Chapter 33


Hari berlalu. Usaha Kana untuk mendekati Allisya perlahan membuahkan hasil.

Kana yang beberapa hari ini ikut mengantar Allisya ke sekolah, menjemput di tempat kursus piano, menemani les ini dan itu. Menemani hampir seharian, yang kemudian selalu ditutup dengan makan malam bersama. Seluruh perhatian Kana benar-benar tercurahkan untuk putrinya.

Kabar baiknya, semua berjalan dengan baik dan Allisya mulai menatapnya.

Malam ini, untuk pertama kalinya, Allisya akhirnya menuangkan nasi untuk Kana. Semua yang ada di meja makan, termasuk Lala, menahan napas melihatnya. Mereka tidak menduga Allisya akan bertindak seperti itu—hanya dalam hitungan hari. Kana sendiri bahkan sudah berkaca-kaca dan hitungan detik air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Dengan segera Kana mendekap mulut menggunakan satu tangan, menghentikan isak tangis yang hendak mencuri keluar.

Lala menepuk-nepuk punggung Kana yang bergetar. Rafka mengelus kepala putrinya, tersenyum bangga. Begitu juga dengan Vina yang menatap takjub cucu kesayangannya.

Menyusut air mata, Kana tersadar jika tidak boleh merusak momen makan malam ini. Besok dia akan kembali ke Jakarta. Maka, makan malam ini harus berjalan sebagaimana mestinya.

Lala bantu mengambilkan tisu di tengah meja. Kana meremas tisu yang basah. Tersenyum ke Allisya yang duduk berhadapan dengannya. "Eyang tadi kasih bocoran, katanya Allisya bantu masak ya?"

"Cuma bantu potong wortel."

Vina buru-buru menambahkan. "Allisya juga yang numis."

Mata Kana langsung mencari lauk di meja yang mengandung wortel. Mengambilnya sebagai lauk utama. Menyuapnya dan mengangguk. Air mata mencuri jatuh, setitik. "Enak."

"Makasih."

Menyeka pipi. "Lain kali masak sama Bunda ya?"

Allisya mengeratkan pegangannya di sendok. Menggigit bibir bagian dalam. Dahinya berkerut-kerut. Tapi sepasang matanya berkilat, menunjukkan sebuah ketertarikan. Hanya saja terlalu kelu untuk disuarakan.

"Kok nggak dijawab?" Rafka nimbrung. "Kamu ragu kalau bundamu bisa masak?"

Allisya menoleh ke ayahnya, ekspresinya sedikit sebal. "Bukan gitu ih."

"Ya udah, jawab dong." Rafka mengedikkan bahu ke arah Kana.

Allisya menatap Kana sekilas, menunduk, menjawab lirih. "Boleh."

Satu kata yang sangat berarti untuk Kana. Jawaban yang sekaligus menjadi alasan bahwa dia harus datang lagi ke sini secepatnya; dia punya janji dengan Allisya.

Sepulang dari rumah Rafka, Lala harus beberapa kali mengingatkan agar Kana berjalan di sisi yang benar. Karena yang terjadi, begitu lepas dari gerbang rumah Rafka, Kana terus bersenandung tanpa memperhatikan langkah yang semakin ke tengah jalan. Kena klakson juga tidak mempan. Lala yang tadinya berjalan ogah-ogahan karena kekenyangan, terpaksa menempel ke Kana.

"Rafka benar, La."

"Hah?"

"Dia bilang ke gue kalau Allisya nggak benci bundanya."

"Iya, kelihatan kok sebenarnya. Di makan malam kemarin, dia mulai lirik-lirik penasaran ke arah lo."

"Kok lo nggak bilang?!"

"Siapa tahu gue halu karena tongseng kambingnya kemarin enak banget."

Kana melepas pegangan Lala di lengannya.

"Tapi sekarang lo seneng banget, 'kan?" Lala kembali menempel, merangkul lengan Kana lebih erat.

"Banget. Saking senengnya, pengin ngabarin ini ke Satya."

Lala berdeham. "Sebenarnya ada yang harus lo kabarin hal ini sebelum Satya."

Kana berhenti. Mereka saling menatap. Lala menaikkan satu alis. Dia tahu jika Kana paham maksudnya.

Kembali berjalan. "Yuk, buruan. Takutnya Mama udah tidur."

Sudah saatnya, pikir Kana. Dia tidak bisa menyembunyikan hal ini lebih lama dari keluarganya. Karena kemarin-kemarin pikiran Kana masih carut-marut, dia pikir cukup Satya dan Lala saja yang tahu. Maka masalah yang timbul bisa dia atasi—dan Kana amat bersyukur baik Satya atau Lala tidak bereaksi berlebihan. Selebihnya, dia belum siap menerima keterkejutan lebih banyak.

Malam ini, beban di dadanya sedikit berkurang. Dia yakin sanggup menyampaikan hal ini ke mamanya. Seperti apa pun reaksi Mama, memang itulah yang harus dia terima.

Kana menyingkir ke teras vila. Duduk di kursi kayu. Panggilan kedua, Kana akhirnya tersambung dengan mamanya. Latar di ujung sana cukup tenang, tapi Kana tetap bertanya. "Mama lagi di mana?"

"Di teras depan. Kamu tumben telepon?"

Kana meringis sesaat, mamanya benar. Dia jarang menelepon. "Mama belum tidur? Papa belum pulang ya?"

"Papa sama adikmu pergi main badminton dari lepas Isya. Belum pulang. Mama mau tidur duluan juga belum ngantuk."

Setelah memastikan mamanya tidak sibuk dan bisa menerima teleponnya, Kana akhirnya berkata. "Ma, Kakak hari ini bahagia."

"Oh ya? Satya kasih kamu surprise? Eh tapi kan ulang tahun kamu masih beberapa minggu lagi."

"Bukan surprise, Ma. Lagi pula Satya lagi di Malaysia."

"Ini kamu nemenin dia?"

"Aku di Bali, Ma."

"Kalian udah biasa kerja mencar begitu ya. Terus apa yang bikin kamu bahagia?"

Kana yakin ini saatnya. "Ma, tapi sebelum aku ngomong apa yang bikin aku bahagia, ada satu yang mesti aku sampaikan."

"Kok Mama jadi deg-degan?"

"Ma, maaf kalau aku sampaikan hal ini lewat telepon dan bukannya secara tatap muka. Aku terlalu takut. Kemarin waktu Mama dan Papa ke sini, aku belum punya keberanian untuk bicara."

"Ada apa, Kana?"

Mengembuskan napas. Memantapkan hati. "Ma ... aku ketemu sama Rafka."

"Rafka siapa—" Kalimat Mama menggantung sebelum hening yang panjang.

Suara Kana memutus jeda. "Iya, Rafka yang Mama pikirkan."

Lantas semua cerita mengalir. Tidak ada yang Kana tutupi. Kalimat per kalimat yang membuatnya tetap cemas akan reaksi Mama. Tapi menyembunyikan lebih lama dari Mama juga bukan pilihan yang baik. Kana tidak bisa menyimpannya sendiri lagi. Keluarganya berhak tahu tentang keberadaan Allisya.

Setelah selesai menumpahkan semua cerita dan memberi waktu mamanya untuk menenangkan diri, Kana berniat untuk menutup telepon dan bicara lagi jika waktunya tepat. Namun, dia akhirnya mendengar mamanya bertanya, setelah lengang yang cukup lama.

Dan kalimat pertamanya adalah, "Satya gimana?"

"Ma?"

"Satya gimana?"

"Dia tahu."

Terdengar isak tangis.

"Mama?"

"Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan Satya."

"Aku nggak akan lakukan itu, Ma."

Kembali hening. Kana sabar menunggu hingga mamanya selesai menangis. "Maafin Kakak ya, Ma."

"Bukan salah kamu."

Kana menggeleng. "Aku tetap salah, Ma."

Sisa-sisa tangis membuat suara Mama bergetar. "Mama ingin bertemu dengan Allisya."

"Belum bisa sekarang, Ma. Tapi aku janji secepatnya."

Helaan napas Mama terdengar berat. Suaranya masih bergetar, mustahil disembunyikan. "Kamu ... yang kuat ya. Mama kebayang jadi kamu sewaktu mendengar hal ini pertama kali. Nggak masalah kamu marah, kamu sangat berhak. Demi Allah, mereka sudah membohongi kamu dan kita semua!"

Kana menyeka pipi yang tiba-tiba basah. Menjawab dengan gumaman karena suaranya tercekat di tenggorokan. Tidak ada pembelaan diri apa pun. Kana bersiap untuk pamit ketika mamanya kembali berbicara.

"Kamu punya waktu untuk dengar cerita Mama, Kak?" Mama terdengar sama tercekatnya. Namun, berusaha tetap melanjutkan. "Ini tentang Satya."

***

"Mas Satya, gimana tanggapan Mas soal isu keretakan rumah tangga Mas dengan Mbak Kana?"

Tolonglah, Satya baru saja keluar dari pintu kedatangan. Tahu-tahu sudah ada tiga-empat wartawan yang mendekat. Ditodong dengan pertanyaan ekstrem seperti itu pula. Rasanya seperti dilempar palu godam tepat di depan mata.

"Yang bilang retak siapa, Mbak? Saya sama Kana baik-baik aja malah. Dia emang lagi di Bali, liburan sama manajer sekaligus sahabatnya. Kebetulan saya ada project duet di Malaysia, jadinya nggak bisa ikutan dia ke Bali. Ini hal sepele kok. Kami nggak bisa liburan sama-sama bukan hal yang perlu dibesarin. Lain kali kroscek dulu ya." Satya sempat memelankan langkah saat menjawab. Meski pertanyaan itu membuatnya sedikit keki. Siapa orang yang tidak akan senewen kalau badan dan pikiran lelah lalu ditanya seperti itu.

Wartawan itu hendak mengajukan pertanyaan lagi, tapi Reza sigap menghadap. "Mon maap nih, maap banget yak. Satya baru aja landing dan capek. Mohon pengertiannya ya. Makasih."

"Tapi, Mas, sempat beredar foto Mbak Kana bersama seorang lelaki di Bali—"

Satya yang sudah melangkah meninggalkan para wartawan, berbalik, kembali ke wartawan yang menyodorkan tape recorder. "Mbak, temannya Kana itu bukan hanya perempuan aja. Saya kenal kok siapa lelaki yang dimaksud. Jadi mohon jangan dibesar-besarkan ya."

Para wartawan tidak lagi mengejar, tapi Satya tetap melangkah lebar menuju mobil yang sudah menunggu di halaman bandara.

"Lo tahu siapa laki yang ke-gap sama Kana?" Reza harusnya sudah tahu tanpa bertanya.

Mobil melaju meninggalkan area bandara. "Papanya Allisya."

***

Kana tiba di rumah satu jam setelah kepulangan Satya.

"Gimana Malaysia, Sat?" Pertanyaan itu terlontar saat Kana berhenti di ruang tengah bersamaan dengan Satya yang berderap menuruni anak tangga.

Satya tersenyum, melangkah lebih cepat. Memeluk Kana dan memberi jawaban. "Lancar kok, makanya aku bisa pulang cepet. Tadinya mau di sana sepuluh hari." Kemudian melepas pelukan, ingat jika dia harus segera pergi dan mungkin Kana ingin lekas istirahat.

Kana memperhatikan penampilan Satya yang sudah rapi. "Terus ini mau ke mana?"

"Kumpul sama anak-anak agensi. Ada perayaan atau apalah, dadakan dikasih tahunya."

"Oh." Kana meremas gagang koper yang masih dia pegang. Dia ingin Satya tinggal beberapa saat, tapi juga tidak mungkin melarangnya pergi. "Have fun ya."

Satya mengangguk.

"Pulang jam berapa, Sat?"

Tanpa menjawab, Satya balik bertanya. "Kamu ada kerjaan malam ini?"

"Besok pagi-pagi."

"Muterin kota yuk?"

"Bukannya kamu mesti datang ke acara agensi kamu?"

"Aku bisa pamit."

Satya melajukan mobil dengan kecepatan sedang agar bisa benar-benar menikmati suasana kota di malam hari. Kana menurunkan kaca jendela di sebelahnya, membiarkan angin menerobos masuk. Membuat anak rambutnya terbang hingga dia harus beberapa kali menyelipkannya ke belakang telinga.

"Jadi, gimana Bali, Na?" Satya gantian bertanya.

Pertanyaan yang membuyarkan lamun. "Aku pelan-pelan mulai diterima Allisya."

"Kok sedih? Kamu harusnya senang dong, Na." Satya menangkap kesedihan yang tersirat di suara Kana.

Iya, Kana bahagia. Lebih bahagia dari yang dia duga. Tapi dia juga sadar, kebahagiaan ini mungkin akan dia bayar mahal. Saat ini memang Satya tidak mempermasalahkan apa yang terjadi, tapi bagaimana dengan orang-orang di sekitar Satya. Mereka akan menghakimi Kana dan juga keputusan Satya yang memilih untuk mempertahankannya.

"Kamu mau coba ketemu sama dia nggak, Sat?"

"Ketemu Allisya? Tentu." Satya terlihat antusias. "Aku akan sempatkan datang ke Bali. Secepatnya. Tapi pastinya kapan belum tahu, Na."

Tersenyum. "Sesuaikan sama jadwal kamu aja, Sat. Kamu juga mesti persiapan buat Asia Tour. Belum lagi konser dekade awal tahun."

Satya terkekeh. "Mayan padat juga ya jadwalku." Kemudian berdeham. "Setelah kerjaan weekend ini selesai, kamu bakal ke Bali lagi?"

Kana tidak ragu saat mengatakannya dan Satya paham. "Aku nggak ingin memposisikan kamu untuk memilih, Na. Apa yang sedang kamu pikirkan, coba bilang aja."

"Aku pengin di Bali sampai akhir tahun."

"Oke."

Kana terkesiap. "Sat?"

"Kenapa? Hanya satu bulan lebih, aku nggak masalah. Aku bakal sibuk banget dan mungkin nggak pulang ke rumah. Sementara kamu udah selesai kontrak. Anggap aja sekalian liburan. Kamu udah kerja keras selama ini, jadi ambil me-time kamu."

"Kalau kamu?"

"Hm?"

"Apa yang kamu rasakan, Sat?" Kana menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. "Ini sama sekali nggak mudah."

Satya meremas setir lebih erat sebelum merenggangkannya. "Jujur. Aku resah, takut, khawatir. Random ya? Bukan niat buat bikin kamu ragu atau gimana. Itu yang sedang aku rasakan beberapa hari terakhir."

Menaikkan kaca jendela, Kana kemudian mengubah posisi duduknya. Sedikit menyandar dan menghadap ke arah Satya. "Biar kamu tenang, aku harus apa?"

Satya tetap menatap ke depan. "Kita sama-sama tahu, Na, kali ini nggak mudah. Kamu hanya baru dengar pendapatku, belum yang lain. Dan seperti yang aku bilang, aku terima kamu dan segala kondisi yang ada sekarang. Pendapat yang lain mungkin akan menyakitkan, tapi semua akan kembali ke diri kamu sendiri. Pendapat orang lain nggak begitu penting. Yang menentukan bahagia enggaknya kamu bukan mereka. Yang ngejalanin ini kamu. Jangan biarkan omongan menyakitkan orang lain bikin kamu patah. Selama kamu bisa menghadapi ini dengan tenang, aku ikut tenang."

"Apa aku egois kalau minta ditemani?" Pada akhirnya, Kana hanya perempuan biasa. Dia tidak lagi berusaha tenang dan tegar di hadapan Satya. Dia hanya mengatakan apa yang dia inginkan. Jujur dengan dirinya sendiri. "Aku nggak sanggup menghadapi ini sendirian, Sat. Aku sangat butuh kamu."

Satya melepas tangan kirinya dari setir, menggenggam tangan Kana. "Semampuku, aku bakal temani kamu."

Mata Kana sempurna basah. Bibirnya melengkungkan senyum. Hangat menjalar di hati dengan cepat. "Gila ya, Sat. Aku mesti bayar kamu pake apa."

Mengangkat kedua bahu. Nyengir. "Cinta?"

Kana meninju pelan lengan Satya. Tertawa kecil sambil menangis.

Tangan Satya berpindah ke kepala istrinya. Mengusap lembut. "Aku nggak butuh kamu yang sempurna, Na. Cukup jadi Kana yang sekarang. Aku lihat versi kamu yang lebih baik. Lebih bisa mengendalikan ego, kamu juga introspeksi diri, dan tentunya semakin dewasa."

Kana tidak perlu diyakinkan dua kali. Dia tahu, Satya menerima dirinya sepenuhnya. Apa yang dia dengar dan rasakan saat bersama lelaki ini, dan juga apa yang Mama katakan kemarin malam. Tidak ada alasan bagi Kana untuk merasa rendah diri; dia punya Satya, punya orang-orang yang masih tetap mendukungnya.

Setelah mata dan hatinya terbuka lebar, terasa sangat mudah menemukan ketulusan yang terpancar di sepasang mata Satya.

Bagian tersulitnya adalah, Kana tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika kelak mengecewakan lelaki ini lagi.

***


Adakah yg sadar kalau adegan Satya-Kana di dalam mobil terinspirasi dari gambar di cover? 🤣

Aku dah lama ngidam pengin bikin adegan kayak di cover. Meski suasana gak sama persis, tapi obrolan mereka, genggaman tangan mereka, resah yang coba ditekan habis karena mereka sebenarnya dah bisa nebak besok2 bakal gimana (karena gak mungkin semudah itu). Mereka tetap berusaha optimis bisa ngelalui sama2. Aaaak, cinta deh sama Satya 😍

Jumat/07.05.2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top