Chapter 9
"Lo nyiapin hadiah apa buat Satya?"
"Gue."
"Hah?"
"Gue, La, hadiahnya."
"Ampun dah! Kresek mana kresek."
Mereka sedang dalam perjalanan menuju kota Kediri, setelah mendarat di bandara Juanda satu jam lalu. Kemudian mampir untuk makan malam. Cacing di perut karet Lala minta asupan.
Kana menatap pemandangan di luar. "Lagian gue nggak tahu Satya suka apa."
Lala bengong menatap Kana. "Kalian dua tahun ngapain aja hidup bareng selain bikin anak?"
Kana malas menjawab dan memilih menikmati pemandangan. Lala sepertinya sempat tertidur. Sekarang pukul delapan malam. Yang artinya konser Satya sudah setengah jalan.
Berbanding terbalik dengan semangat yang menggebu soal rencana membuat kejutan, Kana justru termenung lama setelah turun dari taksi. Lala menatap sekitar dengan awas. Lihat, lama-lama dia memang bisa jadi bodyguard. Nalurinya bekerja dengan baik. Memang begini risiko mengenal dan bekerja dengan Kana, harus serba bisa. Kalau tidak bisa, ya harus bisa terserah gimana caranya.
Baiklah, kembali fokus. Lala sepertinya melantur. Sampai dia lupa kalau sudah turun dari taksi dan ikut melamun bersama Kana di halaman stadion. "Na, udah lima menit kita berdiri di sini. Nggak mau masuk sekarang aja?"
Tanpa menoleh, tatapannya masih tertuju ke pintu masuk. Tidakkah ini seperti deja vu? Bedanya, sekarang ada Lala di sebelahnya dan juga kota yang berbeda.
"Di dalam nggak ada Rayya, 'kan?" Kana tanpa sadar menyuarakan isi kepalanya.
"Kemungkinan terburuknya, ada."
"Gue jijik soalnya."
Lala nyengir. Kemudian terpikir kalau Rayya memang sungguhan ada di dalam. Tapi demi mengaburkan pikiran horornya, Lala tertawa. "Nggaklah. Terniat banget nyusulin ke sini."
Kana akhirnya menoleh. "Lo nggak tahu apa pura-pura nggak tahu?"
"Soal?"
"Lo nggak tahu." Kana menyimpulkan cepat. Mulai melangkah. Dia sudah di sini. Apa pun, apa pun yang akan dia lihat—tidak, dia harus berpikiran positif.
Dengan segera, Lala menyusul. Perkara menonton konser saja, entah kenapa bisa menakutkan untuk Kana. Bukankah orang datang ke konser untuk bersenang-senang? Apalagi bertemu idola. Kana memang aneh sih.
"Langsung ke backstage aja, La."
Lala mengerti. Dia mencari jalan. Menggamit satu tangan Kana. Dia mendecih pelan melihat Kana memeluk erat-erat buket bunga yang cukup besar dengan tangan yang lain. Yang tadi katanya hanya membawa diri, tiba-tiba berubah pikiran ketika melihat floris di tengah perjalanan. Dan berakhir membeli buket dengan isi bunga bermacam-macam—karena Kana tidak tahu Satya suka bunga apa.
Tidak ada salahnya perempuan yang memberi bunga. Kana bahkan sempat membayangkan jika dirinya akan naik ke panggung di tengah lagu, kemudian Satya akan speechless melihatnya—ya, akhirnya melihat sang istri mau datang ke konsernya.
Kana jadi tidak sabar. Bahkan, Reza akan terkejut melihatnya datang. Mengingat jika Satya sedang tampil di atas panggung sana, maka Reza pasti berdiri di dekat panggung, maka tenda backstage pun kosong.
Atau, tidak?
Lala bantu menyibak sisi tenda, bertepatan dengan seseorang di dalam tenda yang menatap ke arah mereka.
Dekapan Kana pada bunga mengerat. Gurat wajahnya berubah drastis. Menyirat kebencian. Lala hendak berbalik dan mengajak Kana menyingkir dari sana—menghindari keributan yang mungkin terjadi. Tapi Kana tetap bergeming. Balas menatap tajam sepasang mata yang menantangnya.
"Wow. Kamu nyusulin ke sini." Tersenyum penuh ejekan. "Satya bakal terharu. Istri kesayangan akhirnya mau datang ke konser dia. Sebuah kemajuan, Kana."
"Hela napas, Na, hela." Lala berusaha menenangkan, yang tentu saja diabaikan Kana.
"Tapi emang cukup ya? Lo datang ke konser dia, lalu bakal dianggap istri yang baik? Satya bakal makin cinta? Kejauhan, Kana. Mending putar balik sebelum terlalu sakit."
"Lo yang mestinya sadar diri." Kana ingin mencabik mulut laknat itu detik ini juga. Tapi Lala memegang satu tangannya erat-erat. "Satya cuma kasihan sama lo, Ya. Dia masih bersahabat karena lo nggak punya siapa-siapa. Sebatas itu."
"Oh ya? Satya cuma kasihan?" Rayya mendengkus, menampar Kana dengan satu fakta. "Satya kemarin sakit. Lo dihubungi nggak sama dia?"
Kana terkesiap.
"Jadi, Satya kemarin sempat masuk rumah sakit. Diinfus semalam. Dokter saran opname, tapi Satya mesti lanjut ke kota keempat. Jadinya dia dikasih obat aja." Rayya puas dengan ekspresi Kana saat ini. "Oh, lo nggak tahu ya? Urusan kayak gini Satya mana mungkin ngehubungi lo. Lo aja nggak peduli soal karir dia. Jadi Satya juga percuma ngabarin hal beginian. Lo harus berterima kasih karena gue udah ngasih tahu, pas pulang nanti Satya mungkin tetap nggak cerita."
Kana menolak mendengar bualan perempuan itu, tapi bagaimana jika logikanya justru membenarkan. Iya, Satya tidak akan menghubunginya jika pun lelaki itu sakit selama tour. Iya, Satya tidak akan bercerita ketika lelaki itu sampai rumah. Karena bagi Satya, Kana memang tidak ingin tahu, kalau pun Kana bertanya, itu hanya basa-basi.
Salah seorang kru panggung menyibak gorden. Memberi kode pada Rayya agar segera bersiap. Menatap sekilas pada Kana sebelum melangkah pergi, tanpa menyapa.
"Lo masih lama di sini? Mau nonton gue sama Satya nyanyi?" Sambil berkaca sekali lagi, memastikan penampilannya sudah sempurna. "Btw, Satya minta tolong ke gue buat bantu di panggung selama dia masih sakit. Jadi ya, Satya memang butuh gue. Bahkan sebelum lo datang, kami memang sudah saling membutuhkan."
Dingin dan penuh penekanan. "Lo bahagia?"
Rayya melirik Kana dari pantulan cermin. "Bahagia karena meski menikahi perempuan lain, tapi Satya masih butuh gue? Tentu. Semua orang nggak bisa menyangkal itu, Na. Lo aja yang terlalu naif. Menutup mata nggak bakal bikin lo tenang. Sebaliknya, lo akan semakin ragu. Sampai akhirnya lo sadar, Satya sebenarnya cinta siapa."
Ketika melihat sedikit pergerakan Kana, Lala sigap memeluk. Semakin erat saat Rayya lewat di samping mereka. Antisipasi kalau-kalau Kana meledak detik ini juga.
Begitu Rayya sudah menjauh dan gemuruh penonton semakin terdengar, Lala melepas pelukan. Kana berbalik. Menjauh dari gemuruh. Tangannya tidak lagi mendekap buket, melainkan membiarkannya terayun di sisi tubuh. Tidak ada tangis yang merebak, melainkan kecewa yang mulai menjejal di dada.
Lala tidak mencoba menghentikan, dia cukup diam dan membayangi langkah Kana.
Mematikan rasa, Kana terus melangkah menuju gerbang. Tersaruk. Tersandung oleh kakinya sendiri. Terjatuh. Tanpa mengaduh, lekas bangkit bahkan sebelum Lala berlari mendekat.
Kana lantas terhenti persis di ambang gerbang. Dalam sekali gerakan, Kana menghantamkan buket ke sisi gerbang. Sekali. Dua kali. Membuat bunga-bunga itu berhamburan. Sebelum akhirnya menjatuhkan buket begitu saja.
Lala prihatin melihat Kana. Tidak ada waktu untuk meratapi bunga-bunga itu. Memanfaatkan Kana yang masih mematung di sisi gerbang, Lala berlari ke tepian jalan raya. Menyegat taksi yang lewat. Sebelum menarik perhatian orang sekitar, Lala membawa Kana ke dalam taksi. Beruntungnya, Kana kali ini cukup kooperatif.
Atau mungkin Kana memang tidak punya energi untuk melawan. Dia sendiri kewalahan mengatasi sakit di hati. Tapi saat Lala bertanya ke sopir taksi tentang hotel terdekat, Kana memotong dingin. "Bandara. Kita langsung pulang."
"Eh?"
Menoleh dan menatap Lala kosong. "Pulang. Mau ngapain di sini?"
Lala menurut dan tidak banyak tanya. "Langsung ke bandara saja, Pak."
Sepanjang jalan, Lala beberapa kali menoleh. Memastikan keadaan Kana. Sahabatnya itu bungkam. Pun tidak ada tangis yang diam-diam diseka. Tidak ada bahu bergetar akibat menahan tangis. Kana sempurna diam.
Di saat seperti ini, Lala justru ingin melihat Kana yang mengomel. Atau sekalian menangis. Diamnya Kana, membuat Lala sulit menebak. Apakah sebatas kecewa atau sesuatu yang Lala tidak mengerti. Tapi bukankah Kana terbiasa menghadapi Rayya? Seharusnya bukan masalah besar. Kana sudah jauh-jauh ke sini dan tidak seharusnya dia lari begini.
Yang mungkin Lala tidak tahu, Kana sedang perlahan hancur. Dinding di hatinya mulai berlubang, semakin besar. Rasa kecewa mendominasi. Lantas kejadian satu tahun lalu ikut menambah luka. Kilas balik yang mencekiknya. Dia pikir, seiring berjalan waktu dia bisa berdamai. Dia bisa memaafkan tanpa diminta.
Tapi nyatanya, tidak.
Sebaliknya, Kana memasang topeng. Memutuskan untuk menelan semua rasa sakit dan air mata. Kana mencoba percaya jika Satya memang mencintainya—seperti apa yang dia lakukan.
Mungkin keinginan Kana terlalu muluk.
Dinding yang dia namai percaya itu, akhirnya runtuh.
Kana kalah.
Bukankah sejak awal dirinya memang sudah kalah?
***
Senin datang terlalu cepat dari yang diinginkan. Semua seperti mimpi buruk bagi Kana. Dia terbang ke Jawa Timur hanya dalam beberapa jam, lantas pulang dalam keadaan kacau. Hatinya berantakan. Semua seperti kembali ke titik nol, seperti setahun lalu.
Kana enggan bangun. Tapi sialnya, dia ingat jika Satya pulang pagi ini. Rentetan pesan masuk ke ponselnya tadi malam. Satya mengabari perkiraan rombongan bus sampai di ibu kota. Senantiasa melaporkan lewat chat—yang hanya dibalas singkat—karena Kana menolak ditelepon atau video call.
Terdengar suara bus merapat di jalan depan. Suara Reza yang berisik yang terdengar kemudian. Kana menarik tubuhnya bangun. Lala sudah bangun sejak tadi. Sepertinya sibuk menyiapkan sarapan.
Entah ini penyambutan yang pantas atau tidak, Kana masih mengenakan piama panjang. Rambut panjang yang juga berantakan. Muka yang masih mencetak bantal. Memangnya Satya akan peduli? Tidak.
Jadi begitu terdengar pintu depan terbuka, Kana menuruni anak tangga. Terhenti di sudut tangga. Menunggu sampai lelaki itu muncul di ruang tengah. Kana tidak tahu, apakah ini benar atau salah. Dia akan tetap melanjutkan sandiwara ini. Meski dia tidak lagi memercayai Satya sedikit pun.
Sudut bibir Kana sedikit tertarik. Langkah Satya terhenti, sedikit mendongak. Wajah lelah lelaki itu tersenyum lebar. Begitu kedua lengan Kana terentang, Satya berlari ke sana. Menghambur pada pelukan yang dia rindukan seminggu ini.
Mengecup bahu Kana, menggumam. "Kangen."
"Sama." Apakah Kana perlu bertanya tentang konser? "Sukses konsernya?"
"Pastinya."
"Nggak ada kendala?"
"Nggak ada. Lancar semuanya, Na. Makasih ya."
Lelaki ini akhirnya memilih untuk bohong. "Kenapa makasih ke aku?"
"Udah kasih semangat lewat udara."
"Aku jelas kalah sama orang yang bisa ngasih dukungan secara langsung."
"Nggak. Kamu support systemku yang ketiga."
"Yang pertama?"
"Mama."
"Kedua?"
"Indi."
Terus kamu taruh Rayya di urutan berapa?
Lala mematikan kompor sejak Satya datang. Memperhatikan bagaimana Kana yang berdiri di sudut tangga, merentangkan kedua tangan dan Satya berlari ke arahnya. Saling memeluk erat. Tapi dari posisi Lala, dia bisa melihat semuanya.
Bagaimana Kana memaksa sebuah senyum. Juga bagaimana Kana yang bertahan, tidak menangis sejak pulang dari Kediri. Bagaimana Kana yang mungkin semakin menganggap jika Satya tidak mencintainya.
Lala tersenyum getir. Dia luput menyadari kalau dua orang itu sama-sama hidup dalam topeng.
***
Senin/17.08.2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top