Chapter 5

Satya keluar dari tenda backstage bersama Reza beserta tim band-nya. Tangannya refleks terangkat, membalas lambaian fans. Dia tersenyum lebar. Mereka semakin semangat menyerukan nama Satya.

Sebelum tiba di tangga samping panggung, Satya tiba-tiba mendekat ke pagar pembatas. Reza refleks mengikuti. Siap mencegah, tapi urung karena Satya hanya berniat mengambilkan kipas penonton yang jatuh.

Kesempatan yang tidak disia-siakan. Mereka berebut menjabat tangan Satya. Pun sebaliknya, Satya membalas tangan-tangan yang terulur padanya. Meski tidak bisa semuanya karena Reza sudah memberi kode agar bergegas.

Satya berdiri di tengah panggung, menyapa penonton yang memenuhi lapangan kodim tersebut. Beruntung cuaca cukup sejuk. Tapi yang dikhawatirkan adalah hujan yang mungkin turun di tengah acara. Satya sedikit cemas menatap lautan penonton yang sebagian besar perempuan.

Menunggu band pengiringnya siap, Satya sekilas mendengar nama Kana disebut. Dia pun iseng menjawab. "Kana gue tinggal di rumah. Kalau ikut, takutnya kalian patah hati."

Lapangan itu bergemuruh. Reza di samping panggung, mencibir. "Mulai receh."

Satya terkekeh sebelum menambahi. Menjawab lebih baik. "Kabar Kana baik. Sehat. Dia titip salam sama kalian. Dan gue sendiri berharap, semoga pas ketemu, kalian damai-damai ya." Menoleh ke belakang. "Udah siap, Guys?"

Mereka kompak mengacungkan jempol. Satya mengambil posisi di tengah. "Lagu pertama ini gue ciptain buat Kana sekaligus gue nyanyiin pertama kali di nikahan kami. That Beautiful Smiled-Woman."

Para penonton bersorak. Entah semangat atau menyuarakan patah hati mereka.

Dan seperti dugaan Satya, di tengah acara, hujan turun. Tidak deras tapi cukup untuk membuat badan kuyup. Tadi ketika briefing di tenda, Reza sudah memperingatkan agar Satya tetap di panggung ketika hujan. Tapi tentu saja Satya melanggar.

Lagu kelima, Satya mulanya duduk-duduk di tepian panggung, sebelum akhirnya lompat turun. Mendekat ke pagar pembatas. Menyambut tangan-tangan yang terulur. Beberapa bahkan ada yang menariknya terlalu kencang. Membuatnya sedikit terhuyung.

Reza menatap gemas. Mau menghampiri dan menyerat Satya ke panggung lagi, tapi masa iya dia harus menampilkan adegan itu. Oke. Tahan. Lagu hampir selesai.

Tiba saat break lima menit, Reza mengulurkan handuk, mengomel. "Nanti lo sakit gimana hah? Masih ada empat kota, Sat. Lo kalau sakit suka lama dan ribet!"

"Santai. Cuma hujan kayak gitu." Satya kemudian meneguk air mineral.

"Jangan ngeremehin." Menarik handuk dari bahu Satya, Reza ganti mengulurkan kaus dan kemeja baru. "Perlu ganti celana juga?"

"Nggak usah." Satya melepas kaus yang sudah melekat erat di tubuh saking basahnya, kemudian cepat berganti. Penontonnya sudah menunggu.

Sisa konser berjalan lancar. Hujan berubah menjadi gerimis kecil. Cukup sendu. Saat tiba di penghujung konser, penonton kompak berseru. "We want more! We want more!"

Satya tak bisa membendung rasa rahu. Dia antara tersenyum tapi ingin menangis. Meski sudah berdiri di atas panggung, ratusan kali pun, dengan lagu yang sama, tetap saja bagi Satya setiap panggung membawa atmosfer yang berbeda. Kenangan yang berbeda.

Dia pun berpamitan. "Makasih banyak udah datang. Luangin waktu buat lihat gue ngamen. Rela hujan-hujanan. Pulangnya hati-hati ya. Semoga kita ketemu lagi kapan-kapan."

Seusai konser, Satya ditemani Reza, mendatangi sebuah radio ternama di kota Malang—kota pertama yang dia singgahi dalam rangkaian tour. Reza bilang jika undangan itu dadakan, Satya bisa menolaknya. Tapi Satya bilang ambil saja. Sekalian jalan. Dekat pula dengan hotel tempat mereka menginap.

"Yakin masih sanggup?" Reza bertanya lagi, memastikan.

"Cuma duduk terus ngomong aja, 'kan? Bisalah."

"Oke." Reza menyebutkan alamat ke sopir taksi. Mereka memang pergi terpisah, tidak ikut rombongan bus.

"Ja, ponsel gue dong."

Reza merogoh totebag pink andalannya, yang fungsinya sudah seperti kantung ajaib Doraemon. Tapi alih-alih disandingkan dengan robot biru itu, Reza lebih condong ke Pou atau Baymax. Montok-montok menggemaskan.

"Bini lo belum telepon." Reza mengintip saat Satya membuka riwayat panggilan.

"Kayaknya sibuk." Satya menempelkan ponsel ke telinga setelah men-dial nomor tiga. Tempat nomor Kana berada.

Lantas, nomor satu siapa? Mama.

Dua? Indira.

Puas kalian?

Reza menyipitkan mata. "Gue sanksi deh itu si Kana cinta sama lo."

"Yang ngerasain kan gue, bukan lo. Bagi gue, dia cinta kok."

"Mata lo ketutup sama kebucinan. Jadinya gelap mata." Reza mulai merepet. "Contohnya aja, tiap lo manggung, dia nggak pernah tuh dateng kasih support. Apalagi di luar kota begini, mana pernah sih dia perhatian? Dia sibuk sama kerjaan dan diri sendiri."

"Kana memang gitu. Dan gue nggak keberatan."

"Lo emang kebangetan ya. Lemah sama perempuan."

Satya tidak marah. "Nanti, kalau lo udah nemu Kana—"

Dipotong cepat. "Sorry, excuse me, pardon me, Kana sama sekali bukan tipe gue."

"Iya, bener. Yang kayak Kana juga tipenya nggak kayak lo." Satya tertawa, tapi bukan untuk mengejek. "Maksud gue, orang yang benar-benar lo cinta. Kalau udah nemu, apa pun kekurangan dia, lo bisa terima."

"Nyai Marlina kok mau sih angkat Kana jadi mantu?"

"Mereka setipe."

"Bener juga sih. Cuma beda universe. Lo nggak ngeri apa kalau mereka seruangan?"

"Mereka keren dengan cara kayak gitu."

Reza mendecak. "Gimana? Tetep nggak diangkat?"

"Iya. Mungkin sibuk. Selama Lala di samping dia, gue nggak khawatir."

Reza kadang heran, Satya terlalu positif jadi orang. "Nanti misal Kana nyakitin lo suatu hari, lo yang bakal minta maaf? Saking lo kelewat baik hati."

Antara terdengar dan tidak. "Atau mungkin gue yang bakal nyakitin dia?"

Terbahak. "Mana mungkin?"

***

"Serius. Nggak usah dipaksain, Kana. Lo boleh kok tidur lagi. Take your time sampai lo benar-benar ngerasa oke." Lala datang semenit yang lalu. Dia sempat pulang sebentar, mengambil sesuatu yang tertinggal. Saat dia pergi tadi, Kana masih tidur. Eh tahu-tahu sudah mandi dan duduk di depan meja rias ketika Lala kembali ke sini.

"Kalau terlalu nurutin hati, gue cuma guleran aja di kasur dan kerjaan gue kacau semua. Gue nggak mau lo pensiun dini dari dunia ini."

Lala menepuk-nepuk dada. Menyabarkan diri berkali-kali. Mengafirmasi pikiran bahwa ini akan cepat berlalu. Ingin mengumpat tapi sebisa mungkin ditahan. Baiklah, akan dia balas lain hari, tidak sekarang.

"Ponsel lo bunyi tuh." Lala menunjuk benda pipih di atas meja. Tapi pemiliknya berlagak tidak lihat dan dengar.

"Biarin."

"Satya ya?"

"Gue bisa hubungi dia nanti. Atau biar nantu dia telepon lagi."

"Angkat. Siapa tahu penting." Lala mendekat. Hendak menyentuh layar.

"Biarin gue bilang!"

Mundur perlahan, Lala lebih baik menyingkir. Dia sadar kalau Kana sedang tidak bisa disenggol. Kena dikit langsung tebas. "Gue tunggu di bawah, sambil ngopi."

Kana turun tak lama setelahnya. Bahkan Lala baru menyesap kopinya sedikit. Bergegas mengikuti langkah Kana. Sepertinya Kana berhasil mengatasi konflik batinnya untuk sementara. Ya, sementara. Itu artinya Lala harus bersiap kapan saja untuk mimpi buruk—

Dan mimpi buruk itu hadir di balik pintu. Lala tidak perlu menunggu lama. Langsung terpampang di depan pintu.

Kana menyeringai tipis. Begitu tangannya mendorong gagang pintu, orang paling terakhir yang ingin dia temui dalam hidupnya berdiri di sana.

Dengan dagu terangkat, Kana melangkah, melewati Rayya begitu saja, dan berhenti saat Lala tidak mengikutinya. "La, buru! Ngapain bengong?!"

Sungguh, Lala tidak bengong. Dia sedang berpikir keras sambil waspada—membaca situasi. Menebak-nebak apa yang akan terjadi dan kemungkinan terburuk.

Rayya tersenyum melihat sikap dingin Kana. Sambutan yang seperti dia duga. "Masih sama ternyata. Gue masih ditatap sinis. Setahun gue pergi, lo nggak kangen, Na?"

"Satya nggak di rumah." Lala memberi informasi tanpa diminta. Karena itu tujuan Rayya ke sini. Kecuali memang sengaja ingin memancing emosi Kana.

Tatapan Rayya beralih ke Lala. "Iya. Gue tahu. Satya di Jawa Timur sampai Minggu. Gue cuma mampir. Mau nyapa Kana. Siapa tahu dia kangen gue. Ternyata enggak. Gue kecewa."

Kana berbalik dengan geram. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh. Wajahnya semakin dingin. Secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Rayya.

Aura di sekitar semakin mencekam. Lala berlari menghampiri Kana yang menatap tajam Rayya, seakan menguliti. Jadi, sebelum terjadi pertumpahan darah, Lala harus membawa Kana masuk ke dalam mobil secepatnya.

"Bentar, La." Kana bergeming saat Lala mencoba menggamit lengannya. "Gue mau dengar dia mau halu apa lagi soal suami gue."

Rayya menuruni undakan teras. Berhenti tepat di anak tangga terakhir. Dua langkah persis di depan Kana. "Bagian mana yang halu? Lo lihat sendiri, Kana. Gue nggak pernah halu. Semua orang juga lihat waktu itu."

"Na, plis, tahan emosi." Lala memegang lengan sahabatnya dengan cemas. Bukannya dia tidak bisa bantu, dia sadar ini bukan urusannya meski menyangkut sahabatnya. Kana pernah memperingatkan bahwa Lala tidak boleh ikut campur.

"Sayangnya, Satya cuma cinta sama gue."

Rayya bersedekap. Mengangkat bahu. "Mungkin lo lupa, Na. Satya nggak pernah bisa melepas gue. Bukan berarti dia nikah, gue bakal dia tendang. Nggak gitu. Satya nggak akan melakukan itu ke gue meski lo minta sujud-sujud ke dia buat jauhin gue."

Emosi Kana tersulut. Dalam sepersekian detik, tangan kanannya sudah terangkat dan terayun begitu saja. Telak jatuh di pipi Rayya. Lala terlambat mencegah.

Hening sesaat sebelum tawa mengejek Rayya terdengar. Dia kembali menegakkan wajah. Tersenyum. Seolah tamparan di pipinya bukanlah masalah besar. "Semakin lo takut, semakin lo mendekati kenyataan, Kana. Kebenaran yang mungkin lo nggak bisa sangkal."

Lala tidak tahan dengan ini. Sebelum Kana melayangkan tangan lagi, atau lebih parah, menendang wajah Rayya, Lala segera mendekap Kana. Dengan sekuat tenaga membawa Kana ke dalam mobil.

Kali ini Kana tidak melawan. Dia menuruti kemauan Lala. Tapi sedikit pun tatapannya tidak teralihkan. Kalau saja tatapan bisa membunuh, Rayya sudah menggelepar penuh darah di sana.

Lala menarik gorden sehingga memutus tatapan laser mereka. Kana sontak menyandar. Mobil perlahan meninggalkan kompleks. Lala membukakan air mineral, mengangsurkannya.

Alih-alih meminumnya, Kana justru meremas botol itu. Membuat isinya berhamburan keluar. Lala cepat mengambil kotak tisu di depan. Mengusap tumpahan air di baju Kana.

Beberapa saat setelah Kana terlihat redam, Lala bertanya hati-hati. "Mau nenangin diri di apartemen gue?"

Menghela napas dalam-dalam. "Nggak. Lanjut aja kayak tujuan pertama kita. Gue masih sadar punya tanggungjawab kerjaan."

"Beneran nggak apa-apa?"

"Benalu nggak berhak bikin hari-hari gue kacau. Dia cuma iri karena gue bisa miliki Satya, sementara dia nggak."

***

Rabu/12.08.2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top