Chapter 34
On mulmed: Afgan—Jalan Terus
*btw Afgan cakep bgt pake kaus item lusuh begitu 😍
—————————
"Kenapa mertua lo?"
Lala bertanya ketika Kana sudah menurunkan ponsel dari telinga. Kana sempat bengong sesaat. Lala sudah bisa menebak tanpa perlu bertanya sebenarnya. Apa pun yang menyangkut mamanya Satya selalu berujung hal yang tidak mengenakkan. Mana pernah sih sekali saja telepon dari beliau membuat Kana semringah?
Setelah Lala menyentuh sikunya, Kana baru tersadar dan menjawab. "Minta ketemu sekarang juga."
Lala sontak protes. Lupa kalau mereka ke Bali hanya kunjungan biasa dan bukan dalam rangka pekerjaan. Mungkin Lala masih terbawa dengan keseharian saat Kana masih sibuk. "Pesawat udah mau berangkat. Mana bisa?!"
"Lo duluan aja, La. Gue bisa flight nanti siang." Kana tertawa kecil. "Kita ke Bali bukan mau kerja. Santai dong."
"Hmm, ya. Lupa gue." Lala menggaruk dahi. "Gue anter ke depan?"
"Nggak usah." Kana menepuk bahu Lala dan lekas berbalik, menuju pintu utama bandara. Mencari taksi dan menyebutkan alamat rumah ibu mertuanya. Sepanjang perjalanan berusaha menepis apa pun yang menyerang pikirannya. Tidak pula berusaha menebak. Dia hanya perlu menyiapkan mental.
***
"Sat?"
"Ya?"
"Ehm, nggak jadi deh."
Lima menit kemudian.
"Sat?"
"Apa, Ja?"
"Coba deh telepon Kana."
"Terakhir chat, dia mau boarding."
"Seriusan udah masuk pesawat?"
"Harusnya udah."
"Pesawatnya udah terbang, 'kan?"
Satya mencoret rangkaian lirik lagu di kertas. Tadi sebelum Reza menyusul ke balkon, idenya mengalir lancar. "Lo pengin ikut Lala ke Bali?"
"Kalau gue ngaku sesuatu, lo marah nggak?"
"Lo suka sama Lala?"
Reza menekuk wajah, penuh rasa bersalah. "Ini soal bini lo sih."
"Kenapa soal Kana? Ada pemberitaan macem-macem lagi di luar sana? Kana dicegat di bandara ya? Lala ngabarin lo?"
"Kemarin gue diajak ketemu nyokap lo." Reza menunduk, memainkan ujung kausnya. "Dan gue diinterogasi soal kenapa lo terlihat ada masalah akhir-akhir ini."
Satya meletakkan tumpukan kertas dan berdiri. Dia tidak perlu mendengar penjelasan Reza secara lengkap. Dia tahu apa yang terjadi. Ini bukan yang pertama kali. Mamanya selalu punya cara untuk membuat Reza membeberkan semua yang sedang terjadi padanya.
Seraya menuruni anak tangga, Satya menghubungi Kana. Beberapa kali. Nomornya aktif tapi tidak diangkat. Membuat langkah Satya semakin gegas.
***
Kana melangkah masuk setelah mengetuk pintu dan dibukakan oleh Bi Yuni. Rumah besar itu cukup lengang, mungkin karena keluarga Indi sudah kembali ke apartemen. Hanya menyisakan Mama Marlina dan beberapa pegawai.
"Nyonya ada di lantai dua, Mbak."
"Makasih, Bi." Kana melewati ruang tengah, menaiki anak tangga. Tanpa firasat apa pun. Jika pun tadi suara Mama Marlina terdengar dingin saat menyuruhnya datang ke sini, bukankah biasanya juga begitu? Kana sampai-sampai tidak bisa menebak alasan kenapa dia harus datang ke sini dan membatalkan penerbangan di sepuluh menit terakhir.
Kana berhenti setelah anak tangga terakhir. Melihat Mama Marlina berdiri di salah satu jendela besar yang menghadap ke halaman depan. Bersedekap tenang. Seolah gema ketukan heels Kana di lantai tidak mempengaruhi.
"Pagi, Ma."
Marlina perlahan memutar tubuh dan mengurai dekapan tangan. Aura dingin yang tak biasa mulai terasa. Marlina menatap tajam menantunya, seakan menelanjangi. Tidak membalas sapaan. Bibirnya yang mengatup rapat berkedut menahan muntahan amarah.
Meski merasa sedikit janggal, Kana tetap melangkah mendekat. Hingga dia berhenti persis dua langkah dari Mama Marlina. Sekian detik, gerakan tangan itu teramat cepat sebelum Kana menyadarinya.
PLAK!
Sapaan Kana dibalas dengan satu tamparan keras yang mendarat di pipi kanan. Panas merambat dengan cepat. Darah perlahan muncul di sudut bibir.
Kana bergeming sesaat. Pemahaman muncul terlalu cepat di kepalanya. Sementara jeda yang tercipta mulai mencekiknya. Apakah Mama Marlina sudah dengar semuanya?
"Aku nggak sangka kalau Satya benar-benar fatal sudah menikahi kamu, Kana!"
Sudut bibir Kana yang terluka, menyungging seringai getir. Kedua tangan di sisi tubuhnya mengepal dan matanya memejam. Dia tidak marah. Atau lebih tepatnya, dia tidak bisa marah dengan kalimat menyakitkan itu. Apa yang dikatakan ibu mertuanya memang benar. Satya, lelaki baik-baik, ceroboh mengambil keputusan dengan menikahinya.
Tangan Kana kian mengepal. Dia sedang mencari kekuatan. Dia tahu, kali ini dia akan dihakimi habis-habisan. Ditelanjangi dengan dosa-dosanya di masa lalu.
Kana menunduk, menggigit bibir bagian dalam. Tanpa pembelaan apa pun. Dia tidak lari, dia akan terima semua makian.
"Apa yang dia lihat dari kamu?" Marlina terdengar putus asa. Menunjuk-nunjuk Kana seperti orang rendahan yang bahkan tidak pantas berdiri di hadapannya sekarang. "Kamu nggak lebih dari barang rusak yang Satya pungut!"
Kepalan tangan Kana terurai dan ganti meremas dress selutut yang dia kenakan. Gagal. Tangannya tetap gemetar.
"Kamu sama sekali nggak pantas bersanding dengan Satya! Harusnya kamu sadar itu dari awal, Kana! Lihat sekarang, kamu cuma jadi beban untuk Satya! Kamu nggak mikir gimana perasaan dia, hah?! Kamu menyakiti anak lelaki kesayanganku!"
Suara itu menggema di langit-langit lantai dua. Menghunjam hati Kana dari segala sisi. Lidah Kana semakin kelu. Kepalanya semakin tertunduk dalam. Desakan air mata terus memaksa keluar, tapi Kana bertahan.
"Istri yang sempurna?" Marlina tertawa sarkas. "Satya selalu membangga-banggakan kamu di depan keluarga. Omong kosong! Kamu bahkan sangat jauh dari apa yang Satya harapkan! Dua tahun ini kamu kasih apa ke Satya? Nggak ada, Kana, nggak ada! Satya akan jauh lebih bahagia jika menikah dengan Rayya!"
Ujung kalimat ibu mertuanya berhasil menyentak Kana. Dia tidak lagi bisa diam.
"Satya mencintai saya, Ma." Kana mengangkat wajah. Sepasang matanya memerah dan basah. Sekuat mungkin menahan agar tangisnya tidak luruh saat ini. "Bahkan setelah dengar semua tentang masa lalu saya, Satya tetap mencintai saya."
"Nggak tahu malu!" Tangan Marlina terangkat, hendak dilayangkan kembali ke pipi Kana.
Kana tidak menghindar. Panas kembali menjalar di pipi. Luka di sudut bibirnya semakin perih dan berkedut.
Dengan segenap keberanian yang tersisa, menanggalkan semua ego dan kini yang tersisa hanya satu harapan yang rasanya mustahil, Kana kemudian berlutut. Menatap nanar pantulan dirinya di atas lantai. "Saya janji akan menjadi istri yang baik untuk Satya. Saya ..." Setitik air mata jatuh di lantai. "... saya akan memperbaiki semuanya, Ma."
"Jangan bercanda, Kana. Kamu memulainya dengan salah. Kalian pikir hubungan kalian akan berhasil? Restuku tidak pernah ada untuk kalian. Kamu camkan baik-baik!"
Kana perlahan mendongak. "Saya sadar, Ma. Hubungan kami memang tidak berjalan baik selama dua tahun ini. Tapi kami tidak memulainya dengan cara yang salah. Kami hanya butuh waktu untuk sama-sama belajar."
Marlina tersenyum masam. "Hebat sekali ya kamu. Aku nggak tahu bagaimana kamu berhasil menjebak Satya sejak awal. Kamu tega menyeret lelaki baik seperti Satya untuk masuk ke hidup kamu yang—"
"Mama."
Marlina beralih ke satu suara yang berhasil memotong kalimatnya.
Satya berdiri pias di dekat tangga, yang bahkan kehadirannya luput disadari oleh mereka. Hatinya sakit menyaksikan istrinya bersimpuh di hadapan mamanya. Menerima semua kalimat menyakitkan.
Kakinya melangkah gamang saat menghampiri Kana. Namun, tatapnya menyorot tegas sang istri. Begitu tiba di sebelah Kana, dia merunduk, memegang kedua bahu Kana, memintanya untuk bangkit.
Kana menggeleng, menolak. Tahu jika percuma memaksa, Satya justru ikut bersimpuh di sebelah Kana. Teguran pelan dari Kana tidak dia hiraukan. Kana merasa Satya tidak perlu sampai seperti ini untuk membelanya.
"Berdiri, Satya!" Marlina menghardik tegas.
Satya tetap bersimpuh. "Mama boleh melempar semua makian untuk Kana. Mama boleh marah dengan masa lalu Kana. Kalau pun Mama meminta istriku datang, seharusnya Mama juga meneleponku. Apa yang Kana dengar dari Mama, aku juga harus dengar. Aku nggak ingin istriku terluka sendirian."
"Kamu memang selalu membela dia dan mengabaikan omongan Mama!"
Kana mengusap cepat pipinya dan beralih menatap ibu mertuanya. "Saya memang kotor, Ma. Saya memang nggak pantas untuk bersanding dengan Satya. Ketika tahu apa yang terjadi, saya ingin pergi dari hidup Satya. Saya egois jika tetap menginginkan Satya ada di hidup saya. Bahkan sejak awal, Satya berhak mendapat perempuan yang jauh lebih baik dari saya."
Napasnya setengah tercekat. "Tapi kemudian saya sadar, Ma. Satya berusaha meyakinkan saya kalau ini bukan akhir segalanya untuk kami. Satya ingin saya tetap ada di sampingnya." Kana kewalahan menahan air mata. Namun, suaranya terdengar begitu yakin. "Maka saya memang harus ada di sampingnya. Saya nggak akan ke mana-mana, Ma. Saya nggak akan pergi dari Satya. Saya nggak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan berharga dan maaf yang diberi Satya untuk saya."
"Sat, kamu mau kan dengar nasihat Mama kali ini?" Marlina menatap sedih anak lelakinya. "Tinggalkan perempuan ini, Sat. Hidup kamu akan lebih baik tanpa dia. Kamu dengar Mama. Nggak ada untungnya kamu bela dia mati-matian begini." Suara dinginnya melembut. "Mama mohon, Satya. Demi kebahagiaan kamu, tinggalkan dia."
Satya bergeming.
"Satya?!"
"Ma ... aku minta maaf."
Marlina berbalik menghadap jendela. Tangannya bergerak, memegang erat sisi jendela, menjadikannya sebagai tumpuan. Tubuhnya membungkuk menahan sakit di dada. Air mata dengan cepat bergulir di pipi senjanya.
Satya bangkit. Berniat memeluk sang Mama. Sempat ditepis, tapi Satya tidak mundur. Dia terus berusaha hingga akhirnya sang Mama menangis di pelukannya. "Aku sama sekali nggak bermaksud untuk melawan Mama. Mama yang mengajarkan aku untuk bisa menjaga apa yang menjadi milikku. Keputusan untuk mempertahankan Kana bukan tanpa alasan, Ma. Aku mohon Mama percaya sama aku. Aku tahu apa yang membuat aku bahagia, Ma. Kalau pun jalannya berat, kami akan lalui sama-sama."
"Mama cuma ingin kamu bahagia, Satya."
Satya mengeratkan pelukan. "Aku bahagia bersama Kana, Ma."
***
Reza menunggu dengan cemas di teras rumah Satya. Dia tidak berani menelepon Satya, apalagi menyusul ke rumah Tante Marlina. Jadilah Reza memutuskan untuk menunggu di sini. Mondar-mandir di teras sejak satu jam yang lalu. Baru bernapas lega saat mobil Satya memasuki halaman.
Dengan segera Reza menghampiri sisi mobil. Tidak sabaran membuka pintu untuk Satya. "Sat, gimana? Nyokap lo ngamuk? Gue minta maaf." Namun dadanya didorong pelan oleh Satya.
Reza hendak menyergah tapi Satya berbalik cepat ke arahnya.
"Jangan ngomong sama gue. Gih sama Kana aja."
Mimik wajah Reza langsung sedih. "Lo pasti marah banget, sampai nggak mau ngomong sama gue."
"Marah jelas iya. Cuma kalau minta maaf ke Kana aja."
Reza melirik kursi samping kemudi. "Terus kenapa Kana nggak turun?"
"Gue cuma mau ambil baju."
"Lo mau ikut ke Bali?"
Satya mengangguk dan meninggalkan Reza. Saat Reza kembali melirik ke arah kursi samping kemudi, dia mendengar suara kaca yang diturunkan. Tanpa perlu dipanggil, Reza sadar diri jika harus meminta maaf pada Kana. Ya meski cepat atau lambat Tante Marlina tahu soal ini, tapi tetap saja Reza salah.
Kana melihat wajah mendung Reza yang sulit disembunyikan. Bibirnya manyun dan kedua tangannya sibuk mengepal-ngepal ujung kaus. Selama beberapa saat Kana hanya terus memandangi Reza yang berdiri resah di dekat spion. Reza yang biasanya tidak pernah ciut di hadapannya, kini menunduk dalam-dalam.
"Cepu banget sih punya mulut."
Reza baru berani menatap Kana. Mengangkat satu tangan. "Sumpah samber gledek, Na, gue dipaksa. Bukan gue yang sukarela dateng ke sana terus cepu-cepuan." Mukanya sudah mau mewek. "Sumpah gue nggak gitu. Gue sayang Satya dan terpaksa sayang lo juga. Gue minta maaf. Gue nyesel banget."
Kana masih diam dan membuat Reza sedikit gemas. "Dimaafin, 'kan?"
Di luar dugaan, Kana justru tersenyum. Membuat Reza otomatis mundur selangkah sambil geleng-geleng. "Asli, gue akan memaklumi kalau lo ngamuk, tapi nggak senyum kayak begini."
Kana semakin melebarkan senyumnya. Reza kali ini bergerak maju, mendekat ke pintu dan merunduk. Menyodorkan sebelah pipinya. "Gue ngeri lihat lo senyum, udah langsung aja tabok. Nih."
"Lo cepu sekali lagi, minta diapain?"
"Apa aja deh, gue pasrah."
"Bisa dipegang nggak janji lo?"
"Demi Satya, gue janji nggak cepu lagi."
"Oke, lo mengakui kalau cepu."
"Nggak sengaja!" Lalu sadar jika kelepasan. "Maaf gue nge-gas."
Kana menyembunyikan tawa dengan deheman.
Reza mengeluh. "Gue mulai pegel. Buruan tabok."
"Ya udah."
"Ya udah apa?"
"Minggir, Satya udah mau ke sini."
Reza melepas tangan dari pintu dan menegakkan tubuh. "Dimaafin, 'kan?"
Meski hanya berupa anggukan kecil, Reza sudah merasa lega sekali. Dia segera menghampiri Satya sebelum lelaki itu masuk ke mobil. Memeluk erat. Memberi laporan. "Gue udah dimaafin bini lo."
"Bagus." Satya menepuk sekilas punggung Reza. Kemudian berpesan. "Kerjaan besok pagi sampai siang tolong lo atur. Gue balik malam."
"Siap." Reza menyingkir dan membiarkan Satya masuk ke mobil. Tidak banyak cincong seperti biasanya.
Satya melajukan mobil meninggalkan halaman. "Sesekali kamu boleh tampar mulut comelnya Reza, Yang."
"Nggak tega lihat dia tadi. Kelihatan ngerasa bersalah banget. Padahal biasanya kalau berantem sama dia, beneran pengin aku gampar atau cabein mulutnya."
"Maaf ya, Yang, aku yang salah. Waktu cerita ke Reza, aku pikir nggak akan bocor ke Mama."
"Cepat atau lambat Mama juga akan tahu, Sat. Nggak apa-apa."
Saat berhenti di lampu merah, Satya mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Kana dengan gerakan lembut. "Semua kalimat mamaku tadi pasti menyakitkan. Maaf, aku terlambat datang. Kamu harus dengar semuanya sendiri."
Kana mengambil telapak tangan Satya yang ada di kepala dan membawanya ke pipi.
Ibu jari Satya mengusap bekas tamparan yang masih samar terlihat. Menatapnya sendu. "Dan juga ini. Lukanya memang akan cepat pulih, tapi sakit hati kamu dengan penghakiman mamaku, mungkin akan terbawa sampai nanti. Aku minta maaf."
Menggeleng. Sepasang matanya mencari fokus Satya, kemudian menguncinya. Meyakinkan. "Satya, it's okay, kamu nggak perlu minta maaf. Aku nggak apa-apa. Selama ada kamu, aku nggak apa-apa. Ini juga berat banget buat Mama kamu. Aku nggak marah, tapi sebaliknya, merasa sangat bersalah karena bikin anak lelakinya kayak gini."
Kana melepas tangan Satya dan memeluknya. Menepuk-nepuk punggung suaminya. "Makasih ya, kamu tadi datang. Kalau ada yang minta maaf, harusnya aku. Maaf udah bikin kamu melawan keinginan Mama kamu demi membela aku."
Satya mengecup sisi kepala istrinya. "Kalau Mama udah tenang, aku bakal bicara lagi secara baik-baik. Biar Mama dan kamu sama-sama tenang."
Kana mengangguk. Melepas pelukan dan memercayakan semuanya pada Satya.
***
Tersisa chapter 35, 36, 37 dan epilogue 😆🙌
Rabu/02.06.2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top