Chapter 38
On mulmed: Isyana ft. Rara Sekar—Luruh
——————————
Lala terpaksa datang larut malam karena Kana tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan Satya. Sementara dirinya sudah diteror dari pihak agensi dan juga media, menuntut penjelasan Kana terkait foto yang beredar satu jam lalu.
"Sumpah ya, kalian ini. Ini lagi genting tapi nggak bisa dihubungi satu pun. Habis dari mana?!" Lala ngomel di depan pintu. Dia juga lupa membawa kunci cadangan, jadi terpaksa menunggu. Beruntung Satya dan Kana pulang sebelum Lala habis sabar.
"Ada apa, La?"
"Di dalam aja." Satya membuka pintu. "Aku boleh ikut denger, Yang?"
Lala melangkah masuk, menyahut. "Nggak usah."
"Yang ditanya gue, lo ngapain ngejawab!"
"MAAP!"
Satya tetap ikut duduk di ruang tengah. Mendengar Lala yang menjelaskan apa yang terjadi. Tangannya lincah membuka halaman di tab, menunjukkan beberapa foto yang dipost oleh akun-akun gosip. Berikut juga dengan screenshot komentar yang berisi bully-an kalau-kalau Kana mau memperkarakan karena isinya sungguh keterlaluan. Menyebutkan juga beberapa pengacara andal yang Kana bisa tunjuk untuk mendampingi.
"Kalau menurut kamu, Sat, baiknya aku gimana?" Lala selesai menjelaskan dan yang pertama dilakukan Kana adalah meminta pendapat Satya.
"Nggak perlu bawa pengacara, Yang. Kamu cukup klarifikasi secukupnya ke media. Pilih mana yang tetap dijadikan privasi, mana yang orang boleh tahu. Tentu dengan mempertimbangkan perasaan Allisya. Kamu emang public figure, tapi nggak semua hal orang perlu tahu."
Kana mengangguk, mengerti.
"Gue jadi mikir kalau Allisya kena bully di sekolahnya." Lala berkomentar sedih.
"Besok aku coba telepon Rafka buat diskusi hal ini."
"Oke. Kapan gue bisa bicara ke media, La?"
"Secepatnya. Gue usahakan besok atau lusa. Lo siapin mental ya."
Satya mengambil tab Lala di atas meja. Memperhatikan foto Kana bertiga dengan Rafka dan Allisya. Foto yang diambil di depan vila. Dari caption yang ditulis, cukup untuk menggiring opini jika ada hubungan spesial di antara ketiganya.
"Kok bisa bocor, La?"
"Ya?"
"Beberapa waktu lalu gue sempet ditanya soal foto Kana sama Rafka. Bedanya sekarang Allisya ikut ada di foto. Caption mereka juga seolah-olah ada informan yang ngasih tahu siapa Allisya."
"Gue belum tahu sumbernya dari mana. Tapi sekarang akun gosip udah secanggih itu emang."
Kana menyandarkan punggung. Menggigiti ujung kuku. Resah memikirkan Allisya dengan banyak kemungkinan yang akan terjadi.
"Yang, udah mikirnya." Terasa tepukan pelan di bahunya. "Tidur dulu yang penting."
Lala membereskan barang-barangnya dan berpamitan. Dia turut prihatin melihat Kana dan sebenarnya ingin menghibur. Tapi sudah ada Satya. Jadi lebih baik dia pulang. "Besok pagi gue kabari ya, Na. Istirahat dan tenangin diri. Oke?"
Nyatanya, alih-alih memejamkan mata, Kana justru terjaga hingga pagi. Menunggu sampai dirasa tepat untuk menelepon Rafka; dia ingin bicara dengan Allisya terlebih dahulu.
Mengambil ponsel, Kana hati-hati menyibak selimut dan turun dari kasur. Satya masih lelap, dia takut jika suara sepelan apa pun akan membangunkan.
Kana keluar dari kamar dan menuju balkon yang menghadap ke halaman belakang. Nada tunggu terdengar panjang. Kana mengetukkan jari di besi pembatas.
Panggilan akhirnya tersambung.
"Halo, Raf?"
"Ada apa, Na?"
"Bisa bicara sama Allisya sebentar? Ehm, tapi Allisya udah bangun? Aku nggak ganggu, 'kan?"
"Oh. Ya. Wait ya. Aku jalan ke kamarnya. Udah bangun dari tadi dia, biasa, lihat sunrise dari jendela kamar."
Kana menunggu. Mendengar langkah kaki dan pintu yang diketuk di ujung telepon. Tak lama terdengar suara Allisya, masih samar.
"Ini dengan Allisya." Suaranya sudah terdengar jelas. Disusul dengan suara Rafka yang berpesan jika Allisya punya waktu tiga puluh menit sebelum bergegas mandi.
"Ada yang ingin Bunda katakan, Al."
"Tentang apa?"
Terlalu pagi untuk mengatakan hal-hal yang berat. Tapi Kana tetap harus mengatakannya sebelum dia bicara di hadapan media.
"Kemarin, dunia milik Bunda berjalan seperti biasanya. Kerja, pulang, menghabiskan waktu dengan Om Satya, kerja lagi. Lalu ada satu yang membuat dunia Bunda berhenti sebentar." Kana menggigit bibir, satu tangannya meremas pembatas. "Sama halnya dengan dunia milik kamu, Al. Pasti kemarin baik-baik saja sebelum Bunda datang. Lalu, mungkin menjadi kacau karena kamu harus menerima orang baru yang berusaha masuk ke hidup kamu."
Jeda beberapa detik.
"Aku nggak apa-apa."
Di sela cemasnya, Kana tersenyum mendengar Allisya yang berusaha menenangkannya. "Tapi kedatangan Bunda ke dalam hidup kamu akan membawa banyak perbedaan, Al. Entah yang kamu rasakan sendiri, keluarga, orang di sekitar, bahkan orang yang tidak mengerti keadaan kita. Orang akan menghakimi sesuai dengan yang mereka lihat dan yakini. Akan banyak sekali suara-suara di luar sana. Kita tidak bisa memilih mana yang ingin kita dengar. Tapi kita punya orang-orang yang tetap mendukung kita, Al. Orang yang paling mengerti apa yang sebenarnya terjadi."
"Aku paham."
Kana menyusut air mata. Belum mampu melanjutkan meski ada yang masih ingin dia katakan.
"Bunda sudah selesai bicara?"
Lirih, nyaris tidak terdengar. "Bunda minta maaf, Sayang."
"Sebelum Bunda datang, Ayah dan Eyang sudah minta maaf. Mereka juga bilang kalau Bunda nggak salah. Mereka yang salah. Mereka yang bikin aku pisah dengan Bunda."
Kana terhenyak pelan.
"Bunda menyesal sudah datang?"
Menggeleng kuat. Allisya tentu tidak bisa melihatnya. "Bunda nggak menyesal. Bunda hanya khawatir kamu akan menghadapi hal sulit karena Bunda."
"Aku baik-baik aja."
Untuk anak seusia Allisya, terlalu sulit untuk mengerti dan bahkan memberi sebentuk maaf. Bagaimana mungkin Allisya tidak menyimpan kekecewaan. "Al, apa kamu memaafkan Ayah dan Eyang? Dan juga Bunda?"
"Iya."
Seakan belum percaya. "Benar-benar memaafkan kami?"
"Iya."
"Terima kasih, Sayang." Kana kembali tersenyum. Lega dan getir di saat yang bersamaan. "Orang-orang dewasa di sekitar kamu pernah egois sekali di masa lalu. Kami sangat malu untuk meminta pengertian dan maaf dari kamu. Terlalu malu untuk minta dimaafkan. Tapi kami akan menebus semuanya."
"Aku juga."
Jawaban pendek itu memunculkan tanya bagi Kana. "Juga untuk ...?"
"Orang yang ingin aku banggakan sekarang bertambah dua. Hm, dan mungkin banyak. Keluarga Bunda di Solo ada berapa?"
"Nanti .... " Kesulitan bicara saking bahagianya. "... kita ketemu sama mereka ya?"
"Iya."
Kana menutup telepon dan luruh ke lantai. Mendekap ponsel di dada. Menangis sejadi-jadinya.
***
Hampir satu jam dia terpekur di meja makan. Sedikit pun belum menyentuh sarapan di hadapannya. Meja besar itu lengang dan kosong. Marlina hanya duduk dan terus memandangi buket bunga di meja ruang tengah.
"Yun." Marlina menyergah ketika ART-nya menuruni anak tangga, selesai membersihkan lantai dua.
Dengan cepat mendekat ke meja makan. "Ya, Bu?"
"Buang bunganya."
Menoleh ke ruang tengah. "Maksudnya bunga di meja itu, Bu? Tapi itu yang bawa Mas Satya tadi malam—"
"Buang."
"Baik, Bu."
Terdengar kaki kursi yang bergeser. Marlina berdiri, meninggalkan meja makan. Napsu makannya juga ikut hilang. Dia melangkah menuju anak tangga, kembali ke kamar.
Putranya datang tadi malam. Mengetuk pintu kamarnya sekali. Namun, hatinya bersikeras tidak ingin menemui. Kekecewaannya hanya akan semakin bertambah dan dia takut berubah menjadi benci. Atau justru sebaliknya, hatinya akan luluh melihat Satya memohon maaf lagi padanya.
Tidak ada ketukan kedua. Marlina meninggalkan kasur dan berjalan ke pintu. Berdiri satu langkah di depan pintu. Berpikir jika Satya sudah pergi. Tapi suara lirih yang terdengar mematahkan dugaannya.
"Aku tahu Mama masih marah. Pasti sulit untuk Mama ketemu aku sekarang. Nggak apa-apa. Aku ngerti, Ma."
Marlina bergeming.
"Nggak banyak yang bisa aku lakukan untuk membuat Mama merasa lebih baik. Aku nggak bisa memaksakan apa yang ingin aku jalani ke Mama. Sama halnya dengan meyakinkan Mama jika aku bahagia hidup dengan Kana. Sedari awal Mama nggak percaya akan hal itu. Mungkin, Mama punya penilaian sendiri soal bahagiaku gimana. Aku sangat berterima kasih karena sampai detik ini dan nanti, Mama tetap peduli."
Sesak menggantung di hatinya. Marlina berbalik, memunggungi pintu. Menahan diri untuk membuka pintu dan memeluk putranya.
"Ma ... sebanyak apa pun waktu yang Mama butuhkan untuk memaafkan dan menerima kami, aku dan Kana akan tunggu. Kami nggak akan ke mana-mana. Nanti kalau Mama sudah merasa lebih baik, aku harap kita bisa bicara ya, Ma."
Terdengar suara derap yang menjauh dan Marlina masih dengan pendiriannya. Egonya tetap bertahta. Mengalahkan suara hati kecil yang dia bungkam.
Di tengah anak tangga, Marlina berhenti dan menoleh ke ruang tengah. Melihat bunga itu sudah disingkirkan dari sana. Sedikit panik. "Yuni!"
Langkah Yuni juga terhenti mendadak. Dia berbalik, tergopoh mendekat ke arah tangga. Mendekap buket bunga.
"Bunganya ...."
"Bagaimana, Bu?"
"Jangan dibuang. Pindahkan saja ke vas."
***
Epiloguenya sekalian gas gak nih? 🤣
Rabu/30.06.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top