Chapter 37

On mulmed: Afgan—Bukan Cinta Biasa

——————————


Kana tidak ingin hanya diam dan berlama-lama menatap punggung lelah itu dari kejauhan. Merapatkan kardigan rajut yang dia kenakan, Kana meninggalkan teras samping dan berjalan di rerumputan.

Dia tidak sabaran menunggu Satya pulang. Pun tidak coba untuk menelepon atau mengirim pesan. Kana memilih langsung datang dan memastikan sendiri. Tadi sore, suaminya mengabari jika akan mampir ke rumah Mama. Namun, melihat buket bunga di meja ruang tengah yang dia lewati barusan, lantas mendapati Satya justru melamun di halaman samping, Kana sudah bisa menyimpulkan.

Lengan rampingnya merentang begitu tinggal satu langkah. Merengkuh suaminya dari belakang. Membenamkan separuh wajah di sana. Merasakan nyaman dan tenang.

Satya cukup terkejut dengan kedatangan istrinya. Dia sendiri mungkin juga tidak sadar sudah berapa lama melamun di sini. Wajahnya yang semula pias perlahan menggurat senyum. Tangannya mengusap punggung tangan yang melingkar di perutnya.

"Mama udah mau bicara sama kamu?" tanya Kana hati-hati.

"Belum."

Kana sudah menduga hal ini. Pikiran yang membuatnya tidak bisa duduk diam di rumah menunggu Satya pulang.

"Kamu udah masak banyak ya?"

"Udah." Kana membalik posisi wajah. Hingga kini pipi kirinya yang gantian menempel di pundak Satya. "Tapi nggak apa-apa. Bisa buat sarapan besok pagi."

Kana sendiri yang kemudian melepas tangannya. Dia mengajak Satya untuk duduk di atas rumput. Satya sempat menolak, masih berdiri. "Kita bisa pulang sekarang."

"Aku nyusul ke sini bukan mau ngajak kamu pulang kok." Kana yang sudah duduk, menarik lengan Satya.

Malam yang cukup cerah dan langit sedang indah-indahnya. Mereka duduk takzim, beberapa saat membiarkan suara malam mengisi. Mereka sama-sama tahu jika dada masing-masing menyimpan sesak. Beberapa resah berhasil mereka atasi, tapi tampaknya terlalu dini untuk berharap semua berjalan sesuai ingin mereka.

"Kamu nggak perlu khawatir. Besok aku ke sini lagi. Siapa tahu suasana hati Mama udah membaik dan mau ketemu."

Membaik dalam satu malam tentu tidak mungkin. Tapi Kana tidak ingin mematahkan harapan Satya. "Indi pernah cerita kalau kamu lebih disayang Mama Marlina ketimbang dia."

"Berat diakui, tapi memang iya." Satya menghela napas. "Mungkin itu yang membuat Indi lebih memercayai orang lain; Damar. Mama juga sayang dengan Indi, hanya saja tidak banyak ditunjukkan. Indi dulu nggak seramah sekarang, cenderung dingin. Bentrok dengan sifat Mama. Tapi semenjak Indi berkeluarga, hubungan mereka membaik."

"Dan aku mengambil separuh hidup anak lelaki kesayangannya. Lalu beliau lihat ternyata kamu nggak bahagia hidup sama aku." Kana membasahi bibir. "Kekecewaan Mama Marlina ke aku, nggak tahu sebesar apa. Nggak berani membayangkan sebesar apa."

"Aku bahagia, Kana. Mama mungkin melihatnya dari sudut yang berbeda. Biar waktu yang kasih lihat sendiri nanti."

"Kamu tahu, Sat?" Kana menatap suaminya. "Ada alasan kuat yang membuat aku ingin egois, keras kepala kayak batu demi melawan keinginan Mama Marlina."

Satya balas memandangi Kana lamat-lamat, bertanya lewat mata.

"Aku tahu semuanya."

"Soal?"

"Kedatangan kamu ke rumah. Satu minggu sebelum kamu melamar."

Mata Satya memindai wajah istrinya.

Tahu jika Satya kelewat serius, Kana coba mengatakannya dengan ringan. Matanya tersenyum. "Kamu tahu apa yang aku maksud, Sat. Mama udah cerita semuanya ke aku. Belum lama sih ceritanya. Pas muncul Allisya, Mama baru cerita. Mungkin maksudnya Mama pengin nguatin aku, sekaligus ngasih aku alasan untuk nggak nyakitin kepercayaan yang udah kamu kasih sejak awal."

Satya mengerjap dan mengangguk pelan. Mengerti apa yang dimaksud istrinya. Potongan ingatan itu melintas di kepalanya. "Aku pengin mengenal kamu sebaik mungkin. Tapi saat itu kayaknya kamu belum siap cerita. Aku mengambil jalan pintas dengan menemui Mama Amira. Semoga kamu nggak marah."

Kana diam, tapi sorot matanya berbicara banyak. Tanpa dia sadari, setitik jatuh begitu saja di pipi.

"Kok nangis?" tanya Satya lembut.

"Kenapa kamu memutuskan untuk tetap nikah sama aku? Sementara kamu tahu, aku udah rusak. Masa laluku buruk. Sangat bisa kalau kamu mundur, belum terlambat. Kita belum terlalu jauh saat itu, bahkan hari lamaran masih seminggu lagi. Kamu punya alasan kuat untuk membatalkan."

"Aku sendiri aja nggak sempurna. Kenapa mesti nuntut kamu untuk sempurna?"

Kana tercekat. "Dan ...." Menarik napas. "... kamu mempertaruhkan hidup kamu untuk aku? Kamu pernah kebayang nggak kalau hal kayak sekarang bakal terjadi?"

"Aku nggak bisa mendikte takdir, Kana. Kalau pun aku menikah bukan dengan kamu, belum tentu juga aku hidup tanpa masalah. Sekali keputusan diambil, ya udah, aku jalani dan menatap ke depan. Nggak nengok-nengok lagi. Apalagi berandai-andai."

Kana terdiam sesaat. Mencerna baik-baik kalimat Satya. Kemudian dia menimbang. Benaknya mempertanyakan alasan di balik keputusan Satya untuk tetap menikahinya. "Apa karena Indi?"

Tanpa keraguan. "Bukan."

"Kenapa kamu begitu mudah menerima kesalahan orang di sekitar kamu?"

"Semua orang pernah salah. Kita akan jatuh sekalipun berusaha untuk sangat berhati-hati. Kita cuma nggak tahu bakal jatuh di bentuk kesalahan yang seperti apa. Aku nggak memaklumi kesalahan yang kamu perbuat di masa lalu. Tapi aku coba lihat dari sudut pandang gimana kamu belajar menjadi lebih baik setelah apa yang terjadi. Saat itu kamu pasti sangat marah ke diri sendiri, semua rencana dan impian kamu berantakan, tapi kamu survived. Merangkul, memaafkan dan menerima diri sendiri. Itu hal yang nggak mudah." Satya memberi jeda. "Kenapa aku nggak mundur dan membatalkan pernikahan? Karena aku lihat kamu yang sekarang, bukan Kana remaja tanggung yang lagi salah jalan."

"Tapi bisa aja aku bikin kesalahan lagi."

"Setidaknya kamu sudah lebih bisa bertanggungjawab ke diri kamu sendiri. Sebelum bertindak, kamu udah bisa mempertimbangkan risikonya."

Kana bingung. Dirinya ingin menangis, tapi di sisi lain ingin menunjukkan kekaguman yang sulit dia bendung. Tapi ada yang jauh lebih penting ingin dia tanyakan. "Selama dua tahun lebih kita nikah, apa kamu diam-diam nunggu aku buat cerita?"

"Sejujurnya ... iya."

"Maaf, Sat. Kamu harus mendengarnya dari Mama dan bukannya aku. Aku terlalu pengecut buat cerita."

"Kamu takut aku ninggalin kamu ya?"

"Iya. Tapi ternyata kamu tetap di sampingku, bahkan dalam keadaanku yang begini."

"Aku mau tanya satu hal."

"Apa?"

"Kenapa kamu dan Rafka dulu nggak memutuskan untuk menikah?"

"Kamu mungkin udah tahu alasannya."

"Karena kamu belum siap?"

Mengangguk. "Umur enambelas tahun. Impianku saat itu banyak, Sat. Tindakan bodohku sama Rafka bikin semua berantakan. Kami sepakat nggak ada pernikahan dan bayi kami akan dirawat Tanteku. Awalnya keluarga Rafka setuju, tapi menjelang bayi kami lahir, mereka menentang. Yang nggak aku habis pikir mereka sampai berbohong soal bayi yang meninggal. Mereka bisa bicara baik-baik ke kami kalau memang ingin merawat bayi itu."

Sudut mata Satya menangkap tangan Kana yang gemetar. "Aku coba ngerti perasaan kamu sebagai Ibu."

"Tapi yang nggak bisa aku pungkiri." Kana menunduk. "Aku sempat nggak menginginkan kehadiran Allisya meski sama sekali nggak berpikir untuk menggugurkan. Ketika dia dianggap meninggal, aku sempat depresi. Aku sangat kehilangan. Dan sekarang, setelah tahu dia masih ada dan tumbuh besar, aku berasa lagi ditampar sekeras-kerasnya sama hidup, Sat."

"Ditampar gimana?" Satya menepuk-nepuk bahu istrinya. "Allisya tumbuh jadi gadis yang baik."

"Tapi aku nggak di sana. Aku nggak ada ketika pertama Allisya bisa bicara. Nggak ada pas dia belajar jalan. Nggak bisa kasih ASI ke dia. Nggak bisa ngantar dia masuk ke sekolah pertama kali." Mengembuskan napas. "Meski nggak bisa menebus kesalahan yang keluarga Rafka perbuat, aku berterima kasih ke mereka sudah membesarkan Allisya dengan baik."

"Itu artinya kamu benar-benar memaafkan mereka?"

"Iya. Seperti kamu, aku juga mau menatap ke depan. Allisya nggak boleh lagi kehilangan dua keluarganya."

Satya menatap bangga.

"Aku banyak merenung kemarin. Kalau diingat, aku juga banyak banget salah ke kamu."

"Yang, kita bakal bahas ini lagi ya?" Satya memasang ekspresi pura-pura bosan.

Kana mengabaikan dan tetap mengeluarkan isi pikirannya. "Aku udah menyia-nyiakan suami sebaik kamu. Sibuk ngejar karir. Nggak ada di rumah pas kamu pulang kerja. Curigaan ini-itu ke kamu. Sekarang, Tuhan kayak membuka mata dan menunjukkan kalau aku ini melewatkan banyak kesempatan."

"Kalau itu, aku juga punya andil. Selama kita menikah, banyak momen yang kelewat karena kita sama-sama sibuk. Banyak prasangka yang cuma dipendam dan berharap bisa lupa. Kita merasa kita baik-baik aja dan sudah saling mengerti jadi nggak perlu meributkan apa-apa. Apa yang menimpa kita kemarin, bikin kita sama-sama berhenti dan mikir lagi. Nggak selamanya masalah cuma bawa dampak buruk, tapi masalah justru bikin kita belajar dan tahu mana yang perlu diperbaiki."

"Ah, satu lagi." Satya baru ingat. "Makasih udah jadi fans nomor satuku, Yang."

Mengenyitkan dahi. "Hm?"

"Itu, ehm, aduh maaf kalau melanggar privasi kamu ya. Tapi aku tahu isi macbook kamu."

"Eh?"

"Dan juga makasih udah ngeborong albumku tiap launching. Soal macbook tahu dari Lala. Kalau perkara album, tim sales yang tracking. Ini penimbun atau apa nih kok mencurigakan. Padahal toko kaset belinya nggak pernah segitu. Kamu terniat banget sih nyebar ke fandom-fandom terus dibikin giveaway sama mereka."

"Kan biar nggak ketahuan." Kana berdeham. Menggaruk rambut kikuk. Satya yang melihatnya hanya menahan senyum. Tahu-tahu Kana menurunkan tangan dari rambut dan tertawa kecil, yang kemudian juga menular ke Satya. Tanpa kata, tapi menertawakan hal yang sama.

"Caraku norak ya, Sat?"

"Ah, enggak, kata siapa."

"Lala berkali-kali bilang gitu, akunya aja yang batu. Terus ini kalau Reza tahu pasti aku diolok-olok."

"Tapi aku senang punya secret admirer yang ternyata boboknya sebelahan."

Kana mengulum bibir. "Ya, cuma itu sih yang bisa aku lakuin. Nggak seberapalah sama kamu yang bela-belain ke acaraku padahal kamu sendiri udah capek tapi maksain tetep datang."

"Dih. Sok merendah."

"Nggak. Beneran. Waktu lebih berharga dari materi. Apalagi ini seorang Satya yang ngeluangin waktu."

"Mulai deh. Terbang nih aku." Satya tertawa.

Kana menelengkan kepala, merekam baik-baik dalam ingatan, lalu menunggu hingga tawa itu reda. "Mau nggak, Sat, kita balik lagi ke awal?"

"Kita bisa mulai dari mana pun, Yang."

"Aku pengin mengabdi sepenuhnya ke kamu. Nggak bisa sepenuhnya sempurna, tapi aku usahakan yang terbaik."

Satya menyentuh kepala Kana. Membelai lembut. "Kalau gitu, aku pegang janji kamu selamanya ya."

***


Eitsss, besok belum Epilogue tenang ajaa 🤣

Masih ada chapter 38 yhaa~

Tapi ya tetep sih bentar lagi bubaran 😫😭🖐

Selasa/29.06.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top