sembilan ekornya terkibas-kibas dengan nyala api di masing-masing ujungnya. Pada sela-selanya, tampak sebentuk bola yang memancarkan binar putih berkilauan. Hoshi no tama—permata bintang—yang menjadi sumber utama kekuatan dan nyawa kitsune.

“Bagus. Kau sudah menunjukkan aslimu. Kini aku bisa mulai membunuhmu,” desis Yoshizuki.

Pemuda itu kembali menyerang Shirogane. Berkali-kali menyabetkan pedangnya dengan lihai. Keluwesannya dalam memainkan senjata bahkan hampir membuatnya terlihat seperti sedang menari daripada bertarung. Dia berhasil menggoreskan beberapa luka yang cukup vital pada tubuh Sang Kitsune.

Shirogane tentu tak tinggal diam. Kali ini dia tidak selalu menghindar, tetapi juga berusaha menyerang. Cakar-cakar nan tajam dia keluarkan, serta taring-taringnya yang siap mencabik apa saja. Beberapa kali dia berhasil memukul mundur Yoshizuki dengan ekornya yang dipenuhi nyala api. Kibasannya juga membuat sebagian daun-daun kering yang berserakan di atas tanah terbakar.

Yoshizuki yang terpukul mundur pun menyarungkan pedangnya. Dia segera mengeluarkan lima kertas putih bertuliskan rajah dari balik pakaiannya, lalu dilemparkannya benda tersebut ke udara. Kedua tangannya menangkup di depan dada. Kemudian bergerak ke samping kanan, kiri, bawah, dan atas membentuk sebuah pola. Sedangkan bibirnya terus mendaras mantra.

Kelima kertas itu terbang mengelilingi Shirogane yang sudah terluka parah. Dalam sekejap, seberkas cahaya memancar keluar dari masing-masing rajah. Membentuk sebuah bintang dengan lima sudut; mewakili masing-masing elemen api, bumi, logam, air, dan kayu, yang mengurung siluman rubah tersebut tepat di tengah.

Shirogane pun tak berkutik seketika. Sedangkan Yoshizuki mulai menyiapkan busur dan anak panahnya; hendak membidik tepat pada permata milik Sang Kistune.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top