Chapter 8

Reza tidak tahu harus apa selain bernapas. Dia terjebak di situasi yang cukup canggung dan tak terbaca. Sungguh meleset dari dugaan Reza. Dia pikir Satya akan terlihat bahagia begitu menemukan Rayya pulang dan jauh-jauh menyusul ke sini.

Namun, yang ada di depan matanya adalah Rayya yang kegirangan dan Satya yang justru biasa saja.

Satya menghindar saat Rayya berniat maju dan memeluknya. "Yuk, masuk. Ngobrol di dalam aja."

Senyum itu memudar. "Kamu nggak seneng aku datang?"

"Seneng." Lalu beralih ke Reza. "Ja, keycard di lo kan?"

Reza maju. Menempelkan kartu akses di sana. Sambil ngakak jahat di dalam hati. Entah dia di kubu yang mana, tapi melihat Rayya diabaikan, membuatnya senang.

"Satya." Seraya mencekal satu lengan Satya. Hendak mengatakan sesuatu, tapi urung karena baru menyadari wajah pucat Satya. "Kamu sakit?"

Melepas cekalan tangan Rayya. "Bicara di dalam aja. Nggak enak kalau ada yang lihat."

Satya duduk di sofa. Rayya berjalan ke jendela. Melihat pemandangan di luar. Sementara Reza melepas jaket dan mengempaskan tubuh ke kasur. Sambil diam-diam mengamati interaksi kedua orang itu. Kalau saja dia tidak menghargai persahabatan mereka, Reza sudah mengomel karena Rayya datang di saat yang tidak tepat. Satya harus istirahat.

"Mau teh atau kopi?" Pertanyaan Satya mengalihkan perhatian Rayya dari pemandangan di luar.

"Aku udah ngopi di bandara tadi." Rayya bergerak duduk di sofa yang berhadapan dengan Satya. Dia tampak meneliti wajah Satya. Tatapan yang cukup dalam. Sarat kerinduan. Terselip di antaranya senyum pias. "Kamu nggak pernah nengok aku ke sana."

"Nggak bisa."

"Kana ngelarang kamu?"

"Tanpa dilarang pun, aku nggak akan nengok kamu, Ya."

"Padahal aku berharap kamu datang. Terlepas gimana kamu sering nyuekin chat, bahkan teleponku. Iya, nggak perlu diingatkan. Kamu udah menikah. Tapi apa sulitnya bales sekata aja? Atau luangin waktu kamu barang semenit?"

"Maaf. Memang nggak bisa, Ya."

"Aku udah jadi orang asing buat kamu? Kita sahabat, Sat. Sahabat. Seperti yang selalu kamu tekankan."

Menjawab tenang. "Menurut kamu sahabat harus saling berkabar setiap hari? Kalau sekali-dua kali aku masih oke, Ya."

"Kana berhasil ngubah kamu. Hebat dia."

Satya menghela napas, malas meladeni perdebatan seperti ini, apalagi Kana mulai dibawa-bawa. Dia membalas tatapan perempuan yang pernah menjadi sahabat terbaiknya. Seseorang yang sudah dia anggap sebagai keluarga sendiri. Seseorang yang ingin dia jaga setelah perempuan itu kehilangan keluarga. Seseorang yang ingin Satya pastikan selalu bahagia.

Namun, sepertinya tidak bisa. Rayya sendiri yang justru membuat Satya tidak bisa melakukan itu semua.

"Kamu masih marah?" Rayya menebak isi kepala Satya.

Bertanya pelan. "Marah kenapa?"

"Kamu nggak datang ketika aku minta ditemui di bandara sebelum pesawatku berangkat. Juga pengabaian kamu selama setahun ini."

Satya terdiam. Dia memilih Kana saat itu.

"Aku salah apa, Sat?" Rayya bertanya nelangsa. "Kamu berubah banyak. Aku kayak nggak kenal kamu lagi."

"Soal apa yang terjadi di panggung-"

Rayya tertawa sarkas. "Jadi hanya karena ciuman itu?"

Satya membiarkan Rayya menyelesaikan tawanya. Dulu, dia senang setiap melihat perempuan ini tertawa. Karena baginya, Rayya adalah teman perjalanan yang menyenangkan.

Menyeka sudut mata yang berair. "Plis, Sat, itu cuma ciuman biasa. Aku refleks aja. Toh, nggak terjadi apa-apa. Semua artikel atau gosip langsung ditakedown malam itu juga. Beres. Istri kamu juga nggak tahu."

"Kelihatannya sederhana ya, Ya." Satya tersenyum tipis. Ingin segera menyudahi percakapan ini. "Aku nggak berniat ngusir. Tapi aku butuh tidur. Dokter saranin buat istirahat."

"Oke." Rayya berdiri. Penuh pengertian. "Kamu istirahat. Kita ngobrol lagi kalau kamu udah membaik. Aku ada di kamar sebelah. Oh ya, aku nanti ikut di bus kalian."

Pintu ditutup dari luar dan Satya beranjak ke kasur. Menyusul Reza. Dia memeluk bantal raksasa yang tengkurap itu. Meletakkan kepala di lipatan lengan dan menindihkan satu kaki di atas paha Reza.

"Ja ...." Dia tahu Reza belum sempurna tidur.

"Apaan?"

"Hidup gue kok rumit."

"Salah sendiri jadi orang ganteng."

"Kalau gue nggak ganteng, Kana masih mau sama gue nggak?"

"Kalau nggak mau, bisa lo pelet."

Tertawa tanpa tenaga. "Bener. Lo bantu cari dukunnya."

"Kenapa sih?"

Lirih. "Gue kangen Kana."

"Bucen. Telepon sana, telepon."

"Ja-"

"Apa lagi?"

"Lo denger yang gue omongin sama Rayya?"

"Hm."

"Soal kejadian yang itu ...."

"Berhenti nyalahin diri sendiri, Sat." Reza mendecak. "Udah ah. Berisik. Gue mau tidur. Lo juga cepetan tidur!"

***

"La, ikut aja besok."

"Terus fungsi gue di sana sebagai apa?"

"Biar lo tahu dunia luar."

"Lo pikir selama ini gue di kandang aja?"

Saatnya memasang wajah memelas. "Gue butuh lo di samping gue, La. Ini yang kedua kali gue datang ke konser Satya-"

Lala memotong. Memelankan volume suara televisi. "Kedua? Yang pertama kapan?"

Mengibaskan tangan. "Ada lah, pas konser di deket sini."

"Kenapa akhirnya lo mau nonton?"

"Reza bilang itu konser debut dia lima tahun. Hari yang katanya spesial banget buat Satya. Gue berniat ngasih kejutan."

"Kok gue lupa?"

"Gue perginya diem-diem."

"Oh. Terus Satya tahu lo pergi ke konser dia waktu itu?"

Pertanyaan jebakan, entah Lala sendiri sadar apa tidak jika pertanyaan itu tidak sederhana bagi Kana. "Ya menurut lo?"

"Kok tanya balik? Gue beneran tanya. Soalnya selama ini, sejak kalian masih pacaran pun, anti tuh bagi lo buat datang ke konsernya Satya."

"Harus ya lo tanya begitu?"

Lala mulai keki. "Tinggal jawab apa susahnya sih?"

"Kalau Satya tahu, emang kenapa?"

"Ya seenggaknya dia jadi mikir kalau lo peduli soal karir dia."

"Kalau nggak tahu?"

"Emang gagal acara surprise-nya?"

Mampus! Kana harus jawab apa?

Dengan telunjuknya, Lala menoel lengan Kana yang mendadak diam. Bertanya lirih dan hati-hati. "Beneran gagal?"

Menyugar rambut panjangnya, menoleh. "Kenapa lo bisa tahu?!"

Lala mengulum bibir. Menahan tawa. "Kita temenan udah dari zaman TK. Apa yang nggak gue tahu? Lo sering zonk kalau ngasih acara kejutan. Mau ketawa tapi terlalu tragis. Nggak jadi."

Ada satu yang Lala lewatkan. Tapi ini memang karena Kana berhasil menyimpannya dengan baik. Atau Lala saja yang kepekaannya jongkok. Kana kemarin kelepasan bilang soal Rayya yang mencium Satya.

"Jadi ini lo mau coba sekali lagi?" Lala kembali ke topik. "Jangan deh."

"Kenapa jangan?"

"Firasat gue nggak enak."

"Makanya, lo temenin gue. Kalau ada apa-apa, lo maju duluan."

"Lo tahu gue sejak awal taken kontrak sebagai apa?"

Kana mengangkat bahu.

"Manajer, Kana, manajerrrr. Tapi kenapa gue harus merangkap banyak hal. Jadi alarm, tukang make up dadakan, temen tidur, asisten yang multitasking, dan sekarang bodyguard-"

Kana menjejalkan satu potong donat supaya Lala berhenti merepet. "Tapi lo sahabat gue, Kana. Sejak keluarga gue pindah ke Solo, lo salah satu orang yang gue percaya di sini."

Lala menyingkirkan donat dari mulut. "Lo udah beli tiket?"

"Udah." Kana memainkan kuku, tampak berpikir. "Apa gue nggak usah datang aja ya?"

"Gue benci kalau lo udah labil gini." Lala membanting bantal sofa, beranjak dari sana. Menaiki tangga sambil mengomel. Tangannya bergerak dramatis. "Oh please, Kana, gue udah batalin kerjaan lo weekend ini dan gue terima semua omelan dengan hati tercabik! Mulut lo terlalu enteng untuk bilang apa gue nggak usah datang aja ya."

"JADI KOK JADI!" Berdiri, menyusul Lala yang berpotensi berubah pikiran. "Lala Cantek Jodohnya Nicholas Saputra, jangan ngambek!"

"Bodo amat! Gue mau tidur!"

"Jomblo pamali tidur sore!"

***

Kota keempat nampaknya berjalan sukses, meski Satya tidak seutuhnya dalam keadaan sehat. Reza harus berkali-kali memastikan, bertanya dengan cerewet apakah Satya sanggup menyelesaikan konser atau tidak.

Melihat Satya yang seperti itu, membuat Rayya mengajukan diri untuk menjadi teman duet. Dia hafal lagu-lagu Satya. Sehingga mudah saja tanpa latihan. Reza setuju dengan ide ini. Satya juga tidak bisa menolak.

Kemunculan Rayya di tengah-tengah konser tak pelak membuat para penonton menjerit histeris. Bagi sebagian fans militan, Satya dan Rayya adalah kapal mereka yang karam. Sebenarnya kalau Satya mau peduli, di jagad sosmed, sempat terjadi fanwar ketika Satya justru menikahi Kana dan bukannya Rayya. Reza sering memberi laporan terkini, tapi hanya ditanggapi Satya sambil lalu.

Rayya menyapa penonton. Mendadak haru. Apalagi ketika namanya dielu-elukan. Dia rindu dengan suasana ini. Maka, ketika lagu selesai, Rayya menyeka pipi. "Makasih, Guys, berasa pulang banget. Belum, kontraknya masih setahun lagi. Gue balik karena dapat jatah libur dua minggu-haha, iya, udah kayak anak sekolah aja. Terus nyariin Satya, eh dia lagi tour. Ya udah, gue susul. Jadi ini sama sekali nggak terencana bisa nyanyi lagi sepanggung sama sahabat terbaik. Seneng banget. Apalagi ketemu kalian. Makasih ya."

Lapangan kembali bergemuruh. Rayya beralih menatap Satya yang sudah duduk di kursi seraya memangku gitar akustik. "Next, lagu yang Satya ciptain waktu ... kapan ya, Sat? Gue agak lupa."

"Kita lulus kuliah."

"Ah, bener. Lama banget ya. Tapi gue masih inget. Gue bantu kasih satu-dua coretan. Jadi gue harusnya minta royalti ya?"

Satya tersenyum. "Boleh. Minta aja ke Reza. Duit gue di dia semua."

Rayya tertawa renyah. Mengibaskan tangan. Berkata ke penonton. "Gue kasih tahu ya. Satya ini memang nggak pinter bawa duit. Kalau dulu masih dipegang sama Mama Marlina, mungkin sekarang udah dibawa Kana."

Dipatahkan. "Reza yang bawa, Ya. Beneran. Kana duitnya udah banyak. Mana sempat pegang duit hasil ngamen gue."

"Duileeeh, iya, iya. Model mah kastanya jauh di atas awan."

Satya mencoba mengalihkan, kembali ke penonton. "Tolong, kalau kalian ketemu Reza di jalan, jangan dibegal ya."

Di samping panggung, Reza tersedak air mineral yang baru saja diminumnya.

"Ngomong-ngomong, ada yang nungguin kami ngeluarin lagu duet lagi?" Rayya bertanya setelah tawa penonton reda.

Gemuruh itu mengatakan iya secara bersamaan.

"Doain aja. Setahun lagi, pas gue balik, Satya ada lagu baru buat kami."

Satya menyela. "Ini kita ngomong terus, nggak nyanyi-nyanyi. Mereka nanti ngira kita stand up comedy, Ya."

Meringis. "Maaf, maaf."

***

Apakah kalian mulai memahami sudut pandang Satya? 😆

Sabtu/15.08.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top