Chapter 35
Sumpah ini dadakan sekalee wkwkw
Tadi siang masih galauin chapter ini, terus sorenya Alhamdulillah bisa lanjut ngetik 😆🙌
Happy reading 💪
———————————
Kepalan tangan Satya bertambah erat. Tidak ada yang menyadarinya. Kana dibantu Lala sedang menata piring di meja untuk makan malam. Sementara Satya membukakan pintu dan menyambut dua orang yang baru datang. Tamu yang mereka tunggu.
Ada aura dingin yang mudah diartikan. Rafka sempurna sadar diri dan menerima tatapan dingin yang diberikan Satya. Mungkin jika Allisya tidak datang bersamanya, Satya sudah melayangkan kepalan tangannya. Kilatan mata itu berbicara banyak. Namun, secepat kilat berubah ramah saat beralih menatap Allisya.
"Ah, ini Allisya." Satya mengalihkan tatapannya ke gadis belia di samping Rafka. Allisya terlihat manis bahkan hanya dengan hoodie oversize warna lilac. "Halo."
Uluran tangan Satya disambut Allisya. Terlihat bingung merespons sapaan Satya seperti apa. Bukannya dia tidak tahu siapa Satya. Tapi baginya, situasi ini cukup rumit. Hal itu ditangkap dengan jelas oleh Satya. Jadi sebisa mungkin Satya memberi kesan netral untuk Allisya. Bahwa dia boleh menganggap Satya seperti apa pun. Sekadar penyanyi yang biasa dilihat di televisi dan akhirnya bertemu langsung. Suami dari perempuan yang melahirkannya. Atau seseorang yang akan segera menjadi keluarga baru?
"Bundamu sudah cerita banyak soal kamu, Al."
Sebagai bentuk formalitas di depan Allisya, Satya juga menyalami Rafka. Lantas mengajak mereka untuk masuk. Langsung menuju meja makan yang sudah ditata rapi. Sepanjang sore para perempuan ribut belanja dan memasak ini-itu.
Kana yang baru landing juga kaget dengan kejutan yang diberi Lala. Manusia itu ngide soal makan malam. Tanpa diskusi dengan Kana sebelumnya, Lala sudah mengundang Rafka dan Allisya.
Suasana meja makan canggung pada awalnya. Kana, setelah puas memandangi Allisya, akhirnya menoleh ke suaminya. Meneliti gestur Satya sekecil apa pun. Bahkan coba membaca apa yang sedang lelaki itu pikirkan tapi gagal. Dia jadi gemas sendiri.
"Allisya bisa main piano ya?" Satya membuka suara di sela makan.
Allisya mengangguk.
"Bahkan sempat ikut resital piano ke Jakarta ya?"
Wajah Allisya terlihat antusias ketika hobinya disinggung.
Satya meletakkan sendoknya. Bertepuk tangan tanpa suara. "Hebat, hebat."
Allisya akhirnya memberi respons lain. Dia tersenyum meski hanya sebentar. Itu sudah kemajuan.
"Tahun depan, Om ada konser dekade, Allisya mau nggak temenin nyanyi di panggung?"
"Ya?" Allisya terperangah tidak percaya. Lalu menatap ayahnya, meminta pendapat.
Satya menunggu. Menggigit bibir. Apakah ini terlalu buru-buru? Mereka baru bertemu dan Satya sudah mengambil langkah secepat ini. Seharusnya dia—
"Kalau kamu mau, go ahead, Sya."
Allisya kembali lagi ke Satya yang setengah melamun. Memberi anggukan yang terlihat antusias.
Kana memperhatikan semua itu dengan hati yang lega. Semua ketakutannya tidak terbukti.
"Gue tebak pasti Allisya ngefans sama Satya." Lala mendekat ke telinganya, berbisik seperti itu.
Baru saja Kana akan membalas, terpotong oleh Lala. "Al, kamu ngefans sama Om Satya ya?"
Satya mengibaskan tangan. "Nggak semua orang ngefans sama gue kali, La."
"Iya."
Semua kompak menoleh ke sumber suara lirih itu berasal.
Rafka tersenyum. "Pengin ngomong ini ke Kana dari kemarin-kemarin. Tapi lebih enak kalau Allisya sendiri yang cerita."
"Wah, Om jadi terharu. Kalau boleh tahu, gimana awalnya bisa ngefans sama Om?" Satya melupakan makanannya dan lebih tertarik mendengar cerita Allisya. "Kita pernah ketemu sebelumnya?"
Allisya membuka cerita. "Kalau Om masih ingat, dua tahun lalu Om pernah datang ke yayasan sekolahku."
Satya diam sebentar, mengingat. "Maaf, Om lupa, Al. Bisa cerita lebih lanjut?"
"Aku masih duduk di bangku SD saat itu. Om datang untuk acara perpisahan kelas dua belas."
"Sebentar, sebentar. Jadi kamu berhasil nyelinap nonton Om nyanyi?"
Allisya mengangguk. Mengonfirmasi. Kana dan yang lain hanya menyimak.
"Kalau Om ingat, aku yang waktu itu Om selamatkan."
"Eh? Oh?" Satya terkesiap. Wajahnya clueless.
Dengan senang hati, Allisya melanjutkan. "Om turun dari panggung. Aku udah terpojok di gerbang pembatas. Entah Om turun karena lihat aku yang terjepit atau apa, tapi kalau Om nggak turun tepat waktu, aku udah pingsan di sana."
Menggali ingatan, akhirnya muncul sepotong kejadian hari itu. Satya berhasil mengingat sekilas wajah gadis itu. Dia hanya tidak pernah menyangka jika tiga tahun kemudian, gadis itu kini sedang duduk di hadapannya. Bercerita tentang hari itu.
Senyum mengembang di wajah Satya. Bukan karena dia bisa akrab dengan Allisya bahkan tanpa perlu banyak usaha, tapi ternyata takdir milik Kana pernah bersinggungan dengannya.
Jika memutar kembali ingatan, Satya memang melihat ada anak perempuan yang terhimpit di deretan depan. Petugas keamanan lengah saat itu. Mungkin yang terlihat adalah Satya yang menuruni panggung agar bisa dekat dengan penonton, menyapa dan membalas uluran tangan mereka. Tapi fokus Satya jelas satu, dia menuju ke arah gadis remaja—saat itu dia pikir semua penonton adalah murid SMA—yang terlihat butuh pertolongan. Berada di atas panggung membuat jangkauan pandangan Satya lebih luas.
"Terima kasih sekali, Om. Waktu itu belum sempat bilang." Allisya menutup cerita. Matanya terlihat begitu hidup. Dia sudah menyesuaikan diri dan merasa nyaman dengan situasi ini. Kana lagi-lagi hanya diam, lebih banyak memperhatikan dan berdecak kagum di dalam hati.
Satya mengangguk dengan senyum. "Senang bisa bertemu kamu setelah tiga tahun, Al."
Tanpa diduga oleh seisi meja, Allisya melontarkan satu pertanyaan. "Saat itu, Om sudah menikah dengan, hm, Bunda?"
Kana semakin takjub dengan isi percakapan di meja makan yang berhasil membuatnya berkaca-kaca. Hatinya membuncah bahagia. Lala di sebelahnya juga hanya mampu terdiam. Tidak ada niat merecoki percakapan dua arah itu. Sama halnya dengan Rafka yang memberi ruang putrinya untuk mengenal Satya.
"Om sudah melamar bundamu saat itu." Satya mengalihkan topik. "Allisya suka main piano sejak kapan?"
Dan setelahnya, percakapan mereka tetap mendominasi meja makan. Seperti kawan lama yang kembali bertemu. Satya membuat rentang umur di antara mereka menjadi tiada. Allisya bisa dengan nyaman menjawab, bahkan bukan sekadar jawaban sepatah dua patah kata. Dia dengan sukarela bercerita panjang.
Suara mereka menjadi samar di telinga Kana. Dia menatap lamat-lamat profil Allisya. Sebelum datang ke sini dan berusaha untuk ada di dekatnya, Kana takut setengah mati akan reaksi Allisya akan seperti apa nantinya. Sebenci apa. Seterluka apa. Kana khawatir jika Allisya hanya akan terluka jika bertemu dengannya.
Lalu, perlahan, waktu membuktikan jika ketakutan itu hanya terjadi di kepala dan benaknya.
Kana baru bisa bebas menangis saat mencuci piring. Sesenggukkan tanpa suara. Lala yang menyandar di dinding hanya bisa geleng-geleng sambil senyum. Dia tahu tangis sahabatnya tangis bahagia. Jadi dia akan membiarkan beberapa saat.
Lelah dengan posisi menyandar, Lala meregangkan tubuh. Hatinya ingin mengatakan hal manis, tapi yang keluar sulit dia kendalikan. "Yailah, nangis di sini ternyata. Nyuci piring segala biasanya juga gimana. Bukannya ikut duduk di depan. Ngebabu nggak tepat waktu."
Sambil menyeka pipi dengan lengan sweater. Tanpa menoleh. "Gue disuruh nangis di depan mereka maksud lo?"
"Udah, sini. Gue terusin. Allisya mau pamit pulang tuh. Sana."
Melepas celemek, Kana bergegas ke depan. Dia melihat Allisya yang sudah berdiri. Kana mengelap tangan yang sebenarnya sudah bersih ke ujung sweater sebelum memeluk Allisya. Mengantar hingga depan gerbang vila. Melambaikan tangan tak henti-henti. Allisya juga beberapa kali menoleh, melihat bundanya yang masih berdiri di luar gerbang.
Setelah punggung Allisya hilang di belokan, Kana barulah meninggalkan gerbang. Dia mencari keberadaan Satya. Melongok ke dapur, mencibir Lala yang lelet mencuci piring. Lalu kembali mencari. Naik ke lantai dua. Menemukan suaminya di balkon kamar.
Satya berbalik tepat waktu saat Kana hendak memeluk dari belakang. Dia menumpukan pinggang di tepian balkon dan menahan separuh beban Kana. Menyatukan jemari-jemarinya di punggung istrinya.
"Kamu besok udah pulang ya?" Kana menengadahkan kepala agar bisa melihat wajah Satya dengan jelas dalam posisi berpelukan.
"Sebenarnya pengin lebih lama. Apalagi tadi Allisya sempat cerita soal liburan dia di Nihi. Jadi pengin ke sana."
"Sumba?"
"Iya. Kan waktu itu kita belum jadi ke sana."
Kana menelengkan kepala. "Kalau liburan ngajak Allisya, kamu keberatan nggak?"
"Nggaklah, Yang."
"Tapi, itu, ehm—"
"Papanya pasti ikut." Satya tahu yang ragu dikatakan Kana.
Mengerutkan hidung. "Kamu nggak apa-apa?"
Mengangguk. "Kamu atur aja itinerari-nya sama Lala. Minta Lala buat cek jadwalku ke Reza ya."
Kana merangkulkan lengan ke leher Satya. Menggerakkan tubuh ke kanan dan kiri seperti anak kecil. Terkekeh-kekeh kecil seraya menghujani pipi Satya dengan ciuman. Sebagai bentuk kecil terima kasih tak terhingga yang tak mampu Kana suarakan.
Dan terakhir ciuman Kana berhenti di bibir. Satya menahannya lebih lama. Merangkum wajah Kana dengan kedua tangannya. Memejamkan mata perlahan. Sejenak meletakkan bisingnya dunia. Melepas sebentar resah yang masih tersisa di sudut hati. Meresapi bahagia yang bisa dia rasa dan genggam persis di depan mata.
Terima kasih, Tuhan. Kana-nya bahagia.
***
Sudah terlalu larut, dia seharusnya tidak datang. Mematung di depan sebuah pintu. Lorong terasa semakin senyap dan dia akhirnya menekan bel. Di sisi lain, kakinya berat untuk dibawa pulang. Dia ingin sekadar melihat keadaan Indi. Sudah dua minggu sejak Indi kembali ke apartemen.
Wajah mengantuk putrinya segera menyambut setelah bunyi kerit pintu terbuka. Mengerjapkan mata dan melengkungkan senyum sebagai sambutan. Indi memiliki senyum yang meneduhkan, sama seperti kakaknya. Warisan dari almarhum ayah mereka. Marlina pernah iri dengan senyum teduh kedua anaknya. Sementara senyum yang dia sungging terlihat sinis dan dingin.
Berdeham lirih. Tersenyum tipis. "Maaf, Mama membangunkan."
Indi membuka pintu lebih lebar. "Aku belum tidur, Ma. Habis nidurin Satrya."
Marlina melangkah masuk. Mengedarkan pandangan ke unit milik putrinya. Sementara Indi menuju dapur, berniat membuatkan teh hangat.
"Air putih hangat saja."
Indi menyahut lirih. Tak lama kemudian datang membawakan segelas air putih hangat. Menaruhnya di meja sofa.
"Damar belum pulang kerja?"
"Udah, Ma. Dia selalu pulang tepat waktu. Tidur sama si Kembar lagi. Akhir-akhir ini mereka sering minta dibacain dongeng."
Baru saja Indi akan menyusul duduk, suara tangis putranya terdengar. Marlina mengangguk, membiarkan Indi berlari kecil ke kamar dan dirinya ditinggal sendiri.
Marlina bangkit, melangkah ke dekat jendela. Menyibak sedikit gorden, memastikan. Tangannya bahkan meraba kaca jendela. Lalu beralih ke meja panjang tempat beberapa bingkai foto ditaruh. Semua bersih dan tertata rapi. Juga termasuk rak mainan di bawah meja. Dinding-dinding yang beberapa hari lalu penuh coretan, kini sudah dicat ulang. Meski besok coretan kembali menghias dinding.
Kembali melangkah, Marlina berhenti di depan kamar si Kembar yang terdapat tempelan kertas yang digambar dengan krayon—gambar manusia yang terlalu abstrak tengah bergandengan tangan. Hati-hati sekali Marlina mendorong kenop pintu.
Dia tidak masuk, hanya membuka sedikit pintunya. Namun cukup untuk membuatnya tergugu. Matanya berkaca. Pemandangan si Kembar yang tidur mengapit ayah mereka, saling memeluk, membuat hatinya tersentuh.
Sejak si Kembar lahir, Marlina selalu mengawasi bagaimana Indi mempertanggungjawabkan kesalahannya bersama Damar. Melihat bagaimana Indi tumbuh semakin dewasa, menjalani peran sebagai ibu dan istri di usia yang muda. Dia hanya ingin memastikan jika putrinya bahagia menikah dengan lelaki pilihannya. Meski alasan pernikahan mereka tidak pernah berani Marlina bayangkan.
Dan hingga detik ini, Marlina selalu dibayangi rasa khawatir jika Indi tidak akan bahagia.
Sebelum menangis, Marlina menutup pintu—sama hati-hatinya. Bersamaan dengan Indi yang keluar dari kamar di sebelahnya dengan menggendong Satrya.
Indi menatap gelas yang belum tersentuh. Mereka duduk di sofa. Indi menyamankan duduknya seraya memberikan ASI untuk Satrya. Menepuk-nepuk lembut punggung putranya.
"Mama kangen cucu-cucu ya?" Indi bertanya dengan suara lirih. Memecah hening yang sempat tercipta.
Marlina mengangguk. "Mama datangnya kelewat malam, jadinya mereka udah tidur."
"Mama habis dari acara apa?"
"Mama dari rumah."
Kembali hening dan suara detak jam mengisi ruang kosong di antara mereka.
"Ndi." Marlina mulai bicara lagi. "Mama menyakiti kakakmu hari ini."
Dengan sangat tenang bertanya. "Mama ingin mereka berpisah?" Karena bukan hal baru bagi Indi. Bahkan keluarga besar tahu betapa mamanya ingin mereka berpisah.
Marlina memejamkan mata. Menelan ludah getir. "Apakah permintaan Mama begitu sulit diwujudkan?"
Indi menghela napas panjang. "Selama mereka menikah, apakah barang sekali Mama tidak mendesak Mas Satya untuk berpisah dengan Mbak Kana?" Melirik mamanya yang terdiam. "Maaf, Ma, aku lancang bicara."
Kalimat selanjutnya Indi katakan lebih hati-hati dan pelan. "Setiap apa yang dilakukan Mbak Kana selalu salah di mata Mama. Aku dan semua orang tahu bagaimana Mama menyayangi Mas Satya melebihi aku. Hal yang aku sadari dan bisa aku terima pada akhirnya. Aku sebagai adik, juga ingin Mas Satya bersanding dengan perempuan yang paling baik. Paling sempurna. Tapi mana ada yang seperti itu, Ma?" Tersenyum sendiri. "Aku sangat amat menghormati Mas Satya, Ma. Aku percaya dengan pilihan dan keputusan yang dia ambil. Entah masalah seperti apa lagi yang mungkin datang ke mereka, aku tahu kalau Mas Satya nggak akan menyerah. Mas Satya bukan pengecut, Ma. Kalau kali ini Mas Satya tetap bertahan, itu artinya Mas Satya sangat mencintai Mbak Kana."
Marlina bersandar lelah. Pandangannya mengabur. Satu kedipan akan membuat pertahanannya hancur. "Masmu akan baik-baik saja, Ndi?"
Tangan Indi meraih satu tangan mamanya. Menggenggam. Dia belum tahu apa yang terjadi dengan kakaknya kali ini, tapi kedatangan mamanya sudah mengisyaratkan banyak hal.
"Ma, kalau Mama bisa ikhlas dengan jalan hidupku, juga memaafkan apa yang sudah aku perbuat, Mama harus berlaku adil dengan Mas Satya."
Marlina terdiam kelu.
"Anak-anak Mama sudah besar. Mama hanya perlu memercayai Mbak Kana seperti Mama memercayai Damar. Selama yang aku lihat, Mbak Kana tidak pernah membuat Mas Satya hilang statusnya sebagai anak lelaki Mama. Dia ambil secukupnya porsi sebagai istri dan sisanya hidup Mas Satya tetap sama; masih ada aku dan Mama."
"Mama takut Satya tersakiti, Ndi. Kali ini jauh lebih berat dan dia tetap membela istrinya. Lalu ... bagaimana dengan hatinya sendiri?" Akhirnya gagal menahan air mata.
Indi menepuk-nepuk punggung tangan mamanya. Dia coba mengerti dan tidak lagi menjelaskan apa pun. Dia percaya suatu hari nanti hati mamanya akan terbuka sendiri dan menerima Kana.
Setelah tangis mamanya mulai reda, Indi berkata. "Aku nggak tahu masalah mereka apa, tapi melihat Mama yang datang seperti ini, ini pasti berat untuk Mama terima. Kita hanya bisa berharap yang terbaik buat mereka, Ma. Berharap semoga masalah mereka segera selesai."
Marlina mendengar, tapi tidak dengan hatinya. Dia tetap bersikeras. Tidak merelakan jika Satya harus tetap bertahan dengan Kana.
Indi tahu, mungkin ini percuma. Dia tidak bisa berharap banyak mamanya akan mempertimbangkan kalimatnya. Tapi dia tetap mengatakannya. "Mama pasti ingin yang terbaik untuk kami. Kami sangat tahu. Jika aku gagal memenuhi hal itu, harapan Mama sepenuhnya ada di Mas Satya. Tapi jika Mas Satya hidup tidak sesuai dengan keinginan Mama, apakah Mama ingin memaksa Mas Satya untuk pulang dan melepas apa yang dia miliki sekarang?"
Akhirnya Marlina bersuara, meski sengau. "Kakakmu terlalu dibutakan cintanya."
"Ma ...." Indi menutup percakapan lewat tengah malam itu. "... hati Mas Satya mungkin akan jauh lebih sakit jika gagal berada di samping Mbak Kana dan membelanya."
***
Dah mau ending, ada yang kangen sama R gak?
Bukan Regan hlo ya 🤣
Minggu/20.06.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top